Selasa, 02 September 2008

SAHABATKU LORENZO

KRT. Suryanto Sastroatmodjo

Ada nan taklebur dikubur umur
Ada nan takgugur disapur uzur
Ada nan terngiang selarut zaman
Sedayung Kasih di arus kenangan.

Sahabatku Lorenzo!
Puji Tuhan! Semoga kaujabat tanganku pagi ini. Semoga hatimu pun kembali hangat, setelah persahabatan yang hampir setengah abad ini dapat kita abadikan. Mungkin sekali, bukan pahatan-pahatan apik di tugu marmer nan menjulang di tengah kota. Namun, jelas-jelas dia rekaman dari sudut, pertigaan dan perempatan yang menghiasi kota ini, lewat aneka cuaca, lewat aneka musim. Kukira, hanya dalam gumpalan karya sastra, yang dalam hal ini prosa berirama, dapatlah segalanya abadi di ingatan, lestari di benak, muda senantiasa dalam dada kita.

Lorenzo yang pendiam!
Di pondok bambumu yang bersahaja, senantiasa kudengar suara air mendidih dalam ceret, atau bau nasi yang sangit di dalam kendil di atas anglo. Ah, kau masih juga teledor di hari tua, sahabat. Aku tiada menyalahkanmu. Isterimu sakit-sakitan, semenjak jatuh dari anaktangga pertama, sewaktu sepekan menjelang Natal, dia berusaha mengecat tembok atas yang sudah melupur warnanya, dan karena dia dikejutkan seekor kucing yang melompat dari loteng, maka dia jatuh.

Sungguh, saya merasa amat kasihan waktu itu. Apa boleh buat, segalanya terbatas. Termasuk dokter dan obat-obatan. Kukira, kau yang lebih terpukul. Setelah duapuluh tahun perkawinanmu, barulah hadir seorang anak perempuan. Dia pun lemah, lahir sebelum saatnya. (Lagi-lagi kau ungkapkan kecewamu dengan terus-menerus menyanyikan lagu-lagu rohani, memaksakan tidur tengah malam di gereja alit di ujung desa itu. Ah, kau cukup bersabar untuk menunggu kelahiran anak, dan tiada hentinya berharap agar Tuhan mengurniai seorang bayi lelaki. Tetapi jika Dia telah berikan sesuatu yang lain, mestikah dirimu masih meratap jua, sahabatku?) – dan aku kini mengenang wajahmu yang hitam penuh gurat-gurat kepahitan, kerasnya hidup, duka dan kemiskinan.

Lorenzo yang baik.
Isterimu telah tidur pada jam delapan malam (karena begitulah dokter menasehati), sedangkan anakmu kini sudah memasuki Taman Kanak-kanak, kelihatan teramat manis, mungil, ceria dan dapat merebut seluruh perhatianmu, selama tinggal di permukiman sepi. Apapun soalnya, sahabat, teruslah berdoa pada-Nya, kapanpun seperti dulu ketika kita masih sama-sama muda dan nakal, sama-sama menjalani pendidikan sebagai calon pendeta di Kliaborong. Aku percaya, kendatipun aku tidak menjadi seorang pendeta seperti rencana semula, sedangkan Tulus dan Andri telah lebih dulu kabur dari asrama (lantaran tidak kuat melawan keinginan untuk menjadi kerani di perkebunan Sumurtujuh) – aku mungkin satu-satunya sahabatmu yang menyesal, karena derajat mulia itu taksanggup kudekap. Aku sungguh gembira berbahagia, mendengar dan (kemudian menyaksikan dengan mata kepala sendiri) dirimu menjadi seorang Domine di pedusunan ini.

Bahagia, sahabat – karena ketekunanmu telah berbuah. Keprihatinan, sikap pasrah, dan kesederhanaan hidup puluhan tahun menempa pribadimu. Hari-hari bocah di permukiman kumuh telah membuatmu dewasa – lebih daripada siapapun yang pernah menduga. Karena dengan pembajakan hidup yang keras ulang-berulang, kauperoleh makna gumolong. Hari-harimu sekarang diliputi pengabdian, Kasih ketegaran Iman. Bapakmu yang tua berwajah sendu, yang mewedarkan sikap teguh dalam satu kesujudan, ternyata telah berhasil mencetak dirimu seperti yang kusaksikan ini.

Penghasilan yang serba sedikit dan tangis istrimu yang sering merasakan kenyerian tulang di tengah malam-malam dingin, tak pernah membuat dirimu mundur sejengkah. Cintamu terhadap penduduk desa yang lugu dan miskin ini, membuat siapa pun menaruh hormat. Akupun kini merasa bukan satu-satunya penghibur yang membuat dirimu betah berada di tengah kebun palma dan zaitun ini adalah senyum tawa si kecil Patricia, putri tunggalmu. Menyaksikan kelincahannya menyanyikan lagu-lagu kelucuan kanak-kanak, bahkan tatkala ia menyanyikan senandung lagu rohani dengan iringan kulintang, sebenar-benarnya membuat siapapun bangga, serta mengingatkan akan bakatnya yang besar di kemudian hari.

Kau sungguh seorang bapak yang amat berbahagia, sahabat. Malahan bukan hanya sangat bahagia, melainkan kudu merasakan kebahagiaan ini sebagai karya puncak dari ujud baktimu yang cukup panjang di Dunia Timur. Jangan cemas dengan haritua yang merayap menyeringai. Jangan risau dengan umpatan-umpatan wargadesa yang belum sadar akan panggilan murni dari abdi-abdi kebenaran yang banyak berkorban di kawasan ini.

Lorenzo yang tegar hati.
Karena di depan telah kusebutkan, bahwa sekalipun aku telah meninggalkan panggilan suci ini, aku toh tidak jauh dari langkah-langkah nan laju. Aku takkan berpaling dari Sabda Tuhan, bahwa pengabdian bisa dilaksanakan di manapun, di bawah naungan sinar mentari. Bila kuambil ketegasan, dengan menjadi seorang jurnalis – kendatipun aku bekerja pada sebuah suratkabar yang didirikan oleh sekelompok orang asing yang dewasa itu masih mencengkeramkan kuku-kukunya di pulau rempah-rempah ini! – kuharaplah dikau dapat memaafkan, memahami, kemudian menganggapnya wajar semata.

Maklumlah, kawan. Tatkala Si Anneke, putri bupati yang kaya dan congkak itu berusaha untuk merebut seluruh perhatian cintaku, terusterang aku belum punya kemapanan hidup. Aku nyaris tak punya sesuatu yang dapat kubanggakan selain ketampanan wajah (kuharap ini hanya sekadar ungkapan rendah diriku, bukan kebanggan diri!) – dan sebagai seorang lelaki, kurasa lebih berharga bila menjadi kerbau pembajak sawah (yang bisa memperlihatkan kenapa keringatnya harus mengucur, kenapa tenaga mesti terkuras) katimbang menjadi seorang ‘pejantan’ yang dibonekakan oleh lingkungan barunya.

Menjadi jurnalis karena terpaksa, karena harus sanggup mencari nafkah untuk anak-orang, dan bukan malah mentelantarkan setelah kejantanannya terkuras. Ya, sahabatku. Iparku seorang yang berpengaruh. Pada pemilik modal yang mengelola suratkabar itu, aku diajaknya melamar kerja. Mungkin nasib baik yang melindungi, hingga akupun diterima!

Lorenzo yang budiman!
Nasib kita mungkin sama, tapi juga mungkin berbeda. Sama, karena kita punya pengabdian buat membukakan mata ratusan orang untuk mengakui Keberadaan Diri dan Keadilan. Mengulang firman bakti yang terindah, untuk membangkitkan daya juang kalangan jelata. Berbeda karena dirimu kini sudah secara utuh memiliki keluargamu yang tercinta, tanpa campurtangan pihak lain.

Sedangkan diriku? Tak lebih seperti musafir yang menitipkan hidup, hargadiri serta kebebasanku kepada orang yang berkuasa, yang mampu membeli tenagaku, mengusikku dengan deretan tugas yang sangat panjang. Ah, entah sampai kapan, sahabat. Biarlah, tangan nasib akan dapat menyampaikan kabar dan pilihannya. Tapi marilah kita ucapkan syukur, bahwa dalam umur menjelang senjahari, kita masih mampu berbincang, serta mempertemukan kembali cita-mulia yang pernah kita gayuh dahulu.

Malam ini, sahabat, aku menyelesaikan paruh kedua dari rangkuman sanjakku, yang melukiskan sebuah parade panjang dari sikap, getaran, gugusan yang pernah kita lakukan pada masamuda. Aku teringat, sepekan sebelum Natal tahun silam, aku pergi ke desa Margarulit, untuk menaburkan kembang di makam orangtuaku. Tapi aku juga menyempatkan diri menyekar di makam Pa Ambalu, bapakmu yang baik hati itu, tak jauh dari pekuburan Goem di pinggir kali Liwa yang gemericik bening.

Entah kenapa, ketrenyuhanku timbul demi teringat kekerasan hatinya, yang berusaha membesarkan anak-anaknya dengan satu pembantingan tulang yang total. Kunjungan ke makam itu barangkali dapat kuanggap sebagai ‘uluk-salam’ pada almarhum. Selepas Maghrib, aku rampung berdoa dan tiba-tiba saja jurukunci pekuburan, Pa Solake datang tergopoh menyalamiku. Bukankah sore tadi aku bingung mencarinya? Aku sampai berpesan pada seorang bocah lanang cilik penjual bunga di Pasar Sore, untuk memanggil Pa Solake.

Dia bekas sersan jaman gerilya, yang pantas juga namanya kucatat dengan aksara emas. Usai masa revolusi, dia benar-benar terjun sebagai pengelola kuburan rakyat di dusun berlembah sana, total membaktikan dirinya sebagai penyelenggara upacara di kompleks makam, meladeni peziarah dan sebagainya. Lebih dari itu, dia masih berhubungan kerabat denganmu.

“Aduh, Nico…” dia menyapa, halus. Kujabat tangannya yang berkudis dan terasa kasar. Maklum, dia juga petani yang rajin. “Maafkan Pa Solake. Hampir dua Natal, aku tak singgah di desa tua ini. maklum, tugas-tugas…”

Pa Solake ketawa, seperti menyeringai. Gigi-gigi emasnya nampak berkilatan. “Aku juga memaklumi, Gus Nico. Apalagi, anda adalah Tuan Bupati. Kaya, beristri rupawan. Kabarnya, putra anda yang sulung, tahun ini sudah lepas Sekolah Lanjutan Atas, melanjutkan ke sebuah Universitas di mancanegara?” Ah, sapaan begini kurang menyenangkan bagiku. Selalu itu-itu juga yang disebut orang. Kalau saja mereka tahu, betapa aku telah menggadaikan hargadiri. Menjadi ‘orang besar’ bukanlah suatu peristiwa menyenangkan agaknya. Kendatipun yang diintip para tetangga cuma kelimpahan harta benda, atau sinar-sinar di sana-sini yang menyorot dari sisi nan gelap.

“Gus Nico, tadi bapa lihat mobil sedan merah tua diparkir di pelataran rumah Kepala Desa. Aku tanya kepada seorang kerabatnya, ternyata tuanlah pemiliknya. Sudah likuran tahun tuan tak singgah kemari. Dan jika warga sini melihat kegigihan tuan dalam hidup, kami bangga sekali. Suatu tanda, ada yang berangkat makmur, raharja dan teguh.”

Tidak, tidak, dan kupikir mereka salah tebak. Mereka tak tahu penderitaanku. Tiga anak yang kuperoleh dari perkawinan yang lebih merupakan ‘penjara’ ini sungguhlah pahit. Si sulung, yang gagah dan tampan, kini memasuki bangku perguruan tinggi, nyaris mengikuti tradisi keluarga pihak ibunya. Anak kedua, seorang perempuan, yang masih di sekolah lanjutan atas. Ayu seperti ibunya, berpribadi angkuh. Tak kuduga kalau ia menjadi semacam itu.

Untungnya, si bungsu, juga seorang perempuan— tapi ia lebih dekat dengan diriku: bapaknya. Ia lemah, ringkih, dan lebih daripada itu, mengakui hak-hak kaum kecil, berani berbicara ketimpangan sosial yang ada di sekeliling. Kendati masih di kelas pertama sekolah lanjutan pertama, bakat-bakatnya sebagai sastrawati mulai nampak. Ia mulai menulis syair-syair bernada protes kepada tatacara yang menjadi milik masa lampau leluhurnya. Aku terkadang terharu membaca tulisan dari si bungsu, yang teramat menyentuh kalbu.

“Kukira saatnya sudah tiba, Gus Nico” – jurukunci berkata lirih. “Kukira, makam keluarga harus diperbaiki. Dihias dengan batu marmer; kalau hanya berupa nisan dari batu alam, cepat retak, cepat hancur…” Aku menelan ludah. Tak tahu apa yang musti kuucapkan. Di benakku sudah siap himpunan prosa berirama untuk mengekalkan nama orang-orang tercinta di sini.
---
*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi