Nurel Javissyarqi*
http://www.sastra-indonesia.com/
Gagasan kata ibarat ruang dan esensi kedalaman kalimah bagi masanya. Sama dengan penciptaan insan dalam rahim, yang terjadi segumpal daging lalu disusul tertiupnya ruh. Maka kesadaran awal dari sebuah gagasan ialah kata, bermakna tempat serta sadar ruangan.
Pengisian-pengisian ruang menggunakan masa, mencipta ruh manfaat atas kebertemuan ruang-waktu atau penciptaan yang bergerak masanya. Tubuh-tubuh, fenomena, peredaran, tampakan dari perubahan embrio menuju gagasan gemilang.
Semacam ide takkan lahir sebelum datangnya pandangan suatu hal. Kabut pengalaman, terik dan dingin perjalanan, menentukan watak penciptaan sebuah benua lebih tinggi; drajat ide.
Posisi terbangun dari kesadaran ruangan, diteruskan dalam logika rasa, lalu menjelma muatan ruh manfaat, sebagai padanan langit-bumi selalu mencari pembicaraan alam rasa kehidupan.
Sekilat tampak pandangan di atas tidak bersesuaian dengan awal pencipaan yang berangkat dari anganan cita. Tapi sebuah penciptaan mitos pun dari kementokan mempelajari realitas, ketika akan dimanfaatkan sebagai daya tahan tubuh mental dalam memperjuangkan hayat.
Jadi awal buah gagasan, ide, fikiran serta perasaan puitik, datangnya dari himpitan persoalan pengarang, yang merasuk dalam kesadaran paling tinggi, menghujam jantung makna hayati.
Semisal bayi terlahir menangis sebagai kesadaran baru, saat tingkatan usianya menanjak, mengalami demam melewati waktu, hujaman kesadarannya bertambah mematri, serupa tempaan bathin dituntut berjuang terus.
Anatomi kesadaran itu pemaknaan diri depan cermin. Merefleksi segala yang ada bertopangan kesadaran, meneliti perubahan terus dirasakan, meski di tengah kantuk diseret goda kesambillaluan.
Saya sebut anatomi sebab kesadaran miliki tingkatan badan tertentu atas buaian masa bertumpuknya pengalaman. Dan wawasan terbaca sebagai tambahan mutunya perubahan, yang tidak melupakan esensi diri beranatomi.
Ruang-ruang yang dimaksud dalam bingkai anatomi, selalu mempelajari gerak gairah alam diri, untuk menerobos persinggungan wacana, agar tampil tidak menjadi yang terjajah.
Hikmah mengetahui anatomi kesadaran ialah manfaat kesadaran itu sendiri pada esensinya, pengembangan fitroh insani untuk diperjuangkan, meski pada rana mengecewakan.
Ketangguhan dari hempasan berulang, menjadikan anatominya menonjol, kalbu ditekan semakin berpancaran, akal dicekik keadaan terhimpit, kian lapang dalam pengambilan putusan. Kiranya jarak itu pembelajaran praktis di setingkap waktu sempit. Dan jiwa cemerlang menerima keadaan, menambah yang kekurangan atas sifat menutup diri.
Anatomi kesadaran ialah gabungan psikologi diri dalam meramu filsafat kalbu keimanan dengan memakai timbangan nalar. Dan pencerahannya dihasilkan dari membuai bentuk-bentuk keseimbangan.
Semisal sepucuk surat dari kawan lama, tahu-tahu mendapati kegembiraan sebab rindu terobati datangnya. Ketiba-tibaan itu kesembuhan, gerak luar yang membentuk kesadaran baru. Kiranya sapaan lembut memanggil jiwa, atau sebaliknya jika berkabar tragedi. Kita bisa bantu dengan bertemu memberikan motifasi, agar yang terselubung soal cepat teratasi.
Gambaran di atas menyebutkan anatomi kesadaran bisa terbentuk dari luar, yang tentu berminat meneruskan. Olehnya, karakter takkan terbentuk jika tidak mau merawat, atau kegelisahan atas keseimbangan integralitas diri sebagai pribadi.
Garis teritorial itu menyetiai yang selalu digebu agar tercipta wacana baru kesadaran diri. Pihak lain, anatomi kesadaran dapat mewujudkan kesungguhan cita, kepercayaan masa menancapkan gerak langkah menambah bobot penciptaan otot tangguh, atas kegigihan kerja demi mencapai tujuan.
Bayang-bayang purna itu terketahui, jika memiliki ruang renungan tersendiri yang baik, demi mencari daerah-daerah mana kekurangannya.
Apakah kecermatan kurang tajam dalam menganalisan, atau terlampau meremehkan pandangan orang? Apakah sering menggurui, tidak mau dengar gagasan yang lain? Jelas, kalau menginginkan anatomi kesadaran purna, kudunya membuka diri diperbaiki menerus.
Sebab sering kali egois hingga kesadaran menjadi tidak imbang, antara lengan satu dengan lainnya. Atau kita lupa diberi kaki-kaki lincah, guna langkah difungsikan berlari cepat. Maka anatomi kesadaran harus diselidik sejauh kekurangan, di mana letak kelewat batas, sebelum bercermin publik, dapat dipersiapkan sebaik-baiknya.
Sebab kepercayaan diri tanpa latihan bukanlah wujud anatomi. Kesadaran ruang-waktu menjadi penentu terbentuknya. Ini bisa diproyeksikan menjadi kerja identitas kesadaran awal. Berbeda parade kesadaran maupun teror kesadaran, dirinya lebih menitik beratkan manfaat pribadi, agar kualitas yang terbangun seirama perubahan masa.
Jika diarahkan sebuah karya sastra, mencari ceruk anatomi kesadaran lewat menelisik karakter kejiwaan pencipta dengan alat yang dia pakai, demi menyelidiki kedalamannya. Kajian ini dapat dimasukkan ke bidang analisa. Ruang-ruang pembelajaran menyuntuki pribadi. Di jarak mana harus duduk atau melangkahkan kaki.
Perkembangan lanjut, analisa ini dimungkinan merombak kejiwaan seorang, kiranya membuka kemungkinan belajar, anatomi kesadarannya semakin gamblang atas pencerahan tunggal bernama kesungguhan kerja.
Ini bukan di ruangan teater tapi alam keterbukaan, wilayah setiap orang bisa memetik buah-buahan, tubuh yang terus memproduksi perkembangan kesadaraan. Kiranya tidak menyembunyikan bayangan di depan umum akan kedirian lapang, serupa prajurit maju berperang, meninggalkan bayangannya di rumah. Bertarung mengikuti hembusan angin pengalaman di medan laga, meyakinkan diri sebagai ras pemberontak.
Lebih jauh, bermain di wilayah santai asal terjaga. Di sini telah mengetahui kerakter lingkungan, berpengalaman meramu diri bersama ruang-waktu yang dihadapi. Keterjagaan sebagai bentuk awal yang kudu terawat pada lingkup keakraban.
Menambah tingkatan yang di muka pelaku, berhadapan dengan musuh yang dapat memenggal salah satu anatomi kesadaran jika terlena. Jikalau pelaku tidak ingin anatominya terputus, kudu mawas depan cermin menyendiri, pada forum atau medan perang perkarakteran, di saat saling singgung gagasan.
Analisa ini dimasukkan jangkauan harap, merindu nilai moralitas seimbang, olehnya harus diperbaiki kesadaraan. Kenapa saya sebut bukan semua hal, sebab insan tak bisa memiliki kesegaran kencang, ada masanya istirah, membungkus anatomi kesadaran di ambang pengendapan, bukan di sampirkan lalu besok dipakai. Sebab endapan juga menentukan warna-bentuknya.
Anatomi terbentuk dengan kuat, sekiranya bisa ambil memori yang lekat di jiwa, hati semangat berkeseimbangan. Transaksi masa lampau dan sekarang sebagai perolehan kekinian demi langkah ke muka. Ini infus anatomi yang kurang cairan, karena terlalu lama berkeringat, atas jalan hayat tanpa endapan mendewasakan, semacam jalan di tempat.
Bagaimana pun melangkah tanpa pengendapan, lama-kelamaan keropos. Tidakkan renung menciptakan gunung pengertian, mengenang sejauh mana mendaki, demi mencapai puncak jati diri, yang kudu dimiliki untuk menuntut takdir semestinya.
Arti kata, renungan bisa menggagalkan peristiwa kroposnya anatomi, atau daya tahan dapat langgeng dimiliki, jika mengambil jarak prosesi yang terkerjakan. Ini bukan percepatan dalam pengambilan kesimpulan, tetapi kesimpulan dari perjalanan sebagai tanda meyakinkan sejauh identitas terbentuk.
Erich Fromm dalam bukunya Psychoanalysa and Religion, menuliskan kurang lebih berkata; “Sementara kita mampu menciptakan sesuatu yang luar biasa, kita gagal membuat diri kita bangga.”
Atau manusia dapat menciptakan dunia baik bersesuaian imaji rasa yang dipunyai, tapi ketika kembali ke bilik pribadi, terasa gagal sebab tidak dapat mengurus diri secara wajar. Atau tidak mampu merasakan nikmatnya pencapaian, kecuali gula-gula sukses kesombong, yang tentu di balik lain menimbulkan penyakit gula.
Kacamata yang saya kemukakan ini, kelebihan dari anatomi tertentu yang tidak wajar atau cacat. Lebih tragis, para menemu pencerah itu tidak bisa memperbaiki dirinya yang selalu kehausan. Oleh kurangnya renung penerimaan seimbang, pada terbentuknya struktur anatomi kesadaran secara normal.
Tujuan analisanya membongkar kedirian dari dalam, membentur ulang hasil capaian sampai di tingkatan penerimaan, atas kesadaran jauh melangkah, selain kenikmatan ego. Sehingga menjadikan diri tidak sekadar dalil pendektean (bagi atau dari) orang lain, tetapi lebih pada diri yang terpelajari, dari mana keberhasilan usaha itu terjadi.
Hal itu menemukan nikmat seimbang dalam renungan, penerimaan hasil bukan berhenti, namun menyelidik jarak sampai memperoleh kehakikian kerja. Bukan sekadar transformasi kecerdasan nalar menggurui jerih payah, lalu dianggap gemilang. Yang lebih ditekankan, bagaimana pencetus gagasan psikologi diri bermanfaat dan berkeindahan dalam karya kreatif.
Di samping permenungan tinggi, melihat kecerdasan insan berangkat dari gesekan wacana semacam pisau tajam diasa. Namun ketika tidak, menjadikan tumpul lebih berbahaya sebab berkarat. Kalau menyadari pentingnya ilmu bukan sekadar tranformasi budaya, apalagi keahlian bicara, tapi kesadaran mengambil manfaat pembicaraan. Kiranya akan berfaedah, menambah kekuatan otot-otot anatomi kesadaran di dalam kehidupan.
Kelemahan analisa teramat dangkal di sini. Insan tidak sanggup sempurna, tidak terus menerus mampu menyeimbangkan kesadaran imaji, rasa, nalar dan keseluruhan alat dalam diri. Setidaknya hal ini tempuh, tidak larut menggeluti anatomi tertentu, namun menciptakan ruang-ruang permenungan dalam kebutuhan diri menuju pencapaian.
Ada tiga pembentuk anatomi kesadaran:
Pertama, penghancuran atau revolusi. Penggempuran karakter yang telah ada atas faham orang lain yang disetianya, diganti pemberian sudut pandang sendiri.
Kedua, mencari tempat terpencil atau meditasi. Permenungan untuk menemukan hakikat paling hakiki, tidak terasuki faham yang dapat merugikan keberlangsungan tumbuh mekarnya kembang kesadaran.
Ketiga, membuka argumentasi luar. Untuk dibicarakan pada kedirian, atau ada dialog dinamis demi tercapainya anatomi kesadaran, dari berbagai pengalaman orang, bersama kedirian yang tunggal. Cara ini banyak membutuhkan energi, juga perlu daya saring yang ketat, sehingga memunculkan kesadaran universal. Saya akan mencoba mendedahnya satu-satu lebih jauh:
Revolusi Kesadaran
Kita menyadari telah mengunyah beberapa gagasan orang lain, di mana kadang tindakan itu bukan murni desakan diri. Untuk itu harus merevolusi gagasan yang masuk, bersama gagasan diri yang tercampur ide sebelumnya. Penghapusan, menggagalkan hasil-hasil yang tercapai.
Cara nekat ini belum tentu mendapati hasil maksimal. Namun resiko harus ditanggung kalau ingin penghapus memori semaksimal mungkin, dan membangun kembali gagasan semangat baru, bukan berangkat dari akar kesadaran yang lalu.
Melakukan ini lain daerah, wilayah yang benar-benar baru. Jika berada dalam situasi yang sama pada kurun berdekatan, memulai bentuk baru lewat sikap berbeda dari sebelumnya.
Mungkin orang lain akan bilang munafik, sebab kaca mata mereka berbeda saat gejolak merasuki diri. Gejolak merombak saat dorongan merevolusi kejiwaan, toh yang mendapati manfaat dianya pula. Ini bukan berarti luput bahasan tanggung jawab, sebab pengertiannya berbeda dari sebelumnya.
Semisal seorang santri memasuki pesantren. Saat berada di dalamnya, mau tidak mau merevolusi kebiasaan rumah untuk membiasakan diri di lingkungan itu. Ini dapat terjadi orang rumahan yang sadar makna ibadah, mengaktualisasi pengertian beragama atas pertaubatan. Perubahan sikap yang tampak di sini, berangkat dari merevolusi kesadaran terdalam, kiranya menginginkan bentuk baru itu langgeng.
Atau merevisi ulang secara seksama akan kesadarannya, dengan merusak anatomi kesadaran yang pernah berdenyutan hidup, lewat tergantikan paksa atas anatomi yang baru, bersama angin kehendak perubahan seluruh.
Meditasi Kesadaran
Cara ini hampir serupa bagian awal, memasuki wilayah baru demi menemukan kesadarannya. Tetapi lebih ditekankan dalam pencarian gagasan murni, walau tidak bisa ditemukan semurni mungkin.
Kiranya melewati meditasi kesadaran terpencil, kita mengulangi benang merah kesadaran belia, dengan menyelesaikan permasalahan di hadapan masa itu. Gejala lampau kita proses kembali, demi menemukan kejiwaan diri sebenarnya. Namun dapat pula membawa gagasan awal, sebelum melaksanakan meditasi kesadaran dengan makna.
Dan tidak terpenjara ide sebelumnya, demi pencarian bentuk pandangan halus dari dalam. Hingga gagasan awal bisa diperbantukan mencari tubuh kebenaran dari kenyataan. Sebab setiap insan memiliki kejiwaan berbeda, meski dapat dikategorikan secara umum.
Resiko kecil kesalahan yang ditimbulkan metode ini, dalam membentuk piramida kesadaran. Karena meditasi kesadaran bukan membuang gagasan awal dengan sinis, namun kehati-hatian sahaja, mengajak merenungkan balik yang menghasilkan gagasan dari pantulan kesadaran yang dahulu.
Di sinilah memproyeksikan kesadaran pada tercipta gagasan atas subyektivitas diri. Makna kata, merombak faham lama di goa kemungkinan terciptanya kesadaran baru, berangkat dari pengendapan diri, atas perolehan masa lampau.
Ini sikap pembersihan diri di sendang kedamaian, penguraian makna perjalanan secara mengesankan, bagi yang ingin tercapainya kemurnian pengertian, lewat kelembutan fikiran-perasaan terdalam.
Meditasi Sosial Kesadaran
Adalah menghimpun kontak sosial atas gagasan orang lain dengan pandangan diri, juga memiliki ruang meditasi dalam pemilihan mencapai nilai kebenaran. Bisa dimaksudkan sebagai penggabungan bagian pertama dan kedua, yang pengolahannya menggunakan ruang tertutup juga terbuka. Dan hasilnya mencapai argumentasi kesadaran lebih, mementingkan pandangan umun, namun tidak merugikan pendirian pribadi.
Musyawarah baik dibutuhkan, namun tidak meninggalkan pandangan awal. Seperti laut keseimbangan, debur ombak dilakukan atas angin kerja sosial, kedalaman makna laut kesadaran permenungan, memungkinkan hidupnya ikan-ikan gagasan. Ini memungkinkan yang kita kunyah menjadi daging perbaikan anatomi, ditopang kerja merefleksikan luar berkaca ke dalam.
Memakan yang jelas memberikan gizi, tapi juga berani membuang yang menimbulkan lemak berlebih, agar anatomi dalam meditasi sosial kesadaran seimbang, atas pandangan luar juga penerimaan dalam.
Meditasi sosial kesadaran itu mengembangkan kelestarian baik, berinteraksi secara dinamis dalam kejiwaan, hingga tercapainya keseimbangan bernilai universal, atas membaca faham dari dalam, serta orang lain saat membacanya.
Wawasan ini sampai kalau tekun bekerja, melaksanakan ide berkesadaran menuruti peluang atas kesuburan daging anatomi, dengan tidak terlampau bernafsu yang dapat menggagalkan perencanaan, alias timbulnya ketidakseimbangan atau cacat.
Kerja keras membaca fenomena perubahan, lalu menelaah menjadi catatan-catatan membantu bergerak maju, bagi lelatihan yang dimungkinkan subur, daya kekuatan tercapainya otot-otot tanggung, dalam merawat anatomi kesadaran sang pelaku.
*) Pengelana asal desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Indonesiaku.
Ditulis di Krapyak, Yogyakarta, 2005.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 16 September 2009
Filosofis Kekuasaan dalam Fiksi Epik yang Eksotik
http://www.lampungpost.com/
Judul Buku : The Road To The Empire
Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : PT Lingkar Pena Kreativa
Cetakan : I/Desember 2008
Tebal : 586 hlm.
Peresensi : Umi Laila Sari
DALAM kata pengantar buku Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern, Maman S. Mahayana mengungkapkan bahwa dalam konteks kehidupan berbangsa, selayaknya jika para novelis atau sastrawan pada umumnya ditempatkan sebagai “pejuang moral”. Dengan keluasan wawasan, mereka–para novelis tersebut–berjuang terus demi mengangkat moral bangsa dan harkat manusia. Aspek pesan moral yang ingin disampaikan novelis lewat karyanya adalah kontribusi yang dimaksudkan tersebut.
Pada khazanah kesusastraan Indonesia, cukup banyak karya novel yang begitu sarat pesan moral khususnya pada periode awal perkembangan sastra. Sebut saja novel Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar yang ditempatkan sebagai novel pertama kesusastraan Indonesia modern. Meski pada perkembangan selanjutnya, muncul pula novel yang hanya mementingkan sisi estetika tanpa atau sedikit sekali unsur etika. Atau bahkan cenderung “seronok”.
Padahal, sebagaimana diakui umum, novel (sastra) sebagai bahan bacaan cukup memengaruhi pemikiraan, sikap dan pola hidup pembaca secara masif. Nah, pada peran pejuang moral inilah novel epik Sinta Yudisia berjudul The Road to The Empire: Kisah Takudar Khan, Pengeran Muslim Pewaris Mongol, patut diletakkan. Meski secara setting tersurat sang pengarang mengambil wilayah Mongolia untuk menghidupkan tokoh-tokohnya tapi refleksinya dapat diangkat pada latar ke-Indonesia-an. Terlebih dengan situasi kekinian menjelang pesta demokrasi di republik ini.
Sebuah perjalanan panjang sekaligus alur memikat yang dirangkai sang pengarang harus dilalui Takudar, sang tokoh utama. Ia adalah pangeran kesatu dari 3 putra Tuqluq Timur Khan, penguasa imperium Mongolia, keturunan Jenghiz Khan. Menurut aturan kerajaan dan keinginan sang ayah, Takudar lah yang menjadi pewaris takhta berikutnya. Akan tetapi, sebagaimana kekuasaan dengan semua kenikmatannya tentu mengundang keinginan banyak pihak menguasainya. Dengan strategi politik yang berorientasi tujuan, mengenyampingkan cara mencapainya, mengalir berbagai konflik fisik dan batin para tokoh.
Orang-orang yang sebelumnya menjadi keluarga, sahabat, teman, nyatanya menjadi orang asing dan berada pada posisi melawannya. Takhta kerajaan dikuasai Arghun, adik keduanya, setelah kedua orang tua mereka dibunuh oleh pihak yang tak pernah jelas terungkap kasusnya.
Sesungguhnya, bukan karena tak memperoleh kedudukan sebagai raja yang menjadikan Takudar menjadi pengasingan dan memulai hidup berbeda. Tetapi bayangan kehancuran negeri leluhurnya adalah hal tersulit yang harus diperbaikinya. Penguasa ternyata tidak lagi mengayomi rakyat. Upeti ditarik begitu tinggi, sementara kesejahteraan hidup penduduk tidak diperhatikan. Pejabat terus berpesta pora dan menghabiskan kas negara. Kerusakan moral hampir merambah seluruh pejabat kerajaan. Dan puncaknya, penderitaan rakyat yang kian menyedihkan justru ditanggapi dengan rencana besar untuk terus melakukan ekspansi. Dengan alasan mengangkat kejayaan dan kebesaran imperium Mongol, penyerbuan ke semua penjuru mata angin dilakukan.
Tidak ada pilihan lain bagi Takudar selain melakukan perlawanan. Sebentuk jiwa kesatria diungkap pengarang pada perjuangan merebut kembali takhta kerajaan. Dan pada bagian inilah kekuatan novel The Road to The Empire hingga menjadikannya peraih IKAPI-IBF Award 2009 kategori fiksi dewasa terbaik.
Kemampuan Sinta untuk menyentak emosi pembaca sangat terbantu dengan diksi yang sangat indah tetapi tegas. Juga pemaparan detail perasaan masing-masing tokoh dalam tiap konflik. Kendati demikian, kehadiran cukup banyak tokoh pendamping menjadi sedikit kelemahan novel sejarah ini karena menyebabkan kesulitan pembaca mengingat semua tokoh. Belum lagi nama masing-masing tokoh sulit diingat. Juga pada ending, pengarang terlewat untuk menjelaskan kelanjutan nasib mereka. Sebagai sebuah karya sastra, The Road to The Empire telah berhasil menjadi media bercermin bagi setiap pembacanya. Merenungi kembali dan berupaya memperbaiki diri atas nilai filosofis kehidupan. Kekuasaan yang seolah menjadi kue mahal yang diperebutkan sejatinya hanyalah amanah yang begitu berat dijalankan. Saya pikir akan sangat baik novel The Road to The Empire direkomendasikan bagi para elite politik dan penguasa negeri ini.
Judul Buku : The Road To The Empire
Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : PT Lingkar Pena Kreativa
Cetakan : I/Desember 2008
Tebal : 586 hlm.
Peresensi : Umi Laila Sari
DALAM kata pengantar buku Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern, Maman S. Mahayana mengungkapkan bahwa dalam konteks kehidupan berbangsa, selayaknya jika para novelis atau sastrawan pada umumnya ditempatkan sebagai “pejuang moral”. Dengan keluasan wawasan, mereka–para novelis tersebut–berjuang terus demi mengangkat moral bangsa dan harkat manusia. Aspek pesan moral yang ingin disampaikan novelis lewat karyanya adalah kontribusi yang dimaksudkan tersebut.
Pada khazanah kesusastraan Indonesia, cukup banyak karya novel yang begitu sarat pesan moral khususnya pada periode awal perkembangan sastra. Sebut saja novel Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar yang ditempatkan sebagai novel pertama kesusastraan Indonesia modern. Meski pada perkembangan selanjutnya, muncul pula novel yang hanya mementingkan sisi estetika tanpa atau sedikit sekali unsur etika. Atau bahkan cenderung “seronok”.
Padahal, sebagaimana diakui umum, novel (sastra) sebagai bahan bacaan cukup memengaruhi pemikiraan, sikap dan pola hidup pembaca secara masif. Nah, pada peran pejuang moral inilah novel epik Sinta Yudisia berjudul The Road to The Empire: Kisah Takudar Khan, Pengeran Muslim Pewaris Mongol, patut diletakkan. Meski secara setting tersurat sang pengarang mengambil wilayah Mongolia untuk menghidupkan tokoh-tokohnya tapi refleksinya dapat diangkat pada latar ke-Indonesia-an. Terlebih dengan situasi kekinian menjelang pesta demokrasi di republik ini.
Sebuah perjalanan panjang sekaligus alur memikat yang dirangkai sang pengarang harus dilalui Takudar, sang tokoh utama. Ia adalah pangeran kesatu dari 3 putra Tuqluq Timur Khan, penguasa imperium Mongolia, keturunan Jenghiz Khan. Menurut aturan kerajaan dan keinginan sang ayah, Takudar lah yang menjadi pewaris takhta berikutnya. Akan tetapi, sebagaimana kekuasaan dengan semua kenikmatannya tentu mengundang keinginan banyak pihak menguasainya. Dengan strategi politik yang berorientasi tujuan, mengenyampingkan cara mencapainya, mengalir berbagai konflik fisik dan batin para tokoh.
Orang-orang yang sebelumnya menjadi keluarga, sahabat, teman, nyatanya menjadi orang asing dan berada pada posisi melawannya. Takhta kerajaan dikuasai Arghun, adik keduanya, setelah kedua orang tua mereka dibunuh oleh pihak yang tak pernah jelas terungkap kasusnya.
Sesungguhnya, bukan karena tak memperoleh kedudukan sebagai raja yang menjadikan Takudar menjadi pengasingan dan memulai hidup berbeda. Tetapi bayangan kehancuran negeri leluhurnya adalah hal tersulit yang harus diperbaikinya. Penguasa ternyata tidak lagi mengayomi rakyat. Upeti ditarik begitu tinggi, sementara kesejahteraan hidup penduduk tidak diperhatikan. Pejabat terus berpesta pora dan menghabiskan kas negara. Kerusakan moral hampir merambah seluruh pejabat kerajaan. Dan puncaknya, penderitaan rakyat yang kian menyedihkan justru ditanggapi dengan rencana besar untuk terus melakukan ekspansi. Dengan alasan mengangkat kejayaan dan kebesaran imperium Mongol, penyerbuan ke semua penjuru mata angin dilakukan.
Tidak ada pilihan lain bagi Takudar selain melakukan perlawanan. Sebentuk jiwa kesatria diungkap pengarang pada perjuangan merebut kembali takhta kerajaan. Dan pada bagian inilah kekuatan novel The Road to The Empire hingga menjadikannya peraih IKAPI-IBF Award 2009 kategori fiksi dewasa terbaik.
Kemampuan Sinta untuk menyentak emosi pembaca sangat terbantu dengan diksi yang sangat indah tetapi tegas. Juga pemaparan detail perasaan masing-masing tokoh dalam tiap konflik. Kendati demikian, kehadiran cukup banyak tokoh pendamping menjadi sedikit kelemahan novel sejarah ini karena menyebabkan kesulitan pembaca mengingat semua tokoh. Belum lagi nama masing-masing tokoh sulit diingat. Juga pada ending, pengarang terlewat untuk menjelaskan kelanjutan nasib mereka. Sebagai sebuah karya sastra, The Road to The Empire telah berhasil menjadi media bercermin bagi setiap pembacanya. Merenungi kembali dan berupaya memperbaiki diri atas nilai filosofis kehidupan. Kekuasaan yang seolah menjadi kue mahal yang diperebutkan sejatinya hanyalah amanah yang begitu berat dijalankan. Saya pikir akan sangat baik novel The Road to The Empire direkomendasikan bagi para elite politik dan penguasa negeri ini.
Dari Sastra ke Rupa ke Sastra
Sjifa
Amori
jurnalnasional.com
Seni rupa dan sastra bergulat mengemukakan pemaknaannya atas perang.
Perang menjadi titik perjalinan antara puisi, lukisan, dan instalasi dalam pameran Festival Salihara tahun ini. Pameran yang bertajuk Perang, Kata, dan Rupa ini memilih beberapa karya teks puisi dengan tema “perang” sebagai pusat perbincangannya. “Perang” ini akan dimulai dari pertempuran dalam makna sebenarnya hingga perang yang memuat pertikaian dengan diri sendiri. Seperti yang diutarakan penyair kenamaan Chairil Anwar dalam puisinya, Malam.
jurnalnasional.com
Seni rupa dan sastra bergulat mengemukakan pemaknaannya atas perang.
Perang menjadi titik perjalinan antara puisi, lukisan, dan instalasi dalam pameran Festival Salihara tahun ini. Pameran yang bertajuk Perang, Kata, dan Rupa ini memilih beberapa karya teks puisi dengan tema “perang” sebagai pusat perbincangannya. “Perang” ini akan dimulai dari pertempuran dalam makna sebenarnya hingga perang yang memuat pertikaian dengan diri sendiri. Seperti yang diutarakan penyair kenamaan Chairil Anwar dalam puisinya, Malam.
KEPADA YANG MELUPAKAN*
:Pengantar Antologi Puisi Penyair Perempuan Asas “Sihir Terakhir” (diterbitkan PUstaka puJAngga 2009)
Nenden Lilis A.**
Membuka lembar demi lembar antologi puisi yang ditulis para perempuan yang tergabung dalam komunitas ASAS dan menghikmatinya satu demi satu, saya seperti membuka lembar demi lembar album kenangan sekaligus sejarah perjalanan sastra perempuan kita. Dari tiap lembar album yang terbuka menganga itu seolah menjerit suara tentang perempuan, yang dalam sejarah atau segala hal lainnya selalu di “sunyi”-kan dan ditinggalkan waktu; dimarjinalkan dan didiskriminasi.
Saya ingin membuka sedikit gambaran itu dari pengalaman personal saya sebagai penyair yang berjenis kelamin perempuan. Kalau kemudian saya bercerita tentang hal itu dari kondisi kepenyairan di Jawa Barat, itu karena kebetulan saja saya berdomisili di Jawa Barat. Tetapi, saya yakin, bahwa gambaran ini adalah juga representasi kondisi perempuan di wilayah-wilayah lainnya.
Di Jawa Barat, baik dengan diam-diam, maupun dengan mempublikasikan karya lewat media massa, tentulah banyak perempuan yang berkarya. Tetapi, sejauh itu, mereka seolah dianggap tak ada. Hingga tahun 1996-an saja, seperti salah satunya dapat dilihat dalam antologi puisi 10 penyair Jawa Barat Cermin Alam, tak satu pun tercantum nama dan karya perempuan. Terlebih lagi dalam kegiatan sastra. Perempuan adalah jenis kelamin yang dilupakan.
Saya baru merasa keberadaan perempuan agak ditoleh, dari event sastra nasional yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, yang kebetulan saya termasuk salah seorang yang diundang di dalamnya. Dalam event itu pun, dari ratusan penyair yang diundang dari seluruh Indonesia, jumlah perempuan hanya empat orang (saya sendiri dari Bandung, Oka Rusmini dari Bali, Sirikit Syah dari Surabaya, dan Anil Hukma dari Makassar). Jumlah itu mewakili jumlah propinsi saja tidak. Selanjutnya, seringkali dalam berbagai even sastra lainnya, saya selalu melihat diri saya sendirian dan terasing di tengah para laki-laki. Kondisi empirik itu menyadarkan saya akan termarjinalisasinya perempuan dalam kesusastraan.
Tahun 1995 “perlawanan” terhadap pemarjinalan itu dimulai. Kebetulan saya bergabung dalam komunitas Bandung Literature Society yang diketuai Beni R. Budiman (alm.). Melalui wadah tersebut, bekerja sama dengan Forum Sastra Bandung (FSB), pada 17 Desember 1995, Beni R. Budiman menggagas pernyelenggaraan pembacaan puisi oleh para penyair dari kalangan perempuan dalam dua kota Bandung-Jakarta. Upaya ini dilanjutkan dengan merangkum para penyair dari kalangan perempuan yang tersebar di berbagai kampus dalam sebuah diskusi dan pembacaan puisi di CCF Bandung pada 23 April dengan menghadirkan pembicara Melani Budianta dan saya sendiri.
Benih-benih ini melahirkan sebuah komunitas sastra peduli perempuan bernama Komunitas Sastra Dewi Sartika (KSDS) yang pada saat itu aktif mengadakan diskusi, berbagai event sastra, penerbitan buku. Tulisan-tulisan yang menggugat diskriminasi gender ini pun gencar dipublikasikan.
Apa yang digambarkan di atas, akan dianggap besar atau kecil, adalah jejak-jejak yang telah ditorehkan dan telah turut merintis jalan bagi terbukanya hutan patriarki yang menghegemoni kesusastraan kita selama ini.
Mengenang jejak-jejak itu sambil membayangkan kata-kata futurolog John Naisbit yang meramalkan abad 21 sebagai abad kebangkitan perempuan, atau feminis Amerika Naomi Wolf yang mengatakan hal yang sama, yakni abad 21 sebagi era kekuasaan perempuan, saya berharap kini ’hutan’ itu sudah betul-betul terbuka. Tetapi, kehadiran antologi Kepada Yang Melupakan (antologi puisi perempuan ASAS) ini menegunkan saya dari harapan tersebut. Apa yang saya kira sudah ada di hadapan saya itu ternyata masih jauh.
Tatkala antologi-antologi semacam ini hadir, tentulah ada sesuatu di balik itu. Tak ada asap jika tak ada api. Mengapa dalam kesusastraan Indonesia muncul buku-buku antologi karya sastra khusus perempuan? Mengapa terbentuk komunitas-komunitas sastra perempuan? Mengapa pula ada penyelenggaraan kegiatan-kegiatan sastra yang pengisi dan isi yang dikupasnya tentang perempuan? Tak perlu berpikir panjang untuk menjawabnya sebab hal-hal tersebut cukup jelas menegaskan kepada kita betapa perempuan tidak terakomodasi dalam ruang kesusastraan yang melingkupinya.
Betapa pun dilematisnya upaya seperti itu. Upaya seperti ini di satu sisi memang dapat menegaskan eksistensi perempuan dalam kesusastraan dan mengangkat posisi mereka dari penenggelaman yang mereka alami selama ini. Namun di sisi lain, hal itu menimbulkan kesan seolah-olah kesusastraan perempuan berada di wilayah lain, terpisah dari sejarah dan diskursus kesusastraan secara umum. Hal seperti ini pun bukan tidak mungkin menyebabkan peng-hierarki-an antara perempuan dan laki-laki.
Tetapi, selama pemarjinalan terhadap perempuan terjadi, upaya berupa affirmative action seperti itu perlu terus dilakukan. Seperti kita ketahui, affirmative action adalah tindakan yang sengaja diambil dengan cara memperlihatkan perbedaan suatu kelompok dari kelompok lainnya dengan tujuan mengangkatnya dari ketidakadilan kesempatan. Tindakan afirmatif dilakukan jika ada suatu kelompok yang terpinggirkan. Upaya seperti ini, seperti yang sudah kita rasakan, sedikit demi sedikit mengikis keangkuhan hegemoni patriarki dalam kesusastraan kita. Dalam konteks affirmative action inilah tampaknya antologi puisi ini hadir, dan kita perlu menyambutnya dengan penuh keterbukaan.
***
Disadari atau tidak disadari oleh para penulis dalam antologi ini, bahwa yang mereka lakukan dengan penerbitan antologi ini sesungguhnya tidak sekedar tindakan afirmatif dalam konteks seperti digambarkan di atas, tetapi juga sebuah kerja politik. Michel Foucalt pernah menyatakan bahwa dalam masyarakat patriarki, perempuanlah yang mengalami kelangkaan kekuasaan (lack of power). Untuk memperbaiki ketidakadilan itu, perempuan harus melancarkan strategi, yaitu bicara (menjadi ”subjek yang berbicara”). Harus disadari dan diyakini bahwa suara-suara perempuan yang lahir dari setiap personalitasnya itu hadir di masyarakat sebagai upaya politik mengubah struktur dan relasi yang tidak adil. Menulis adalah salah satu bentuk penghadiran suara-suara itu. Dengan begitu, bagi perempuan, menulis adalah upaya politik bagi terciptanya sebuah dunia yang lebih adil dan sehat. ”Personal is political,” begitulah salah satu prinsip feminisme berujar.
Dan, membaca antologi ini, akan banyak kita temukan suara-suara itu. Begitu berwarna dan bernuansa. Isi, cara pandang, dan penyajian dari 18 penyair muda ini begitu beraneka. Ditilik dari segi kemampuan teknis menulis puisi, sebagian memang masih tampak tertatih-tatih. Tetapi, sebagian yang lain, seperti tampak pada sajak Dian Hartati dan Fina sato yang memang sudah punya jam terbang tinggi dalam bidang ini, sudah menunjukkan kematangan. Begitu pula pada sajak-sajak Desti Fatin Fauziyyah dan Alfatihatus Sholihatunnisa yang jernih, Cut Nanda yang bereksplorasi bunyi kata, Ellie R. Noer yang menghadirkan cara pandang jeli, unik, dan orisinal, atau Evi Sefiani yang tanpa pretensi dengan tema dan lebih memilih sajak-sajak manis dan liris, dan banyak lagi. Tentu saja, para penulis ini sedang berproses, dan yang namanya proses tidak akan pernah berhenti. Orang yang berhenti berproses sama artinya dengan orang yang berhenti berkreativitas. Dengan demikian, terlalu dini untuk menilai mereka dari segi nilai puisi-puisinya.
Perkembangan dan kemajuan mereka masih kita tunggu. Namun, sekecil atau sebesar apapun, apa yang mereka lakukan perlu dicatat sebagai upaya untuk mengingatkan mereka yang selalu ”melupakan” sebuah kehadiran, terutama kehadiran perempuan. Dengan menulis, pada dasarnya mereka pun telah turut menjaga kita dari lupa. Namun, pekerjaan rumah belum berarti selesai, sebab seperti dikatakan Desti Fatin dalam puisinya: kita belum menjadi kita/dan kau melulu jadi pelupa.***
*) Dari judul puisi karya Desti Fatin Fauziyyah.
**) Penyair, pendiri KSDS, dan dosen di Jurdiksatrasia FPBS UPI.
Nenden Lilis A.**
Membuka lembar demi lembar antologi puisi yang ditulis para perempuan yang tergabung dalam komunitas ASAS dan menghikmatinya satu demi satu, saya seperti membuka lembar demi lembar album kenangan sekaligus sejarah perjalanan sastra perempuan kita. Dari tiap lembar album yang terbuka menganga itu seolah menjerit suara tentang perempuan, yang dalam sejarah atau segala hal lainnya selalu di “sunyi”-kan dan ditinggalkan waktu; dimarjinalkan dan didiskriminasi.
Saya ingin membuka sedikit gambaran itu dari pengalaman personal saya sebagai penyair yang berjenis kelamin perempuan. Kalau kemudian saya bercerita tentang hal itu dari kondisi kepenyairan di Jawa Barat, itu karena kebetulan saja saya berdomisili di Jawa Barat. Tetapi, saya yakin, bahwa gambaran ini adalah juga representasi kondisi perempuan di wilayah-wilayah lainnya.
Di Jawa Barat, baik dengan diam-diam, maupun dengan mempublikasikan karya lewat media massa, tentulah banyak perempuan yang berkarya. Tetapi, sejauh itu, mereka seolah dianggap tak ada. Hingga tahun 1996-an saja, seperti salah satunya dapat dilihat dalam antologi puisi 10 penyair Jawa Barat Cermin Alam, tak satu pun tercantum nama dan karya perempuan. Terlebih lagi dalam kegiatan sastra. Perempuan adalah jenis kelamin yang dilupakan.
Saya baru merasa keberadaan perempuan agak ditoleh, dari event sastra nasional yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, yang kebetulan saya termasuk salah seorang yang diundang di dalamnya. Dalam event itu pun, dari ratusan penyair yang diundang dari seluruh Indonesia, jumlah perempuan hanya empat orang (saya sendiri dari Bandung, Oka Rusmini dari Bali, Sirikit Syah dari Surabaya, dan Anil Hukma dari Makassar). Jumlah itu mewakili jumlah propinsi saja tidak. Selanjutnya, seringkali dalam berbagai even sastra lainnya, saya selalu melihat diri saya sendirian dan terasing di tengah para laki-laki. Kondisi empirik itu menyadarkan saya akan termarjinalisasinya perempuan dalam kesusastraan.
Tahun 1995 “perlawanan” terhadap pemarjinalan itu dimulai. Kebetulan saya bergabung dalam komunitas Bandung Literature Society yang diketuai Beni R. Budiman (alm.). Melalui wadah tersebut, bekerja sama dengan Forum Sastra Bandung (FSB), pada 17 Desember 1995, Beni R. Budiman menggagas pernyelenggaraan pembacaan puisi oleh para penyair dari kalangan perempuan dalam dua kota Bandung-Jakarta. Upaya ini dilanjutkan dengan merangkum para penyair dari kalangan perempuan yang tersebar di berbagai kampus dalam sebuah diskusi dan pembacaan puisi di CCF Bandung pada 23 April dengan menghadirkan pembicara Melani Budianta dan saya sendiri.
Benih-benih ini melahirkan sebuah komunitas sastra peduli perempuan bernama Komunitas Sastra Dewi Sartika (KSDS) yang pada saat itu aktif mengadakan diskusi, berbagai event sastra, penerbitan buku. Tulisan-tulisan yang menggugat diskriminasi gender ini pun gencar dipublikasikan.
Apa yang digambarkan di atas, akan dianggap besar atau kecil, adalah jejak-jejak yang telah ditorehkan dan telah turut merintis jalan bagi terbukanya hutan patriarki yang menghegemoni kesusastraan kita selama ini.
Mengenang jejak-jejak itu sambil membayangkan kata-kata futurolog John Naisbit yang meramalkan abad 21 sebagai abad kebangkitan perempuan, atau feminis Amerika Naomi Wolf yang mengatakan hal yang sama, yakni abad 21 sebagi era kekuasaan perempuan, saya berharap kini ’hutan’ itu sudah betul-betul terbuka. Tetapi, kehadiran antologi Kepada Yang Melupakan (antologi puisi perempuan ASAS) ini menegunkan saya dari harapan tersebut. Apa yang saya kira sudah ada di hadapan saya itu ternyata masih jauh.
Tatkala antologi-antologi semacam ini hadir, tentulah ada sesuatu di balik itu. Tak ada asap jika tak ada api. Mengapa dalam kesusastraan Indonesia muncul buku-buku antologi karya sastra khusus perempuan? Mengapa terbentuk komunitas-komunitas sastra perempuan? Mengapa pula ada penyelenggaraan kegiatan-kegiatan sastra yang pengisi dan isi yang dikupasnya tentang perempuan? Tak perlu berpikir panjang untuk menjawabnya sebab hal-hal tersebut cukup jelas menegaskan kepada kita betapa perempuan tidak terakomodasi dalam ruang kesusastraan yang melingkupinya.
Betapa pun dilematisnya upaya seperti itu. Upaya seperti ini di satu sisi memang dapat menegaskan eksistensi perempuan dalam kesusastraan dan mengangkat posisi mereka dari penenggelaman yang mereka alami selama ini. Namun di sisi lain, hal itu menimbulkan kesan seolah-olah kesusastraan perempuan berada di wilayah lain, terpisah dari sejarah dan diskursus kesusastraan secara umum. Hal seperti ini pun bukan tidak mungkin menyebabkan peng-hierarki-an antara perempuan dan laki-laki.
Tetapi, selama pemarjinalan terhadap perempuan terjadi, upaya berupa affirmative action seperti itu perlu terus dilakukan. Seperti kita ketahui, affirmative action adalah tindakan yang sengaja diambil dengan cara memperlihatkan perbedaan suatu kelompok dari kelompok lainnya dengan tujuan mengangkatnya dari ketidakadilan kesempatan. Tindakan afirmatif dilakukan jika ada suatu kelompok yang terpinggirkan. Upaya seperti ini, seperti yang sudah kita rasakan, sedikit demi sedikit mengikis keangkuhan hegemoni patriarki dalam kesusastraan kita. Dalam konteks affirmative action inilah tampaknya antologi puisi ini hadir, dan kita perlu menyambutnya dengan penuh keterbukaan.
***
Disadari atau tidak disadari oleh para penulis dalam antologi ini, bahwa yang mereka lakukan dengan penerbitan antologi ini sesungguhnya tidak sekedar tindakan afirmatif dalam konteks seperti digambarkan di atas, tetapi juga sebuah kerja politik. Michel Foucalt pernah menyatakan bahwa dalam masyarakat patriarki, perempuanlah yang mengalami kelangkaan kekuasaan (lack of power). Untuk memperbaiki ketidakadilan itu, perempuan harus melancarkan strategi, yaitu bicara (menjadi ”subjek yang berbicara”). Harus disadari dan diyakini bahwa suara-suara perempuan yang lahir dari setiap personalitasnya itu hadir di masyarakat sebagai upaya politik mengubah struktur dan relasi yang tidak adil. Menulis adalah salah satu bentuk penghadiran suara-suara itu. Dengan begitu, bagi perempuan, menulis adalah upaya politik bagi terciptanya sebuah dunia yang lebih adil dan sehat. ”Personal is political,” begitulah salah satu prinsip feminisme berujar.
Dan, membaca antologi ini, akan banyak kita temukan suara-suara itu. Begitu berwarna dan bernuansa. Isi, cara pandang, dan penyajian dari 18 penyair muda ini begitu beraneka. Ditilik dari segi kemampuan teknis menulis puisi, sebagian memang masih tampak tertatih-tatih. Tetapi, sebagian yang lain, seperti tampak pada sajak Dian Hartati dan Fina sato yang memang sudah punya jam terbang tinggi dalam bidang ini, sudah menunjukkan kematangan. Begitu pula pada sajak-sajak Desti Fatin Fauziyyah dan Alfatihatus Sholihatunnisa yang jernih, Cut Nanda yang bereksplorasi bunyi kata, Ellie R. Noer yang menghadirkan cara pandang jeli, unik, dan orisinal, atau Evi Sefiani yang tanpa pretensi dengan tema dan lebih memilih sajak-sajak manis dan liris, dan banyak lagi. Tentu saja, para penulis ini sedang berproses, dan yang namanya proses tidak akan pernah berhenti. Orang yang berhenti berproses sama artinya dengan orang yang berhenti berkreativitas. Dengan demikian, terlalu dini untuk menilai mereka dari segi nilai puisi-puisinya.
Perkembangan dan kemajuan mereka masih kita tunggu. Namun, sekecil atau sebesar apapun, apa yang mereka lakukan perlu dicatat sebagai upaya untuk mengingatkan mereka yang selalu ”melupakan” sebuah kehadiran, terutama kehadiran perempuan. Dengan menulis, pada dasarnya mereka pun telah turut menjaga kita dari lupa. Namun, pekerjaan rumah belum berarti selesai, sebab seperti dikatakan Desti Fatin dalam puisinya: kita belum menjadi kita/dan kau melulu jadi pelupa.***
*) Dari judul puisi karya Desti Fatin Fauziyyah.
**) Penyair, pendiri KSDS, dan dosen di Jurdiksatrasia FPBS UPI.
Hudan Hidayat: Penyair Gita Pratama -misalkan Kita
Hudan Hidayat
http://ruangbelajar-crystalistgita.blogspot.com/
Andai-Andai
Anak Pedagang remote:
Jika nanti aku besar
Kujual sebuah remote warna perak
Hentikan lalu lalang manusiamanusia hilang
Agar tak lagi sibuk merubah channel
Kejar tayangan tivi warna suram terang
Lantas menggambar saja sendiri, mimpi
Anak Pedagang Bakso:
Jika nanti aku besar
Kubuat bakso raksasa mengganti bumi
Yang kata orang sebulat mataku
Dengan kuah pekat, mie lembut
Kaldunya berkelip serupa bintang
Di mangkok bergambar peri, ibu
Anak pedagang Jagung Bakar:
Jika nanti aku besar
Akan kupasang arang, fondasi gedung jagung raksasa
Tinggi, menjulang menikam-nikam langit
Asap bakar aroma magis
Kuhipnotis para penikmat jagung
Sabut dijadikan rambut, tubuhnya kaku
Umpati bonggol-bonggol sepi
Anak Pedagang Kopi :
Jika nanti aku besar
Akan kutumbuk biji kopi sendiri, balurkan di tiap jengkal tubuh
Agar samar di antara remang gelap
Diam-diam menyelinap di halaman buku bersampul putih
Di sana, aku menjadi kata-kata pengganti tinta
Sby, Maret-Mei 2009
damam tak juga turun. atau tepatnya demam naik dan turun. tapi mengapa harus murung. biasa saja: tubuh, memang tak boleh dibuat selalu sejahtera. kadang demam harus memang datang. kalau tak datang, baik kita undang. dengan demam, kita mengingat akan rasa senang. menjadikan jiwa selalu waspada, awas akan daya daya dalam hidup ini.
pagi tadi aku ke note icha chemplon. untulugi yang merepotkanku itu sudah disusunkan kawan kawanku. jadi bolehlah aku melakukan kesuakaanku, mengembara mencari cari sastra. kalau kalau ada yang bisa menghibur diri sebelum mati. bahwa sastra ini, oh indahnya. kok bisa ya sang penyair, membuat dunia kata yang ajaib dari gaib bahasa (frasa dari larik sitok srengenge).
dalam mencari aku tak perlu diundang. mencari aja sebagai diri yang senang. apalagi gita pratama, penyair yang sudah lama kukenal sejak di multiply, sejak di milis yang kami ikuti - apresiasi sastra. aku berpendapat lembaga budaya kayak tuk itu - salihara kini - sudah bolehlah mengundang penyair
yang selalu menulis puisi tak berbait panjang ini. puisi yang ringkas - tiga atau empat bait, dengan larik larik puisi yang juga tak panjang. tapi puisi, keindahan dan kedalamannya, memang tak berurusan dengan panjang dan pendeknya sebuah bait, atau sebuah larik. kedalaman dan keindahan puisi, bergantung pada cara bagaimana puisi itu ditulis, dan apa yang dibicarakan oleh puisi itu sendiri.
apakah yang dibicarakan gita pratama dalam dunia puisinya? hanya hal yang biasa saja. hidup sehari hari yang biasa. tapi dengan sudut pandang victim - korban dari sebuah masyarakat di mana sang individu kalah tapi selalu melawan di sana, itulah yang menarik dari puisi puisi penyair gita pratama ini.
datanglah ke notenya, kita akan dapatkan dunia dari orang orang kalah itu. dunia yang diberi tekanan perlawanan oleh sang penyair, sehingga kabar tentang kekalahan, kadang berbelok juga menjadi kemenangan. manusia bisa dilumpuhkan, kata kebajikan entah di mana kudengar, tapi tak bisa dikalahkan.
dan itu artinya ia selalu mempunyai ruang untuk mengucapkan dirinya, untuk melawan dengan dirinya. meski hanya atau dalam dunia puisi, perlawanan semacam itu menjadi sebuah gerak pikiran untuk dijadikan semacam obor di hati. obor yang akan dibaca oleh mereka yang tahu akan hidup, dalam kegiatan budaya saling membaca dan saling menulis. akan nampaklah benang benang merah perlawanan yang datang dari pikiran itu.
empat silhuet sunyi yang diperagakan dengan identitas orang kecil di puisi yang berjudul andai andai ini, memperlihatkan jenis dan watak perlawanan yang datang dari dunia kontemplasi sang penyair, dunia yang dalam usahanya mengatasi benda benda, telah membuat benda dan peristiwa yang dibayangkannya terkelupas di sana. mendadak kita berhadapan dengan sebuah benda dan peristiwa yang lain. kopi, jagung bakar, remoute control, bulatan bakso yang memang sebesar biji mata sang penyair, telah bergerak menjadi dunia iktibar, dunia lambang lambang.
lambang lambang yang menjadi lintasan penyair untuk menyampaikan renungannya yang masuk ke dalam permainan peran - andai andai itu - mencipta ruang kosong yang bisa diisi rasa sunyi karena keterampilan sang penyair melukiskan, bukan mengatakan dengan dunia kata kata belaka, seperti yang tadi kulihat di note penyair cemerlang yang lain - krisandi dewi, tentang seorang anak penjual koran, yang temanya sangat bagus tapi gagal memancing pembacanya masuk ke dalam peristiwa yang sedang diceritakannya.
kegagalan yang biasa di dalam dunia penciptaan, telah diambil alih oleh penyair gita dengan amat baik.
jika nanti aku besar, sebuah larik yang mengajak, atau sekaligus dengan sekali sentak, telah memindahkan kisah puisi ke kisah yang mungkin telah menjadi pengalaman pembaca puisinya. jika nanti aku besar sebagai pintu masuk bagi dunia yang hendak dibentangkan oleh sang penyair, di mana pembaca masuk dan berdiam dalam perisitwa yang hendak diceritakan oleh sang penyair.
jika nanti aku besar, dari sebuah pengalaman yang sama dari manusia yang sama yakni kita kita juga. kita manusia yang bisa berkaca dalam tiap kasus hidupnya yang nyata. jika nanti aku besar, gita, mungkin aku akan menghidu hidu dunia makna dalam puisimu, ke dalam dunia makna yang kususur dalam hidupku seperti dalam hidupmu.
ah gita pratama penyair yang sudah mencapai tingkat kematangan dalam pengucapan puisi. berbahagialah kamu dengan puisi puisimu. kelak akan datang perubahan dalam konstelasi sastra kita, baik dalam cara mendekati konten puisi maupun dalam panggung panggung puisi yang terus merebak di seputar kita.
idih kita.
Hudan Hidayat
http://ruangbelajar-crystalistgita.blogspot.com/
Andai-Andai
Anak Pedagang remote:
Jika nanti aku besar
Kujual sebuah remote warna perak
Hentikan lalu lalang manusiamanusia hilang
Agar tak lagi sibuk merubah channel
Kejar tayangan tivi warna suram terang
Lantas menggambar saja sendiri, mimpi
Anak Pedagang Bakso:
Jika nanti aku besar
Kubuat bakso raksasa mengganti bumi
Yang kata orang sebulat mataku
Dengan kuah pekat, mie lembut
Kaldunya berkelip serupa bintang
Di mangkok bergambar peri, ibu
Anak pedagang Jagung Bakar:
Jika nanti aku besar
Akan kupasang arang, fondasi gedung jagung raksasa
Tinggi, menjulang menikam-nikam langit
Asap bakar aroma magis
Kuhipnotis para penikmat jagung
Sabut dijadikan rambut, tubuhnya kaku
Umpati bonggol-bonggol sepi
Anak Pedagang Kopi :
Jika nanti aku besar
Akan kutumbuk biji kopi sendiri, balurkan di tiap jengkal tubuh
Agar samar di antara remang gelap
Diam-diam menyelinap di halaman buku bersampul putih
Di sana, aku menjadi kata-kata pengganti tinta
Sby, Maret-Mei 2009
damam tak juga turun. atau tepatnya demam naik dan turun. tapi mengapa harus murung. biasa saja: tubuh, memang tak boleh dibuat selalu sejahtera. kadang demam harus memang datang. kalau tak datang, baik kita undang. dengan demam, kita mengingat akan rasa senang. menjadikan jiwa selalu waspada, awas akan daya daya dalam hidup ini.
pagi tadi aku ke note icha chemplon. untulugi yang merepotkanku itu sudah disusunkan kawan kawanku. jadi bolehlah aku melakukan kesuakaanku, mengembara mencari cari sastra. kalau kalau ada yang bisa menghibur diri sebelum mati. bahwa sastra ini, oh indahnya. kok bisa ya sang penyair, membuat dunia kata yang ajaib dari gaib bahasa (frasa dari larik sitok srengenge).
dalam mencari aku tak perlu diundang. mencari aja sebagai diri yang senang. apalagi gita pratama, penyair yang sudah lama kukenal sejak di multiply, sejak di milis yang kami ikuti - apresiasi sastra. aku berpendapat lembaga budaya kayak tuk itu - salihara kini - sudah bolehlah mengundang penyair
yang selalu menulis puisi tak berbait panjang ini. puisi yang ringkas - tiga atau empat bait, dengan larik larik puisi yang juga tak panjang. tapi puisi, keindahan dan kedalamannya, memang tak berurusan dengan panjang dan pendeknya sebuah bait, atau sebuah larik. kedalaman dan keindahan puisi, bergantung pada cara bagaimana puisi itu ditulis, dan apa yang dibicarakan oleh puisi itu sendiri.
apakah yang dibicarakan gita pratama dalam dunia puisinya? hanya hal yang biasa saja. hidup sehari hari yang biasa. tapi dengan sudut pandang victim - korban dari sebuah masyarakat di mana sang individu kalah tapi selalu melawan di sana, itulah yang menarik dari puisi puisi penyair gita pratama ini.
datanglah ke notenya, kita akan dapatkan dunia dari orang orang kalah itu. dunia yang diberi tekanan perlawanan oleh sang penyair, sehingga kabar tentang kekalahan, kadang berbelok juga menjadi kemenangan. manusia bisa dilumpuhkan, kata kebajikan entah di mana kudengar, tapi tak bisa dikalahkan.
dan itu artinya ia selalu mempunyai ruang untuk mengucapkan dirinya, untuk melawan dengan dirinya. meski hanya atau dalam dunia puisi, perlawanan semacam itu menjadi sebuah gerak pikiran untuk dijadikan semacam obor di hati. obor yang akan dibaca oleh mereka yang tahu akan hidup, dalam kegiatan budaya saling membaca dan saling menulis. akan nampaklah benang benang merah perlawanan yang datang dari pikiran itu.
empat silhuet sunyi yang diperagakan dengan identitas orang kecil di puisi yang berjudul andai andai ini, memperlihatkan jenis dan watak perlawanan yang datang dari dunia kontemplasi sang penyair, dunia yang dalam usahanya mengatasi benda benda, telah membuat benda dan peristiwa yang dibayangkannya terkelupas di sana. mendadak kita berhadapan dengan sebuah benda dan peristiwa yang lain. kopi, jagung bakar, remoute control, bulatan bakso yang memang sebesar biji mata sang penyair, telah bergerak menjadi dunia iktibar, dunia lambang lambang.
lambang lambang yang menjadi lintasan penyair untuk menyampaikan renungannya yang masuk ke dalam permainan peran - andai andai itu - mencipta ruang kosong yang bisa diisi rasa sunyi karena keterampilan sang penyair melukiskan, bukan mengatakan dengan dunia kata kata belaka, seperti yang tadi kulihat di note penyair cemerlang yang lain - krisandi dewi, tentang seorang anak penjual koran, yang temanya sangat bagus tapi gagal memancing pembacanya masuk ke dalam peristiwa yang sedang diceritakannya.
kegagalan yang biasa di dalam dunia penciptaan, telah diambil alih oleh penyair gita dengan amat baik.
jika nanti aku besar, sebuah larik yang mengajak, atau sekaligus dengan sekali sentak, telah memindahkan kisah puisi ke kisah yang mungkin telah menjadi pengalaman pembaca puisinya. jika nanti aku besar sebagai pintu masuk bagi dunia yang hendak dibentangkan oleh sang penyair, di mana pembaca masuk dan berdiam dalam perisitwa yang hendak diceritakan oleh sang penyair.
jika nanti aku besar, dari sebuah pengalaman yang sama dari manusia yang sama yakni kita kita juga. kita manusia yang bisa berkaca dalam tiap kasus hidupnya yang nyata. jika nanti aku besar, gita, mungkin aku akan menghidu hidu dunia makna dalam puisimu, ke dalam dunia makna yang kususur dalam hidupku seperti dalam hidupmu.
ah gita pratama penyair yang sudah mencapai tingkat kematangan dalam pengucapan puisi. berbahagialah kamu dengan puisi puisimu. kelak akan datang perubahan dalam konstelasi sastra kita, baik dalam cara mendekati konten puisi maupun dalam panggung panggung puisi yang terus merebak di seputar kita.
idih kita.
Hudan Hidayat
Darah Trah Dewata (Krisandi Dewi) Dan Perlawanan Cinta Perempuan Bali
Dino Umahuk*
http://perkosakata2009.wordpress.com/
Bukan maksud menyandingkan Novel “Tarian Bumi” karya Oka Rusmini dengan Puisi “Darah Trah Dewata” karya R. Mega Ayu Krisandi Dewi (Chaa) karena pada dasarnya keduanya berbeda. Yang satu novel yang satunya teks puisi. Yang satunya ditulis oleh sastrawan terkenal Oka Rusmini yang satu lagi ditulis oleh penyair pemula Chaa. Yang satu sudah sangat terkenal di ranah sastra yang satu sedang belajar menggeliat.
Lalu kenapa aku memaksakan diri untuk menautkan dua karya ini ke dalam tulisan yang kacau balau ini? Aku tentu punya alasan yan mungkin subyektif. Seperti kasta, dua karya ini ditulis oleh penulis dengan kelas yang berbeda. Namun menarik bagi aku karena kedua karya ini sama-sama ditulis oleh dua perempuan Bali. Nafas kedua karya ini pun sama yakni pemberontakan.
**
Novel Tarian Bumi bercerita tentang Luh Sekar dan Telaga. Dua tokoh, ibu dan anak yang berbeda pandangan tentang arti sebuah kebahagiaan. Luh Sekar adalah seorang perempuan dari kasta sudra yang sangat berkeinginan untuk menikah dengan lelaki dari kasta Brahmana. Cita-cita Luh Sekar pun menjadi kenyataan ketika menikah dengan Ida Bagus Ngurah Pidada, seorang lelaki brahmana, yang tidak bisa apa-apa, kecuali mabuk-mabukan dan juga bercinta sembarangan dengan berbagai macam perempuan termasuk dengan Kerta dan Kerti, dua adik perempuan Luh Sekar. Setelah menikah dengan lelaki kasta Brahmana, nama Luh Sekar pun berubah menjadi Jero Kenanga. Jero merupakan gelar yang diberikan kepada perempuan kasta rendah yang menikah dengan lelaki dengan kasta Brahmana.
Dari pernikahannya ini, lahirlah Ida Ayu Telaga Pidada. Berbeda dengan ibunya yang begitu mengagungkan nilai derajat kebangsawanan, maka Telaga Pidada justru memandang bahwa kasta Brahmana penuh dengan kemunafikan. Telaga Pidada pun lebih tertarik dengan Wayan Sasmitha, seorang lelaki dari kasta rendah. Segala kemewahan, kemudahan yang didapat selama tinggal di griya dan juga gelar kebangsawanan ditanggalkan oleh Telaga Pidada demi Wayan Sasmitha. Telaga Pidada tinggal bersama Wayan, Luh Gumbreg dan Luh Sadri, adik dari Wayan dengan kehidupan khas keluarga sudra yang serba kesusahan, tetapi Telaga Pidada bahagia dengan pilihannya tersebut.
Masyarakat Bali, yang mayoritas menganut agama Hindu, mengenal dan menggunakan sistem kasta dalam kehidupan bermasyarakat mereka. Kasta yang paling tinggi dan mendapat perlakuan yang istimewa adalah kaum brahmana atau bangsawan, sedangkan kasta yang terendah, atau masyarakat paling bawah adalah kaum sudra.
Dalam Tarian Bumi, Oka Rusmini menawarkan sebuah pemberontakan atas nilai-nilai melalui sosok Telaga. Digambarkan, sejak muda, Telaga sebenarnya benci terlahir sebagai seorang putri bangsawan. Terlalu banyak aturan adat yang harus dijalaninya. Lebih-lebih karena ibunya sendiri seorang sudra, yang disunting oleh lelaki brahmana.
Puncak Decomposing yang dilakukan oleh Telaga, yaitu ia berani menabrak nilai sakral adat karena bersedia dikawini oleh laki-laki sudra, kasta terendah. Perkawinan itu tentu saja tidak direstui ibunya, Luh Sekar, yang sejak awal mengharapkan anaknya disunting lelaki bangsawan. Sementara, oleh ibu mertuanya, Telaga juga tidak sepenuhnya diterima karena kehadiran perempuan brahmana dalam keluarga sudra diyakini hanya akan membawa sial.
Namun, Telaga tetap pada pendiriannya, dengan menikahi Wayan, Telaga membuktikan bahwa ia-lah yang memilih siapa yang akan menjadi suaminya, bukan sistem atau adat. Meskipun untuk itu ia harus melepas semua gelar kebangsawananya.
” Hari ini juga tiang akan meninggalkan nama Ida Ayu. Tiang akan jadi perempuan Sudra yang utuh…” (Rusmini, 2004: 220)
”Aku tidak pernah meminta peran sebagai Ida Ayu Pidada. Kalaupun hidup terus memaksaku memainkan peran itu, aku harus menjadi aktor yang baik. Dan, hidup harus bertanggung jawab atas permainan gemilangku sebagai Telaga.” (Rusmini, 2004: 222)
Novel Tarian Bumi, dengan mengambil budaya Bali sebagai latar, merupakan gugatan yang sangat keras terhadap kemapanan nilai-nilai lama yang tertutup dan angkuh. Perempuan-perempuan yang digambarkan oleh Oka Rusmini tidak hanya menjadi sebuah kritikan yang keras terhadap sistem patriarki, sistem yang selama ini merugikan kaum tersebut. Oka Rusmini bahkan menawarkan sebuah pemberontakan dengan sebuah pemikiran, bahwa perempuan tidaklah hanya untuk dipilih, tapi juga berhak untuk memilih.
***
Kasta adalah sebuah kata yang sakti dan mampu membuat perselisihan di antara kerabat. Perjalanannya hingga sekarang di Bali masih dirasakan ada, karena ada golongan-golongan tertentu yang tetap mempertahankan feodalisme kaum-kaum ningrat yang dikatagorikan darah biru. Prof. I Gusti Ngurah Bagus pada tahun 1969 menghadirkan tulisan yang benar-benar sangat menggugah wawasan tentang keberadaan kasta di Bali pada masa-masa pergerakan nasional, yang menjamur ketika semua mempunyai prinsip dan bersikukuh terhadap idealisme kasta yang dimiliki, sikap fanatisme antar golongan, serta manajemen konflik yang kurang dimengerti dan dilaksanakan dengan baik. Tulisan itu bisa menjadi bukti kalau pergolakan akan kasta memang dari dulu tidak ada titik temu.
Kasta oleh Prof. I Gusti Ngurah Bagus dibagi menjadi empat yang lebih dikenal dengan Catur Wangsa yaitu Brahmana (golongan bramana), Ksatria (golongan ksatria), Wesia (golongan pedagang), dan Sudra (golongan budak atau buruh rendahan). Mereka yang berada pada strata yang lebih endah selalu dipinggirkan dalam berbagai macam urusan karena dianggap orang yang tidak penting. Namun tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan sosial kalau pada nantinya semua berbaur menjadi satu jika dalam bermasyarakat. Cinta bisa tumbuh di mana saja oleh siapa saja tidak memandang kedudukan dan fungsi masing-masing orang.
Pada jaman sebelum menginjak sekarang perkawinan antara kasta itu dipandang sesuatu yang tabu alih-alih dipandang sebagai hal yang aib juga sebab melakukan perkawinan seperti ini dinilai anomali oleh para tetua yang pada saat itu masih mempertahankan adat budaya masing-masing. Masih menganggap adanya golongan tinggi dan golongan rendah, sehingga tak pelak perpecahanpun terjadi walaupun itu masalahnya kecil yaitu cinta yang mempertaruhkan kasta.
****
Lalu di mana posisi sajak Darah Trah Dewata karya R. Mega Ayu Krisandi Dewi (Chaa) berikut ini dalam menyuarakan perlawanan atas tembok-tembok adat yang menghalang? Mari kita lihat bersama:
Sesemat kata muncrat di angkasa
Termaktub kesumat lupa tak tersebut
Ksatriaku, (yang hidup terlingkup megah nirwana)
Disinilah aku,(yang menelungkup dalam griya rumbia)
Mari cinta…,kita tertawa
Menabuh genta tak bernyawa
Ini cemeti,
Yang ini belati..
Dengan mana kita pilih mati??
Tak perlu cawan menadah darahmu
Tuang saja ke mulutku,biar kucium anyir itu
samakah dengan amis punyaku.
Jubah tak senama,(yang kaummu sebut sahaya–sudra)
Telah ku koyak di pinggiran jalan
Sekarang,
aku telanjang!
Tak berkasta
Kemari cinta…
Ini prasasti, sudah kuukir tadi sembari menggurat nadi
Dan ini peti mati..
Tempat kita bergelinjang malam pertama nanti
Mari cinta,Kemarilah sang ksatria..
Bahanakan kesumat kita!
Kesumat cinta berkalang kasta
Lalu pada prasasti akan termaktub kata sejarah
‘Darah trah dewata tumpah di tanah sudra’
Boleh jadi puisi ini hanya ungkapan perasaan penulis yang gundah yang resah dengan nasib percintaannya atau nasib pasangan-pasangan muda lain di Bali yang tengah dimabuk asmara dan mereka harus berhadapat dengan tembok adat. Tetapi coba kita lihat aroma pemberontakan yang juga menguap dengan aroma yang hampir sama dengan apa yang ditulis oleh Oka Rusmini.
Chaa yang yang menelungkup dalam griya rumbia sebagai takdirnya berkasta sudra, menantang sang krastianya yang hidup terlingkup megah nirwana untuk datang merebut cinta untuk memilih mati entah dengan cemeti entah dengan belati. Chaa dengan berani menantang tembok kasta dengan berkata:
Jubah tak senama,(yang kaummu sebut sahaya–sudra)
Telah ku koyak di pinggiran jalan
Sekarang,
aku telanjang!
Tak berkasta
Perkawinan adat di Bali bersifat endogami klen. Menurut adat lama yang dipengaruhi oleh sistim klen dan kasta, orang – orang seklen (tunggal kawitan, tunggal dadia, tunggal sanggah) setingkat kedudukannya dalam adat, agama, dan kasta. Dahulu, jika terjadi perkawinan campuran, wanita akan dinyatakan keluar dari dadia. Secara fisik, suami istri akan dihukum buang (Maselong) untuk beberapa lama ketempat yang jauh dari tempat asalnya.
Lalu lihat juga penggalan terakhir dari sajak yang memberontak ini:
Mari cinta ,Kemarilah sang ksatria..
Bahanakan kesumat kita!
Kesumat cinta berkalang kasta
Lalu pada prasasti akan termaktub kata sejarah
‘Darah trah dewata tumpah di tanah sudra’
Begitulah aku melihat aroma pemberontakan menguap dari sajak Darah Trah Dewata karya R. Mega Ayu Krisandi Dewi. Pemberontakan terhadap budaya dan adat yang merugikannya yang membnuh cintanya.
Mengaitkan kedua karya ini dengan budaya di dalam adat Bali adalah hal yang tidak mungkin aku abaikan meskipun kedua karya ini terus terang berbada kelas dan kasta. Namun demikian Tarian Bumi dan Darah Trah Dewata sama-sama ditulis oleh dua perempuan Bali yang gelisah, mandiri, radikal dan memberontak.
*) Penulis adalah Sastrawan dan Jurnalis
Sumber Naskah:
-http://secangkircokelat.blogspot.com/2006/10/tarian-bumi-perempuan-kasta-dan.html
-http://entertainmen.suaramerdeka.com/index.php?id=319
-http://www.sriti.com/storyview.php?key=1085
-www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2004/2/29/g1.html
-akademikaunud.wordpress.com/2008/08/13/menelisik-perkawinan-antara-cinta-dan-kasta/
-suluhbali.multiply.com/journal
-www.indo.net.id/mbs/mayapada_indah_wayang_golek.htm
http://perkosakata2009.wordpress.com/
Bukan maksud menyandingkan Novel “Tarian Bumi” karya Oka Rusmini dengan Puisi “Darah Trah Dewata” karya R. Mega Ayu Krisandi Dewi (Chaa) karena pada dasarnya keduanya berbeda. Yang satu novel yang satunya teks puisi. Yang satunya ditulis oleh sastrawan terkenal Oka Rusmini yang satu lagi ditulis oleh penyair pemula Chaa. Yang satu sudah sangat terkenal di ranah sastra yang satu sedang belajar menggeliat.
Lalu kenapa aku memaksakan diri untuk menautkan dua karya ini ke dalam tulisan yang kacau balau ini? Aku tentu punya alasan yan mungkin subyektif. Seperti kasta, dua karya ini ditulis oleh penulis dengan kelas yang berbeda. Namun menarik bagi aku karena kedua karya ini sama-sama ditulis oleh dua perempuan Bali. Nafas kedua karya ini pun sama yakni pemberontakan.
**
Novel Tarian Bumi bercerita tentang Luh Sekar dan Telaga. Dua tokoh, ibu dan anak yang berbeda pandangan tentang arti sebuah kebahagiaan. Luh Sekar adalah seorang perempuan dari kasta sudra yang sangat berkeinginan untuk menikah dengan lelaki dari kasta Brahmana. Cita-cita Luh Sekar pun menjadi kenyataan ketika menikah dengan Ida Bagus Ngurah Pidada, seorang lelaki brahmana, yang tidak bisa apa-apa, kecuali mabuk-mabukan dan juga bercinta sembarangan dengan berbagai macam perempuan termasuk dengan Kerta dan Kerti, dua adik perempuan Luh Sekar. Setelah menikah dengan lelaki kasta Brahmana, nama Luh Sekar pun berubah menjadi Jero Kenanga. Jero merupakan gelar yang diberikan kepada perempuan kasta rendah yang menikah dengan lelaki dengan kasta Brahmana.
Dari pernikahannya ini, lahirlah Ida Ayu Telaga Pidada. Berbeda dengan ibunya yang begitu mengagungkan nilai derajat kebangsawanan, maka Telaga Pidada justru memandang bahwa kasta Brahmana penuh dengan kemunafikan. Telaga Pidada pun lebih tertarik dengan Wayan Sasmitha, seorang lelaki dari kasta rendah. Segala kemewahan, kemudahan yang didapat selama tinggal di griya dan juga gelar kebangsawanan ditanggalkan oleh Telaga Pidada demi Wayan Sasmitha. Telaga Pidada tinggal bersama Wayan, Luh Gumbreg dan Luh Sadri, adik dari Wayan dengan kehidupan khas keluarga sudra yang serba kesusahan, tetapi Telaga Pidada bahagia dengan pilihannya tersebut.
Masyarakat Bali, yang mayoritas menganut agama Hindu, mengenal dan menggunakan sistem kasta dalam kehidupan bermasyarakat mereka. Kasta yang paling tinggi dan mendapat perlakuan yang istimewa adalah kaum brahmana atau bangsawan, sedangkan kasta yang terendah, atau masyarakat paling bawah adalah kaum sudra.
Dalam Tarian Bumi, Oka Rusmini menawarkan sebuah pemberontakan atas nilai-nilai melalui sosok Telaga. Digambarkan, sejak muda, Telaga sebenarnya benci terlahir sebagai seorang putri bangsawan. Terlalu banyak aturan adat yang harus dijalaninya. Lebih-lebih karena ibunya sendiri seorang sudra, yang disunting oleh lelaki brahmana.
Puncak Decomposing yang dilakukan oleh Telaga, yaitu ia berani menabrak nilai sakral adat karena bersedia dikawini oleh laki-laki sudra, kasta terendah. Perkawinan itu tentu saja tidak direstui ibunya, Luh Sekar, yang sejak awal mengharapkan anaknya disunting lelaki bangsawan. Sementara, oleh ibu mertuanya, Telaga juga tidak sepenuhnya diterima karena kehadiran perempuan brahmana dalam keluarga sudra diyakini hanya akan membawa sial.
Namun, Telaga tetap pada pendiriannya, dengan menikahi Wayan, Telaga membuktikan bahwa ia-lah yang memilih siapa yang akan menjadi suaminya, bukan sistem atau adat. Meskipun untuk itu ia harus melepas semua gelar kebangsawananya.
” Hari ini juga tiang akan meninggalkan nama Ida Ayu. Tiang akan jadi perempuan Sudra yang utuh…” (Rusmini, 2004: 220)
”Aku tidak pernah meminta peran sebagai Ida Ayu Pidada. Kalaupun hidup terus memaksaku memainkan peran itu, aku harus menjadi aktor yang baik. Dan, hidup harus bertanggung jawab atas permainan gemilangku sebagai Telaga.” (Rusmini, 2004: 222)
Novel Tarian Bumi, dengan mengambil budaya Bali sebagai latar, merupakan gugatan yang sangat keras terhadap kemapanan nilai-nilai lama yang tertutup dan angkuh. Perempuan-perempuan yang digambarkan oleh Oka Rusmini tidak hanya menjadi sebuah kritikan yang keras terhadap sistem patriarki, sistem yang selama ini merugikan kaum tersebut. Oka Rusmini bahkan menawarkan sebuah pemberontakan dengan sebuah pemikiran, bahwa perempuan tidaklah hanya untuk dipilih, tapi juga berhak untuk memilih.
***
Kasta adalah sebuah kata yang sakti dan mampu membuat perselisihan di antara kerabat. Perjalanannya hingga sekarang di Bali masih dirasakan ada, karena ada golongan-golongan tertentu yang tetap mempertahankan feodalisme kaum-kaum ningrat yang dikatagorikan darah biru. Prof. I Gusti Ngurah Bagus pada tahun 1969 menghadirkan tulisan yang benar-benar sangat menggugah wawasan tentang keberadaan kasta di Bali pada masa-masa pergerakan nasional, yang menjamur ketika semua mempunyai prinsip dan bersikukuh terhadap idealisme kasta yang dimiliki, sikap fanatisme antar golongan, serta manajemen konflik yang kurang dimengerti dan dilaksanakan dengan baik. Tulisan itu bisa menjadi bukti kalau pergolakan akan kasta memang dari dulu tidak ada titik temu.
Kasta oleh Prof. I Gusti Ngurah Bagus dibagi menjadi empat yang lebih dikenal dengan Catur Wangsa yaitu Brahmana (golongan bramana), Ksatria (golongan ksatria), Wesia (golongan pedagang), dan Sudra (golongan budak atau buruh rendahan). Mereka yang berada pada strata yang lebih endah selalu dipinggirkan dalam berbagai macam urusan karena dianggap orang yang tidak penting. Namun tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan sosial kalau pada nantinya semua berbaur menjadi satu jika dalam bermasyarakat. Cinta bisa tumbuh di mana saja oleh siapa saja tidak memandang kedudukan dan fungsi masing-masing orang.
Pada jaman sebelum menginjak sekarang perkawinan antara kasta itu dipandang sesuatu yang tabu alih-alih dipandang sebagai hal yang aib juga sebab melakukan perkawinan seperti ini dinilai anomali oleh para tetua yang pada saat itu masih mempertahankan adat budaya masing-masing. Masih menganggap adanya golongan tinggi dan golongan rendah, sehingga tak pelak perpecahanpun terjadi walaupun itu masalahnya kecil yaitu cinta yang mempertaruhkan kasta.
****
Lalu di mana posisi sajak Darah Trah Dewata karya R. Mega Ayu Krisandi Dewi (Chaa) berikut ini dalam menyuarakan perlawanan atas tembok-tembok adat yang menghalang? Mari kita lihat bersama:
Sesemat kata muncrat di angkasa
Termaktub kesumat lupa tak tersebut
Ksatriaku, (yang hidup terlingkup megah nirwana)
Disinilah aku,(yang menelungkup dalam griya rumbia)
Mari cinta…,kita tertawa
Menabuh genta tak bernyawa
Ini cemeti,
Yang ini belati..
Dengan mana kita pilih mati??
Tak perlu cawan menadah darahmu
Tuang saja ke mulutku,biar kucium anyir itu
samakah dengan amis punyaku.
Jubah tak senama,(yang kaummu sebut sahaya–sudra)
Telah ku koyak di pinggiran jalan
Sekarang,
aku telanjang!
Tak berkasta
Kemari cinta…
Ini prasasti, sudah kuukir tadi sembari menggurat nadi
Dan ini peti mati..
Tempat kita bergelinjang malam pertama nanti
Mari cinta,Kemarilah sang ksatria..
Bahanakan kesumat kita!
Kesumat cinta berkalang kasta
Lalu pada prasasti akan termaktub kata sejarah
‘Darah trah dewata tumpah di tanah sudra’
Boleh jadi puisi ini hanya ungkapan perasaan penulis yang gundah yang resah dengan nasib percintaannya atau nasib pasangan-pasangan muda lain di Bali yang tengah dimabuk asmara dan mereka harus berhadapat dengan tembok adat. Tetapi coba kita lihat aroma pemberontakan yang juga menguap dengan aroma yang hampir sama dengan apa yang ditulis oleh Oka Rusmini.
Chaa yang yang menelungkup dalam griya rumbia sebagai takdirnya berkasta sudra, menantang sang krastianya yang hidup terlingkup megah nirwana untuk datang merebut cinta untuk memilih mati entah dengan cemeti entah dengan belati. Chaa dengan berani menantang tembok kasta dengan berkata:
Jubah tak senama,(yang kaummu sebut sahaya–sudra)
Telah ku koyak di pinggiran jalan
Sekarang,
aku telanjang!
Tak berkasta
Perkawinan adat di Bali bersifat endogami klen. Menurut adat lama yang dipengaruhi oleh sistim klen dan kasta, orang – orang seklen (tunggal kawitan, tunggal dadia, tunggal sanggah) setingkat kedudukannya dalam adat, agama, dan kasta. Dahulu, jika terjadi perkawinan campuran, wanita akan dinyatakan keluar dari dadia. Secara fisik, suami istri akan dihukum buang (Maselong) untuk beberapa lama ketempat yang jauh dari tempat asalnya.
Lalu lihat juga penggalan terakhir dari sajak yang memberontak ini:
Mari cinta ,Kemarilah sang ksatria..
Bahanakan kesumat kita!
Kesumat cinta berkalang kasta
Lalu pada prasasti akan termaktub kata sejarah
‘Darah trah dewata tumpah di tanah sudra’
Begitulah aku melihat aroma pemberontakan menguap dari sajak Darah Trah Dewata karya R. Mega Ayu Krisandi Dewi. Pemberontakan terhadap budaya dan adat yang merugikannya yang membnuh cintanya.
Mengaitkan kedua karya ini dengan budaya di dalam adat Bali adalah hal yang tidak mungkin aku abaikan meskipun kedua karya ini terus terang berbada kelas dan kasta. Namun demikian Tarian Bumi dan Darah Trah Dewata sama-sama ditulis oleh dua perempuan Bali yang gelisah, mandiri, radikal dan memberontak.
*) Penulis adalah Sastrawan dan Jurnalis
Sumber Naskah:
-http://secangkircokelat.blogspot.com/2006/10/tarian-bumi-perempuan-kasta-dan.html
-http://entertainmen.suaramerdeka.com/index.php?id=319
-http://www.sriti.com/storyview.php?key=1085
-www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2004/2/29/g1.html
-akademikaunud.wordpress.com/2008/08/13/menelisik-perkawinan-antara-cinta-dan-kasta/
-suluhbali.multiply.com/journal
-www.indo.net.id/mbs/mayapada_indah_wayang_golek.htm
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi