Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Minggu waktu duha. SMS seperti hujan. Aku baru saja menikmati gelombang ombak dalam gelas: sebuah tanggapan dari orang tak dikenal atas tulisanku di Media Indonesia Minggu. Ia cukup lihai cari popularitas dengan memanfaatkan ide pihak lain. Tak ada informasi baru di sana. Kulihat burung pipit lahap mengisap bunga benalu. Sebuah SMS masuk lagi: “Itu pseudo!” Mungkin, pikirku sambil mengingat sejumlah artikel Lekra awal tahun 1965-an.
Telepon berdering. Anakku berteriak, “Ayah, dari Payakumbuh!”
Aku bergegas. Menarik gagang telepon. O, Gus tf Sakai! Sastrawan Minang yang sangat santun ini menanyakan kiriman karya terbarunya, Tiga Cinta, Ibu; sebuah novel tipis yang di sana-sini tersembul semangat eksperimentasi. Rupanya, Sakai masih sangat setia pada kegelisahan kulturalnya, seperti juga tampak dari sejumlah cerpennya. Minang memang sarat problem. Dan ia memanfaatkan kekayaan kulturalnya lantaran ia bernafas dan hidup di situ. Aku memahami penolakannya untuk berselingkuh dengan kultur lain. Maka, mengertilah kini jika ia, dulu, tidak ikut tergoda gadis Jawa, keturunan Madura, yang mengganggunya di Cipayung. Sakai terlalu setia pada anak-istri beserta ninik-mamak dan tanah leluhurnya.
Boleh jadi itulah representasi orang Minang. Lihat saja Darman Moenir--Bako, Yusrizal—“Sang Pengeluh” yang cintanya pada tanah leluhur dilakukan lewat ‘otokritik’, seperti yang juga diperlihatkan Navis. Setidaknya, mereka tak dapat melepaskan diri dari kegelisahan kulturalnya. Kesetiaan mengusung sesuatu yang diketahuinya benar, penting artinya agar tempatnya sebagai sastrawan yang berpribadi tak tergoyahkan. Itu pula yang terjadi pada diri Wisran Hadi—Puti Bungsu atau Chairul Harun--Warisan. Minangkabau seperti tiada habisnya melahirkan sastrawan sejak awal kesusastraan negeri ini dibangun.
Dunia Minang itu kini seolah menyeretku untuk mengenang beberapa peristiwa di Riau: Pulau Penyengat, Pekanbaru, Rempang, Batam, Karimun, dan Dumai. Darah Raja Ali Haji yang meresap pada Idrus Tintin, BM Syam, Ediruslan, Taufik Ikram Jamil, Hoesnizar Hood, Syaukani Al Karim, Samson Rambah Pasir, dan sederet panjang nama lain, kubayangkan laksana lulur penebar semangat. Juga tidak lupa Sutardji Calzoum Bachri yang membuat monumen lewat mantra. Mereka, sastrawan Melayu itu, sadar betul pada tradisi. Mereka juga tidak dapat menyembunyikan luka sejarah. Dalam Sumpah Pemuda, bahasanya diikhlaskan menjadi bahasa Indonesia. Dan mereka selama bertahun-tahun sekadar menjadi penonton saat minyak diangkuti dan pulau belukar dibuat perumahan mewah orang-orang Jakarta. Salahkah jika kini mereka mengusung sejarah masa lalunya yang terluka, kekayaan kulturnya yang telah mengurat-daging, dan coba mentransformasikan kisah-kisah lama yang tercecer? “Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang,” begitu teriak Hang Jebat.
***
Seekor kecoa melintas. Ia seperti mengeluarkan nazis. Ada cipratan tengik. Dan menempel di sebuah artikel yang baru saja kubaca.
***
Seperti biasa, Hudan Hidayat datang dengan sepenggal besi di tangan kanan dan provokasi di tangan kiri. “Itu tak adil, Kang,” ujarnya, “Masa menilai cerpen dengan kira-kira.” Dalam beberapa hal, aku setuju pernyataannya. Tulisan itu cukup banyak menebar syakwasangka: saya kira. Jangan-jangan penulisnya punya kelainan. Kukatakan juga, “Orang Sakit-mu telah berganti kelamin dan ngaku-ngaku jadi pengamat.” Hudan diam. Gerahamnya gemeletuk. Sastrawan asal Palembang ini terkadang memang agak meletup-letup: temperamental. Dan sungguh, semangatnya menyita pesona. Lebih mengagumkan lagi, ia piawai mengolah problem psikologis menjadi kekuatan karakterisasi tokoh-tokoh fiksinya. Itulah argumen yang melandasi pandanganku bahwa fiksionalisasi “Orang Sakit” potensial mengangkat problem psikologis dibandingkan kecenderungan sufistik “Khidir”. Tentu itu tidak berarti ada larangan untuk memasuki wilayah lain. Kegamangan “Orang Sakit” menunjukkan arus kuat peristiwa pikiran dan trauma psikis berjalin-kelindan dengan tindakan fisik. Sementara tafsirnya mengenai keangkuhan Musa dan kesucian Khidir, terkesan sekadar mencetak rangkaian peristiwa transformatif, dan bukan simbol-simbol sufistik sebagaimana yang dibangun para sastrawan sufi.
Apa maknanya bagi Hudan? Pendalaman peristiwa merupakan keniscayaan dan pengungkapan makna di balik peristiwa mesti menjadi sasaran tematisnya. Tanpa itu, ia akan terjebak pada peristiwa artifisial. Sekadar usul, gagasan ini bisa saja menjadi bahan renungannya atau bisa pula langsung masuk keranjang sampah. Mereka yang mengaku wakil rakyat di DPR saja menyediakan begitu banyak keranjang sampah, apa salahnya sastrawan kita melakukan hal yang sama. Tokh, Tuhan pun tak melarang orang bersaran.
Kami terlibat diskusi panjang tentang peta cerpen Indonesia dan keikutsertaan dalam Jurnal Cerpen yang dirintis Joni Ariadinata. Maka, tak terhindarkan, ada semacam daftar nama yang muncul di sana. Kukatakan, Joni Ariadinata mulai berani melebarkan sayapnya pada nafas sufistik. Periksa saja Air Kaldera-nya. Di sana, ada masjid yang kosong, penduduk pemuja demit, lelaki bergamis, kopral dan serdadu palsu, Jembatan Langit sampai Tuan Presiden. Ironinya kokoh; kadangkala sangat paradoksal. Joni masih menyimpan kekuatan dahsyat lantaran persahabatannya dengan dunia gaib. Oleh karena itu, meski dalam Air Kaldera, usahanya menyemaikan simbolisme –dalam hal tertentu-- masih terfokus pada peristiwa dan bukan makna di sebaliknya, ia tidak bakal kehabisan lahan jika ia tak menghentikan eksplorasinya pada kekayaan folklor sekelilingnya. Lihat saja, betapa Arifin C. Noer –sampai akhir hayatnya-- tiada henti menggali folklor.
Sehelai daun kering jatuh. Geraknya melayang ringan. Angin seperti menyangga untuk bertahan pada tamparan sinar matahari. Aku terpesona. Mendadak ingat Danarto yang menafsir Al-Fatihah, Ayat Kursi dan dua ayat Al-Imran jadi lempengan-lempengan cahaya. Sangat inspiratif, meski polanya menyerupai “Setangkai Melati di Sayap Jibril.” Cerita dibiarkan mengalir entah ke mana, tetapi di dalamnya menyeruak makna-makna. Dalam soal makna, “Rembulan di dasar Kolam” lebih simbolik. Terasa, konsep Ibu di sana lebih hidup dan berjiwa. Simbolisme semacam ini mengingatkan pada Kuntowijoyo “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”. Tarik-menarik pengaruh antara Kakek—Aku—Ayah—membawa tokoh Aku memandang tokoh Ibu. Tokoh-tokohnya sangat simbolik dan merepresentasikan ideologi tertentu.
***
Makna! Inilah substansi sebuah cerita. Dapatkah kita menangkapnya pada karya-karya populer atau kisah-kisah telenovela selain obral hiburan dan iming-iming hadiah? Itulah tuntutan yang di dalam kerangka cultural studies dimasukkan dalam kotak high culture untuk membedakannya dengan popular culture. Mereka yang memilih masuk ke wilayah high culture dihadapkan pada sejumlah konsekuensi. Catatan kritis terhadapnya mesti disikapi secara arif, sebab itu merupakan salah satu bentuk apresiasi, bukan caci-maki. Apresiasi memancar dari sebuah prestasi yang mampu melahirkan nilai-makna. Tanpa itu, percumalah melakukan apresiasi, sebab bakal sia-sia menemukan nilai-makna.
Makna agaknya mustahil mengkristal tanpa proses. Itulah sebabnya kukatakan, eksplorasi kultur etnik merupakan peluang. Ia menjanjikan lahan yang sangat berlimpah. Oka Rusmini (Bali), Gus tf Sakai (Minang), Taufik Ikram Jamil (Melayu), Yanusa (Jawa) adalah beberapa contoh yang telah memanfaatkan kultur etniknya dengan sangat cerdas. Ingat juga Umar Kayam, Linus Suryadi, Darman Moenir, Korrie Layun Rampan, Zawawi Imron, Tohari, dan sederet nama lain yang berlimpah. Proses persenggamaannya dengan sosio-kultural yang mengelilingnya, telah berhasil disuguhkan dalam berbagai kisah yang penuh kristal makna. Memang itu pilihan. Tetapi, begitu memilih, di depannya terhampar konsekuensi. Jadi, jika konsekuensinya menggenggam kristal makna, wajar saja mereka memilih itu. Lalu, apa yang harus dipenjara jika memilih hakikatnya sebuah kebebasan.
Tengoklah Abidah El-Khalieqy. Dalam Menari di Atas Gunting, ia telah memilih narasi-imajinatif, dan bukan narasi atas peristiwa an sich. Maka yang muncul kemudian adalah sebuah pengembaraan imajinatif yang mengingatkan kita pada Javid Namah-Iqbal. Ia memang lebih leluasa mempermainkan ruang dan waktu. Tokoh-tokoh yang merepresentasikan ideologi tertentu bisa ditarik ke masa kini, masa lalu atau masa datang. Tentu saja itupun bukan tanpa risiko. Kita dibawa pada deretan nama yang beberapa di antaranya memaksa kita membuka catatan sejarah atau lembaran ensikopledi. Dalam hal itulah, tidak jarang, sentuh estetik (aesthetic contact) kita, menghadapi hingar; terganggu.
“Manusia akan terus-menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan. Atau ini, atau itu. Dan memilih salah satu di antaranya adalah sebuah putusan bebas. Dan putusan itu hanya akan bermakna jika ia telah melakukan pilihan.” Begitulah sebagian gagasan Kierkegaard tentang kebebasan manusia untuk memilih. Abidah telah memilih jalurnya sendiri, sama dengan Agus Noor, Shoim Anwar, Kurnia, Ratna Indraswari Ibrahim, Herlino Soleman, atau siapa pun yang namanya sering kita jumpai di hari Minggu. Keberadaan mereka itu, justru tidak sekadar membentuk warna-warna pelangi, melainkan ruh keindonesiaan yang hakikatnya bersumber dari heterogenitas. Maka, tidak dapat lain, memetakan cerpen (atau kultur) Indonesia, hendaknya tak terjerat pada satu nama.
Masih ingatkah tragedi percintaan Fuyuko dan Husen dalam Gairah untuk Hidup dan untuk Mati-Nasyah Djamin? Itulah novel Indonesia pertama yang secara mendalam menghadapkan harakiri dalam persepsi kultur Jepang dengan bunuh diri menurut konsep Islam. Sebuah konflik kultural telah disajikan Djamin dengan sangat memikat. Maka, jika kini hadir Herlino Soleman mengangkat Koinobori, tidakkah itu merupakan sumbangan penting untuk melihat kultur dan masyarakat Indonesia dalam pandangan Jepang atau sebaliknya? Tidakkah ia menyentuh persoalan kultural: konsep keberanian dan keringat dilihat dari persepsi dua kultur yang berbeda? Sebuah sentuhan kultural yang terasa sedap. Lalu, mengapa pula ia mesti dilarang? Ingat saja ketika Sitor Situmorang merasa gamang dalam Salju di Paris atau Umar Kayam dalam Seribu Kunang-Kunang di Manhattan? Tidakkah itu juga berkaitan dengan problem kultural?
***
Hudan Hidayat pergi ke entah. Pasti aku akan rindu pada provokasi dan sepotong besi yang setia menemaninya. Kapan pula Joni datang membawa kisah-kisah gaibnya. Atau Sakai dan Jamil yang tak bakal tergoda melakukan perselingkuhan kultural. Mereka suka sekali memberi banyak PR. Sungguh aku dijerat rindu. Hanya Jamal D. Rahman yang tahu, betapa persenyawaan kultural sering sangat menggelisahkan.
Minggu yang cerah. Seorang perempuan, masih agak muda, memasuki halaman rumahku. Tangannya menenteng sebuah map kertas yang lusuh-kucel. Sesudah melepas salam, ia menerangkan bahwa dirinya diutus oleh sebuah yayasan yatim-piatu untuk mencari dana pembangunan pondokan yayasan itu. Ia juga menyodorkan secarik kertas identitas yang tak jelas. Jangan-jangan itu juga nama samaran, pikirku. Buru-buru aku membuang prasangka buruk. Ah, jika saja anak-anak yatim itu bersekolah dan dididik dengan baik, sangat mungkin –jika benar—dari yayasan itu akan lahir sastrawan besar atau minimal penulis yang baik yang tentu saja tidak sekadar ngaku-ngaku penulis.
Istriku datang menimbrung. Keduanya terlibat pembicaraan entah apa. Kemudian ia masuk, membungkus sesuatu, meraup beberapa keping recehan, dan menyerahkannya kepada perempuan itu. Sambil merapikan rambutnya yang agak kusut, ia membungkuk, menyampaikan terima kasih dan salam. Aku berharap, semoga itu bukan penipuan.
Kembali aku sibuk dengan koran-koran. Ah, kemana pula koran yang tadi kubaca. Kutanya istriku. Ia tampak menyesal. Koran itu telah dipakainya membungkus nasi untuk perempuan tadi. Baru kali ini aku tidak merasa kehilangan sesuatu. “Sudahlah,” kataku sambil mengenang ombak dalam gelas.
(Maman S. Mahayana, Pengajar FSUI, Depok)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar