Jumat, 28 November 2008

Kekalahan Kita terhadap 'Post-Modernism'

Hardi Hamzah
http://www.lampungpost.com/

"Ada yang tertinggal di dalam dunia post-modernism," ujar David Legman (2003). Artikel yang ditulisnya pada News Week edisi Maret tahun yang sama semakin mengingatkan kita tahu bahwa post-modernism yang diusung secara kultural oleh agamawan, politisi, dan cendekiawan ternyata melahirkan bangsa yang rendah. Indonesia-lah yang mungkin terakhir kali sebagai suatu bangsa dikoloni oleh bangsa-bangsa lain.

Hal tersebut sebagai preseden buruk dari ketidakberhasilan post-modernism dan korelasinya terhadap pemimpin di negeri ini. Setiap orang kemudian menjatahkan dirinya pada "jatah hidup" yang tidak jelas. Miskin kota bertambah 27%, di desa hampir 2 kali lipatnya. Sementara itu, pemimpin kita yang mendambakan post-modernism dengan tidak berbuat apa-apa kecuali menulis, menjadi staf pengajar, pelaku budaya, birokrat gagal, seniman tanggung, dan wartawan bodrek.

Alkisah, post-modernism lahir di Indonesia pada era non-violent movement (gerakan antikekerasan). Ia lahir dari mahasiswa yang disosialisasi oleh Amien Rais, Gus Dur, Nurcholis Madjid, Goenawan Mohamad, Jacoeb Utama, dan sederet nama personel birokrat lainnya. Inilah produk post-modernism yang paling mutakhir. Rahim yang melahirkannya kini berdarah-darah, bukan kanker, tidak juga tumor. Inilah bangsa yang dilahirkan oleh pengagum post-modernism yang dilatarbelakangi katub agama, budaya, pers, dan birokrasi. Pertanyaannya kemudian, apa yang bisa kita daulat untuk para tokoh itu. Sebab, setidaknya mereka telah mempunyai ikon hidup sendiri-sendiri. Perubahan yang gradual akibat post-modernism kemudian melahirkan peran-peran abstrak.

Hampir terefleksi bahwa post-modernism agama, budaya, pers, dan para pemimpin kita tergerus oleh perilaku post-modernism, yang pada gilirannya menghadapkan kita pada dikotomi sosial dan struktural. Dikotomi sosial menunjuk pada proses apa yang dilakukan oleh setiap individu terhadap dirinya sendiri, tanpa harus berpikir ada manusia di sekitarnya (baca: konsumerisme). Pada dikotomi struktural, kita melihat dua wajah eksekutif dan legislatif yang bopeng. Dan, terkadang digarap habis oleh para pelaku yudikatif. Dikotomi itu menggiring kita berbaris dalam kata-kata, seringkali kita lahir sebagai generasi lebih banyak membangun arti daripada makna.

Makna hidup hanya dilihat sebagai suatu proses sosial biasa, sehingga kita menjadi zombi-zombi, tapi rakus dalam artian finansial. Kendati, kita tidak tahu apakah itu "rakus" atau "keharusan"? Demikianlah, kita melihat sebuah jurang besar yang menganga. Meski tetap kita pahami bersama bahwa kekuatan yang utuh hanya lewat nelangsa dan sabar. Memang, nelangsa dan sabar itulah yang masih kita miliki. Ini gejala psikis normal dari kekalahan agamawan, budayawan, dan politisi kita terhadap post-modernism.

Dalam rajutan lain, kita melihat post-modernism telah "menyembelih" dan "memerawani" seluruh kisi-kisi hidup kita. Kini kita hanya tengah menunggu residu post-modernisme di tengah kultur yang tidak menentu. Meski resminya kita masih punya martabat. Kita masih punya sejarah adi luhung, kawah candradimuka (SDA), serat-serat dan kidung-kidung yang mengharuskan kita harus menjustifikasi seluruh peradaban hidup. Pada titik inilah, kebangkitan di antara dua dikotomi di atas dapat dibangun.

Saya teringat pemikir besar seperti Al Farabi, Hasan Al Banna, Ibnu Sina, sampai Cak Nur. Sesungguhnya, orientasi mereka melebihi para futurolog, jauh di atas Nostradamus. Namun kenyataannya, masyarakat yang lemah ekonominya hanya membangun optimitis lewat berani, kilah Amien Rais ketika saya mendatangi rumahnya (2003). Berani, dalam konteks dikotomi mampu menghasilkan sesuatu, manakala ia dibangun oleh kekuatan spiritualitas, dan visi.

Sementara itu, dalam masyarakat kelaparan seperti kita, kita hanya berani karena takut dan takut karena berani. Ini yang dilukiskan oleh The Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan) karya Salman Rusdi. Keberanian kita hanya mampu karena diremas, ditekuk, dan dililit oleh ketakutan, dus demikian pula sebaliknya. Orang yang kemudian dimusuhi oleh hampir seluruh umat Islam itu mempersilakan kita untuk bicara bahwa post-modernism sebagaimana yang ditulis oleh Jasman Al Kindi (1979) dan beberapa tokoh Islam lainnya, bahwa kita adalah bangsa yang consumer dan tidak beradab. Kita adalah bangsa yang tidak mempunyai perilaku hidup lewat fakta.

Mungkin kita hanya mampu membuka data tanpa harus membacanya. Data hidup, sebagaimana dilukiskan oleh para filsuf dan teolog modern bahwa setiap orang harus memaknai sejarahnya, bahwa setiap orang harus memaknai hidudnya. Plato, misalnya, menggambarkan kehidupan di gua bagaikan bayang-bayang. Bahkan, Ibnu Sina telah melihat bahwa makna hidup adalah menghidupi orang lain. Namun, lipat dua (dikotomi sosial dan struktural) yang penulis singgung di muka memberi makna hidup sebagai sesuatu kekuatan semu.

Dalam proses sosial, dari rahim yang berdarah-darah itu lahir kultur sinis sedikit skeptis dan apatis. Secara struktural, dari rahimnya, lahir impulsifisme, degradasi moral, dan patung-patung (berhala) tak bermoral. Lalu, apa makna kita sebagai bangsa? Apa makna kita sebagai manusia? Dan, apa makna kita sebagai makhluk Tuhan? Kita sangat tahu bahwa Al Quran berkata, Injil dan beberapa kitab lainnya berucap tentang kesadaran terhadap makna hidup. Namun, kita sebagai bangsa tidak memaknainya secara realis.

Dalam konteks di atas, hemat saya, kita harus memperlakukan makna hidup sebagai suatu cagar budaya nilai dari berbagai dimensi. Kita adalah keturunan Adam dan Hawa, keturunan raja-raja mataram dan keturunan pounding father yang melawan kolonial.

Saya teringat apa yang ditulis oleh penulis Belanda Bernard Dahm, dalam buku biografi politik Bung Karno Bung Karno, a Political Biography (1997). Dahm mengingatkan kepada kita bahwa budaya adi luhung dalam kesejahteraan nusantara tak terlepas dari keberanian moral memaknai hidup. Dalam bangsa yang optimis, sebagai mana yang terjadi di Meksiko, Brasil, dan Amerika lainnya. Dari kemiskinan, Brazil menjual sepak bola. Dari disintegrasi, Nelson Mandela menjual kebersamaan. Seharusnya, kita memaknai hidup dengan keberanian di tengah keberanian itu sendiri, dus bukan di tengah ketakutan. Seperti yang digaungkan post-modernism.

Agaknya, kita harus disadari betul bahwa post-modernism dan anasir-anasirnya telah menguatkan molekul agama, budaya, dan politik. Inilah seharusnya yang kita tolak. Kita berani menghadapi impitan dengan leluasa. Sebagai bangsa, kita mampu mandiri karena SDA. Sebagai bangsa kita mampu memaknai realitas adalah fakta, dus bukan data yang pada gilirannya kita jauh dari personel yang antisosial. Dalam Abad Makro Kosmos yang kerap digemakan para penganut post-modernism bahwa hidup adalah individual, bahwa hidup adalah kompetisi, bahwa hidup adalah finansial. Ini bisa benar apabila kita tidak salah menyenyawakannya dengan politik, agama, dan budaya. Namun, ia akan menjadi nilai yang amburadul, manakala kita salah menerjemahkannya.

Dalam skala yang lebih mikro, post-modernism akan mengejawantahkan menjadi dua kutub, yang kalau salah arah membuka peluang untuk terjadinya revolusi sosial di negeri ini. Masya Allah.***

*) Pemerhati kebudayaan, tinggal di Bandar Lampung

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi