Peresensi : MG. Sungatno
Judul buku: Nabi Tanpa Wahyu
Penulis : Hudan Hidayat
Penerbit : PUstaka puJAngga, Lamongan
Cetakan : I Januari 2008
Tebal : xii + 218 halaman
Sumber : Jurnalnet.com
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 31 Juli 2008
Rabu, 30 Juli 2008
Elit yang Mengolah Alam
Hudan Hidayat
Tragedi bangsa Indonesia sebagai negara yang mempunyai kekayaan alam yang melimpah, adalah abainya kebijakan negara yang membuat segenap warganya berpikir obsesif, bahwa untuk menjadi kaya dan sejahtera haruslah mengolah kekayaan alamnya dengan tangannya sendiri. Sehingga kita membangun dan tumbuh bukan semata berdasar pengetahuan (tehnologi) dan bantuan orang lain, tapi bertumpu dengan modalnya sendiri. Yakni sumber daya manusia Indonesia yang mengolah alamnya yang kaya raya.
Abainya kebijakan ini terbaca dari tiadanya policy dengan strategi pertumbuhan yang berkait dengan sistem persekolahan sebagai penopang yang menghasilkan sumber daya manusia untuk mengolah sumber daya alamnya.
Ini berimplikasi pada sekolah-sekolah kita yang tumbuh dan berkembang bukan sebagai sebuah sistem dari kehidupan intelektual yang menghayati kenyataan hidup, yang lalu menghasilkan pengetahuan dan tehnologi yang membawa anak didiknya berorientasi mengelola alam dimana mereka tinggal. Kurikulum serta contoh saat peroses pendidikan itu berlangsung, menjauh dari kenyataan kehidupan di mana sang anak berada. Bahkan menjauhkan anak dari desa dan melemparkan mereka ke kota.
Kita bisa “menghitung” hanya ada satu “Institut Tehlogi Bandung” ketimbang ribuan perguruan tinggi yang alpa kepada orientasi pengelolaan kekayaan alam. Hanya ada satu SPMA ketimbang ribuan Sekolah Menengah Atas lainnya. Hanya ada satu Sekolah Tehnik ketimbang ribuan Sekolah Menengah Pertama.
Dalam perbandingan yang ekstrem itu, sistem persekolahan yang dipompakan puluhan tahun telah membuat bangsa kita kehilangan arah esensial untuk meraih kekayaan dan kesejahteraan. Sebab apresiasi terhadap pekerjaan bukan atas dasar apa yang telah terberi dan kita miliki. Yakni kekayaan alam. Tapi atas dasar undangan dari ilmu-ilmu lain.
Maka kita saksikan perbandingan yang timpang dari tokoh-tokoh kita di segala bidang kehidupan. Kita mempunyai secara berlimpah tokoh yang mampu memproduk wacana kemanusiaan, tapi miskin tokoh yang mampu memproduk wacana dengan perangkat pengetahuan dan tehnologi untuk mengolah kekayaan alam. Akibatnya kekayaan alam kita terus terbengkalai. Hanya dihuni oleh ibu bapa-kita yang mengelola alam secara tradisional, tanpa sentuhan tokoh-tokoh yang memiliki pengetahuan dan tehnologi sebagai produk dari sebuah sistem persekolahan.
Kegagalan terbesar dari abainya negara menciptakan sekolah dan hidup yang berorientasi kepada alam, adalah kenyataan pahit yang harus kita terima saat ini, akan pengertian bangsa kita terhadap makna bekerja.
Bukan hanya elit kita yang gagal memaknai pengertian bekerja, dalam persepktif modal yang kita miliki, dan bagaimana menyeimbangkan langkah proporsional yang dibutuhkan untuk menggerakkan modal agar menjadi kekayaan yang mensejahterakan melalui sistem persekolahan, tapi sudah meruyak kepada segenap bangsa.
Manusia Indonesia saat ini sudah jauh sekali dari pikiran untuk mengolah alamnya sendiri, sebagai jalan keluar yang nyata untuk melangsungkan kehidupan. Ini terjadi bukan hanya karena tiadanya pengetahuan dan tehnologi yang mereka dapatkan dari sekolah, dari perusahan tempat mereka bekerja, atau program-program yang dibuat oleh pemerintah, tapi terlebih karena memang orientasi seperti itu memang tidak pernah dipompakan oleh sistem sekolah dan cara hidup di masyarakat.
Janggal rasanya, di ruang-ruang entah seminar, kampus, lembaga penelitian, LSM, muktamar, kongres, bahkan di ruang-rapat pemerintahan sekalipun, kita mendengar seorang tokoh yang menguraikan pentingnya pengetahuan akan alam kita sendiri, lalu merancang pendidikan dengan sistem riset pada suatu daerah tertentu atau komoditi tertentu. Atau merancang strategi budaya bagaimana menggerakkan sebuah komunitas masyarakat di daerah tertentu untuk mempunyai kesadaran bersama dan merumuskan langkah bersama agar mengolah alamnya, sebagai langkah untuk meraih kekayaan dan kesejahteraan.
Bahkan kaum muda yang dimitoskan sebagai lapisan idealis, yang profesional maupun mereka yang tergabung dalam dunia ilmu, politik atau LSM, tak menjadikan “mengolah alam” sebagai sebuah orientasi bagi bangsa yang membutuhkan jalan keluar paling realistis, dari krisis yang menderanya.
Kerja bagi mereka, bukanlah bagaimana menghasilkan dari tanah-tanah yang subur itu menjadi biji-bijian yang bisa kita makan, atau kita ekspor. Tapi sesuatu yang abstrak: mereka yang bergelut di bidang sosial politik telah menganggap bekerja, apa bila telah berhasil menyelenggarakan perhelatan besar, atau merumuskan pokok pikiran yang, konon, demikian dimitoskan, sebagai alternatif jawaban dari krisis yang menimpa bangsanya.
Kerja bagi mereka, entah disadari entah tidak, adalah terbawa gelombang dari arus elit politik negeri ini, yang sejak awal mulanya berdiri, telah abai membuat kebijakan hidup untuk mengolah alam, yang terrepsentasi dari institusi pendidikan dengan riset sebagai sarana untuk mengolah alam. Ke alamat semacam ini bisa pula diarahkan kritik terhadap program televisi seperti Republik Mimpi, Save Our Nation atau Soegeng Suryadi Forum.
Situasi kolonial bisa menjadi titik perhitungan kita kembali. Sebagai negeri jajahan, sangatlah wajar bila elit politik pada waktu itu memfokuskan diri bagaimana bisa menjadi negara yang merdeka. Bahkan pada era Orde Lama pun, tarik-menarik politik dalam mengkristalkan perasaan kebangsaan yang masih muda, dengan bayang-bayang negara adi-daya yang bertarung secara vis-a-vis saat itu, masih pulalah bisa diterima alpanya kita menciptakan sumber daya manusia yang bisa mengolah alam melalui sekolahnya sendiri.
Tapi kemudian dengan Orde Baru, dan terutama dengan Orde Reformasi yang sangat amat terbuka, mengapa kebijakan untuk membuat sekolah atau hidup yang mengolah alam Indonesia masih juga belum tercipta? Bahkan konsepnya sebagai sebuah wacana yang ditawarkan tidak juga muncul. Padahal hanya dengan mengolah kekayaan alam dengan tangan kita sendiri, kita bisa menjadi mandiri, kaya dan sejahtera sebagai sebuah bangsa.
Kini bangsa Indonesia dibingungkan oleh dua impian bersama. Yakni mencari sosok pemimpin yang bisa membawa bangsanya keluar dari masalah yang sedang kita hadapi, dan sekaligus bekerja untuk meraih kekayaan dan kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia.
Agaknya dua impian itu bisa dimulai dari renungan akan modal kita sendiri. Yakni kekayaan alam kita dan sumber daya manusia kita. Pada elit atau manusia terdidik Indonesia di mana pun mereka berada, yang memimpin dan terutama yang ingin menjadi pemimpin, bisa kita alamatkan beban itu. Yakni sejauh mana kesungguhan mereka mau memasuki alam pikiran untuk mengajak bangsanya mengolah kekayaan alamnya, dengan menciptakan sekolah dan cara hidup yang berorientasi pada pengelolaan akan kekayaan alam.
Kesungguhan itu akan terlihat dari pikiran, apakah ada kemauan yang bisa kita amati bersama untuk mewacanakan transformasi dari sekolah-sekolah kita saat ini dan cara hidup kita saat ini, ke dalam suatu proporsi pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengelola alam, dengan mempertimbangkan luas dan daerah dan besarnya jumlah penduduk. Sebuah transformasi yang akan berimplikasi kepada seluruh tatanan kehidupan, baik dari sudut tujuan pendidikan, regulasi, alokasi progam APBN, koordinasi antar departemen, sosialisasi serta mobilisasi masyarakat, yang akan membawa bangsa Indonesia bertumbuh ke arah baru yang paling realistis dan berdaya tahan untuk masa depan.
Bila hanya wacana demokrasi dan perubahan yang abstrak, sambil mengusungnya ke dalam pertemuan massal yang bergerak dari suatu daerah ke daerah yang lain, agaknya impian kita terhadap pemimpin dan kepemimpinan yang bisa membawa perubahan ke arah kekayaan dan kesejahteraan bagi bangsanya melalui kekayaan alamnya sendiri, masih harus kita tunda dulu. Sampai datang tokoh dan pengikut-pengikutny a yang mampu melejit dari cara berpikir dan bertindak yang diperagakan oleh elit politik Indonesia yang telah membuat kita terpuruk seperti saat ini.
Jakarta, 4 april 2008
Tragedi bangsa Indonesia sebagai negara yang mempunyai kekayaan alam yang melimpah, adalah abainya kebijakan negara yang membuat segenap warganya berpikir obsesif, bahwa untuk menjadi kaya dan sejahtera haruslah mengolah kekayaan alamnya dengan tangannya sendiri. Sehingga kita membangun dan tumbuh bukan semata berdasar pengetahuan (tehnologi) dan bantuan orang lain, tapi bertumpu dengan modalnya sendiri. Yakni sumber daya manusia Indonesia yang mengolah alamnya yang kaya raya.
Abainya kebijakan ini terbaca dari tiadanya policy dengan strategi pertumbuhan yang berkait dengan sistem persekolahan sebagai penopang yang menghasilkan sumber daya manusia untuk mengolah sumber daya alamnya.
Ini berimplikasi pada sekolah-sekolah kita yang tumbuh dan berkembang bukan sebagai sebuah sistem dari kehidupan intelektual yang menghayati kenyataan hidup, yang lalu menghasilkan pengetahuan dan tehnologi yang membawa anak didiknya berorientasi mengelola alam dimana mereka tinggal. Kurikulum serta contoh saat peroses pendidikan itu berlangsung, menjauh dari kenyataan kehidupan di mana sang anak berada. Bahkan menjauhkan anak dari desa dan melemparkan mereka ke kota.
Kita bisa “menghitung” hanya ada satu “Institut Tehlogi Bandung” ketimbang ribuan perguruan tinggi yang alpa kepada orientasi pengelolaan kekayaan alam. Hanya ada satu SPMA ketimbang ribuan Sekolah Menengah Atas lainnya. Hanya ada satu Sekolah Tehnik ketimbang ribuan Sekolah Menengah Pertama.
Dalam perbandingan yang ekstrem itu, sistem persekolahan yang dipompakan puluhan tahun telah membuat bangsa kita kehilangan arah esensial untuk meraih kekayaan dan kesejahteraan. Sebab apresiasi terhadap pekerjaan bukan atas dasar apa yang telah terberi dan kita miliki. Yakni kekayaan alam. Tapi atas dasar undangan dari ilmu-ilmu lain.
Maka kita saksikan perbandingan yang timpang dari tokoh-tokoh kita di segala bidang kehidupan. Kita mempunyai secara berlimpah tokoh yang mampu memproduk wacana kemanusiaan, tapi miskin tokoh yang mampu memproduk wacana dengan perangkat pengetahuan dan tehnologi untuk mengolah kekayaan alam. Akibatnya kekayaan alam kita terus terbengkalai. Hanya dihuni oleh ibu bapa-kita yang mengelola alam secara tradisional, tanpa sentuhan tokoh-tokoh yang memiliki pengetahuan dan tehnologi sebagai produk dari sebuah sistem persekolahan.
Kegagalan terbesar dari abainya negara menciptakan sekolah dan hidup yang berorientasi kepada alam, adalah kenyataan pahit yang harus kita terima saat ini, akan pengertian bangsa kita terhadap makna bekerja.
Bukan hanya elit kita yang gagal memaknai pengertian bekerja, dalam persepktif modal yang kita miliki, dan bagaimana menyeimbangkan langkah proporsional yang dibutuhkan untuk menggerakkan modal agar menjadi kekayaan yang mensejahterakan melalui sistem persekolahan, tapi sudah meruyak kepada segenap bangsa.
Manusia Indonesia saat ini sudah jauh sekali dari pikiran untuk mengolah alamnya sendiri, sebagai jalan keluar yang nyata untuk melangsungkan kehidupan. Ini terjadi bukan hanya karena tiadanya pengetahuan dan tehnologi yang mereka dapatkan dari sekolah, dari perusahan tempat mereka bekerja, atau program-program yang dibuat oleh pemerintah, tapi terlebih karena memang orientasi seperti itu memang tidak pernah dipompakan oleh sistem sekolah dan cara hidup di masyarakat.
Janggal rasanya, di ruang-ruang entah seminar, kampus, lembaga penelitian, LSM, muktamar, kongres, bahkan di ruang-rapat pemerintahan sekalipun, kita mendengar seorang tokoh yang menguraikan pentingnya pengetahuan akan alam kita sendiri, lalu merancang pendidikan dengan sistem riset pada suatu daerah tertentu atau komoditi tertentu. Atau merancang strategi budaya bagaimana menggerakkan sebuah komunitas masyarakat di daerah tertentu untuk mempunyai kesadaran bersama dan merumuskan langkah bersama agar mengolah alamnya, sebagai langkah untuk meraih kekayaan dan kesejahteraan.
Bahkan kaum muda yang dimitoskan sebagai lapisan idealis, yang profesional maupun mereka yang tergabung dalam dunia ilmu, politik atau LSM, tak menjadikan “mengolah alam” sebagai sebuah orientasi bagi bangsa yang membutuhkan jalan keluar paling realistis, dari krisis yang menderanya.
Kerja bagi mereka, bukanlah bagaimana menghasilkan dari tanah-tanah yang subur itu menjadi biji-bijian yang bisa kita makan, atau kita ekspor. Tapi sesuatu yang abstrak: mereka yang bergelut di bidang sosial politik telah menganggap bekerja, apa bila telah berhasil menyelenggarakan perhelatan besar, atau merumuskan pokok pikiran yang, konon, demikian dimitoskan, sebagai alternatif jawaban dari krisis yang menimpa bangsanya.
Kerja bagi mereka, entah disadari entah tidak, adalah terbawa gelombang dari arus elit politik negeri ini, yang sejak awal mulanya berdiri, telah abai membuat kebijakan hidup untuk mengolah alam, yang terrepsentasi dari institusi pendidikan dengan riset sebagai sarana untuk mengolah alam. Ke alamat semacam ini bisa pula diarahkan kritik terhadap program televisi seperti Republik Mimpi, Save Our Nation atau Soegeng Suryadi Forum.
Situasi kolonial bisa menjadi titik perhitungan kita kembali. Sebagai negeri jajahan, sangatlah wajar bila elit politik pada waktu itu memfokuskan diri bagaimana bisa menjadi negara yang merdeka. Bahkan pada era Orde Lama pun, tarik-menarik politik dalam mengkristalkan perasaan kebangsaan yang masih muda, dengan bayang-bayang negara adi-daya yang bertarung secara vis-a-vis saat itu, masih pulalah bisa diterima alpanya kita menciptakan sumber daya manusia yang bisa mengolah alam melalui sekolahnya sendiri.
Tapi kemudian dengan Orde Baru, dan terutama dengan Orde Reformasi yang sangat amat terbuka, mengapa kebijakan untuk membuat sekolah atau hidup yang mengolah alam Indonesia masih juga belum tercipta? Bahkan konsepnya sebagai sebuah wacana yang ditawarkan tidak juga muncul. Padahal hanya dengan mengolah kekayaan alam dengan tangan kita sendiri, kita bisa menjadi mandiri, kaya dan sejahtera sebagai sebuah bangsa.
Kini bangsa Indonesia dibingungkan oleh dua impian bersama. Yakni mencari sosok pemimpin yang bisa membawa bangsanya keluar dari masalah yang sedang kita hadapi, dan sekaligus bekerja untuk meraih kekayaan dan kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia.
Agaknya dua impian itu bisa dimulai dari renungan akan modal kita sendiri. Yakni kekayaan alam kita dan sumber daya manusia kita. Pada elit atau manusia terdidik Indonesia di mana pun mereka berada, yang memimpin dan terutama yang ingin menjadi pemimpin, bisa kita alamatkan beban itu. Yakni sejauh mana kesungguhan mereka mau memasuki alam pikiran untuk mengajak bangsanya mengolah kekayaan alamnya, dengan menciptakan sekolah dan cara hidup yang berorientasi pada pengelolaan akan kekayaan alam.
Kesungguhan itu akan terlihat dari pikiran, apakah ada kemauan yang bisa kita amati bersama untuk mewacanakan transformasi dari sekolah-sekolah kita saat ini dan cara hidup kita saat ini, ke dalam suatu proporsi pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengelola alam, dengan mempertimbangkan luas dan daerah dan besarnya jumlah penduduk. Sebuah transformasi yang akan berimplikasi kepada seluruh tatanan kehidupan, baik dari sudut tujuan pendidikan, regulasi, alokasi progam APBN, koordinasi antar departemen, sosialisasi serta mobilisasi masyarakat, yang akan membawa bangsa Indonesia bertumbuh ke arah baru yang paling realistis dan berdaya tahan untuk masa depan.
Bila hanya wacana demokrasi dan perubahan yang abstrak, sambil mengusungnya ke dalam pertemuan massal yang bergerak dari suatu daerah ke daerah yang lain, agaknya impian kita terhadap pemimpin dan kepemimpinan yang bisa membawa perubahan ke arah kekayaan dan kesejahteraan bagi bangsanya melalui kekayaan alamnya sendiri, masih harus kita tunda dulu. Sampai datang tokoh dan pengikut-pengikutny a yang mampu melejit dari cara berpikir dan bertindak yang diperagakan oleh elit politik Indonesia yang telah membuat kita terpuruk seperti saat ini.
Jakarta, 4 april 2008
Sastra Tanpa Ideologi Menelanjangi Perselingkuhan Sastra dan Budaya
Mashuri
Pernyataan “Sastra Tanpa Ideologi; Menelanjangi Perselingkuhan Sastra dan Budaya” menyimpan dua hal yang perlu diungkai. Pertama, ‘Sastra Tanpa Ideologi’, yang menyaran pada satu justifikasi bahwa ada sastra berideologi, yang tentu saja bersifat ideologis, sehingga ‘perlu dirumuskan’ sastra tanpa ideologi. Dalam satu sisi, ideologi sebagai sebuah disiplin memang telah merambah berbagai segi kehidupan dan sudah jauh berkembang, juga menyusut, dari penggagas awalnya Destutt de Tracy. Di sisi lain, sastra tanpa ideologi memberikan begitu banyak kemungkinan ancangan gagasan yang bisa menempatkan sastra sebagai sebuah produk kemanusiaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanitas.
Kedua, ‘Menelanjangi Perselingkuhan Sastra dan Budaya’, yang memiliki konotasi bahwa hubungan sastra dan budaya haruslah tak berhubungan dan tak saling terkait. Ini tentu memberikan satu pertanyaan tersendiri perihal sastra yang dianggap sebagai anak kandung kebudayaan. Pun seakan menangkal alam tradisi kita yang selalu melekatkan sastra pada tradisi. Sebab dalam sejarahnya, sastra dan budaya adalah dua hal yang saling bersirapat dan bersikarib dengan mesra, meskipun sastra dipandang sebagai ‘alat’ semata dan bukan sebuah dunia tersendiri yang terpisah dari alam budayanya.
Ada beberapa persoalan yang muncul seiring ancangan kedua tema tersebut. Kiranya perlu dipertanyakan: adakah gagasan yang ingin dijabarkan itu sebagai sebuah ruh modern dengan berusaha memisah sastra dari budaya dan menjadikan sastra sebagai sebuah dunia otonom, meskipun kita tahu, Modern ‘dibaca kembali’, juga keotonomian sastra ‘dikaji’ lagi seiring dengan politik identitas yang ditabalkan dalam arus global dan adanya kenyataan ‘patung modern’ keropos; dan masih banyak lagi.
Tarik Ulur Sastra dan Budaya
Sejarah sastra Indonesia adalah sejarah yang tidak bersih. Di antara puncak-puncak terjadinya kooptasi sastra dan seni itu adalah ketika kubu Manifes Kebudyaan (Manikebu) dan Lembaga Kebudyaan Rakyat (Lekra) terlibat polemik yang tidak hanya menyangkut perihal sastra ‘an sich’, tapi juga ideologi dan gerakan politik yang mendasarinya. Manikebu dengan dasar seni untuk seni, sedangkan Lekra dengan seni untuk masyarakat. Kubu Manikebu dengan dasar humanisme universal dan Lekra menggunakan aliran realisme sosial sebagai dasar kreasinya, meski ketika ditilik lebih jauh, bukan realisme sosial sebagaimana yang digagas oleh Maxim Gorki yang sering dijadikan rujukan bagi sastrawan Lekra.
Pada perkembangannya, sastra Indonesia modern yang dianggap mapan juga tidak steril dari ideologi. Katakanlah, apa yang telah digagas oleh HB Jassin, sebagai sebuah upaya untuk membalut sastra dalam sebuah dominasi ideologi tertentu. Lewat karya-karyanya yang sejalan dengan arus politik di Tanah Air, semisal Angkatan 45, Angkatan 66 dan beberapa karya lain, maka HB Jassin mendesakkan satu ideologi pula, yakni nasionalisme. Meski demikian, bukan berarti apa yang telah dirintis oleh Jassin tanpa menyumbangkan apa-apa dalam sejarah sastra kita, setidaknya Jassin telah menyentuh sastra dengan nilai-nilai manusiawi yang kental, juga dengan pendekatan empati yang tinggi. Di sisi lain, Ariel Heryanto dalam sebuah kajiannya menyebut adanya sastra mapan dan sub ordinat pada masa Orde Baru, dengan paradigma politik sastra yang menjadi latarnya.
Untuk masa sekarang, dengan maraknya wacana pluralisme juga bangkitnya kesadaran baru tentang identitas, bermunculan sastra yang memberi ruang ekspresi pada suara-suara yang selama ini ‘terbungkam’ dan ‘terpinggirkan’. Bisa dilihat pertumbuhan yang signifikan sastra yang berbasis etnis, sastra agamawi, sastra seksis, sastra kanan, sastra kiri, sastra berbasis gender dan label-label sastra lain, serta proyek ‘politik identitas’ lainnya, yang tentu saja, sangat sulit memandang sastra sebagai sebuah bangun yang steril dari kepentingan-kepentingan di luar sastra.
Dari sana, kita tahu bahwa realitas sejarah sastra kita adalah tarik ulur antara sastra sebagai bangun otonom dengan masyarakat dan kulturnya. Apalagi Teeuw pernah memberikan pernyataan bahwa sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Artinya, sastra selalu memilihi hubungan dengan budaya yang melahirkannya, baik itu langsung dan tak langsung. Pun ketika membaca karya sastra, seorang pembaca haruslah seorang yang menguasai sistem bahasa, sistem sastra dan sistem budaya karya/pengarang yang bersangkutan. Dari dua hal itu pun kita tahu, sastra masih ‘menyusu’ dan terkait pada budaya yang melahirkannya. Ternyata, hal itu tidak hanya berlaku dalam sastra kita saja.
Dalam sastra Barat, hal itu pun berlaku untuk beberapa karya, di antaranya adalah novel ‘Animal Farm’, karya George Orwell (1903-1950). Banyak pengkaji dan ahli sastra di Barat yang menjelaskan, bahwa karya itu merupakan simbolisme terhadap kehidupan politik di Eropa saat itu; sebuah fabel politik yang sarkastik. Kisah-kisah hewan itu merupakan personifikasi dari tokoh-tokoh barat dengan segala kebangkrutan moral dan etika mereka. Bisa dikatakan, fiksi merupakan modus penyiasatan untuk menghadapi realitas.
Jika kita merujuk lebih ke belakang, sebenarnya, konsepsi realitas dalam sastra (juga seni) mengalami tarik ulur sejak zaman Yunani Kuno. Plato dan Aristoteles sudah memperdebatkannya, terutama yang mengerucut pada konsep idea (Plato) dan creatio (Aristoteles). Pun demikian dalam tradisi sastra modern berkembang aliran sastra realisme, yang dalam tradisi sastra Perancis diwaliki oleh novel ‘Madame Bovary’, karya Gustave Flaubert (1821-1880). Detail yang diangkat dalam novel itu sangat realis. Hal yang sama juga terdapat dalam novel sesudah itu yaitu ‘Germinal’, karya Emile Zola (1840-1902). Bahkan realitas dalam karya sastra itu dianggap berparalel dengan realitas masyarakat saat itu. Dengan kata lain, karya-karya itu dianggap mampu mewakili zetgeist dan geliat zamannya.
Meski demikian, hubungan sastra dan realitas bukanlah hubungan yang mutlak. Hubungan sastra dengan masyarakat/realitas adalah hubungan yang tak stabil, terjadi tarik ulur yang tak kunjung habis. Apalagi dalam disiplin ilmu sastra hubungan antara sastra dan realitas hanya menempati satu cara pandang terhadap sastra, yakni mimesis, dan di luar itu, masih banyak cara pandang lainnya. Apalagi dalam disiplin sastra sendiri berkembang berbagai aliran yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur seberapa fasih imajinasi bisa membahasakan dunia ---dalam hal ini bisa berlaku rekonstruksi, dekonstruksi, mimesis, dan lain sebagainya. Ada realisme, simbolisme, naturalisme, surrealisme, absurdisme, yang masing-masing memiliki bentuk dan gaya tersendiri, juga cara pandang terhadap dunia. Meski demikian koridor yang harus tetap dipegang adalah sastra tetaplah berada pada wilayah fiksi. Dengan kata lain, sastra adalah dunia fiksi, meski kini pun mulai ada peleburan antara fakta-fiksi, juga fiksi dan sejarah. Jika ada yang menariknya ke wilayah lain, sekiranya tanpa menciderai sastra, pun tak masalah.
Kembali pada sejarah sastra Indonesia. Kiranya, selama ini, sastra Indonesia hadir dalam berbagai bingkai, ada yang hadir dengan ideologi, ada pula pula yang tanpa ideologi. Tapi cukup sulit menemukan sastra Indonesia tanpa mengindahkan latar kultur dan latar sosialnya. Pada beberapa sastra daerah yang biasa disebut sebagai sastra tradisional (?), sastra selalu melekat pada kebudayaan masing-masing daerah, dan membawa amanat. Sastra seakan tidak bisa dilepaskan dari perangkat kebudayaan yang melahirkannya. Kasus KRT Ronggowarsito dengan raja Jawa bisa dijadikan bukti. Pun nasib Syekh Hamzah Fansuri di Aceh bisa membuktikan itu. Keduanya mewakili kesusastraan lama kita. Belum lagi jika kita menilik sastra lisan kita yang memang memiliki kesenyawaan dengan bentuk kesenian lainnya dan menjadi penopang bangun kebudayaan yang ada. Pun ketika Indonesia berdiri, maka sastra pun menjadi bagian dari keindonesiaan. Pertautannya pun tidak hanya pada wilayah simbolis semata, tetapi juga bisa keluar dari kerangka karya itu. Untuk sastra Indonesia, maka ancangan pada nilai-nilai nasionalisme pun melekat pada karya sastra, sastra juga dianggap sebagai sebuah ‘shoft power’ yang turut membangun jiwa bangsa.
Namun demikian, sastra sebagai sebuah wilayah otonom juga pernah dijadikan satu pijakan yang menarik dan gagasan ke arah itu pernah dijadikan model pendidikan sastra kita, terutama di perguruan tinggi. Dengan kata lain, gagasan otonomi sastra merupakan gagasan brilian karena sastra menjadi sebuah disiplin tersendiri. Namun, apa yang digagas para ahli sastra dengan paradigma strukturalisme itu kadang hanya terdapat pada wilayah kajian. Perangkat teoritiknya juga ada, mulai dari formalisme Rusia, strukturalisme Perancis, naratologi dan lainnya. Sampai-sampai memunculkan satu ancangan ‘Pengarang Sudah Mati’. Namun kerapkali perangkat teoritik itu dianggap tidak mencukupi untuk menjelaskan berbagai hal dan kompleksitas masalah, sehingga banyak direduksi pada wilayah lain, serta meletakkan sastra pada bingkai kebudayaan yang lebih luas, sebagaimana munculnya gagasan tentang orentalisme, kritik sastra Marxis, cultur studies dan lainnya. Dengan demikian, maka campur tangan sesuatu di luar sastra pun tak terhindarkan. Apalagi ternyata ‘arus dunia’ ---termasuk materialisme, kapitalisme, dan industri budaya, memang selalu meletakkan ‘beban’ di pundak sastra, sehingga sastra tidak bisa mandiri sebagai sebuah dunia.
Semacam ‘Muara’
Pada kenyataannya, ‘selingkuh itu indah’ memang mengejawantah dalam hubungan sastra dan budaya, jika hubungan di antara keduanya memang dianggap sebagai ‘selingkuh’. Buktinya, semakin maraknya ragam ekspresi sastra di Indonesia yang bisa dimaknai sebagai sebuah politik identitas memang memposisikan sastra sebagai ruang ekspresi dan hasrat dalam pendakuan diri, perihal ‘kelas’ dan jati diri.
Para sastrawan perempuan kita yang sering menulis dunia perempuan dengan cita rasa metropolis dan seksis ---dan kerap menggambarkan perempuan sebagai ‘sontoloyo’ bisa pula dimaknai sebagai hal itu, seperti karya Ayu Utami, Djenar Mesa Ayu dan lain-lainnya. Meski demikian di luar itu, ada pula sastrawan perempuan yang sadar diri dan berwawasan gender menulis perempuan dengan semangat kesetaraan gender yang bergelora, semisal dalam ‘Geni Jora’ karya Abidah El Khalieqy.
Dari gambaran tersebut, maka sastra tanpa ideologi, mandiri dan otonom dalam dunianya sendiri menjadi sebuah angan-angan yang cukup mewah untuk arus dunia saat ini, meski itu bukanlah hal yang mustahil. Hanya saja, posisinya kini pun harus berjajar, bahkan bersaing, dengan berbagai mode ekspresi lainnya yang juga marak dan menghuni ruang baca kita. Keberadaannya bisa menjadi satu tawaran yang memungkinkan sastra bisa sebagai ‘pembanding’ dan penyeimbang, terhadap budaya massa bahkan budaya populer yang sungguh sangat meresahkan hati. Meski kita pun harus sadar diri, bahwa sastra bukanlah dunia sempurna dan menawarkan segalanya. Konsep ideal yang ditawarkan adalah konsep ‘menuju sempurna’, sehingga ‘proses’ menjadi kendaraannya.
Harus pula diakui, bahasa yang menjadi sarana sastra, tentu tak bisa memindahkan dunia ---baik fakta maupun fiksi—seutuhnya. Bahasa tidaklah bisa mewakili apa yang hendak diutarakan dengan segala kepenuhannya. Bukan hanya reduksi yang terjadi, tetapi juga salah tafsir dan sebagainya. Jika diibaratkan dengan orang yang menunjuk matahari, maka bahasa hanyalah yang menunjuk. Tentu penunjuk itu berbeda dengan mataharinya. Namun, yang terjadi salah kaprah, bahwa penunjuk itu dianggap sudah mewakili rembulan. Dalam konsep ini, apa yang digagas oleh Jacques Derrida perihal hubungan antara penanda dan petanda mendapatkan porsinya yang tepat dengan mengedepankan adanya keberjarakan, jejak, dan radikalisasi konsep arbitrer antara bahasa dan acuannya.
Ada dua fakta terkait dengan keterbatasan bahasa dalam mengkonstruksi dunia. Pertama, adanya bahasa universal yang tidak terkotak pada bahasa-bahasa manusia berdasarkan ras, negara dan lainnya. Bisa dilihat pada novel ‘The Alkemis’ karya Paulo Coelho dan ‘Leo The African’ karya Amin Maalouf. Kedua, ada sesuatu yang tidak bisa terbahasakan dengan bahasa-bahasa manusia. Ketakberhinggaan dan ketidakmampuan manusia membahasakannya. Hal ini meliputi masalah membahasakan Tuhan: logos yang tentu saja akan mengalami kesulitan untuk menembus theos.
Dengan melihat berbagai hal itu, maka dalam memahami sastra pun harus berlandas pada khittah sastra sebagai dunia mungkin, dunia yang bisa jadi tanpa solusi, tanpa kemutlakan dan menggugah, juga kompleks. Siapapun bisa memahami sastra sebagai sebuah teks, yang tentu mengandung sesuatu yang diandaikan obyektif. Ruang penciptaan yang menjadi basis bisa menjadi tumpuan terkait dengan sastra yang lepas dari idelogi atau sastra ideologis. Sastra juga tergantung pembaca. Dengan horison harapan pembaca, serta latar belakangnya, maka pembaca bisa menarik ke manapun sastra. Ia bisa menambah dan mengurangi nilai yang terkandung dalam karya sastra, sesuai dengan potensi dirinya.
Dalam kaitan ini, memahami sastrawan dari berbagai dimensi adalah sesuatu yang juga paling mungkin. Selain menulis karya-karya yang merespon dan tergugah oleh realitas yang terjadi, sastrawan juga membuat karya yang brillian yang menyangkut dunia sastra sendiri. Sebagaimana Chairil Anwar yang dianggap sebagai penyair yang bisa menerjemahkan gagasan modern yang diancangkan oleh Surat Kepercayaan Gelanggang dalam karyanya dan dianggap melakukan pembaharuan terhadap sastra Indonesia pada masa Pujangga Baru, juga pembaharuan bahasa Indonesia. Pun Sutarji Calzoum Bachri dianggap mampu melengkapi mata perpuisian Indonesia. Jika Chairil dianggap mata kanan, maka ia pun mata kirinya, yang ternyata mengambil basis lokal, dengan warna kultur Melayu, terutama mantra, sebagai penegas identitas perpuisiannya yang juga mampu melakukan pembaharuan terhadap corak perpuisian di Indonesia.
Selain itu, dalam sejarah sastra kita terbukti beberapa karya yang ditulis ‘demi sastra’ memang memiliki dimensi yang menarik dan berkualitas. Dalam prosa karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Budi Darma dan lainnya. Pun pada puisi, seperti puisi Sapardi Djoko Damono, Afrizal Malna, Goenawan Muhammad, Subagio Sastrowardoyo, Acep Zamzam Noer, D Zawawi Imron, Linus Suryadi Ag, Kriapur, Franz Nadjira, Herry Lamongan dan lain-lainnya. Karya-karya itu menyimpan jejak pengetahuan yang sublim, yang meski tanpa berpretensi apapun, termasuk ideologi, telah memberikan begitu banyak arti bagi manusia dan kehidupan. Hal itu karena banyak sastrawan yang tak bisa melepas ideologinya dalam berkarya, di antara yang paling kental adalah ‘ideologi’ kemanusiaan.
Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq! (*)
Pernyataan “Sastra Tanpa Ideologi; Menelanjangi Perselingkuhan Sastra dan Budaya” menyimpan dua hal yang perlu diungkai. Pertama, ‘Sastra Tanpa Ideologi’, yang menyaran pada satu justifikasi bahwa ada sastra berideologi, yang tentu saja bersifat ideologis, sehingga ‘perlu dirumuskan’ sastra tanpa ideologi. Dalam satu sisi, ideologi sebagai sebuah disiplin memang telah merambah berbagai segi kehidupan dan sudah jauh berkembang, juga menyusut, dari penggagas awalnya Destutt de Tracy. Di sisi lain, sastra tanpa ideologi memberikan begitu banyak kemungkinan ancangan gagasan yang bisa menempatkan sastra sebagai sebuah produk kemanusiaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanitas.
Kedua, ‘Menelanjangi Perselingkuhan Sastra dan Budaya’, yang memiliki konotasi bahwa hubungan sastra dan budaya haruslah tak berhubungan dan tak saling terkait. Ini tentu memberikan satu pertanyaan tersendiri perihal sastra yang dianggap sebagai anak kandung kebudayaan. Pun seakan menangkal alam tradisi kita yang selalu melekatkan sastra pada tradisi. Sebab dalam sejarahnya, sastra dan budaya adalah dua hal yang saling bersirapat dan bersikarib dengan mesra, meskipun sastra dipandang sebagai ‘alat’ semata dan bukan sebuah dunia tersendiri yang terpisah dari alam budayanya.
Ada beberapa persoalan yang muncul seiring ancangan kedua tema tersebut. Kiranya perlu dipertanyakan: adakah gagasan yang ingin dijabarkan itu sebagai sebuah ruh modern dengan berusaha memisah sastra dari budaya dan menjadikan sastra sebagai sebuah dunia otonom, meskipun kita tahu, Modern ‘dibaca kembali’, juga keotonomian sastra ‘dikaji’ lagi seiring dengan politik identitas yang ditabalkan dalam arus global dan adanya kenyataan ‘patung modern’ keropos; dan masih banyak lagi.
Tarik Ulur Sastra dan Budaya
Sejarah sastra Indonesia adalah sejarah yang tidak bersih. Di antara puncak-puncak terjadinya kooptasi sastra dan seni itu adalah ketika kubu Manifes Kebudyaan (Manikebu) dan Lembaga Kebudyaan Rakyat (Lekra) terlibat polemik yang tidak hanya menyangkut perihal sastra ‘an sich’, tapi juga ideologi dan gerakan politik yang mendasarinya. Manikebu dengan dasar seni untuk seni, sedangkan Lekra dengan seni untuk masyarakat. Kubu Manikebu dengan dasar humanisme universal dan Lekra menggunakan aliran realisme sosial sebagai dasar kreasinya, meski ketika ditilik lebih jauh, bukan realisme sosial sebagaimana yang digagas oleh Maxim Gorki yang sering dijadikan rujukan bagi sastrawan Lekra.
Pada perkembangannya, sastra Indonesia modern yang dianggap mapan juga tidak steril dari ideologi. Katakanlah, apa yang telah digagas oleh HB Jassin, sebagai sebuah upaya untuk membalut sastra dalam sebuah dominasi ideologi tertentu. Lewat karya-karyanya yang sejalan dengan arus politik di Tanah Air, semisal Angkatan 45, Angkatan 66 dan beberapa karya lain, maka HB Jassin mendesakkan satu ideologi pula, yakni nasionalisme. Meski demikian, bukan berarti apa yang telah dirintis oleh Jassin tanpa menyumbangkan apa-apa dalam sejarah sastra kita, setidaknya Jassin telah menyentuh sastra dengan nilai-nilai manusiawi yang kental, juga dengan pendekatan empati yang tinggi. Di sisi lain, Ariel Heryanto dalam sebuah kajiannya menyebut adanya sastra mapan dan sub ordinat pada masa Orde Baru, dengan paradigma politik sastra yang menjadi latarnya.
Untuk masa sekarang, dengan maraknya wacana pluralisme juga bangkitnya kesadaran baru tentang identitas, bermunculan sastra yang memberi ruang ekspresi pada suara-suara yang selama ini ‘terbungkam’ dan ‘terpinggirkan’. Bisa dilihat pertumbuhan yang signifikan sastra yang berbasis etnis, sastra agamawi, sastra seksis, sastra kanan, sastra kiri, sastra berbasis gender dan label-label sastra lain, serta proyek ‘politik identitas’ lainnya, yang tentu saja, sangat sulit memandang sastra sebagai sebuah bangun yang steril dari kepentingan-kepentingan di luar sastra.
Dari sana, kita tahu bahwa realitas sejarah sastra kita adalah tarik ulur antara sastra sebagai bangun otonom dengan masyarakat dan kulturnya. Apalagi Teeuw pernah memberikan pernyataan bahwa sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Artinya, sastra selalu memilihi hubungan dengan budaya yang melahirkannya, baik itu langsung dan tak langsung. Pun ketika membaca karya sastra, seorang pembaca haruslah seorang yang menguasai sistem bahasa, sistem sastra dan sistem budaya karya/pengarang yang bersangkutan. Dari dua hal itu pun kita tahu, sastra masih ‘menyusu’ dan terkait pada budaya yang melahirkannya. Ternyata, hal itu tidak hanya berlaku dalam sastra kita saja.
Dalam sastra Barat, hal itu pun berlaku untuk beberapa karya, di antaranya adalah novel ‘Animal Farm’, karya George Orwell (1903-1950). Banyak pengkaji dan ahli sastra di Barat yang menjelaskan, bahwa karya itu merupakan simbolisme terhadap kehidupan politik di Eropa saat itu; sebuah fabel politik yang sarkastik. Kisah-kisah hewan itu merupakan personifikasi dari tokoh-tokoh barat dengan segala kebangkrutan moral dan etika mereka. Bisa dikatakan, fiksi merupakan modus penyiasatan untuk menghadapi realitas.
Jika kita merujuk lebih ke belakang, sebenarnya, konsepsi realitas dalam sastra (juga seni) mengalami tarik ulur sejak zaman Yunani Kuno. Plato dan Aristoteles sudah memperdebatkannya, terutama yang mengerucut pada konsep idea (Plato) dan creatio (Aristoteles). Pun demikian dalam tradisi sastra modern berkembang aliran sastra realisme, yang dalam tradisi sastra Perancis diwaliki oleh novel ‘Madame Bovary’, karya Gustave Flaubert (1821-1880). Detail yang diangkat dalam novel itu sangat realis. Hal yang sama juga terdapat dalam novel sesudah itu yaitu ‘Germinal’, karya Emile Zola (1840-1902). Bahkan realitas dalam karya sastra itu dianggap berparalel dengan realitas masyarakat saat itu. Dengan kata lain, karya-karya itu dianggap mampu mewakili zetgeist dan geliat zamannya.
Meski demikian, hubungan sastra dan realitas bukanlah hubungan yang mutlak. Hubungan sastra dengan masyarakat/realitas adalah hubungan yang tak stabil, terjadi tarik ulur yang tak kunjung habis. Apalagi dalam disiplin ilmu sastra hubungan antara sastra dan realitas hanya menempati satu cara pandang terhadap sastra, yakni mimesis, dan di luar itu, masih banyak cara pandang lainnya. Apalagi dalam disiplin sastra sendiri berkembang berbagai aliran yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur seberapa fasih imajinasi bisa membahasakan dunia ---dalam hal ini bisa berlaku rekonstruksi, dekonstruksi, mimesis, dan lain sebagainya. Ada realisme, simbolisme, naturalisme, surrealisme, absurdisme, yang masing-masing memiliki bentuk dan gaya tersendiri, juga cara pandang terhadap dunia. Meski demikian koridor yang harus tetap dipegang adalah sastra tetaplah berada pada wilayah fiksi. Dengan kata lain, sastra adalah dunia fiksi, meski kini pun mulai ada peleburan antara fakta-fiksi, juga fiksi dan sejarah. Jika ada yang menariknya ke wilayah lain, sekiranya tanpa menciderai sastra, pun tak masalah.
Kembali pada sejarah sastra Indonesia. Kiranya, selama ini, sastra Indonesia hadir dalam berbagai bingkai, ada yang hadir dengan ideologi, ada pula pula yang tanpa ideologi. Tapi cukup sulit menemukan sastra Indonesia tanpa mengindahkan latar kultur dan latar sosialnya. Pada beberapa sastra daerah yang biasa disebut sebagai sastra tradisional (?), sastra selalu melekat pada kebudayaan masing-masing daerah, dan membawa amanat. Sastra seakan tidak bisa dilepaskan dari perangkat kebudayaan yang melahirkannya. Kasus KRT Ronggowarsito dengan raja Jawa bisa dijadikan bukti. Pun nasib Syekh Hamzah Fansuri di Aceh bisa membuktikan itu. Keduanya mewakili kesusastraan lama kita. Belum lagi jika kita menilik sastra lisan kita yang memang memiliki kesenyawaan dengan bentuk kesenian lainnya dan menjadi penopang bangun kebudayaan yang ada. Pun ketika Indonesia berdiri, maka sastra pun menjadi bagian dari keindonesiaan. Pertautannya pun tidak hanya pada wilayah simbolis semata, tetapi juga bisa keluar dari kerangka karya itu. Untuk sastra Indonesia, maka ancangan pada nilai-nilai nasionalisme pun melekat pada karya sastra, sastra juga dianggap sebagai sebuah ‘shoft power’ yang turut membangun jiwa bangsa.
Namun demikian, sastra sebagai sebuah wilayah otonom juga pernah dijadikan satu pijakan yang menarik dan gagasan ke arah itu pernah dijadikan model pendidikan sastra kita, terutama di perguruan tinggi. Dengan kata lain, gagasan otonomi sastra merupakan gagasan brilian karena sastra menjadi sebuah disiplin tersendiri. Namun, apa yang digagas para ahli sastra dengan paradigma strukturalisme itu kadang hanya terdapat pada wilayah kajian. Perangkat teoritiknya juga ada, mulai dari formalisme Rusia, strukturalisme Perancis, naratologi dan lainnya. Sampai-sampai memunculkan satu ancangan ‘Pengarang Sudah Mati’. Namun kerapkali perangkat teoritik itu dianggap tidak mencukupi untuk menjelaskan berbagai hal dan kompleksitas masalah, sehingga banyak direduksi pada wilayah lain, serta meletakkan sastra pada bingkai kebudayaan yang lebih luas, sebagaimana munculnya gagasan tentang orentalisme, kritik sastra Marxis, cultur studies dan lainnya. Dengan demikian, maka campur tangan sesuatu di luar sastra pun tak terhindarkan. Apalagi ternyata ‘arus dunia’ ---termasuk materialisme, kapitalisme, dan industri budaya, memang selalu meletakkan ‘beban’ di pundak sastra, sehingga sastra tidak bisa mandiri sebagai sebuah dunia.
Semacam ‘Muara’
Pada kenyataannya, ‘selingkuh itu indah’ memang mengejawantah dalam hubungan sastra dan budaya, jika hubungan di antara keduanya memang dianggap sebagai ‘selingkuh’. Buktinya, semakin maraknya ragam ekspresi sastra di Indonesia yang bisa dimaknai sebagai sebuah politik identitas memang memposisikan sastra sebagai ruang ekspresi dan hasrat dalam pendakuan diri, perihal ‘kelas’ dan jati diri.
Para sastrawan perempuan kita yang sering menulis dunia perempuan dengan cita rasa metropolis dan seksis ---dan kerap menggambarkan perempuan sebagai ‘sontoloyo’ bisa pula dimaknai sebagai hal itu, seperti karya Ayu Utami, Djenar Mesa Ayu dan lain-lainnya. Meski demikian di luar itu, ada pula sastrawan perempuan yang sadar diri dan berwawasan gender menulis perempuan dengan semangat kesetaraan gender yang bergelora, semisal dalam ‘Geni Jora’ karya Abidah El Khalieqy.
Dari gambaran tersebut, maka sastra tanpa ideologi, mandiri dan otonom dalam dunianya sendiri menjadi sebuah angan-angan yang cukup mewah untuk arus dunia saat ini, meski itu bukanlah hal yang mustahil. Hanya saja, posisinya kini pun harus berjajar, bahkan bersaing, dengan berbagai mode ekspresi lainnya yang juga marak dan menghuni ruang baca kita. Keberadaannya bisa menjadi satu tawaran yang memungkinkan sastra bisa sebagai ‘pembanding’ dan penyeimbang, terhadap budaya massa bahkan budaya populer yang sungguh sangat meresahkan hati. Meski kita pun harus sadar diri, bahwa sastra bukanlah dunia sempurna dan menawarkan segalanya. Konsep ideal yang ditawarkan adalah konsep ‘menuju sempurna’, sehingga ‘proses’ menjadi kendaraannya.
Harus pula diakui, bahasa yang menjadi sarana sastra, tentu tak bisa memindahkan dunia ---baik fakta maupun fiksi—seutuhnya. Bahasa tidaklah bisa mewakili apa yang hendak diutarakan dengan segala kepenuhannya. Bukan hanya reduksi yang terjadi, tetapi juga salah tafsir dan sebagainya. Jika diibaratkan dengan orang yang menunjuk matahari, maka bahasa hanyalah yang menunjuk. Tentu penunjuk itu berbeda dengan mataharinya. Namun, yang terjadi salah kaprah, bahwa penunjuk itu dianggap sudah mewakili rembulan. Dalam konsep ini, apa yang digagas oleh Jacques Derrida perihal hubungan antara penanda dan petanda mendapatkan porsinya yang tepat dengan mengedepankan adanya keberjarakan, jejak, dan radikalisasi konsep arbitrer antara bahasa dan acuannya.
Ada dua fakta terkait dengan keterbatasan bahasa dalam mengkonstruksi dunia. Pertama, adanya bahasa universal yang tidak terkotak pada bahasa-bahasa manusia berdasarkan ras, negara dan lainnya. Bisa dilihat pada novel ‘The Alkemis’ karya Paulo Coelho dan ‘Leo The African’ karya Amin Maalouf. Kedua, ada sesuatu yang tidak bisa terbahasakan dengan bahasa-bahasa manusia. Ketakberhinggaan dan ketidakmampuan manusia membahasakannya. Hal ini meliputi masalah membahasakan Tuhan: logos yang tentu saja akan mengalami kesulitan untuk menembus theos.
Dengan melihat berbagai hal itu, maka dalam memahami sastra pun harus berlandas pada khittah sastra sebagai dunia mungkin, dunia yang bisa jadi tanpa solusi, tanpa kemutlakan dan menggugah, juga kompleks. Siapapun bisa memahami sastra sebagai sebuah teks, yang tentu mengandung sesuatu yang diandaikan obyektif. Ruang penciptaan yang menjadi basis bisa menjadi tumpuan terkait dengan sastra yang lepas dari idelogi atau sastra ideologis. Sastra juga tergantung pembaca. Dengan horison harapan pembaca, serta latar belakangnya, maka pembaca bisa menarik ke manapun sastra. Ia bisa menambah dan mengurangi nilai yang terkandung dalam karya sastra, sesuai dengan potensi dirinya.
Dalam kaitan ini, memahami sastrawan dari berbagai dimensi adalah sesuatu yang juga paling mungkin. Selain menulis karya-karya yang merespon dan tergugah oleh realitas yang terjadi, sastrawan juga membuat karya yang brillian yang menyangkut dunia sastra sendiri. Sebagaimana Chairil Anwar yang dianggap sebagai penyair yang bisa menerjemahkan gagasan modern yang diancangkan oleh Surat Kepercayaan Gelanggang dalam karyanya dan dianggap melakukan pembaharuan terhadap sastra Indonesia pada masa Pujangga Baru, juga pembaharuan bahasa Indonesia. Pun Sutarji Calzoum Bachri dianggap mampu melengkapi mata perpuisian Indonesia. Jika Chairil dianggap mata kanan, maka ia pun mata kirinya, yang ternyata mengambil basis lokal, dengan warna kultur Melayu, terutama mantra, sebagai penegas identitas perpuisiannya yang juga mampu melakukan pembaharuan terhadap corak perpuisian di Indonesia.
Selain itu, dalam sejarah sastra kita terbukti beberapa karya yang ditulis ‘demi sastra’ memang memiliki dimensi yang menarik dan berkualitas. Dalam prosa karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Budi Darma dan lainnya. Pun pada puisi, seperti puisi Sapardi Djoko Damono, Afrizal Malna, Goenawan Muhammad, Subagio Sastrowardoyo, Acep Zamzam Noer, D Zawawi Imron, Linus Suryadi Ag, Kriapur, Franz Nadjira, Herry Lamongan dan lain-lainnya. Karya-karya itu menyimpan jejak pengetahuan yang sublim, yang meski tanpa berpretensi apapun, termasuk ideologi, telah memberikan begitu banyak arti bagi manusia dan kehidupan. Hal itu karena banyak sastrawan yang tak bisa melepas ideologinya dalam berkarya, di antara yang paling kental adalah ‘ideologi’ kemanusiaan.
Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq! (*)
GERAKAN BARU SASTRA LAMONGAN:
Catatan Singkat atas Forum Sastra Lamongan (FSL)
Haris del Hakim
Tulisan ini tidak hendak merekonstruksi sebuah gerakan secara komprehensif, namun sekadar mengambil salah satu sebuah gerakan halus yang terjadi secara simultan dan dapat disebut sebagai fenomena yang luar biasa. Selain dari itu, tulisan ini tidak menjamah ranah analisa karya yang memerlukan waktu yang panjang dan kajian lebih intens, tapi sekadar ulasan beberapa hal yang dapat dianggap penting.
Keberadaan sastra Lamongan patut mendapatkan perhatian. Sastrawan yang lahir dari Lamongan ikut mewarnai peta sastra Indonesia, sebut saja nama Satyagraha Hoerip, Djamil Suherman, Abdul Wachid BS, Viddy, Aguk Irawan MN, Mashuri, dll. Di samping itu di Lamongan sendiri sebenarnya nafas sastra telah mengakar kuat, sebagaimana yang pernah disaksikan sendiri oleh Emha Ainun Nadjib pada tahun 80-an. Geliatnya semakin kentara dengan kehadiran Harry Lamongan yang sebenarnya lahir di Bondowoso namun berdomisili di Lamongan.
Selama bertahun-tahun Harry Lamongan seperti penjaga gawang sastra. Berbicara tentang sastra di Lamongan, maka referensi utamanya adalah Herry Lamongan. Tentu saja dia tidak sendirian. Dalam Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) banyak tergabung pegiat-pegiat sastra. Mereka melakukan pergulatan sastra yang diadakan melalui apresiasi bulanan dalam wahana Candrakirana. Sayangnya, hanya seorang Herry yang muncul dalam media massa meskipun dalam beberapa pertemuan dia selalu menegaskan bahwa eksistensi sebuah karya tidak cukup dalam medan apresiasi lokal yang dihadiri oleh orang-orang yang dikenal. Sebuah karya mesti dilepas keluar agar dia menghirup keluasan cakrawala dan bertahan hidup dalam deru badai dan hantaman persepsi banyak orang.
Sastra pada masa itu, sebagaimana kondisi sastra di tingkat nasional secara umum, bersifat eksklusif. Sastra hanya milik orang-orang yang dianggap dan menganggap dirinya "paham" sastra. Selain mereka hanya bicara tentang kulit. Hal ini tentu tidak mengherankan. Seorang dedengkot sastra pernah menyatakan, selain penyair dilarang bicara tentang puisi. Pernyataan tersebut seakan dogma yang menghegemoni pola pikir semua sastrawan.
Kondisi ini diperkuat dengan kondisi masa Orde Baru dan kuatnya ajaran-ajaran HB Yassin sebagai paus dan penahbis seseorang dapat disebut sastrawan atau tidak. Maka, kelahiran kritikus-kritikus baru di ujung usia Orde Baru seperti angin segar yang membawa rerintik air dan menumbuhkan benih-benih bakat yang tidak tersentuh oleh tangan dingin sang paus sastra tersebut.
Kemudian Orde Baru tumbang dengan lahirnya Reformasi yang membuka katup-katup ruang berekspresi. Media masa semakin banyak dan beragam dengan suara yang teduh hingga sumbang. Sarana-sarana publikasi menjadi terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin memasukinya. Semua itu mendukung munculnya sastrawan-sastrawan muda.
Tidak terkecuali di Lamongan. Beberapa tahun terakhir geliat sastra Lamongan sangat terasa menonjol dibandingkan sebelumnya. Indikasi tersebut tampak pada beberapa fenomena berikut:
Pertama, publikasi karya-karya sastrawan mudanya. Di antara karya-karya tersebut dapat disebutkan; Absurditas Rindu yang diterbitkan secara Indie oleh Sastranesia. Di dalamnya memuat beberapa puisi sastrawan muda baik yang namanya telah terpublikasi di media masa atau tidak. Juga antologi puisi tunggal seperti, Interlude di Remang Malam (puisi AS. Sumbawi), Tamasya Langit (Javed Paul Syatha), Kitab Suci Para Malaikat (Nurel Javissyarqi), Sembah Rindu Sang Kekasih, (Imamudin SA). Ada juga novel Dazedlove karya Rodli TL. dll.
Kedua, berdirinya penerbitan buku-buku sastra. Lamongan memiliki tiga penerbit yang konsentrasi dalam menerbitkan karya sastra: Pustaka Pujangga, Sastranesia, dan Pustaka Ilalang.
Sebenarnya, fenomena tersebut tidak dapat lepas dari keberadaan beberapa orang yang memberikan andil besar dalam perubahan gerakan. Mereka mendirikan Forum Sastra Lamongan. Forum ini terbuka bagi siapa saja yang ingin terlibat, tanpa memandang apakah dia sastrawan atau bukan namun yang penting memiliki rasa simpati terhadap sastra.
Latar belakang kelahiran forum ini lebih bersifat global. Fenomena hegemoni di tingkat media sudah semakin berbahaya. Sebagai contoh, Bajaj Bajuri di Trans TV pada waktu itu dapat dikatakan sebagai sinetron komedi dengan rating pemirsa yang tinggi, terbukti masih terus diputar meskipun diulang-ulang. Begitu pula dengan OB (Office Boy) di RCTI. Kedua sitkom itu bersetting budaya Betawi. Karakter orang Betawi selalu menang sendiri dan tak terkalahkan, berseberangan dengan karakter orang Jawa yang selalu naif (istilah Jawa bagi orang Betawi adalah penduduk Jawa selain mereka). Dalam Bajaj Bajuri ada tokoh Emak Etti yang cerdik dan licik berseberangan dengan Mpok Hindun yang kenes dan endel atau Yusuf bin Sanusi sebagai orang Betawi yang paling naif berhadapan dengan Parti yang suka mengalah dan tak berdaya menghadapinya bahkan mau diperistri. Dalam OB tokoh Saodah yang gembrot dan Ismail yang kaku selalu menang berhadapan dengan Sayuti yang Jawa yang lamban dan tidak cerdas.
Dari latar belakang tersebut kemudian muncul inisiatif untuk melakukan gerilya budaya di tingkat local atau daerah. Budaya-budaya lokal yang selama ini tergerus oleh budaya pembangunanisme Orde Baru coba digali dan dikaji ulang. Meskipun budaya lokal, namun lebih mengedepankan pada keterbukaan, asimilasi, atau akulturasi dengan budaya lain.
Sebagai penjembatan harapan tersebut, Forum Sastra Lamongan (FSL) menerbitkan Jurnal Kebudayaan The Sandour yang mewakili ekspresi sastrawan mapan tingkat nasional. Jurnal ini terbit sekali dalam tiga bulan dengan memuat tulisan berbentuk puisi, esei, artikel, cerpen, atau monolog. Sedangkan bagi kalangan remaja yang berminat terhadap sastra diterbitkan Jurnal Sastra Timur Jauh. Sementara bagi kalangan masyarakat umum diterbitkan majalah Gerbang Massa yang berusia sekali terbit setelah itu tidak ada kabarnya lagi.
Lain dari itu, sebagai bukti penghargaan Forum terhadap generasi muda maka Forum menganugerahkan Van Der Wijk Award untuk remaja-remaja yang berkarya dan berkualitas. Sementara kegiatan instrumen berupa bedah buku atau launching yang diadakan di sekolah-sekolah: Madrasah Aliyah Negeri Lamongan, Madrasah Aliyah Simo Sungelebak, dan Pondok Pesantren Karangasem Paciran. Pada saat itu menghadirkan Raudal Tanjung Banua dan Ida Idris sebagai pembicara.
Selain Forum Sastra Lamongan muncul Sastranesia yang dibidani oleh AS. Sumbawi dkk. Akan tetapi, nama tersebut bermetamorfosa menjadi penerbit buku-buku sastra. Ruang lingkup Sastranesia sendiri hamper dapat dikatakan saling jalin dengan Forum Sastra Lamongan.
Gerakan-gerakan sastra tersebut tidak lepas dari peran para sastrawan mudanya. Beberapa nama yang dapat disebutkan adalah Nurel Javissyarqi, Rodli TL, AS. Sumbawi, Javed Paul Syatha, Imamudin SA, dll.
Nurel Javissyarqi. Sastrawan muda paling produktif ini—saat ini telah menulis 13 buku di samping menulis di berbagai media dan jurnal—lahir di Lamongan. Jiwa susastranya digembleng di Yogyakarta bersama dengan Y. Wibowo, Muhaimin Azzet, dll. dalam bendera KSTI (Komunitas Sastra Tugu Indonesia). Semangatnya yang besar menemukan muara di kampung kelahirannya dan mendirikan penerbit PUstaka puJAngga yang menerbitkan karya-karya sastra, baik sastrawan lokal maupun nasional. Karya terakhirnya adalah Kitab Para Malaikat (PUstaka puJAngga: 2007).
Rodli TL. Dia menemukan jiwa seninya di Jember dan bahkan pernah dipercaya sebagai Ketuanya. Beberapa kali dia menulis naskah sekaligus menyutradarai, di antaranya Adam Hawa. Kesibukannya sangat padat di bidang pendidikan dengan Sanggar Bahasa Kampung yang mendidik anak-anak kecil di desanya untuk memahami bahasa dan sastra. Di samping itu dia seorang dosen Universitas Darul Ulum Lamongan yang dipercaya menjadi pembimbing komunitas STNK (Studi Teater Nafas Kata), salah satu lembaga mahasiswa di bidang kesenian di samping Teater Roda. Pergulatannya dalam sastra dibuktikan dengan terbitnya novel Dazedlove.
AS. Sumbawi. Alumni IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini memulai pergulatannya di bidang sastra ketika bergabung dengan Sanggar Suto dan Sanggar Nuun. Saat ini dia menjadi pengajar sekaligus pemilik penerbitan Sastranesia. Tulisan-tulisannya banyak menghiasi media massa dan tergabung dalam antologi bersama, seperti: Dian Sastro for President: End of Trilogy (Insist: 2005), Malsasa 2005 (FSB: 2006), Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela: 2006), dan Khianat Waktu (DKL: 2006).
Javed Paul Syatha. Dia menggeluti sastra dengan bergumul bersama sastrawan-sastrawan lokal Lamongan. Dia memiliki nama-nama lain, seperti Saiful Anam, Ifoel Moenzoek, dan terakhir Javed Paul Syatha. Sehari-hari sebagai pengajar dan membimbing komunitas AUM. Beberapa karyanya tercatat dalam Malsasa 2005 (FBS: 2005), Khianat Waktu (DKL: 2006), Pelayaran Bunga (DKJT: 2007), dll.
Imamudin SA. Sastrawan muda ini murni berjiwa Lamongan, tidak terbaur dengan dunia luar dan banyak berkarya melalui media lokal. Di antara karyanya termuat dalam Lanskap Telunjuk (DKL: 2004), Khianat Waktu (DKL: 2004), dan beberapa antologi tunggalnya. Saat ini dia menjadi koordinator kajian Candrakirana.
Selain nama-nama tersebut masih banyak lagi sastrawan muda yang memiliki gairah sastra luar biasa: Ariandalu, Heri Listianto, Anis CH, D. Zaini Ahmad, dan masih banyak yang lain dari kalangan generasi muda.
Dari penjelasan singkat di atas ada beberapa nama yang berproses kreatif dengan bersinggungan bersama dunia luar. Mereka menjalin pola relasi dengan sastrawan-sastrawan dari daerah lain atau sastrawan nasional sekalipun. Di antaranya adalah kehadiran beberapa tokoh sastrawan nasional ke daerah Lamongan, seperti Raudal Tanjung Banua, Abdul Aziz Soekarno, Joni Ariadinata, Mardiluhung, dll.
Gerakan baru ini dapat dikatakan masih seumur jagung. Di masa depan ada tantangan-tantangan berupa keberlanjutan eksistensial dan esensial. Secara eksistensial adalah konsistensi gerakan yang mengarah pada pengembangan sastra, sedangkan secara esensial adalah bentuk karya yang dihasilkan apakah berkualitas sastra atau sekadar euporia pada kesenangan baru. Persoalan ini sepenuhnya tergantung pada mereka.
Haris del Hakim
Tulisan ini tidak hendak merekonstruksi sebuah gerakan secara komprehensif, namun sekadar mengambil salah satu sebuah gerakan halus yang terjadi secara simultan dan dapat disebut sebagai fenomena yang luar biasa. Selain dari itu, tulisan ini tidak menjamah ranah analisa karya yang memerlukan waktu yang panjang dan kajian lebih intens, tapi sekadar ulasan beberapa hal yang dapat dianggap penting.
Keberadaan sastra Lamongan patut mendapatkan perhatian. Sastrawan yang lahir dari Lamongan ikut mewarnai peta sastra Indonesia, sebut saja nama Satyagraha Hoerip, Djamil Suherman, Abdul Wachid BS, Viddy, Aguk Irawan MN, Mashuri, dll. Di samping itu di Lamongan sendiri sebenarnya nafas sastra telah mengakar kuat, sebagaimana yang pernah disaksikan sendiri oleh Emha Ainun Nadjib pada tahun 80-an. Geliatnya semakin kentara dengan kehadiran Harry Lamongan yang sebenarnya lahir di Bondowoso namun berdomisili di Lamongan.
Selama bertahun-tahun Harry Lamongan seperti penjaga gawang sastra. Berbicara tentang sastra di Lamongan, maka referensi utamanya adalah Herry Lamongan. Tentu saja dia tidak sendirian. Dalam Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) banyak tergabung pegiat-pegiat sastra. Mereka melakukan pergulatan sastra yang diadakan melalui apresiasi bulanan dalam wahana Candrakirana. Sayangnya, hanya seorang Herry yang muncul dalam media massa meskipun dalam beberapa pertemuan dia selalu menegaskan bahwa eksistensi sebuah karya tidak cukup dalam medan apresiasi lokal yang dihadiri oleh orang-orang yang dikenal. Sebuah karya mesti dilepas keluar agar dia menghirup keluasan cakrawala dan bertahan hidup dalam deru badai dan hantaman persepsi banyak orang.
Sastra pada masa itu, sebagaimana kondisi sastra di tingkat nasional secara umum, bersifat eksklusif. Sastra hanya milik orang-orang yang dianggap dan menganggap dirinya "paham" sastra. Selain mereka hanya bicara tentang kulit. Hal ini tentu tidak mengherankan. Seorang dedengkot sastra pernah menyatakan, selain penyair dilarang bicara tentang puisi. Pernyataan tersebut seakan dogma yang menghegemoni pola pikir semua sastrawan.
Kondisi ini diperkuat dengan kondisi masa Orde Baru dan kuatnya ajaran-ajaran HB Yassin sebagai paus dan penahbis seseorang dapat disebut sastrawan atau tidak. Maka, kelahiran kritikus-kritikus baru di ujung usia Orde Baru seperti angin segar yang membawa rerintik air dan menumbuhkan benih-benih bakat yang tidak tersentuh oleh tangan dingin sang paus sastra tersebut.
Kemudian Orde Baru tumbang dengan lahirnya Reformasi yang membuka katup-katup ruang berekspresi. Media masa semakin banyak dan beragam dengan suara yang teduh hingga sumbang. Sarana-sarana publikasi menjadi terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin memasukinya. Semua itu mendukung munculnya sastrawan-sastrawan muda.
Tidak terkecuali di Lamongan. Beberapa tahun terakhir geliat sastra Lamongan sangat terasa menonjol dibandingkan sebelumnya. Indikasi tersebut tampak pada beberapa fenomena berikut:
Pertama, publikasi karya-karya sastrawan mudanya. Di antara karya-karya tersebut dapat disebutkan; Absurditas Rindu yang diterbitkan secara Indie oleh Sastranesia. Di dalamnya memuat beberapa puisi sastrawan muda baik yang namanya telah terpublikasi di media masa atau tidak. Juga antologi puisi tunggal seperti, Interlude di Remang Malam (puisi AS. Sumbawi), Tamasya Langit (Javed Paul Syatha), Kitab Suci Para Malaikat (Nurel Javissyarqi), Sembah Rindu Sang Kekasih, (Imamudin SA). Ada juga novel Dazedlove karya Rodli TL. dll.
Kedua, berdirinya penerbitan buku-buku sastra. Lamongan memiliki tiga penerbit yang konsentrasi dalam menerbitkan karya sastra: Pustaka Pujangga, Sastranesia, dan Pustaka Ilalang.
Sebenarnya, fenomena tersebut tidak dapat lepas dari keberadaan beberapa orang yang memberikan andil besar dalam perubahan gerakan. Mereka mendirikan Forum Sastra Lamongan. Forum ini terbuka bagi siapa saja yang ingin terlibat, tanpa memandang apakah dia sastrawan atau bukan namun yang penting memiliki rasa simpati terhadap sastra.
Latar belakang kelahiran forum ini lebih bersifat global. Fenomena hegemoni di tingkat media sudah semakin berbahaya. Sebagai contoh, Bajaj Bajuri di Trans TV pada waktu itu dapat dikatakan sebagai sinetron komedi dengan rating pemirsa yang tinggi, terbukti masih terus diputar meskipun diulang-ulang. Begitu pula dengan OB (Office Boy) di RCTI. Kedua sitkom itu bersetting budaya Betawi. Karakter orang Betawi selalu menang sendiri dan tak terkalahkan, berseberangan dengan karakter orang Jawa yang selalu naif (istilah Jawa bagi orang Betawi adalah penduduk Jawa selain mereka). Dalam Bajaj Bajuri ada tokoh Emak Etti yang cerdik dan licik berseberangan dengan Mpok Hindun yang kenes dan endel atau Yusuf bin Sanusi sebagai orang Betawi yang paling naif berhadapan dengan Parti yang suka mengalah dan tak berdaya menghadapinya bahkan mau diperistri. Dalam OB tokoh Saodah yang gembrot dan Ismail yang kaku selalu menang berhadapan dengan Sayuti yang Jawa yang lamban dan tidak cerdas.
Dari latar belakang tersebut kemudian muncul inisiatif untuk melakukan gerilya budaya di tingkat local atau daerah. Budaya-budaya lokal yang selama ini tergerus oleh budaya pembangunanisme Orde Baru coba digali dan dikaji ulang. Meskipun budaya lokal, namun lebih mengedepankan pada keterbukaan, asimilasi, atau akulturasi dengan budaya lain.
Sebagai penjembatan harapan tersebut, Forum Sastra Lamongan (FSL) menerbitkan Jurnal Kebudayaan The Sandour yang mewakili ekspresi sastrawan mapan tingkat nasional. Jurnal ini terbit sekali dalam tiga bulan dengan memuat tulisan berbentuk puisi, esei, artikel, cerpen, atau monolog. Sedangkan bagi kalangan remaja yang berminat terhadap sastra diterbitkan Jurnal Sastra Timur Jauh. Sementara bagi kalangan masyarakat umum diterbitkan majalah Gerbang Massa yang berusia sekali terbit setelah itu tidak ada kabarnya lagi.
Lain dari itu, sebagai bukti penghargaan Forum terhadap generasi muda maka Forum menganugerahkan Van Der Wijk Award untuk remaja-remaja yang berkarya dan berkualitas. Sementara kegiatan instrumen berupa bedah buku atau launching yang diadakan di sekolah-sekolah: Madrasah Aliyah Negeri Lamongan, Madrasah Aliyah Simo Sungelebak, dan Pondok Pesantren Karangasem Paciran. Pada saat itu menghadirkan Raudal Tanjung Banua dan Ida Idris sebagai pembicara.
Selain Forum Sastra Lamongan muncul Sastranesia yang dibidani oleh AS. Sumbawi dkk. Akan tetapi, nama tersebut bermetamorfosa menjadi penerbit buku-buku sastra. Ruang lingkup Sastranesia sendiri hamper dapat dikatakan saling jalin dengan Forum Sastra Lamongan.
Gerakan-gerakan sastra tersebut tidak lepas dari peran para sastrawan mudanya. Beberapa nama yang dapat disebutkan adalah Nurel Javissyarqi, Rodli TL, AS. Sumbawi, Javed Paul Syatha, Imamudin SA, dll.
Nurel Javissyarqi. Sastrawan muda paling produktif ini—saat ini telah menulis 13 buku di samping menulis di berbagai media dan jurnal—lahir di Lamongan. Jiwa susastranya digembleng di Yogyakarta bersama dengan Y. Wibowo, Muhaimin Azzet, dll. dalam bendera KSTI (Komunitas Sastra Tugu Indonesia). Semangatnya yang besar menemukan muara di kampung kelahirannya dan mendirikan penerbit PUstaka puJAngga yang menerbitkan karya-karya sastra, baik sastrawan lokal maupun nasional. Karya terakhirnya adalah Kitab Para Malaikat (PUstaka puJAngga: 2007).
Rodli TL. Dia menemukan jiwa seninya di Jember dan bahkan pernah dipercaya sebagai Ketuanya. Beberapa kali dia menulis naskah sekaligus menyutradarai, di antaranya Adam Hawa. Kesibukannya sangat padat di bidang pendidikan dengan Sanggar Bahasa Kampung yang mendidik anak-anak kecil di desanya untuk memahami bahasa dan sastra. Di samping itu dia seorang dosen Universitas Darul Ulum Lamongan yang dipercaya menjadi pembimbing komunitas STNK (Studi Teater Nafas Kata), salah satu lembaga mahasiswa di bidang kesenian di samping Teater Roda. Pergulatannya dalam sastra dibuktikan dengan terbitnya novel Dazedlove.
AS. Sumbawi. Alumni IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini memulai pergulatannya di bidang sastra ketika bergabung dengan Sanggar Suto dan Sanggar Nuun. Saat ini dia menjadi pengajar sekaligus pemilik penerbitan Sastranesia. Tulisan-tulisannya banyak menghiasi media massa dan tergabung dalam antologi bersama, seperti: Dian Sastro for President: End of Trilogy (Insist: 2005), Malsasa 2005 (FSB: 2006), Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela: 2006), dan Khianat Waktu (DKL: 2006).
Javed Paul Syatha. Dia menggeluti sastra dengan bergumul bersama sastrawan-sastrawan lokal Lamongan. Dia memiliki nama-nama lain, seperti Saiful Anam, Ifoel Moenzoek, dan terakhir Javed Paul Syatha. Sehari-hari sebagai pengajar dan membimbing komunitas AUM. Beberapa karyanya tercatat dalam Malsasa 2005 (FBS: 2005), Khianat Waktu (DKL: 2006), Pelayaran Bunga (DKJT: 2007), dll.
Imamudin SA. Sastrawan muda ini murni berjiwa Lamongan, tidak terbaur dengan dunia luar dan banyak berkarya melalui media lokal. Di antara karyanya termuat dalam Lanskap Telunjuk (DKL: 2004), Khianat Waktu (DKL: 2004), dan beberapa antologi tunggalnya. Saat ini dia menjadi koordinator kajian Candrakirana.
Selain nama-nama tersebut masih banyak lagi sastrawan muda yang memiliki gairah sastra luar biasa: Ariandalu, Heri Listianto, Anis CH, D. Zaini Ahmad, dan masih banyak yang lain dari kalangan generasi muda.
Dari penjelasan singkat di atas ada beberapa nama yang berproses kreatif dengan bersinggungan bersama dunia luar. Mereka menjalin pola relasi dengan sastrawan-sastrawan dari daerah lain atau sastrawan nasional sekalipun. Di antaranya adalah kehadiran beberapa tokoh sastrawan nasional ke daerah Lamongan, seperti Raudal Tanjung Banua, Abdul Aziz Soekarno, Joni Ariadinata, Mardiluhung, dll.
Gerakan baru ini dapat dikatakan masih seumur jagung. Di masa depan ada tantangan-tantangan berupa keberlanjutan eksistensial dan esensial. Secara eksistensial adalah konsistensi gerakan yang mengarah pada pengembangan sastra, sedangkan secara esensial adalah bentuk karya yang dihasilkan apakah berkualitas sastra atau sekadar euporia pada kesenangan baru. Persoalan ini sepenuhnya tergantung pada mereka.
Teks Sastra Hudan
Bernando J. Sujibto
(Mas Hudan, semoga kau menemukan blog sudut kecil ini. Saya menuliskan setelah kita sempar ketemu di Rumah KUTUB, duiskusi, nyracau, gila, dan asyik. Setelah itu kau meninggalkan satu buku Nabi Tanpa Wahyu, suatu himpunan esai yang telah membuat sengkau menjadi buah bibir orang-orang, jadi kontroversi. Saya bersyukur di kancah kesusastraan Indonesia mempunyai sosok yang 'licin' dan 'blur' sepertimu. Ini adalah awal bagi masa suatu proyek masa depan sastra yang sebenarnaya [?])
Teks adalah segalanya dan di luar teks tidak ada apa-apa, itulah ungkapan ekstrem yang sempat terlempar dari sosok cair Hudan Hidayat. Adagium ini pula yang telah menjadi polemik sengit sepanjang paruh tahun 2007. Labih lanjut Hudan menandaskan bahwa nilai apapun tidak dapat menghalangi kebebasan berekspresi. Rupanya, filosofi dan komitmen terhadap konstruksi sebuah teks telah menjadi jalan hidup Hudan dalam menapaki jalan panjang kesusastraan Indonesia. Hingga sekarang, terutama dalam esai-esainya, Hudan tetap meneriakkan pembebasan teks sastra dari klaim dan kepentingan komunal yang telah ikut melumpuhkan perkembangan kesusastraan kita ke depan. Teks dalam karya sastra tak ubahnya sebuah ’wahyu’ yang menuntut multitafsir dan bergantung kepada siapa saja yang mebacanya.
Setelah meredanya polemik sengit yang sempat “membakar jenggot“ banyak tokoh sastrawan senior terutama Taufiq Ismail, Hudan kembali datang dengan jurus dan ajian-ajian yang lebih sempurna ditatal dalam bentuk kitab. Ia kembali datang dengan setumpuk maskot, sebuah buku kumpulan esai berjudul Nabi Tanpa Wahyu, yang semakin melengkapkan ide-ide cemerlang Hudan yang tercecer. Buku esai ini semakin mengokohkan Hudan sebagai sosok tegar yang terus menyiarkan kebebesan menulis dan menafsir teks karya sastra yang disinyalir sebagai teks wakyu itu.
Hadirnya seorang Hudan bagi pentas kesusastraan Indonesia merupakan anugerah yang luar biasa. Hudan datang setelah menjalani berbagai proses dalam kesenian yang ‘berdarah-darah’ dan menawarkan penemuan dari balik pengembaraan panjangnya itu. Hudan menyadari sebelumnya akan nasib kesusastraan kita yang sedang mengalami sakit komplikasi. Dari kondisi carut-marut itulah Hudan bangkit dan membidani dunia kesusastraan dengan intens sehingga melahirkan karya novel yang jauh berbeda dari para pendahulunya, yaitu Tuan dan Nona Kosong yang ditulis bersama Mariana Amiruddin. Novel ini hingga sekarang masih menjadi ‘terdakwa’. Di samping itu, kumpulan dua cerpennya juga ikut menyertainya Orang Sakit dan Lelaki Ikan dan memastika sosok Hudan bukan hanya sekedar menebar omong kosong, seperti banyak dituduhkan oleh musuh-musuhnya.
Bagi Hudan, kesusastraan adalah upaya membuat lubang atau terowongan, upaya merekonstruksi dunia. Ia adalah jembatan yang menghubungkan manusia dengan Semesta, juga dengan dirinya sendiri. Terowongan ini membuat dunia semacam pecahan yang tak utuh lagi. Sia-sia menampitkannya. Sebab dalam terowongan itu hadir bermacam lambang dan nilai (hlm. 141).
***
Benar adanya jika sosok Hudan bukan hanya liar-frontal dalam karya—cerpen, novel dan esai-esai—nya saja. Tetapi keliaran atau “kegilaan”, seperti disebut Nurel Javissyarqi dalam epilognya (hal. 197), telah benar-benar hadir dan melekat pada sosok keseharian (daily behavior) Hudan. Ia hidup mewakili karya-karya yang dihasilkannya itu. Jika mau diucap: Hudan bukanlah manusia munafik yang bersembunyi di balik karya sebagaimana dilakukan oleh penulis lain.
Hudan telah menunjukkan bahwa hidup-dirinya adalah hasil sublimasi dari pergulatan panjang yang menyertai dalam pencaharian proses kepenulisannya, begitu juga yang terlahir lewat karya-karyanya yang sangat mencengangkan publik, terutama ketika lahir novel Tuan dan Nona Kosong yang ditulis bersama Mariana Amiruddin. Novel ini, seperti dituturkan Hudan, adalah hasil puncak-klimaks dari masa inkubasi yang mendera Hudan selama kurang lebih 15 tahun yang memaksa memacetkan proses kepenulisannya karena dirinya dituntut harus menjalani lebih serius lagi proses kreatif yang tak berujung demi menemukan nilai kehidupan yang selama ini disamarkan dan dipasung oleh sebagian kelompok dan kepentingan. Dan hal itu pun telah dibuktikan dengan penuh semangat oleh Hudan lewat pemberontakan esai-esainya.
Dalam hal penciptaan karya sastra, Hudan ingin menghasilkan ciptaan yang berfungsi sebagai kenangan (hal. 43), demi kesinambungan proyek kemanusiaan yang sehat dan damai. Tentu saja kenangan seperti itu berguna bagi manusia untuk menyempurnakan hidupnya. Itulah yang mendasari usaha Hudan dalam menangkap dan menafsirkan wahyu yang tanpa “nabi” itu.
Lebih fantastik lagi, dengan usaha serius yang hingga kini konfrontatif, Hudan ingin menuliskan apa saja tentang kehidupan dengan apa adanya. Ia hanya ingin menuliskan seperti apa yang menjadi iman rekan seperjuangannya, M. Fadjroel Rahman, bahwa “kita adalah warga negara bumi manusia dan negara hanya batasan hukum belaka, bukan batasan imajinasi, kreasi…” (hal. 17). Maka tidak ayal jika kemudian dari tangan Hudan lahir karya sastra yang tidak biasa dan diklaim banyak orang sebagai “karya syahwat” (tentu terutama oleh Taufik Ismail!).
Kenyataan hidup demikian bagi sebagian orang dinilai sebagai tabu, jelek, dan cacat sehingga tak kurang dari Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu—yang paling lihai mengeksplorasi bidang ini—mendapat serangan pedas dari masyarakat luas. Padahal, menuliskan cacat kehidupan adalah menghormati hidup itu sendiri (hal. 69). Penalaran ini diakui memang aneh. Tetapi itulah karya sastra, karya yang bermain di ranah metafor dengan piranti bahasa dan simbol sebagai perangkat urgen yang memungkinkan munculnya ambivalensi, multitafsir, dan ambiguitas. Sementara penciptanya (sastrawan) maupun pembacanya (publik) berhak menjadi seorang “nabi” yang bebas menafsirkannya.
Sekarang yang perlu dihadirkan dalam pembacaan karya sastra adalah bagaimana ia dikembalikan kepada hakikat awalnya sebagai sebuah demensi penciptaan yang terbangun di atas papan humanisme. Manusia dan kemanusiaanya menjadi keniscayaan dalam karya sastra, dan perjalanan riwayat kesusastraan itu sendiri. Karya sastra tidak boleh dibawa kepada hal-hal kecil dan ekstrim seperti dilalukan oleh sebagian kelompok. Di sini kita harus berusaha bagaimana sastra dikembalikan kepada konteks kemanusiaan yang universal itu.
Dari itu, Hudan akan selalu hadir menyertai setiap buku yang ada di tengah pembaca. Karena adagium “penulis mati ketika karyanya terbit ke publik” tidak berlaku bagi Hudan. Ia, seperti yang diteriakkannya sendiri, akan mengiringi karya-karya yang telah dilahirkannya. Karena karya, seperti mengutip perkataan Pram, adalah anak yang harus diasuh dan dijaga kesehatannya. Komitmen ini dilakukan Hudan selama 3 tahun dengan berkeliling hampir seantero Indonesia dengan membawa kumpulan cerpen terbitan awal ke tengah pembaca, terutama mahasiswa dan komunitas sastra.
Lebih jauh, buku ini akan menyajikan perspektif yang lebih luas tentang sastra yang diperjuangkan Hudan, terutama sejak setelah masa inkubasinya sekitar tahun 2002. Dalam konteks inilah kita perlu membaca tuntas perihal sosok Hudan dan karya-karyanya demi menghindari truth claim (klaim pembenaran) yang lahir dari tindakan parsial terhadap sebuah teks sastra. Karena bagaimapun, teks sastra adalah serupa wahyu yang tak selesai-selesai ditafsir bersama denyut kehidupan kemanusiaan kita sebagai penerus kenabian.
(Mas Hudan, semoga kau menemukan blog sudut kecil ini. Saya menuliskan setelah kita sempar ketemu di Rumah KUTUB, duiskusi, nyracau, gila, dan asyik. Setelah itu kau meninggalkan satu buku Nabi Tanpa Wahyu, suatu himpunan esai yang telah membuat sengkau menjadi buah bibir orang-orang, jadi kontroversi. Saya bersyukur di kancah kesusastraan Indonesia mempunyai sosok yang 'licin' dan 'blur' sepertimu. Ini adalah awal bagi masa suatu proyek masa depan sastra yang sebenarnaya [?])
Teks adalah segalanya dan di luar teks tidak ada apa-apa, itulah ungkapan ekstrem yang sempat terlempar dari sosok cair Hudan Hidayat. Adagium ini pula yang telah menjadi polemik sengit sepanjang paruh tahun 2007. Labih lanjut Hudan menandaskan bahwa nilai apapun tidak dapat menghalangi kebebasan berekspresi. Rupanya, filosofi dan komitmen terhadap konstruksi sebuah teks telah menjadi jalan hidup Hudan dalam menapaki jalan panjang kesusastraan Indonesia. Hingga sekarang, terutama dalam esai-esainya, Hudan tetap meneriakkan pembebasan teks sastra dari klaim dan kepentingan komunal yang telah ikut melumpuhkan perkembangan kesusastraan kita ke depan. Teks dalam karya sastra tak ubahnya sebuah ’wahyu’ yang menuntut multitafsir dan bergantung kepada siapa saja yang mebacanya.
Setelah meredanya polemik sengit yang sempat “membakar jenggot“ banyak tokoh sastrawan senior terutama Taufiq Ismail, Hudan kembali datang dengan jurus dan ajian-ajian yang lebih sempurna ditatal dalam bentuk kitab. Ia kembali datang dengan setumpuk maskot, sebuah buku kumpulan esai berjudul Nabi Tanpa Wahyu, yang semakin melengkapkan ide-ide cemerlang Hudan yang tercecer. Buku esai ini semakin mengokohkan Hudan sebagai sosok tegar yang terus menyiarkan kebebesan menulis dan menafsir teks karya sastra yang disinyalir sebagai teks wakyu itu.
Hadirnya seorang Hudan bagi pentas kesusastraan Indonesia merupakan anugerah yang luar biasa. Hudan datang setelah menjalani berbagai proses dalam kesenian yang ‘berdarah-darah’ dan menawarkan penemuan dari balik pengembaraan panjangnya itu. Hudan menyadari sebelumnya akan nasib kesusastraan kita yang sedang mengalami sakit komplikasi. Dari kondisi carut-marut itulah Hudan bangkit dan membidani dunia kesusastraan dengan intens sehingga melahirkan karya novel yang jauh berbeda dari para pendahulunya, yaitu Tuan dan Nona Kosong yang ditulis bersama Mariana Amiruddin. Novel ini hingga sekarang masih menjadi ‘terdakwa’. Di samping itu, kumpulan dua cerpennya juga ikut menyertainya Orang Sakit dan Lelaki Ikan dan memastika sosok Hudan bukan hanya sekedar menebar omong kosong, seperti banyak dituduhkan oleh musuh-musuhnya.
Bagi Hudan, kesusastraan adalah upaya membuat lubang atau terowongan, upaya merekonstruksi dunia. Ia adalah jembatan yang menghubungkan manusia dengan Semesta, juga dengan dirinya sendiri. Terowongan ini membuat dunia semacam pecahan yang tak utuh lagi. Sia-sia menampitkannya. Sebab dalam terowongan itu hadir bermacam lambang dan nilai (hlm. 141).
***
Benar adanya jika sosok Hudan bukan hanya liar-frontal dalam karya—cerpen, novel dan esai-esai—nya saja. Tetapi keliaran atau “kegilaan”, seperti disebut Nurel Javissyarqi dalam epilognya (hal. 197), telah benar-benar hadir dan melekat pada sosok keseharian (daily behavior) Hudan. Ia hidup mewakili karya-karya yang dihasilkannya itu. Jika mau diucap: Hudan bukanlah manusia munafik yang bersembunyi di balik karya sebagaimana dilakukan oleh penulis lain.
Hudan telah menunjukkan bahwa hidup-dirinya adalah hasil sublimasi dari pergulatan panjang yang menyertai dalam pencaharian proses kepenulisannya, begitu juga yang terlahir lewat karya-karyanya yang sangat mencengangkan publik, terutama ketika lahir novel Tuan dan Nona Kosong yang ditulis bersama Mariana Amiruddin. Novel ini, seperti dituturkan Hudan, adalah hasil puncak-klimaks dari masa inkubasi yang mendera Hudan selama kurang lebih 15 tahun yang memaksa memacetkan proses kepenulisannya karena dirinya dituntut harus menjalani lebih serius lagi proses kreatif yang tak berujung demi menemukan nilai kehidupan yang selama ini disamarkan dan dipasung oleh sebagian kelompok dan kepentingan. Dan hal itu pun telah dibuktikan dengan penuh semangat oleh Hudan lewat pemberontakan esai-esainya.
Dalam hal penciptaan karya sastra, Hudan ingin menghasilkan ciptaan yang berfungsi sebagai kenangan (hal. 43), demi kesinambungan proyek kemanusiaan yang sehat dan damai. Tentu saja kenangan seperti itu berguna bagi manusia untuk menyempurnakan hidupnya. Itulah yang mendasari usaha Hudan dalam menangkap dan menafsirkan wahyu yang tanpa “nabi” itu.
Lebih fantastik lagi, dengan usaha serius yang hingga kini konfrontatif, Hudan ingin menuliskan apa saja tentang kehidupan dengan apa adanya. Ia hanya ingin menuliskan seperti apa yang menjadi iman rekan seperjuangannya, M. Fadjroel Rahman, bahwa “kita adalah warga negara bumi manusia dan negara hanya batasan hukum belaka, bukan batasan imajinasi, kreasi…” (hal. 17). Maka tidak ayal jika kemudian dari tangan Hudan lahir karya sastra yang tidak biasa dan diklaim banyak orang sebagai “karya syahwat” (tentu terutama oleh Taufik Ismail!).
Kenyataan hidup demikian bagi sebagian orang dinilai sebagai tabu, jelek, dan cacat sehingga tak kurang dari Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu—yang paling lihai mengeksplorasi bidang ini—mendapat serangan pedas dari masyarakat luas. Padahal, menuliskan cacat kehidupan adalah menghormati hidup itu sendiri (hal. 69). Penalaran ini diakui memang aneh. Tetapi itulah karya sastra, karya yang bermain di ranah metafor dengan piranti bahasa dan simbol sebagai perangkat urgen yang memungkinkan munculnya ambivalensi, multitafsir, dan ambiguitas. Sementara penciptanya (sastrawan) maupun pembacanya (publik) berhak menjadi seorang “nabi” yang bebas menafsirkannya.
Sekarang yang perlu dihadirkan dalam pembacaan karya sastra adalah bagaimana ia dikembalikan kepada hakikat awalnya sebagai sebuah demensi penciptaan yang terbangun di atas papan humanisme. Manusia dan kemanusiaanya menjadi keniscayaan dalam karya sastra, dan perjalanan riwayat kesusastraan itu sendiri. Karya sastra tidak boleh dibawa kepada hal-hal kecil dan ekstrim seperti dilalukan oleh sebagian kelompok. Di sini kita harus berusaha bagaimana sastra dikembalikan kepada konteks kemanusiaan yang universal itu.
Dari itu, Hudan akan selalu hadir menyertai setiap buku yang ada di tengah pembaca. Karena adagium “penulis mati ketika karyanya terbit ke publik” tidak berlaku bagi Hudan. Ia, seperti yang diteriakkannya sendiri, akan mengiringi karya-karya yang telah dilahirkannya. Karena karya, seperti mengutip perkataan Pram, adalah anak yang harus diasuh dan dijaga kesehatannya. Komitmen ini dilakukan Hudan selama 3 tahun dengan berkeliling hampir seantero Indonesia dengan membawa kumpulan cerpen terbitan awal ke tengah pembaca, terutama mahasiswa dan komunitas sastra.
Lebih jauh, buku ini akan menyajikan perspektif yang lebih luas tentang sastra yang diperjuangkan Hudan, terutama sejak setelah masa inkubasinya sekitar tahun 2002. Dalam konteks inilah kita perlu membaca tuntas perihal sosok Hudan dan karya-karyanya demi menghindari truth claim (klaim pembenaran) yang lahir dari tindakan parsial terhadap sebuah teks sastra. Karena bagaimapun, teks sastra adalah serupa wahyu yang tak selesai-selesai ditafsir bersama denyut kehidupan kemanusiaan kita sebagai penerus kenabian.
Selasa, 29 Juli 2008
ZAMAN MATI BAGI PUISI
Hamdy Salad*
Perdebatan sastra Indonesia mutakhir banyak dipenuhi oleh -kutuk dan pujian- yang tertuju pada dunia fiksi. Sehingga nyaris tak terdengar gema keindahan yang mengatasnamakan puisi. Bahkan tak juga menampak adanya kosa-kosa pergerakan yang memiliki aras pada kedalaman jiwa puisi. Seakan zaman menolak kehadiran puisi. Atau justru sebaliknya, puisi itu sendiri yang bunuh diri dan mati?
Sementara dunia fiksi, sebutan pengganti ragam novel dan cerita pendek, begitu cepat membengkak dalam ruang literasi terkini. Poster-poster kesusastraan, rehal pustaka dan toko buku dipenuhi karya fiksi yang ditulis oleh remaja dan orang dewasa. Para sastrawan bernama atau mereka yang sekedar bertahan untuk memenuhi pasar permintaan. Terselip juga di dalamnya, kumpulan buku-buku fiksi tanpa halaman biografi, yang sengaja mengaburkan identitas pengarangnya, lelaki atau perempuan, nama asli atau samaran. Dan tampaknya, sebagian besar dari pembacanya, tak mau direcoki persoalan serupa. Apalagi bertanya, buku-buku fiksi manakah yang dapat mengantarkan sisi intlektualitasnya ke dalam ruang apresiasi seni dan kesusastraan. Atau mungkinkah, makna fiksi itu sendiri yang telah berubah. Menjadi sarana personifikasi di tengah zaman yang resah.
Berbalik dengan fenomena di atas, bentuk-bentuk sosialisasi dan penyebaran puisi hanya bergerak dalam ruang domistik. Begitu rentan dan getas. Beragam jenis dan bentuk puisi, tak pernah lagi disentuh dan dibaca sebagai sumber inspirasi budaya. Akibatnya, ratusan ribu karya tersuruk dalam ruang hampa. Seolah puisi hanya dicipta dan disusun sebagai tumpukan benda-benda mati. Nir-dokumen yang dapat diperiksa kembali sebagai bentuk lain dari kehidupan, perjuangan dan doa manusia. Apalagi untuk menoreh prasasti dalam jiwa raga sang empunya.
Dengan sendirinya, proses-proses penciptaan dan perwujudan puisi hanya bergerak di dunia ambang. Sebagian berjalan dan menemukan nasibnya dalam ruang yang lebih menyenangkan dari kehidupan penyairnya. Sebagian besar lainya mengawang, menjadi tak terpisahkan dengan buih dan gelombang zaman. Para penyair dari berbagai tingkat budaya, popularitas dan legitimasinya, meski terus bertambah dan melimpah, tidak memiliki magnitasi untuk menarik wilayah publik ke dalam diri, ke dalam dunia puisi. Selebihnya, hanya mengembara antara ada dan tiada. Kelimpungan untuk menemu eksistensi. Memuji dan mengutuk diri sendiri di tengah realitas budaya, politik dan ekonomi yang mengelilingi.
Aku Lirik, Engkau dan Kalian
Di sisi lain, proses-proses penciptaan puisi sebagai media komunikasi estetis untuk menjangkau publik tanpa batas, telah mengisyaratkan adanya konsistensi dan intensitas yang sejajar dengan aras humanitas, keyakinan dan keteguhan penyairnya. Karena itu, meski puisi yang dihasilkan tidak mampu menjalin relasi dengan dunia di sekitarnya, setidaknya masih dapat dijalankan sebagai media ekspresi yang berperan dalam entitas budaya. Sehingga aktivitas penumpukan puisi, baik dalam konteks zaman maupun sejarah kesusastraan, tidak sepenuhnya menjelma benda-benda mati.
Sebagai tertera dalam teks-teks puisi yang dihasilkan, eksistensi penyair tak bisa dilenyapkan begitu saja dari ruang estetik, dari lingkaran zaman dan sejarah kesusastraan. Sebab penyair telah digaris untuk senantiasa menjelajahi dunia dengan sikap kritis, tanpa belenggu, untuk menggali dan menemu nilai-nilai baru dengan penuh kemerdekaan. Akan tetapi, seperti jiwa “aku lirik” yang dihidupi dalam puisi, nafas penyair seringkali terlepas dari ikatan budaya. Menyendiri, tanpa pretensi untuk mengisi ruang komunikasi. Ruang estetika yang dapat dijelmakan sebagai tempat untuk mengadu, membangun dan menyusun kekuatan spiritual yang lebih sempurna. Maka itu, ketika dunia fisik sang penyair telah kehilangan maknanya, hilang juga peluang kulturalnya untuk memasuki dunia lain yang bersifat metafisik.
Metamorfosa aku penyair dan aku lirik sebagai “kita, kami, engkau, dan kalian”, terasa kian berat untuk memanggul beban secara bersama. Dan beban berat itu tidak saja menimpa nasib aku lirik, tetapi juga menyuruk pada kenyataan-kenyataan sosial di luarnya. Rumah-rumah kenyataan, peristiwa dan kejadian, seolah beku dan membatu. Negeri dan pulau-pulau, jalan raya, stasiun, halte dan kota-kota juga ditimpa oleh bencana yang tidak mudah untuk diatasi secara bersama.
Sementara kini, eksistensi penyair dalam kehidupan sehari-hari, mengalami juga kenyataan yang sama. Terasa berat untuk menghindar, apalagi mengatasi, keterpurukan budaya, hiruk pikuk politik dan ekonomi, juga musibah dan bencana yang terus berganti. Hinga betapapun beratnya, penyair juga mesti menanggul beban yang menumpuk di dalam dan di luar dirinya. Ikut berlarat dalam rasa sakit dan nyeri yang mencengkeram jiwa bangsa di zaman ini. Namun begitu, adakah kisah sebuah zaman, betapa pun kuasanya, yang mampu memerintah penyair dan puisi untuk bunuh diri?
Melalui abstraksi di atas, setidaknya masih dapat ditunjuk bahwa penyair bukanlah sekedar - manusia yang dapat menyusun kata-kata indah. Tetapi mesti dihayati sebagai - bentuk perjuangan estetisme, untuk menemukan nilai dan makna budaya yang seharusnya ada tetapi tidak pernah menampakkan diri dalam kehidupan nyata. Dan perjuangan itu, senantiasa menuntut adanya sikap yang dapat dijadikan tauladan kemanusiaan. Landasan eksistensi kepenyairan semacam, telah menampak sebagai bagian penting dari awal pertumbuhan budaya Melayu, dengan berbagai tokoh (pujangga) yang telah disepakati validitasnya dalam sejarah kesusastraan Indonesia.
Chairil, Sejarah dan Puisi
Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, jejak penyair dan puisi tak bisa dilenyapkan dari pertumbuhannya. Oleh karenanya, walau tidak selalu tumbuh bersama, keberhasilan penyair dan puisi akan senantiasa terberi. Untuk kemudian memperoleh kehormatan berulangkali, dihidup-hidupkan, dipuji dan diagungkan sepanjang zaman.
Seperti tersurat dalam berbagai media, buku dan catatan-catatan sastra, itu semua terjadi karena puisi telah teruji dan berhasil mengembangkan kemampuan estetiknya untuk menjalin komunikasi dengan dunia tanpa batas. Jika puisi yang dilahirkan dapat berjalan melalui asumsi-asumsi publik, lembaga sastra, teori dan kritik; atau dapat memenuhi permintaan pasar ekonomi, sosial maupun politik dan ideologi, dengan sendirinya, puisi itu akan dijaga dan dipertahankan oleh jangkauan sejarah dan komunitasnya. Begitu barangkali, segala yang telah dirupa Chairil Anwar dalam sejarah puisi Indonesia.
Namun itu tidaklah semua. Seorang penyair bisa saja lenyap dan tidak dikenal sampai akhir. Tapi tetap saja memiliki peluang sama untuk terus berlaga, mencari dan menahan eksistensi diri bersamaan dengan identitas-identitas kultural yang telah berhasil digapai. Sehingga narasi biografis penyair dan proses penciptaannya, masih dapat diturunkan unsur-unsur kreatifnya melalui logika individual, sosial maupun relegius yang menjadi landasan utamanya.
Hal serupa dapat juga ditilik sebagai kesungguhan pena penyair. Meski zaman telah mati, dan puisi hanya dianggap semata mimpi, penyair tak mesti menyerah. Tak juga berpaling dari usaha untuk memperjuangkan wacana estetik maupun kultural yang dibentang sejarah, dalam tubuh dan jiwa kesusastraan. Sebab, ketika landasan-landasan utama termaksud melenyap di tengah pergeseran dan perubahan zaman, lenyap juga eksistensi penyair dari porosnya. Maka itu, perlu kiranya bagi penyair untuk berkaca setiap waktu. Merenungi dan mempertegas kembali berbagai kemungkinan kreatif yang berhubungan dengan visi kepenyairannya.
Rupa-rupa Keindahan Kata
Dan memang, jiwa penyair telah ditakdir untuk selalu menggali dan menemu –rupa-rupa keindahan kata - yang dianggap baru. Pada setiap zaman, setiap ruang dan waktu, selalu saja ada sekelompok penyair yang menolak atau menerima terhadap segala bentuk estetika yang dikisah tubuhkan oleh angkatan sebelumnya.
Sejak Armin Pane dan kemudian Chairil membebaskan diri dari jeratan konvensi estetik para pendahulunya, sejarah sastra Indonesia dipenuhi oleh berbagai pencarian tentang bentuk bebas dari puisi. Perjuangan itu juga yang kemudian ditempuh oleh Sutardji, dan kemudian beberapa penyair setelahnya. Akan halnya perdebatan-perdebatan yang berlangsung di dalamnya, wacana dan teks-teks puisi tumbuh meninggi melebihi dunianya sendiri. Bahkan meluas dan mampu mendorong lahirnya – bentuk dan jenis puisi baru. Popularitas puisi mbeling, puisi rupa, puisi humor, puisi gelap, merupakan bagian tak terpisahkan.
Tapi kini, setelah orde reformasi bergulir di tanah air ini, pergerakan puisi nyaris berhenti. Identifikasi penyair tak bisa lagi dipertemukan dalam ruang politik, metafisikal maupun eksistensial. Posisi penyair menjadi goyah, sekaligus juga dipaksa untuk tampil dengan gagah. Dan puisi, rupa-rupa keindahan kata yang mengelilingi, tak juga bisa dicegah untuk bercampur dengan histeria masa, kecemasan dan hiburan maya. Adakah itu semua menjadi tanda, bahwa zaman telah mati bagi puisi. Sehingga bentuk kisah dan cerita menjadi berjaya, memenuhi ruang fiksi dalam sejarah kesusastraan Indonesia mutakhir. **
*) Hamdy Salad, penyair, dosen Creative Writing Fakultas bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Perdebatan sastra Indonesia mutakhir banyak dipenuhi oleh -kutuk dan pujian- yang tertuju pada dunia fiksi. Sehingga nyaris tak terdengar gema keindahan yang mengatasnamakan puisi. Bahkan tak juga menampak adanya kosa-kosa pergerakan yang memiliki aras pada kedalaman jiwa puisi. Seakan zaman menolak kehadiran puisi. Atau justru sebaliknya, puisi itu sendiri yang bunuh diri dan mati?
Sementara dunia fiksi, sebutan pengganti ragam novel dan cerita pendek, begitu cepat membengkak dalam ruang literasi terkini. Poster-poster kesusastraan, rehal pustaka dan toko buku dipenuhi karya fiksi yang ditulis oleh remaja dan orang dewasa. Para sastrawan bernama atau mereka yang sekedar bertahan untuk memenuhi pasar permintaan. Terselip juga di dalamnya, kumpulan buku-buku fiksi tanpa halaman biografi, yang sengaja mengaburkan identitas pengarangnya, lelaki atau perempuan, nama asli atau samaran. Dan tampaknya, sebagian besar dari pembacanya, tak mau direcoki persoalan serupa. Apalagi bertanya, buku-buku fiksi manakah yang dapat mengantarkan sisi intlektualitasnya ke dalam ruang apresiasi seni dan kesusastraan. Atau mungkinkah, makna fiksi itu sendiri yang telah berubah. Menjadi sarana personifikasi di tengah zaman yang resah.
Berbalik dengan fenomena di atas, bentuk-bentuk sosialisasi dan penyebaran puisi hanya bergerak dalam ruang domistik. Begitu rentan dan getas. Beragam jenis dan bentuk puisi, tak pernah lagi disentuh dan dibaca sebagai sumber inspirasi budaya. Akibatnya, ratusan ribu karya tersuruk dalam ruang hampa. Seolah puisi hanya dicipta dan disusun sebagai tumpukan benda-benda mati. Nir-dokumen yang dapat diperiksa kembali sebagai bentuk lain dari kehidupan, perjuangan dan doa manusia. Apalagi untuk menoreh prasasti dalam jiwa raga sang empunya.
Dengan sendirinya, proses-proses penciptaan dan perwujudan puisi hanya bergerak di dunia ambang. Sebagian berjalan dan menemukan nasibnya dalam ruang yang lebih menyenangkan dari kehidupan penyairnya. Sebagian besar lainya mengawang, menjadi tak terpisahkan dengan buih dan gelombang zaman. Para penyair dari berbagai tingkat budaya, popularitas dan legitimasinya, meski terus bertambah dan melimpah, tidak memiliki magnitasi untuk menarik wilayah publik ke dalam diri, ke dalam dunia puisi. Selebihnya, hanya mengembara antara ada dan tiada. Kelimpungan untuk menemu eksistensi. Memuji dan mengutuk diri sendiri di tengah realitas budaya, politik dan ekonomi yang mengelilingi.
Aku Lirik, Engkau dan Kalian
Di sisi lain, proses-proses penciptaan puisi sebagai media komunikasi estetis untuk menjangkau publik tanpa batas, telah mengisyaratkan adanya konsistensi dan intensitas yang sejajar dengan aras humanitas, keyakinan dan keteguhan penyairnya. Karena itu, meski puisi yang dihasilkan tidak mampu menjalin relasi dengan dunia di sekitarnya, setidaknya masih dapat dijalankan sebagai media ekspresi yang berperan dalam entitas budaya. Sehingga aktivitas penumpukan puisi, baik dalam konteks zaman maupun sejarah kesusastraan, tidak sepenuhnya menjelma benda-benda mati.
Sebagai tertera dalam teks-teks puisi yang dihasilkan, eksistensi penyair tak bisa dilenyapkan begitu saja dari ruang estetik, dari lingkaran zaman dan sejarah kesusastraan. Sebab penyair telah digaris untuk senantiasa menjelajahi dunia dengan sikap kritis, tanpa belenggu, untuk menggali dan menemu nilai-nilai baru dengan penuh kemerdekaan. Akan tetapi, seperti jiwa “aku lirik” yang dihidupi dalam puisi, nafas penyair seringkali terlepas dari ikatan budaya. Menyendiri, tanpa pretensi untuk mengisi ruang komunikasi. Ruang estetika yang dapat dijelmakan sebagai tempat untuk mengadu, membangun dan menyusun kekuatan spiritual yang lebih sempurna. Maka itu, ketika dunia fisik sang penyair telah kehilangan maknanya, hilang juga peluang kulturalnya untuk memasuki dunia lain yang bersifat metafisik.
Metamorfosa aku penyair dan aku lirik sebagai “kita, kami, engkau, dan kalian”, terasa kian berat untuk memanggul beban secara bersama. Dan beban berat itu tidak saja menimpa nasib aku lirik, tetapi juga menyuruk pada kenyataan-kenyataan sosial di luarnya. Rumah-rumah kenyataan, peristiwa dan kejadian, seolah beku dan membatu. Negeri dan pulau-pulau, jalan raya, stasiun, halte dan kota-kota juga ditimpa oleh bencana yang tidak mudah untuk diatasi secara bersama.
Sementara kini, eksistensi penyair dalam kehidupan sehari-hari, mengalami juga kenyataan yang sama. Terasa berat untuk menghindar, apalagi mengatasi, keterpurukan budaya, hiruk pikuk politik dan ekonomi, juga musibah dan bencana yang terus berganti. Hinga betapapun beratnya, penyair juga mesti menanggul beban yang menumpuk di dalam dan di luar dirinya. Ikut berlarat dalam rasa sakit dan nyeri yang mencengkeram jiwa bangsa di zaman ini. Namun begitu, adakah kisah sebuah zaman, betapa pun kuasanya, yang mampu memerintah penyair dan puisi untuk bunuh diri?
Melalui abstraksi di atas, setidaknya masih dapat ditunjuk bahwa penyair bukanlah sekedar - manusia yang dapat menyusun kata-kata indah. Tetapi mesti dihayati sebagai - bentuk perjuangan estetisme, untuk menemukan nilai dan makna budaya yang seharusnya ada tetapi tidak pernah menampakkan diri dalam kehidupan nyata. Dan perjuangan itu, senantiasa menuntut adanya sikap yang dapat dijadikan tauladan kemanusiaan. Landasan eksistensi kepenyairan semacam, telah menampak sebagai bagian penting dari awal pertumbuhan budaya Melayu, dengan berbagai tokoh (pujangga) yang telah disepakati validitasnya dalam sejarah kesusastraan Indonesia.
Chairil, Sejarah dan Puisi
Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, jejak penyair dan puisi tak bisa dilenyapkan dari pertumbuhannya. Oleh karenanya, walau tidak selalu tumbuh bersama, keberhasilan penyair dan puisi akan senantiasa terberi. Untuk kemudian memperoleh kehormatan berulangkali, dihidup-hidupkan, dipuji dan diagungkan sepanjang zaman.
Seperti tersurat dalam berbagai media, buku dan catatan-catatan sastra, itu semua terjadi karena puisi telah teruji dan berhasil mengembangkan kemampuan estetiknya untuk menjalin komunikasi dengan dunia tanpa batas. Jika puisi yang dilahirkan dapat berjalan melalui asumsi-asumsi publik, lembaga sastra, teori dan kritik; atau dapat memenuhi permintaan pasar ekonomi, sosial maupun politik dan ideologi, dengan sendirinya, puisi itu akan dijaga dan dipertahankan oleh jangkauan sejarah dan komunitasnya. Begitu barangkali, segala yang telah dirupa Chairil Anwar dalam sejarah puisi Indonesia.
Namun itu tidaklah semua. Seorang penyair bisa saja lenyap dan tidak dikenal sampai akhir. Tapi tetap saja memiliki peluang sama untuk terus berlaga, mencari dan menahan eksistensi diri bersamaan dengan identitas-identitas kultural yang telah berhasil digapai. Sehingga narasi biografis penyair dan proses penciptaannya, masih dapat diturunkan unsur-unsur kreatifnya melalui logika individual, sosial maupun relegius yang menjadi landasan utamanya.
Hal serupa dapat juga ditilik sebagai kesungguhan pena penyair. Meski zaman telah mati, dan puisi hanya dianggap semata mimpi, penyair tak mesti menyerah. Tak juga berpaling dari usaha untuk memperjuangkan wacana estetik maupun kultural yang dibentang sejarah, dalam tubuh dan jiwa kesusastraan. Sebab, ketika landasan-landasan utama termaksud melenyap di tengah pergeseran dan perubahan zaman, lenyap juga eksistensi penyair dari porosnya. Maka itu, perlu kiranya bagi penyair untuk berkaca setiap waktu. Merenungi dan mempertegas kembali berbagai kemungkinan kreatif yang berhubungan dengan visi kepenyairannya.
Rupa-rupa Keindahan Kata
Dan memang, jiwa penyair telah ditakdir untuk selalu menggali dan menemu –rupa-rupa keindahan kata - yang dianggap baru. Pada setiap zaman, setiap ruang dan waktu, selalu saja ada sekelompok penyair yang menolak atau menerima terhadap segala bentuk estetika yang dikisah tubuhkan oleh angkatan sebelumnya.
Sejak Armin Pane dan kemudian Chairil membebaskan diri dari jeratan konvensi estetik para pendahulunya, sejarah sastra Indonesia dipenuhi oleh berbagai pencarian tentang bentuk bebas dari puisi. Perjuangan itu juga yang kemudian ditempuh oleh Sutardji, dan kemudian beberapa penyair setelahnya. Akan halnya perdebatan-perdebatan yang berlangsung di dalamnya, wacana dan teks-teks puisi tumbuh meninggi melebihi dunianya sendiri. Bahkan meluas dan mampu mendorong lahirnya – bentuk dan jenis puisi baru. Popularitas puisi mbeling, puisi rupa, puisi humor, puisi gelap, merupakan bagian tak terpisahkan.
Tapi kini, setelah orde reformasi bergulir di tanah air ini, pergerakan puisi nyaris berhenti. Identifikasi penyair tak bisa lagi dipertemukan dalam ruang politik, metafisikal maupun eksistensial. Posisi penyair menjadi goyah, sekaligus juga dipaksa untuk tampil dengan gagah. Dan puisi, rupa-rupa keindahan kata yang mengelilingi, tak juga bisa dicegah untuk bercampur dengan histeria masa, kecemasan dan hiburan maya. Adakah itu semua menjadi tanda, bahwa zaman telah mati bagi puisi. Sehingga bentuk kisah dan cerita menjadi berjaya, memenuhi ruang fiksi dalam sejarah kesusastraan Indonesia mutakhir. **
*) Hamdy Salad, penyair, dosen Creative Writing Fakultas bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Alienasi Ketiadaan
Javed Paul Syatha
Segmen /1/
Pada Sebuah Galery Lukis
Tokoh:
Aku terlalu larut dalam tidur panjangku; mungkin saja mimpi yang menyeretku masuk ke negeri tak berjejak dari pikiran-pikiran yang jauh sekaligus menakutkan. Aku melihat batang-batang pohon beterbangan seperti dihempas badai, laut bergolak hebat, manusia-manusia tanpa kelamin berguling-guling mengitari aku dengan suara dan jerit ngeri. “Tuhan jika semua ini mimpi, beri aku mimpi yang lain!” seketika aku mendapati tubuhku meringkuk dipinggiran jalan raya dengan segala keresahan yang beku. Aku tidak akan percaya kalau tidak menyaksikannya sendiri; aku sangat bernafsu untuk membangunkannya, mengusir lalat-lalat yang berkerumun di mulutnya. Tapi benarkah itu aku? Tidak, aku tidak pernah sekalipun merindukan datang kepada diriku sendiri dengan mimpi, apalagi dalam keadaan yang tidak bisa aku percaya. Sungguh aku benar-benar merasa muak melihatnya, namun meski demikian aku musti tertawa; menertawakan kehidupan yang coreng moreng dari wajahku yang terlalu polos untuk kehidupan terasing ini.
Matilah aku! Ya, matilah aku, karena syurga telah menunggu dengan bidadari-bidadari bersayap perak, bukankah dalam kehidupan engkau terlalu najis untuk menyentuh seorang pelacur sekalipun? Maka matilah! sungguh, meskipun demikian aku adalah mimpi yang menakutkan bagi diriku sendiri. Tapi inilah yang terbaik dari sebagian kehidupan.
Demikianlah aku meringkuk kumal di pinggiran jalan raya; suatu pemandangan yang cukup menakjubkan saat puluhan warga kota berhamburan mengepungku dan tak satupun yang mengaku mengenali akau dalam gumamnya, padahal hampir sebagian dari mereka aku menghafalnya dengan baik. Sungguh mereka mengenakan topeng yang tidak lebih baik dari wajahnya sendiri-sendiri.
Tidak lama kemudian orang-orang berseragam itu mengamati aku lantas menggambarnya dalam bentuk seketsa tubuhku di jalan itu dengan batu kapur putih dan yang lain memasang plastik Panjang berwarna kekuningan tanpa aku tahu maksud mereka sedikitpun. Lantas aku buru-buru diangkat ke dalam mobil kemudian diantar ke rumah sakit dan orang-orang berseragam itu mendapat imbalan uang yang tidak sedikit; setara dengan harga pembunuh bayaran untuk satu mangsanya, kemudian mereka meninggalkan aku dengan senang hati.
Ya, disanalah aku merasakan sesuatu yang paling menjijikkan. Sekujur tubuhku terlihat pucat dan beku, aku dipindahkan dari lemari pendingin satu ke lemari yang lain, dari ruanggan yang penuh dengan mayat ke ruang praktik calon dokter, tubuhku diseminarkan, satu persatu organ tubuhku dimutilasi, kelaminku dipotong, mataku dicongkel, hati, jantung, ginjal dan otakku mereka simpan dalam etalase. Sebagian yang lain dimasukkan dalam plastik warna hitam kemudian dibuang ke laut dan menjadi menu saat senja bagi puluhan ekor predator ampibi. Sungguh akhir yang ngeri.
Tokoh: Demikianlah sebagian dari penggalan novel panjang yang tak pernah selesai dan menjadi inspirasi awal hadirnya lukisan-lukisanku, tapi bagaimana kalian bisa tidak menerimanya, padahal aku telah mempertaruhkan seluruh imajinasi dan impianku. Aku telah bekerja keras untuk semua ini!
Segmen /2/
Galeri lukisan itu selalu sepi dari pengunjung, seniman muda yang dipaksa tua oleh kerut keningnya itu hampir saja putus asa dengan apa yang telah ia kerjakan sepanjang usianya.
Hari-harinya, selain mengasiki suaranya yang parau juga asik dengan gitar kumal yang sedikitpun ia tak pecus memainkan harmony suatu nada. Bahkan ia telah biasa bicara sendiri, tersenyum sendiri, marah-marah kepada tuhan, membaca puisi keras-keras, kadang menangis tersedu memanggil-manggil nama ibunya dan tak jarang juga ia mengolok-ngolok dirinya sendiri selayaknya monolog dalam sebabak drama.
Pernah sekali waktu ia kering akan lukisan, lantas sebait puisi menjadi semacam aliran baru dalam hari-hari kanvasnya, dan sekarang lukisan puisi itu ia letakkan persis di depan pintu masuk sebuah galerinya yang sepi itu. Begini;
“… duniadunia corengmoreng!
kalian adalah sisasisa penolakanpenolakan sejarah
atas kepercayaankepercayaan zaman. maka segala sesuatunya layak
untuk mati:
dan aku adalah lukisan keterasingan
dari segala
yang pernah kau yakini
dan tak mau mati!
Segmen /3/
Tokoh: Semua memang terlanjur berbenturan, atau memang sengaja dibentur-benturkan dalam kehidupan, sebagaimana mimpi yang melampaui kesadaran akan dunia realitas, dan kebenaran yang bersandar pada kepercayaan. *
Sepanjang malam seniman itu berusaha keras menyelesaikan lukisan yang telah terbengkelai puluhan tahun dalam sebagaian mimpi-mimpinya, dan ingin menyelesaikannya sebelum ia mati. Sejak lama sebenarnya ia juga sudah menyiapkan obituari bagi dirinya sendiri, tapi tak kunjung mati juga. Mada di dalam galery dengan pintu setengah terbuka ia menggali kubur menanti kematian; barangkali Tuhan diam-diam telah menyetujui niatnya. Lantas orang-orang akan beramai-ramai membicarakannya, berebut lukisannya kemudian menjualnya sebagai barang langka karena pelukisnya sudah mati.
Tokoh: Ya, inilah akhir yang aku kehendaki, manusia-manusia menggelikan itu memburu lukisanku dan aku menertawakannya; karena aku telah menanggung semua beban berat kehidupanku sendiri, dan apa peduliku jika kelabang dan kalajengking saling menyengat di atas kuburanku nanti. Ya, aku akan mati, aku akan mati untuk pertama kalinya.
Seniman aneh itu menaruh lukisan terakhir yang baru diselesaikannya semalam di lubang kubur itu; berlukiskan wajahnya dan di sudut kiri bawah terterah tanda tangan bersebrangan dengan nama “Ifoel Mundzuk” lalu menguburnya dengan timbunan hasrat yang tergurat di keningnya.
Tokoh: Aku akan menebus kerja kerasku selama ini dengan pengasingan diri dari kehidupan, dari segala masa lalu; sebuah kehidupan baru dibalik kematianku yang lain. Meski orang seperti aku tidak pantas kehilangan roh untuk menempuh negeri beradab yang musti diperjuangkan, tapi aku harus membentuk dunia dalam kehendakku. Segala memang harus dilukiskan, lagi pula bukankah kita sebenarnya sedang hidup dalam tumpukan keterasingan! *
Tokoh: Mungkin hanya metamorfosisme sebentuk waktu; kelak menjawab segalanya. Ini hanyalah kesementaraan. (Gumamnya tajam...)
Lamongan, 2007
Segmen /1/
Pada Sebuah Galery Lukis
Tokoh:
Aku terlalu larut dalam tidur panjangku; mungkin saja mimpi yang menyeretku masuk ke negeri tak berjejak dari pikiran-pikiran yang jauh sekaligus menakutkan. Aku melihat batang-batang pohon beterbangan seperti dihempas badai, laut bergolak hebat, manusia-manusia tanpa kelamin berguling-guling mengitari aku dengan suara dan jerit ngeri. “Tuhan jika semua ini mimpi, beri aku mimpi yang lain!” seketika aku mendapati tubuhku meringkuk dipinggiran jalan raya dengan segala keresahan yang beku. Aku tidak akan percaya kalau tidak menyaksikannya sendiri; aku sangat bernafsu untuk membangunkannya, mengusir lalat-lalat yang berkerumun di mulutnya. Tapi benarkah itu aku? Tidak, aku tidak pernah sekalipun merindukan datang kepada diriku sendiri dengan mimpi, apalagi dalam keadaan yang tidak bisa aku percaya. Sungguh aku benar-benar merasa muak melihatnya, namun meski demikian aku musti tertawa; menertawakan kehidupan yang coreng moreng dari wajahku yang terlalu polos untuk kehidupan terasing ini.
Matilah aku! Ya, matilah aku, karena syurga telah menunggu dengan bidadari-bidadari bersayap perak, bukankah dalam kehidupan engkau terlalu najis untuk menyentuh seorang pelacur sekalipun? Maka matilah! sungguh, meskipun demikian aku adalah mimpi yang menakutkan bagi diriku sendiri. Tapi inilah yang terbaik dari sebagian kehidupan.
Demikianlah aku meringkuk kumal di pinggiran jalan raya; suatu pemandangan yang cukup menakjubkan saat puluhan warga kota berhamburan mengepungku dan tak satupun yang mengaku mengenali akau dalam gumamnya, padahal hampir sebagian dari mereka aku menghafalnya dengan baik. Sungguh mereka mengenakan topeng yang tidak lebih baik dari wajahnya sendiri-sendiri.
Tidak lama kemudian orang-orang berseragam itu mengamati aku lantas menggambarnya dalam bentuk seketsa tubuhku di jalan itu dengan batu kapur putih dan yang lain memasang plastik Panjang berwarna kekuningan tanpa aku tahu maksud mereka sedikitpun. Lantas aku buru-buru diangkat ke dalam mobil kemudian diantar ke rumah sakit dan orang-orang berseragam itu mendapat imbalan uang yang tidak sedikit; setara dengan harga pembunuh bayaran untuk satu mangsanya, kemudian mereka meninggalkan aku dengan senang hati.
Ya, disanalah aku merasakan sesuatu yang paling menjijikkan. Sekujur tubuhku terlihat pucat dan beku, aku dipindahkan dari lemari pendingin satu ke lemari yang lain, dari ruanggan yang penuh dengan mayat ke ruang praktik calon dokter, tubuhku diseminarkan, satu persatu organ tubuhku dimutilasi, kelaminku dipotong, mataku dicongkel, hati, jantung, ginjal dan otakku mereka simpan dalam etalase. Sebagian yang lain dimasukkan dalam plastik warna hitam kemudian dibuang ke laut dan menjadi menu saat senja bagi puluhan ekor predator ampibi. Sungguh akhir yang ngeri.
Tokoh: Demikianlah sebagian dari penggalan novel panjang yang tak pernah selesai dan menjadi inspirasi awal hadirnya lukisan-lukisanku, tapi bagaimana kalian bisa tidak menerimanya, padahal aku telah mempertaruhkan seluruh imajinasi dan impianku. Aku telah bekerja keras untuk semua ini!
Segmen /2/
Galeri lukisan itu selalu sepi dari pengunjung, seniman muda yang dipaksa tua oleh kerut keningnya itu hampir saja putus asa dengan apa yang telah ia kerjakan sepanjang usianya.
Hari-harinya, selain mengasiki suaranya yang parau juga asik dengan gitar kumal yang sedikitpun ia tak pecus memainkan harmony suatu nada. Bahkan ia telah biasa bicara sendiri, tersenyum sendiri, marah-marah kepada tuhan, membaca puisi keras-keras, kadang menangis tersedu memanggil-manggil nama ibunya dan tak jarang juga ia mengolok-ngolok dirinya sendiri selayaknya monolog dalam sebabak drama.
Pernah sekali waktu ia kering akan lukisan, lantas sebait puisi menjadi semacam aliran baru dalam hari-hari kanvasnya, dan sekarang lukisan puisi itu ia letakkan persis di depan pintu masuk sebuah galerinya yang sepi itu. Begini;
“… duniadunia corengmoreng!
kalian adalah sisasisa penolakanpenolakan sejarah
atas kepercayaankepercayaan zaman. maka segala sesuatunya layak
untuk mati:
dan aku adalah lukisan keterasingan
dari segala
yang pernah kau yakini
dan tak mau mati!
Segmen /3/
Tokoh: Semua memang terlanjur berbenturan, atau memang sengaja dibentur-benturkan dalam kehidupan, sebagaimana mimpi yang melampaui kesadaran akan dunia realitas, dan kebenaran yang bersandar pada kepercayaan. *
Sepanjang malam seniman itu berusaha keras menyelesaikan lukisan yang telah terbengkelai puluhan tahun dalam sebagaian mimpi-mimpinya, dan ingin menyelesaikannya sebelum ia mati. Sejak lama sebenarnya ia juga sudah menyiapkan obituari bagi dirinya sendiri, tapi tak kunjung mati juga. Mada di dalam galery dengan pintu setengah terbuka ia menggali kubur menanti kematian; barangkali Tuhan diam-diam telah menyetujui niatnya. Lantas orang-orang akan beramai-ramai membicarakannya, berebut lukisannya kemudian menjualnya sebagai barang langka karena pelukisnya sudah mati.
Tokoh: Ya, inilah akhir yang aku kehendaki, manusia-manusia menggelikan itu memburu lukisanku dan aku menertawakannya; karena aku telah menanggung semua beban berat kehidupanku sendiri, dan apa peduliku jika kelabang dan kalajengking saling menyengat di atas kuburanku nanti. Ya, aku akan mati, aku akan mati untuk pertama kalinya.
Seniman aneh itu menaruh lukisan terakhir yang baru diselesaikannya semalam di lubang kubur itu; berlukiskan wajahnya dan di sudut kiri bawah terterah tanda tangan bersebrangan dengan nama “Ifoel Mundzuk” lalu menguburnya dengan timbunan hasrat yang tergurat di keningnya.
Tokoh: Aku akan menebus kerja kerasku selama ini dengan pengasingan diri dari kehidupan, dari segala masa lalu; sebuah kehidupan baru dibalik kematianku yang lain. Meski orang seperti aku tidak pantas kehilangan roh untuk menempuh negeri beradab yang musti diperjuangkan, tapi aku harus membentuk dunia dalam kehendakku. Segala memang harus dilukiskan, lagi pula bukankah kita sebenarnya sedang hidup dalam tumpukan keterasingan! *
Tokoh: Mungkin hanya metamorfosisme sebentuk waktu; kelak menjawab segalanya. Ini hanyalah kesementaraan. (Gumamnya tajam...)
Lamongan, 2007
KRITIK “SAKIT” SASTRA INDONESIA
Jurnal Kebudayaan The Sandour edisi III 2008
Liza Wahyuninto
Pada tahun 1950, beberapa ahli sastra beranggapan bahwa kesusastraan mengalami kemunduran. Salah satu tokoh yang berpandangan bahwa kesusastraan Indonesia mengalami kemunduran adalah Sujadmoko. Dalam esainya yang berjudul Mengapa Konfrontasi, Sujadmoko melihat adanya krisis sastra akibat adanya krisis kepemimpinan politik. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sastra Indonesia mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang menceritakan psikologisme semata-mata.
Ulasan Sudjadmoko tersebut mendapat reaksi keras terutama dari para sastrawan. Para sastrawan tersebut antara lain, Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, dan Boejoeng Saleh. Mereka mengatakan bahwa kesusastraan Indonesia tumbuh subur. H.B. Jassin dalam simposium sastra yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 1954 mengemukakan bahwa kesusastraan Indonesia modern tidak mengalami krisis. Dia mengemukannya dengan bukti-bukti dan dokumentasi yang lengkap. Pada tahun 1955, dalam simposiun yang diadakan kembali di Fakultas sastra Universitas Indonesia, Harijadi S Hartowardojo mengemukakan pendapatnya melalui tulisan yang berjudul Puisi Indonesia Sesudah Chairil Anwar. Selain dalam simposium tersebut pendapat mengenai lahirnya angkatan sastra baru muncul dalam simposium-simposium yang diadakan di Yogyakarta, Solo, dan lain-lain.
Apa yang telah disampaikan oleh Sujadmoko tersebut sangat tepat jika dimunculkan pada saat ini. Saat yang menurut Faiz Mansur dalam ulasannya yang berjudul “Ragam Kritik Sastra Indonesia” sebagian orang menganggap, bahwa sastra adalah bidang marginal, terkucil dari gegap-gempita kesenian panggung dan televisi sekarang ini. Kita hanya menyaksikan eksistensi sastra pada panggung-panggung mini, atau acara bedah buku, temu penulis dengan pembaca yang pengunjungnya bisa kita hitung dengan jari.
Alasan utama bahwa kritik sastra harus berperan dalam membangkitkan semangat bersastra dan mencintai sastra. Pasca HB. Jassin yang memunculkkan angkatan Sastra Melayu Lama dan angkatan sastra modern hingga saat Korrie Layun Rampan yang menyemangati membentuk angkatan sastra 2000, minim bahkan hampir tidak ada kritikus sastra yang mewarnai perjalanan panjang kritik sastra Indonesia. Keadaan ini pulalah yang membuat kemasan sastra tidak menarik dan dinilai sebagai sesuatu yang marginal.
Bahkan menurut Putu Wijaya ketika berbicara dalam seminar bertajuk “Membuka Tabir dengan Sastra: Telaah Jejak Inspirator” yang diadakan oleh Universitas Diponegoro, Semarang, “pasca-Chairil Anwar tak ada gelombang besar dalam perkembangan sastra di Indonesia. Seperti Chairil Anwar yang mendobrak sastra dengan memperbarui bahasa, peran-peran pembaru sastra itu sebenarnya juga terlihat dari sosok WS. Rendra, Sutardji Chalzoum Bachri, dan lain-lain. Namun, para pembaru itu ternyata tidak menimbulkan efek besar terhadap dunia sastra”.
Tentu saja, Hal ini terjadi karena di Indonesia tidak ada kritikus sastra yang cukup berwibawa sehingga bisa menjelaskan arah perkembangan sastra. Hal inilah yang menjadi kerisauan bagi beberapa tokoh sastra Indonesia, menurut Putu Wijaya, “Kalau dulu, ada HB. Jassin yang menjelaskan karya-karya Chairil Anwar. Sesudah HB. Jassin, peran kritikus sangat minim. Ruang untuk melakukan kritik sastra juga sangat terbatas”.
Sastrawan Kritikus, Kritikus Sastrawan : Kekaburan Kritik Sastra Indonesia
Kekaburan kritik sastra di Indonesia mencapai puncaknya di saat para penulis (sastrawan) “ikut-ikutan” menjadi kritikitus. Kehadiran sastrawan kritikus-sastrawan kritikus ini mulanya memang sempat mengisi kekosongan kritikus sastra dan mewarnai dunia kesusatraan Indonesia. Akan tetapi, perkembangan ini lambat laun menjadi lahan saling “ejek” karya sastra yang dihasilkan oleh penulis.
Beberapa tokoh yang terlibat dalam pertentangan kritik sastra tersebut dikategorikan ke dalam beberapa bidang,yaitu; Para pakar sastra (akademisi-kampus): Rahmat Joko Pradopo (UGM), Panuti Sudjiman, MS. Hutagalung, Saleh Saat, Boen S. Oemarjati, Roman Ali, S. Effendi (UI), Th. Rahayu Prihatmi (Undip), Buyung Saleh (UNHAS). Seniman sekaligus pakar sastra: Sapardi Joko Damono, Arif Budiman, Subagio Sastro Wardoyo, Yakob Sumardjo, Darmanto Yatman, Gunawan Mohammad, Taufiq Ismail, WS. Rendra, HB. Jassin, Budi Darma, Suripan. Kritikus seniman: Sutardji Calzoum Bachri, Linus Suryadi, Abdul Hadi WM., Emha Ainun Najib, Korrie Layun Rampan.
Dualisme jabatan antara penulis (sastrawan) dan krikitikus sastra ini berpuncak pada kemarahan para pakar dan pengamat sastra yang menyatakan bahwa kritikus perlu membuat jarak sehingga lebih objektif. Akan tetapi himbauan dari para pakar tidak menyulutkan api pertentangan di antara sastrawan kritikus tersebut.
Pertentangan ini Misalnya apa yang ditulis oleh Emha Ainun Nadjib, pengembaraan Goenawan Mohamad tentang polemic kritik sastra – meskipun berlangsung tidak kentara – sejak Simposium Bahasa dan Kesusatraan tanggal 25-28 Oktober 1966 di Jakarta sampai peringatan Chairil Anwar, 30 April 1967 oleh Direktorat Bahasa dan Kesusastraan bersama BMKN antara Motinggo Boesye, Goenawan Mohamad, Arif Budiman dan Taufiq Ismail versus Lukman Ali M Saleh Saad, MS Hutagalung dan lain-lain. Selalu cenderung memisahkan kedua metode (dalam kritik sastra), Ganzheit dan Analitik secara ekstrim, seolah-olah keduanya sama sekali tidak ada unsure yang bisa disentuhkan.
Akan tetapi, terlepas dari itu semua, yang perlu untuk diperhatikan adalah pembaca karya sastra. Selama ini pembaca tidak pernah dilibatkan dan diajak berdialog oleh penulis. Padahal, seperti yang pernah di katakan oleh Radhar Panca Dahana, ”Sastra memang semestinya dikembalikan kepada pembaca, baik secara teoretis maupun praktis.” Di tingkat teoretis penyingkiran pembaca dalam penelaahan sastra, membuat sastra itu sendiri hanya berputar dalam lingkaran analitik antara para kritikus, ambisi penerbit, atau biografi pengarangnya.
Miskin Buku Teori Kritik Sastra
Kritik sastra adalah bidang kesusastraan yang terus menerus berkembang di dunia. Sebagai akibat dari kemajuan teknologi, perkembangan kritik sastra dunia tentu mempengaruhi perkembangan studi kritik sastra Indonesia. Pengaruh ini dapat timbul dari kerja-kerja kritik yang dilakukan oleh kritikus-kritikus sastra Indonesia—baik dari golongan akademisi, sastrawan, maupun peminat sastra—terhadap karya sastra Indonesia yang selanjutnya mendapatkan tanggapan dari masyarakat sastra dunia, kerja kritik pada karya-karya berbahasa asing, atau sebaliknya: kerja kritik pada karya-karya Indonesia oleh kritikus-kritikus asing, maupun transfer pengetahuan dalam bentuk studi banding dan penterjemahan teks atau buku-buku teori kritik sastra.
Sayangnya, hingga saat ini, kesusastraan Indonesia dapat dikatakan terus saja miskin buku-buku teori kritik sastra. Buku-buku teori yang ada, kebanyakan merupakan buku terbitan lama dengan pembicaraan yang tidak lagi mutakhir. Buku-buku terbitan lama itu pun benar-benar sulit didapat karena jumlahnya yang sedikit dan hanya dimiliki oleh kalangan terbatas.
Kesusastraan Indonesia memang sudah dinilai maju dan berkembang dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman, dan dari angkatan ke angkatan. Akan tetapi kemajuan tersebut hanya dengan kemunculan karya dan tokoh sastra belaka, tanpa di dukung oleh munculnya teori baru terutama dari kritikus sastra yang tentu saja berfungsi sebagai analisa terhadap karya yang meliputi penilaian dan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra.
Pentingnya kritik sastra menurut Murray Krieger dalam karyanya “Criticism as a Secondary Art”, karena kritik sastra bertujuan mengungkap keaslian sebuah karya, sebagai penengah antara karya asli dan kebudayaan pendukungnya, mendebat pendapat yang telah ada—baik yang dibuat oleh perseorangan, maupun hasil kerja tim, serta menjelaskan pada masyarakat bahwa karya sastra adalah hasil interpretasi pengarang terhadap suatu fenomena sehingga terkadang berbeda dan “mengacuhkan” kenyataan yang diakui masyarakat, untuk hal ini karya sastra perlu dilindungi karena karya tersebut perlu dipandang terlepas dari pengarangnya sebagai konstruksi yang otonom/berdiri sendiri.
Kemajuan kesusastraan Indonesia tentunya akan dapat dinikmati oleh semua pihak jika para penulis (sastrawan), pakar sastra (peneliti dan akademisi), pengamat sastra (pembaca), penikmat sastra dan kritikus sastra mampu menempatkan diri pada tempat yang semestinya mereka berada. Menghindarkan diri dari dualisme kerja tentunya akan mendukung terciptanya karya sastra yang bercita rasa tinggi.
Sebagai kritikus sastra, hendaknya juga tidak melupakan himbauan yang ditulis oleh TS Eliot dalam Tradition and Individual Talent (The Sacret Wood,
London: Methuen Co, 1960), “Kritik yang jujur dan apresiatif
diarahkan bukan kepada penyair, tetapi pada sajaknya. Jika kita
memerhatikan omongan kacau para kritikus di koran serta desir ulangan
populer yang menyusulnya, kita akan mendengar banyak nama penyair.
Sedangkan jika kita mencari kenikmatan karya, kita akan jarang
mendapatkannya.”
Daftar bacaan:
Ainun, Nadjib Emha, 1995, Terus Menerba Budaya Tanding, Pengantar Halim HD.. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Suryadi, Linus, 1995, Dari Pujangga ke Penulis Jawa, Pengantar Dr. Alex Sudewa. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Murray Krieger, 1981, “Criticism as a Secondary Art”, dalam What Is Criticism?, editor Paul Hernadi.. Bloomingtoon: Indiana University Press.
Goesprih, Kritik Sastra (Catatan Ringkas Utk Keperluan Sendiri). (http://www.goesprih.blogspot.com, February 18, 2008)
Faiz Mansur, Ragam Kritik Sastra Indonesia. (13 Seprtember 2005)
Karya Banyak, Indonesia Krisis Kritikus Sastra. (Kompas, Senin, 28 April 2008)
Liza Wahyuninto
Pada tahun 1950, beberapa ahli sastra beranggapan bahwa kesusastraan mengalami kemunduran. Salah satu tokoh yang berpandangan bahwa kesusastraan Indonesia mengalami kemunduran adalah Sujadmoko. Dalam esainya yang berjudul Mengapa Konfrontasi, Sujadmoko melihat adanya krisis sastra akibat adanya krisis kepemimpinan politik. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sastra Indonesia mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang menceritakan psikologisme semata-mata.
Ulasan Sudjadmoko tersebut mendapat reaksi keras terutama dari para sastrawan. Para sastrawan tersebut antara lain, Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, dan Boejoeng Saleh. Mereka mengatakan bahwa kesusastraan Indonesia tumbuh subur. H.B. Jassin dalam simposium sastra yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 1954 mengemukakan bahwa kesusastraan Indonesia modern tidak mengalami krisis. Dia mengemukannya dengan bukti-bukti dan dokumentasi yang lengkap. Pada tahun 1955, dalam simposiun yang diadakan kembali di Fakultas sastra Universitas Indonesia, Harijadi S Hartowardojo mengemukakan pendapatnya melalui tulisan yang berjudul Puisi Indonesia Sesudah Chairil Anwar. Selain dalam simposium tersebut pendapat mengenai lahirnya angkatan sastra baru muncul dalam simposium-simposium yang diadakan di Yogyakarta, Solo, dan lain-lain.
Apa yang telah disampaikan oleh Sujadmoko tersebut sangat tepat jika dimunculkan pada saat ini. Saat yang menurut Faiz Mansur dalam ulasannya yang berjudul “Ragam Kritik Sastra Indonesia” sebagian orang menganggap, bahwa sastra adalah bidang marginal, terkucil dari gegap-gempita kesenian panggung dan televisi sekarang ini. Kita hanya menyaksikan eksistensi sastra pada panggung-panggung mini, atau acara bedah buku, temu penulis dengan pembaca yang pengunjungnya bisa kita hitung dengan jari.
Alasan utama bahwa kritik sastra harus berperan dalam membangkitkan semangat bersastra dan mencintai sastra. Pasca HB. Jassin yang memunculkkan angkatan Sastra Melayu Lama dan angkatan sastra modern hingga saat Korrie Layun Rampan yang menyemangati membentuk angkatan sastra 2000, minim bahkan hampir tidak ada kritikus sastra yang mewarnai perjalanan panjang kritik sastra Indonesia. Keadaan ini pulalah yang membuat kemasan sastra tidak menarik dan dinilai sebagai sesuatu yang marginal.
Bahkan menurut Putu Wijaya ketika berbicara dalam seminar bertajuk “Membuka Tabir dengan Sastra: Telaah Jejak Inspirator” yang diadakan oleh Universitas Diponegoro, Semarang, “pasca-Chairil Anwar tak ada gelombang besar dalam perkembangan sastra di Indonesia. Seperti Chairil Anwar yang mendobrak sastra dengan memperbarui bahasa, peran-peran pembaru sastra itu sebenarnya juga terlihat dari sosok WS. Rendra, Sutardji Chalzoum Bachri, dan lain-lain. Namun, para pembaru itu ternyata tidak menimbulkan efek besar terhadap dunia sastra”.
Tentu saja, Hal ini terjadi karena di Indonesia tidak ada kritikus sastra yang cukup berwibawa sehingga bisa menjelaskan arah perkembangan sastra. Hal inilah yang menjadi kerisauan bagi beberapa tokoh sastra Indonesia, menurut Putu Wijaya, “Kalau dulu, ada HB. Jassin yang menjelaskan karya-karya Chairil Anwar. Sesudah HB. Jassin, peran kritikus sangat minim. Ruang untuk melakukan kritik sastra juga sangat terbatas”.
Sastrawan Kritikus, Kritikus Sastrawan : Kekaburan Kritik Sastra Indonesia
Kekaburan kritik sastra di Indonesia mencapai puncaknya di saat para penulis (sastrawan) “ikut-ikutan” menjadi kritikitus. Kehadiran sastrawan kritikus-sastrawan kritikus ini mulanya memang sempat mengisi kekosongan kritikus sastra dan mewarnai dunia kesusatraan Indonesia. Akan tetapi, perkembangan ini lambat laun menjadi lahan saling “ejek” karya sastra yang dihasilkan oleh penulis.
Beberapa tokoh yang terlibat dalam pertentangan kritik sastra tersebut dikategorikan ke dalam beberapa bidang,yaitu; Para pakar sastra (akademisi-kampus): Rahmat Joko Pradopo (UGM), Panuti Sudjiman, MS. Hutagalung, Saleh Saat, Boen S. Oemarjati, Roman Ali, S. Effendi (UI), Th. Rahayu Prihatmi (Undip), Buyung Saleh (UNHAS). Seniman sekaligus pakar sastra: Sapardi Joko Damono, Arif Budiman, Subagio Sastro Wardoyo, Yakob Sumardjo, Darmanto Yatman, Gunawan Mohammad, Taufiq Ismail, WS. Rendra, HB. Jassin, Budi Darma, Suripan. Kritikus seniman: Sutardji Calzoum Bachri, Linus Suryadi, Abdul Hadi WM., Emha Ainun Najib, Korrie Layun Rampan.
Dualisme jabatan antara penulis (sastrawan) dan krikitikus sastra ini berpuncak pada kemarahan para pakar dan pengamat sastra yang menyatakan bahwa kritikus perlu membuat jarak sehingga lebih objektif. Akan tetapi himbauan dari para pakar tidak menyulutkan api pertentangan di antara sastrawan kritikus tersebut.
Pertentangan ini Misalnya apa yang ditulis oleh Emha Ainun Nadjib, pengembaraan Goenawan Mohamad tentang polemic kritik sastra – meskipun berlangsung tidak kentara – sejak Simposium Bahasa dan Kesusatraan tanggal 25-28 Oktober 1966 di Jakarta sampai peringatan Chairil Anwar, 30 April 1967 oleh Direktorat Bahasa dan Kesusastraan bersama BMKN antara Motinggo Boesye, Goenawan Mohamad, Arif Budiman dan Taufiq Ismail versus Lukman Ali M Saleh Saad, MS Hutagalung dan lain-lain. Selalu cenderung memisahkan kedua metode (dalam kritik sastra), Ganzheit dan Analitik secara ekstrim, seolah-olah keduanya sama sekali tidak ada unsure yang bisa disentuhkan.
Akan tetapi, terlepas dari itu semua, yang perlu untuk diperhatikan adalah pembaca karya sastra. Selama ini pembaca tidak pernah dilibatkan dan diajak berdialog oleh penulis. Padahal, seperti yang pernah di katakan oleh Radhar Panca Dahana, ”Sastra memang semestinya dikembalikan kepada pembaca, baik secara teoretis maupun praktis.” Di tingkat teoretis penyingkiran pembaca dalam penelaahan sastra, membuat sastra itu sendiri hanya berputar dalam lingkaran analitik antara para kritikus, ambisi penerbit, atau biografi pengarangnya.
Miskin Buku Teori Kritik Sastra
Kritik sastra adalah bidang kesusastraan yang terus menerus berkembang di dunia. Sebagai akibat dari kemajuan teknologi, perkembangan kritik sastra dunia tentu mempengaruhi perkembangan studi kritik sastra Indonesia. Pengaruh ini dapat timbul dari kerja-kerja kritik yang dilakukan oleh kritikus-kritikus sastra Indonesia—baik dari golongan akademisi, sastrawan, maupun peminat sastra—terhadap karya sastra Indonesia yang selanjutnya mendapatkan tanggapan dari masyarakat sastra dunia, kerja kritik pada karya-karya berbahasa asing, atau sebaliknya: kerja kritik pada karya-karya Indonesia oleh kritikus-kritikus asing, maupun transfer pengetahuan dalam bentuk studi banding dan penterjemahan teks atau buku-buku teori kritik sastra.
Sayangnya, hingga saat ini, kesusastraan Indonesia dapat dikatakan terus saja miskin buku-buku teori kritik sastra. Buku-buku teori yang ada, kebanyakan merupakan buku terbitan lama dengan pembicaraan yang tidak lagi mutakhir. Buku-buku terbitan lama itu pun benar-benar sulit didapat karena jumlahnya yang sedikit dan hanya dimiliki oleh kalangan terbatas.
Kesusastraan Indonesia memang sudah dinilai maju dan berkembang dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman, dan dari angkatan ke angkatan. Akan tetapi kemajuan tersebut hanya dengan kemunculan karya dan tokoh sastra belaka, tanpa di dukung oleh munculnya teori baru terutama dari kritikus sastra yang tentu saja berfungsi sebagai analisa terhadap karya yang meliputi penilaian dan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra.
Pentingnya kritik sastra menurut Murray Krieger dalam karyanya “Criticism as a Secondary Art”, karena kritik sastra bertujuan mengungkap keaslian sebuah karya, sebagai penengah antara karya asli dan kebudayaan pendukungnya, mendebat pendapat yang telah ada—baik yang dibuat oleh perseorangan, maupun hasil kerja tim, serta menjelaskan pada masyarakat bahwa karya sastra adalah hasil interpretasi pengarang terhadap suatu fenomena sehingga terkadang berbeda dan “mengacuhkan” kenyataan yang diakui masyarakat, untuk hal ini karya sastra perlu dilindungi karena karya tersebut perlu dipandang terlepas dari pengarangnya sebagai konstruksi yang otonom/berdiri sendiri.
Kemajuan kesusastraan Indonesia tentunya akan dapat dinikmati oleh semua pihak jika para penulis (sastrawan), pakar sastra (peneliti dan akademisi), pengamat sastra (pembaca), penikmat sastra dan kritikus sastra mampu menempatkan diri pada tempat yang semestinya mereka berada. Menghindarkan diri dari dualisme kerja tentunya akan mendukung terciptanya karya sastra yang bercita rasa tinggi.
Sebagai kritikus sastra, hendaknya juga tidak melupakan himbauan yang ditulis oleh TS Eliot dalam Tradition and Individual Talent (The Sacret Wood,
London: Methuen Co, 1960), “Kritik yang jujur dan apresiatif
diarahkan bukan kepada penyair, tetapi pada sajaknya. Jika kita
memerhatikan omongan kacau para kritikus di koran serta desir ulangan
populer yang menyusulnya, kita akan mendengar banyak nama penyair.
Sedangkan jika kita mencari kenikmatan karya, kita akan jarang
mendapatkannya.”
Daftar bacaan:
Ainun, Nadjib Emha, 1995, Terus Menerba Budaya Tanding, Pengantar Halim HD.. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Suryadi, Linus, 1995, Dari Pujangga ke Penulis Jawa, Pengantar Dr. Alex Sudewa. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Murray Krieger, 1981, “Criticism as a Secondary Art”, dalam What Is Criticism?, editor Paul Hernadi.. Bloomingtoon: Indiana University Press.
Goesprih, Kritik Sastra (Catatan Ringkas Utk Keperluan Sendiri). (http://www.goesprih.blogspot.com, February 18, 2008)
Faiz Mansur, Ragam Kritik Sastra Indonesia. (13 Seprtember 2005)
Karya Banyak, Indonesia Krisis Kritikus Sastra. (Kompas, Senin, 28 April 2008)
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi