Ribut Wijoto
http://www.sinarharapan.co.id/
Sejarah sastra, entah Tanah Air atau pun Barat, tidak dapat berdiri jauh dari rangka sejarah umum, terutama sejarah kekuasaan. Di Jawa, konon karya sastra terlahir dari para pujangga keraton dan pujangga liar, yang keduanya berkubang dalam tema pemerintahan para raja. Pujangga keraton dengan pengagungannya terhadap raja. Misalnya Serat Centini atau Serat Kalatida. Pujangga liar dengan karya yang mengkritisi pelaksanaan pemerintahan raja. Misalnya Serat Darmogandul karya Kalamwadi (penulis yakin ini bukan nama sebenarnya, kalam berarti ”berita” dan wadi berarti ”rahasia”).
Atas fakta sejarah itulah, kiranya berbagai tulisan mencari singgungan yang pas antara sastra dan kekuasaan. Penulis beranggapan, tulisan-tulisan tersebut dicipta bukan sebagai kebenaran paten. Artinya, telah dibuka undangan untuk bertukar pikir dan argumentasi tentang sastra, dengan pijakan karya sastra tentunya.
Tradisi karya sastra punya keterkaitan dengan tradisi kekuasaan, itu tidak dapat disanggah. Karya sastra berkualitas banyak yang menyinggung persoalan politik, juga bukan tesis yang kosong kebenaran. Hanya saja, ada beberapa kebenaran lain yang masih perlu diperdebat-tanyakan. Apakah tema perlawanan menentukan kualitas karya sastra? Apakah makna perlawanan dalam kerangka estetika karya sastra?
Perlawanan dalam Tema
Pada sebuah ingar bingar demonstrasi, seorang mahasiswa membacakan puisi ciptaannya sendiri. Sebuah puisi tentang; penghujatan pada pemerintahan yang menyengsarakan rakyat, pejabat yang korup, politikus yang tidak lebih buruk dari kadal, tuntutan untuk perubahan, dan dirinya yang tersiksa.
Tetapi, kiranya sang mahasiswa terlalu gegabah dalam kaidah-kaidah puisi, atau mungkin tidak paham sejarah puisi. Metafor tidak tajam, ilustrasi nyaris nol, imajinasi tidak terbangun, dan yang lebih parah ”puisi mahasiswa itu tidak menggoda untuk berpikir”. Yang tersisa, kata-kata penuh seruan dan hujatan.
Beberapa waktu lalu, telah terbit terjemahan novel Milan Kundera, Kitab Lupa dan Gelak Tawa. Tema perlawanan tumpah ruah di sini, dan berhasil.
Kisah perilaku politik Ceko diangkat, dipertautkan dengan otobiografi Kundera. Tiap bab novel ada di-gandholi dengan kisah-kisah cinta (baca: sensualitas dan seksualitas). Tentang cinta tokoh Mirek pada Zdena dan terpenggal sebab perbedaan sikap politik, tentang Tamina yang digelibati kenangan terhadap suaminya yang mati dalam pelarian, tentang mahasiswa yang uring-uringan sebab berenang lebih lambat dibanding gadisnya, atau tentang penyair Lermontov yang menjadi sinis dan uring-uringan sebab tidak kebagian bokong. Jadilah novel tersebut sebagai jalinan sejarah Ceko, otobiografi, dan seksualitas.
Pembaca seakan diajak tamasya dalam macam-macam pusaran konflik. Pusaran dunia lebar, yaitu pemerintahan. Pusaran dunia diri, yaitu traumatik dan seksualitas. Pusaran otobiografi, yaitu kisah petualangan hidup Milan Kundera.
Ketiga pusaran tersebut menjadi menarik karena ilustrasi-ilustrasi yang disajikan bersifat subjektif, sublim, dan cerdas. Misalnya, politik Ceko cukup diwakilkan kisah tentang topi ketua partai politik. Atau diskomunikasi seksualitas yang digambarkan melalui persetubuhan Hugo dengan Tamina. Saat terjadi persetubuhan, Hugo sangat giat menusuk-nusuk tubuh pasrah Tamina, sedangkan Tamina giat mengumpulkan kenangannya pada sang suami di antara basah kuyup keringat Hugo. Atau kisah Milan Kundera yang dicekal menulis di media massa. Alternatif yang diambil, ia menulis dengan nama samaran, itupun tidak pada kolom politik tapi pada kolom perbintangan. Dasar tulisan orang kritis, analisis perbintangan pun menjadi bermuatan politis, dan mengundang kecurigaan partai, naga-naganya ia pun dapat dikenali oleh para pejabat partai.
Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang terkenal Bumi Manusia juga tidak melulu berkutat dalam perilaku politik. Ada kisah cinta yang intens dan terpenggal antara Annelis dengan Minke. Sebuah cinta tragik, menggoda, dan melankoli. Penulis curiga, justru lantaran kisah cinta inilah yang membuat novel Bumi Manusia menjadi manis dan sukses.
Tetapi, kiranya banyak novel berhasil yang bertema perlawanan seakan jauh dari peristiwa politik. Misalnya novel Gustav Fleubert yang berjudul Madame Bovary. Novel ini hanya berkisah tentang kehidupan Nonya Bovary (tentu saja dengan sedikit bumbu perilaku seksualitas) tetapi dari kisah itu dapat mengungkap (baca: kritik) bagi kelanjutan demokrasi Prancis yang ternayata mulai tampak terobsesi dengan kehidupan orang Inggris. Padahal, Inggris sangat kental dengan kehidupan yang bernuansa aristokratik.
Di dalam puisi, tema perlawanan semakin menjauh dari material perlawanan. Puisi Chairil Anwar yang dianggap menandai sikap bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan tidak lebih dari berbagai kisah cinta seorang laki-laki dengan perempuan. Misalnya puisi dengan larik-larik: aku ingin bebas merdeka, juga dari Ida; bila mau kuterima kau kembali, untukku sendiri, sedang kepada cermin aku enggan berbagi; kau kawin beranak dan berbahagia, sedang aku mengembara serupa Ahasveros, disumpah kutuki eros.
Politik dalam karya sastra, merujuk karya-karya di atas, dapat dibuktikan, tidak mesti dibentuk oleh kegiatan-kegiatan seputar pemerintahan. Realitas-realitas kecil, misalnya perbincangan dua orang galau, dalam kapasitas tertentu adalah tindakan politik. Sebuah perlawanan terhadap tradisi. Misalnya, dialog-dialog sederhana dalam drama Menunggu Godot karya Samuel Becket sangat tepat untuk menggambarkan kemandekan kapitalistik. Pada tataran ini, kapasitas kepekaan pengarang dipertaruhkan.
Perlawanan dalam Estetika
Tetapi kebagusan tema perlawanan dalam karya sastra, bagaimapun juga sangat riskan bila dijadikan kriteria kebagusan karya sastra. Dataran lebih penting lagi, adalah bagaimana konsepsi estetika yang ditawarkan karya sastra.
Banyak karya sastra yang menyiratkan tema perlawanan secara bagus. Namun, hanya sedikit karya yang mengemasnya dengan tepat. Karya sastra, dalam hal ini, berkaitan dengan sejarah peradaban manusia dan sejarah estetika sastra.
Puisi-puisi liris Amir Hamzah berkualitas bagus. Ini kenyataan yang tidak mungkin dibantah. Tetapi dihadapkan pada tradisi sastra, Amir Hamzah hanya diakui sebagai pemuncak bangunan estetik yang sudah ada.
Lain halnya dengan puisi-puisi Chairil Anwar, padanya ada sinergi besar mencipta tradisi baru dalam estetika puisi. Pada akhirnya, ada dua tradisi yang berdiri sejajar. Inilah yang disebut sebagai kontribusi terhadap tradisi sastra. Nuansa perlawanan sangat kental di sana.
Sejarah sastra Barat pun dibentuk oleh serangkaian perlawanan terhadap tradisi sastra. Dan dari situ, mobilitas teks sastra terwujud. Ketika Abad Pertengahan menjadi kental dengan karya sastra bernuansa ritual mistik (klasik dan religius), dimunculkan jenis karya sastra Barok. Lalu muncul Renaisance, muncul lagi Romantik, lalu Realisme, dan Surealisme.
Aliran-aliran sastra tersebut dibentuk oleh motivasi perlawanan yang sama; perlawanan terhadap tradisi. Sesuatu yang lebih lengkap dibanding perlawanan satu pemerintahan an sich. Konsepsi estetikalah yang membedakannya.
Penulis teringat pada guyonan Asrul Sani dalam salah satu artikelnya pada tahun-tahun akhir 40-an. ”Kebenaran yang dikemukakan para sastrawan Pujangga Baru tidak akan tiba pada tujuan, sebab telah habis dalam nyanyian”. Artinya, perlawanan dalam karya sastra Pujangga Baru menjadi sia-sia disebabkan terjebak belenggu rima dan irama. Contoh paling parah adalah puisi-puisi dalam Lagu Gelombang karya Sutan Takdir Alisyahbana (STA).
Semua orang yang sedikit saja membaca sejarah, tentu tahu, STA adalah tokoh paling getol dalam gagasan mengadopsi budaya Barat untuk diberlakukan di Tanah Air. Pada puisi Lagu Gelombang, cita-cita ini juga yang diusungnya. Ia ingin sebuah masyarakat rasional. Kegelian yang muncul, puisi-puisi STA terlalu indah untuk sebuah ajakan pemberontakan. Ia lebih mirip nyanyian rindu daripada provokasi. Lebih dekat ke hati dari pada pikiran. Kesemuanya disebabkan estetika ”mendayu-dayu” dari Pujangga Baru.
Pelajaran yang dapat dipetik dari uraian di atas adalah; Pertama, karya sastra perlawanan tidak mesti dibentuk oleh material lingkungan politik praktis. Perlawanan dapat muncul dalam ilustrasi/realitas manapun, sekecil apapun.
Kedua, tidak ada nilai perlawanan dalam karya sastra yang berbau ”booming”, misalnya pada gejala karya sastra ”Reformasi” yang satu tema dan satu gaya penulisan. Apalagi yang terang-terangan mengandalkan ”satu kata lawan”.
Ketiga, kriteria perlawanan dalam karya sastra diukur melalui sejarah sastra, yaitu kebaruan estetika.
Keempat, karya sastra tidak dapat diharapkan untuk dapat secara langsung mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan sebab karya sastra senantiasa bersifat individual (baca: sublim). Yang paling mungkin dilakukan, karya sastra memberi gagasan dan pengetahuan tentang perlawanan.
*) Penulis adalah Ketua Komunitas Sastra Epik Surabaya, alumnus Fakultas Sastra Universitas Airlangga.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 28 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar