Sabtu, 29 November 2008

MEMANDANG OMBAK DALAM GELAS

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Minggu waktu duha. SMS seperti hujan. Aku baru saja menikmati gelombang ombak dalam gelas: sebuah tanggapan dari orang tak dikenal atas tulisanku di Media Indonesia Minggu. Ia cukup lihai cari popularitas dengan memanfaatkan ide pihak lain. Tak ada informasi baru di sana. Kulihat burung pipit lahap mengisap bunga benalu. Sebuah SMS masuk lagi: “Itu pseudo!” Mungkin, pikirku sambil mengingat sejumlah artikel Lekra awal tahun 1965-an.

Telepon berdering. Anakku berteriak, “Ayah, dari Payakumbuh!”
Aku bergegas. Menarik gagang telepon. O, Gus tf Sakai! Sastrawan Minang yang sangat santun ini menanyakan kiriman karya terbarunya, Tiga Cinta, Ibu; sebuah novel tipis yang di sana-sini tersembul semangat eksperimentasi. Rupanya, Sakai masih sangat setia pada kegelisahan kulturalnya, seperti juga tampak dari sejumlah cerpennya. Minang memang sarat problem. Dan ia memanfaatkan kekayaan kulturalnya lantaran ia bernafas dan hidup di situ. Aku memahami penolakannya untuk berselingkuh dengan kultur lain. Maka, mengertilah kini jika ia, dulu, tidak ikut tergoda gadis Jawa, keturunan Madura, yang mengganggunya di Cipayung. Sakai terlalu setia pada anak-istri beserta ninik-mamak dan tanah leluhurnya.

Boleh jadi itulah representasi orang Minang. Lihat saja Darman Moenir--Bako, Yusrizal—“Sang Pengeluh” yang cintanya pada tanah leluhur dilakukan lewat ‘otokritik’, seperti yang juga diperlihatkan Navis. Setidaknya, mereka tak dapat melepaskan diri dari kegelisahan kulturalnya. Kesetiaan mengusung sesuatu yang diketahuinya benar, penting artinya agar tempatnya sebagai sastrawan yang berpribadi tak tergoyahkan. Itu pula yang terjadi pada diri Wisran Hadi—Puti Bungsu atau Chairul Harun--Warisan. Minangkabau seperti tiada habisnya melahirkan sastrawan sejak awal kesusastraan negeri ini dibangun.

Dunia Minang itu kini seolah menyeretku untuk mengenang beberapa peristiwa di Riau: Pulau Penyengat, Pekanbaru, Rempang, Batam, Karimun, dan Dumai. Darah Raja Ali Haji yang meresap pada Idrus Tintin, BM Syam, Ediruslan, Taufik Ikram Jamil, Hoesnizar Hood, Syaukani Al Karim, Samson Rambah Pasir, dan sederet panjang nama lain, kubayangkan laksana lulur penebar semangat. Juga tidak lupa Sutardji Calzoum Bachri yang membuat monumen lewat mantra. Mereka, sastrawan Melayu itu, sadar betul pada tradisi. Mereka juga tidak dapat menyembunyikan luka sejarah. Dalam Sumpah Pemuda, bahasanya diikhlaskan menjadi bahasa Indonesia. Dan mereka selama bertahun-tahun sekadar menjadi penonton saat minyak diangkuti dan pulau belukar dibuat perumahan mewah orang-orang Jakarta. Salahkah jika kini mereka mengusung sejarah masa lalunya yang terluka, kekayaan kulturnya yang telah mengurat-daging, dan coba mentransformasikan kisah-kisah lama yang tercecer? “Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang,” begitu teriak Hang Jebat.
***

Seekor kecoa melintas. Ia seperti mengeluarkan nazis. Ada cipratan tengik. Dan menempel di sebuah artikel yang baru saja kubaca.

***
Seperti biasa, Hudan Hidayat datang dengan sepenggal besi di tangan kanan dan provokasi di tangan kiri. “Itu tak adil, Kang,” ujarnya, “Masa menilai cerpen dengan kira-kira.” Dalam beberapa hal, aku setuju pernyataannya. Tulisan itu cukup banyak menebar syakwasangka: saya kira. Jangan-jangan penulisnya punya kelainan. Kukatakan juga, “Orang Sakit-mu telah berganti kelamin dan ngaku-ngaku jadi pengamat.” Hudan diam. Gerahamnya gemeletuk. Sastrawan asal Palembang ini terkadang memang agak meletup-letup: temperamental. Dan sungguh, semangatnya menyita pesona. Lebih mengagumkan lagi, ia piawai mengolah problem psikologis menjadi kekuatan karakterisasi tokoh-tokoh fiksinya. Itulah argumen yang melandasi pandanganku bahwa fiksionalisasi “Orang Sakit” potensial mengangkat problem psikologis dibandingkan kecenderungan sufistik “Khidir”. Tentu itu tidak berarti ada larangan untuk memasuki wilayah lain. Kegamangan “Orang Sakit” menunjukkan arus kuat peristiwa pikiran dan trauma psikis berjalin-kelindan dengan tindakan fisik. Sementara tafsirnya mengenai keangkuhan Musa dan kesucian Khidir, terkesan sekadar mencetak rangkaian peristiwa transformatif, dan bukan simbol-simbol sufistik sebagaimana yang dibangun para sastrawan sufi.

Apa maknanya bagi Hudan? Pendalaman peristiwa merupakan keniscayaan dan pengungkapan makna di balik peristiwa mesti menjadi sasaran tematisnya. Tanpa itu, ia akan terjebak pada peristiwa artifisial. Sekadar usul, gagasan ini bisa saja menjadi bahan renungannya atau bisa pula langsung masuk keranjang sampah. Mereka yang mengaku wakil rakyat di DPR saja menyediakan begitu banyak keranjang sampah, apa salahnya sastrawan kita melakukan hal yang sama. Tokh, Tuhan pun tak melarang orang bersaran.

Kami terlibat diskusi panjang tentang peta cerpen Indonesia dan keikutsertaan dalam Jurnal Cerpen yang dirintis Joni Ariadinata. Maka, tak terhindarkan, ada semacam daftar nama yang muncul di sana. Kukatakan, Joni Ariadinata mulai berani melebarkan sayapnya pada nafas sufistik. Periksa saja Air Kaldera-nya. Di sana, ada masjid yang kosong, penduduk pemuja demit, lelaki bergamis, kopral dan serdadu palsu, Jembatan Langit sampai Tuan Presiden. Ironinya kokoh; kadangkala sangat paradoksal. Joni masih menyimpan kekuatan dahsyat lantaran persahabatannya dengan dunia gaib. Oleh karena itu, meski dalam Air Kaldera, usahanya menyemaikan simbolisme –dalam hal tertentu-- masih terfokus pada peristiwa dan bukan makna di sebaliknya, ia tidak bakal kehabisan lahan jika ia tak menghentikan eksplorasinya pada kekayaan folklor sekelilingnya. Lihat saja, betapa Arifin C. Noer –sampai akhir hayatnya-- tiada henti menggali folklor.

Sehelai daun kering jatuh. Geraknya melayang ringan. Angin seperti menyangga untuk bertahan pada tamparan sinar matahari. Aku terpesona. Mendadak ingat Danarto yang menafsir Al-Fatihah, Ayat Kursi dan dua ayat Al-Imran jadi lempengan-lempengan cahaya. Sangat inspiratif, meski polanya menyerupai “Setangkai Melati di Sayap Jibril.” Cerita dibiarkan mengalir entah ke mana, tetapi di dalamnya menyeruak makna-makna. Dalam soal makna, “Rembulan di dasar Kolam” lebih simbolik. Terasa, konsep Ibu di sana lebih hidup dan berjiwa. Simbolisme semacam ini mengingatkan pada Kuntowijoyo “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”. Tarik-menarik pengaruh antara Kakek—Aku—Ayah—membawa tokoh Aku memandang tokoh Ibu. Tokoh-tokohnya sangat simbolik dan merepresentasikan ideologi tertentu.
***

Makna! Inilah substansi sebuah cerita. Dapatkah kita menangkapnya pada karya-karya populer atau kisah-kisah telenovela selain obral hiburan dan iming-iming hadiah? Itulah tuntutan yang di dalam kerangka cultural studies dimasukkan dalam kotak high culture untuk membedakannya dengan popular culture. Mereka yang memilih masuk ke wilayah high culture dihadapkan pada sejumlah konsekuensi. Catatan kritis terhadapnya mesti disikapi secara arif, sebab itu merupakan salah satu bentuk apresiasi, bukan caci-maki. Apresiasi memancar dari sebuah prestasi yang mampu melahirkan nilai-makna. Tanpa itu, percumalah melakukan apresiasi, sebab bakal sia-sia menemukan nilai-makna.

Makna agaknya mustahil mengkristal tanpa proses. Itulah sebabnya kukatakan, eksplorasi kultur etnik merupakan peluang. Ia menjanjikan lahan yang sangat berlimpah. Oka Rusmini (Bali), Gus tf Sakai (Minang), Taufik Ikram Jamil (Melayu), Yanusa (Jawa) adalah beberapa contoh yang telah memanfaatkan kultur etniknya dengan sangat cerdas. Ingat juga Umar Kayam, Linus Suryadi, Darman Moenir, Korrie Layun Rampan, Zawawi Imron, Tohari, dan sederet nama lain yang berlimpah. Proses persenggamaannya dengan sosio-kultural yang mengelilingnya, telah berhasil disuguhkan dalam berbagai kisah yang penuh kristal makna. Memang itu pilihan. Tetapi, begitu memilih, di depannya terhampar konsekuensi. Jadi, jika konsekuensinya menggenggam kristal makna, wajar saja mereka memilih itu. Lalu, apa yang harus dipenjara jika memilih hakikatnya sebuah kebebasan.

Tengoklah Abidah El-Khalieqy. Dalam Menari di Atas Gunting, ia telah memilih narasi-imajinatif, dan bukan narasi atas peristiwa an sich. Maka yang muncul kemudian adalah sebuah pengembaraan imajinatif yang mengingatkan kita pada Javid Namah-Iqbal. Ia memang lebih leluasa mempermainkan ruang dan waktu. Tokoh-tokoh yang merepresentasikan ideologi tertentu bisa ditarik ke masa kini, masa lalu atau masa datang. Tentu saja itupun bukan tanpa risiko. Kita dibawa pada deretan nama yang beberapa di antaranya memaksa kita membuka catatan sejarah atau lembaran ensikopledi. Dalam hal itulah, tidak jarang, sentuh estetik (aesthetic contact) kita, menghadapi hingar; terganggu.

“Manusia akan terus-menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan. Atau ini, atau itu. Dan memilih salah satu di antaranya adalah sebuah putusan bebas. Dan putusan itu hanya akan bermakna jika ia telah melakukan pilihan.” Begitulah sebagian gagasan Kierkegaard tentang kebebasan manusia untuk memilih. Abidah telah memilih jalurnya sendiri, sama dengan Agus Noor, Shoim Anwar, Kurnia, Ratna Indraswari Ibrahim, Herlino Soleman, atau siapa pun yang namanya sering kita jumpai di hari Minggu. Keberadaan mereka itu, justru tidak sekadar membentuk warna-warna pelangi, melainkan ruh keindonesiaan yang hakikatnya bersumber dari heterogenitas. Maka, tidak dapat lain, memetakan cerpen (atau kultur) Indonesia, hendaknya tak terjerat pada satu nama.

Masih ingatkah tragedi percintaan Fuyuko dan Husen dalam Gairah untuk Hidup dan untuk Mati-Nasyah Djamin? Itulah novel Indonesia pertama yang secara mendalam menghadapkan harakiri dalam persepsi kultur Jepang dengan bunuh diri menurut konsep Islam. Sebuah konflik kultural telah disajikan Djamin dengan sangat memikat. Maka, jika kini hadir Herlino Soleman mengangkat Koinobori, tidakkah itu merupakan sumbangan penting untuk melihat kultur dan masyarakat Indonesia dalam pandangan Jepang atau sebaliknya? Tidakkah ia menyentuh persoalan kultural: konsep keberanian dan keringat dilihat dari persepsi dua kultur yang berbeda? Sebuah sentuhan kultural yang terasa sedap. Lalu, mengapa pula ia mesti dilarang? Ingat saja ketika Sitor Situmorang merasa gamang dalam Salju di Paris atau Umar Kayam dalam Seribu Kunang-Kunang di Manhattan? Tidakkah itu juga berkaitan dengan problem kultural?
***

Hudan Hidayat pergi ke entah. Pasti aku akan rindu pada provokasi dan sepotong besi yang setia menemaninya. Kapan pula Joni datang membawa kisah-kisah gaibnya. Atau Sakai dan Jamil yang tak bakal tergoda melakukan perselingkuhan kultural. Mereka suka sekali memberi banyak PR. Sungguh aku dijerat rindu. Hanya Jamal D. Rahman yang tahu, betapa persenyawaan kultural sering sangat menggelisahkan.

Minggu yang cerah. Seorang perempuan, masih agak muda, memasuki halaman rumahku. Tangannya menenteng sebuah map kertas yang lusuh-kucel. Sesudah melepas salam, ia menerangkan bahwa dirinya diutus oleh sebuah yayasan yatim-piatu untuk mencari dana pembangunan pondokan yayasan itu. Ia juga menyodorkan secarik kertas identitas yang tak jelas. Jangan-jangan itu juga nama samaran, pikirku. Buru-buru aku membuang prasangka buruk. Ah, jika saja anak-anak yatim itu bersekolah dan dididik dengan baik, sangat mungkin –jika benar—dari yayasan itu akan lahir sastrawan besar atau minimal penulis yang baik yang tentu saja tidak sekadar ngaku-ngaku penulis.

Istriku datang menimbrung. Keduanya terlibat pembicaraan entah apa. Kemudian ia masuk, membungkus sesuatu, meraup beberapa keping recehan, dan menyerahkannya kepada perempuan itu. Sambil merapikan rambutnya yang agak kusut, ia membungkuk, menyampaikan terima kasih dan salam. Aku berharap, semoga itu bukan penipuan.

Kembali aku sibuk dengan koran-koran. Ah, kemana pula koran yang tadi kubaca. Kutanya istriku. Ia tampak menyesal. Koran itu telah dipakainya membungkus nasi untuk perempuan tadi. Baru kali ini aku tidak merasa kehilangan sesuatu. “Sudahlah,” kataku sambil mengenang ombak dalam gelas.

(Maman S. Mahayana, Pengajar FSUI, Depok)

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi