Jumat, 28 November 2008

Sastra Perlawanan

Ribut Wijoto
http://www.sinarharapan.co.id/

Sejarah sastra, entah Tanah Air atau pun Barat, tidak dapat berdiri jauh dari rangka sejarah umum, terutama sejarah kekuasaan. Di Jawa, konon karya sastra terlahir dari para pujangga keraton dan pujangga liar, yang keduanya berkubang dalam tema pemerintahan para raja. Pujangga keraton dengan pengagungannya terhadap raja. Misalnya Serat Centini atau Serat Kalatida. Pujangga liar dengan karya yang mengkritisi pelaksanaan pemerintahan raja. Misalnya Serat Darmogandul karya Kalamwadi (penulis yakin ini bukan nama sebenarnya, kalam berarti ”berita” dan wadi berarti ”rahasia”).

Atas fakta sejarah itulah, kiranya berbagai tulisan mencari singgungan yang pas antara sastra dan kekuasaan. Penulis beranggapan, tulisan-tulisan tersebut dicipta bukan sebagai kebenaran paten. Artinya, telah dibuka undangan untuk bertukar pikir dan argumentasi tentang sastra, dengan pijakan karya sastra tentunya.

Tradisi karya sastra punya keterkaitan dengan tradisi kekuasaan, itu tidak dapat disanggah. Karya sastra berkualitas banyak yang menyinggung persoalan politik, juga bukan tesis yang kosong kebenaran. Hanya saja, ada beberapa kebenaran lain yang masih perlu diperdebat-tanyakan. Apakah tema perlawanan menentukan kualitas karya sastra? Apakah makna perlawanan dalam kerangka estetika karya sastra?

Perlawanan dalam Tema
Pada sebuah ingar bingar demonstrasi, seorang mahasiswa membacakan puisi ciptaannya sendiri. Sebuah puisi tentang; penghujatan pada pemerintahan yang menyengsarakan rakyat, pejabat yang korup, politikus yang tidak lebih buruk dari kadal, tuntutan untuk perubahan, dan dirinya yang tersiksa.

Tetapi, kiranya sang mahasiswa terlalu gegabah dalam kaidah-kaidah puisi, atau mungkin tidak paham sejarah puisi. Metafor tidak tajam, ilustrasi nyaris nol, imajinasi tidak terbangun, dan yang lebih parah ”puisi mahasiswa itu tidak menggoda untuk berpikir”. Yang tersisa, kata-kata penuh seruan dan hujatan.

Beberapa waktu lalu, telah terbit terjemahan novel Milan Kundera, Kitab Lupa dan Gelak Tawa. Tema perlawanan tumpah ruah di sini, dan berhasil.

Kisah perilaku politik Ceko diangkat, dipertautkan dengan otobiografi Kundera. Tiap bab novel ada di-gandholi dengan kisah-kisah cinta (baca: sensualitas dan seksualitas). Tentang cinta tokoh Mirek pada Zdena dan terpenggal sebab perbedaan sikap politik, tentang Tamina yang digelibati kenangan terhadap suaminya yang mati dalam pelarian, tentang mahasiswa yang uring-uringan sebab berenang lebih lambat dibanding gadisnya, atau tentang penyair Lermontov yang menjadi sinis dan uring-uringan sebab tidak kebagian bokong. Jadilah novel tersebut sebagai jalinan sejarah Ceko, otobiografi, dan seksualitas.

Pembaca seakan diajak tamasya dalam macam-macam pusaran konflik. Pusaran dunia lebar, yaitu pemerintahan. Pusaran dunia diri, yaitu traumatik dan seksualitas. Pusaran otobiografi, yaitu kisah petualangan hidup Milan Kundera.

Ketiga pusaran tersebut menjadi menarik karena ilustrasi-ilustrasi yang disajikan bersifat subjektif, sublim, dan cerdas. Misalnya, politik Ceko cukup diwakilkan kisah tentang topi ketua partai politik. Atau diskomunikasi seksualitas yang digambarkan melalui persetubuhan Hugo dengan Tamina. Saat terjadi persetubuhan, Hugo sangat giat menusuk-nusuk tubuh pasrah Tamina, sedangkan Tamina giat mengumpulkan kenangannya pada sang suami di antara basah kuyup keringat Hugo. Atau kisah Milan Kundera yang dicekal menulis di media massa. Alternatif yang diambil, ia menulis dengan nama samaran, itupun tidak pada kolom politik tapi pada kolom perbintangan. Dasar tulisan orang kritis, analisis perbintangan pun menjadi bermuatan politis, dan mengundang kecurigaan partai, naga-naganya ia pun dapat dikenali oleh para pejabat partai.

Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang terkenal Bumi Manusia juga tidak melulu berkutat dalam perilaku politik. Ada kisah cinta yang intens dan terpenggal antara Annelis dengan Minke. Sebuah cinta tragik, menggoda, dan melankoli. Penulis curiga, justru lantaran kisah cinta inilah yang membuat novel Bumi Manusia menjadi manis dan sukses.

Tetapi, kiranya banyak novel berhasil yang bertema perlawanan seakan jauh dari peristiwa politik. Misalnya novel Gustav Fleubert yang berjudul Madame Bovary. Novel ini hanya berkisah tentang kehidupan Nonya Bovary (tentu saja dengan sedikit bumbu perilaku seksualitas) tetapi dari kisah itu dapat mengungkap (baca: kritik) bagi kelanjutan demokrasi Prancis yang ternayata mulai tampak terobsesi dengan kehidupan orang Inggris. Padahal, Inggris sangat kental dengan kehidupan yang bernuansa aristokratik.

Di dalam puisi, tema perlawanan semakin menjauh dari material perlawanan. Puisi Chairil Anwar yang dianggap menandai sikap bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan tidak lebih dari berbagai kisah cinta seorang laki-laki dengan perempuan. Misalnya puisi dengan larik-larik: aku ingin bebas merdeka, juga dari Ida; bila mau kuterima kau kembali, untukku sendiri, sedang kepada cermin aku enggan berbagi; kau kawin beranak dan berbahagia, sedang aku mengembara serupa Ahasveros, disumpah kutuki eros.

Politik dalam karya sastra, merujuk karya-karya di atas, dapat dibuktikan, tidak mesti dibentuk oleh kegiatan-kegiatan seputar pemerintahan. Realitas-realitas kecil, misalnya perbincangan dua orang galau, dalam kapasitas tertentu adalah tindakan politik. Sebuah perlawanan terhadap tradisi. Misalnya, dialog-dialog sederhana dalam drama Menunggu Godot karya Samuel Becket sangat tepat untuk menggambarkan kemandekan kapitalistik. Pada tataran ini, kapasitas kepekaan pengarang dipertaruhkan.

Perlawanan dalam Estetika
Tetapi kebagusan tema perlawanan dalam karya sastra, bagaimapun juga sangat riskan bila dijadikan kriteria kebagusan karya sastra. Dataran lebih penting lagi, adalah bagaimana konsepsi estetika yang ditawarkan karya sastra.

Banyak karya sastra yang menyiratkan tema perlawanan secara bagus. Namun, hanya sedikit karya yang mengemasnya dengan tepat. Karya sastra, dalam hal ini, berkaitan dengan sejarah peradaban manusia dan sejarah estetika sastra.

Puisi-puisi liris Amir Hamzah berkualitas bagus. Ini kenyataan yang tidak mungkin dibantah. Tetapi dihadapkan pada tradisi sastra, Amir Hamzah hanya diakui sebagai pemuncak bangunan estetik yang sudah ada.

Lain halnya dengan puisi-puisi Chairil Anwar, padanya ada sinergi besar mencipta tradisi baru dalam estetika puisi. Pada akhirnya, ada dua tradisi yang berdiri sejajar. Inilah yang disebut sebagai kontribusi terhadap tradisi sastra. Nuansa perlawanan sangat kental di sana.

Sejarah sastra Barat pun dibentuk oleh serangkaian perlawanan terhadap tradisi sastra. Dan dari situ, mobilitas teks sastra terwujud. Ketika Abad Pertengahan menjadi kental dengan karya sastra bernuansa ritual mistik (klasik dan religius), dimunculkan jenis karya sastra Barok. Lalu muncul Renaisance, muncul lagi Romantik, lalu Realisme, dan Surealisme.

Aliran-aliran sastra tersebut dibentuk oleh motivasi perlawanan yang sama; perlawanan terhadap tradisi. Sesuatu yang lebih lengkap dibanding perlawanan satu pemerintahan an sich. Konsepsi estetikalah yang membedakannya.

Penulis teringat pada guyonan Asrul Sani dalam salah satu artikelnya pada tahun-tahun akhir 40-an. ”Kebenaran yang dikemukakan para sastrawan Pujangga Baru tidak akan tiba pada tujuan, sebab telah habis dalam nyanyian”. Artinya, perlawanan dalam karya sastra Pujangga Baru menjadi sia-sia disebabkan terjebak belenggu rima dan irama. Contoh paling parah adalah puisi-puisi dalam Lagu Gelombang karya Sutan Takdir Alisyahbana (STA).

Semua orang yang sedikit saja membaca sejarah, tentu tahu, STA adalah tokoh paling getol dalam gagasan mengadopsi budaya Barat untuk diberlakukan di Tanah Air. Pada puisi Lagu Gelombang, cita-cita ini juga yang diusungnya. Ia ingin sebuah masyarakat rasional. Kegelian yang muncul, puisi-puisi STA terlalu indah untuk sebuah ajakan pemberontakan. Ia lebih mirip nyanyian rindu daripada provokasi. Lebih dekat ke hati dari pada pikiran. Kesemuanya disebabkan estetika ”mendayu-dayu” dari Pujangga Baru.

Pelajaran yang dapat dipetik dari uraian di atas adalah; Pertama, karya sastra perlawanan tidak mesti dibentuk oleh material lingkungan politik praktis. Perlawanan dapat muncul dalam ilustrasi/realitas manapun, sekecil apapun.

Kedua, tidak ada nilai perlawanan dalam karya sastra yang berbau ”booming”, misalnya pada gejala karya sastra ”Reformasi” yang satu tema dan satu gaya penulisan. Apalagi yang terang-terangan mengandalkan ”satu kata lawan”.

Ketiga, kriteria perlawanan dalam karya sastra diukur melalui sejarah sastra, yaitu kebaruan estetika.

Keempat, karya sastra tidak dapat diharapkan untuk dapat secara langsung mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan sebab karya sastra senantiasa bersifat individual (baca: sublim). Yang paling mungkin dilakukan, karya sastra memberi gagasan dan pengetahuan tentang perlawanan.

*) Penulis adalah Ketua Komunitas Sastra Epik Surabaya, alumnus Fakultas Sastra Universitas Airlangga.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi