Sabtu, 06 Desember 2008

PUISI-PUISI MIMBAR LAWEN NEWAL

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Lawen Newal yang kiprah kepenyairannya juga dikenal dengan nama Junewal Muchtar adalah salah seorang penyair penting Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Meski begitu, kiprah kepenyairannya telah memantapkan dirinya, bahwa sosok Lawen Newal adalah penyair yang di kawasan Riau, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam, mempunyai tempat tersendiri yang kokoh—kuat. Dua karya sebelumnya, Batu Api (1999) dan Perjalanan Darah ke Kota (2003) memperlihatkan kegelisahannya dalam tarik-menarik masa lalu puak Melayu yang ditaburi puisi-puisi tradisional yang tiada henti terus mengalirkan tradisi, di satu sisi, dan perubahan sosial dalam arus perkembangan zaman pada sisi yang lain. Jadi, semangatnya kulturalnya adalah: satu kaki berada dalam ibu budaya yang melahirkan dan membesarkannya, dan satu kaki lainnya gamang menginjak Indonesia yang dalam pandangannya, mencemaskan.

Dalam serangkaian pembacaan puisinya, Lawen kerap tampil menderapkan spontanitas, kecepatan berpikir, dan improvisasi, sebagaimana yang menjadi semangat dasar berpantun, dan mabuk ekspresif sebagai representasi segala rasa dalam memandang situasi sosial di sekitarnya. Mungkin ia bermaksud memberontak, mencemooh, menyampaikan kritik sosial, mencoba memberi penyadaran atau mengungkap kecintaan. Segalanya dapat menghambur begitu saja, dengan atau tanpa kendali. Dan puisi bagi Lawen adalah ekspresi kreatif yang boleh memainkan improvisasi ketika itu dianggap menjadi tuntutan situasi.

Cara pengucapan Lawen Newal tentu saja tidak sendirian. Masih ada deretan panjang nama yang juga mempunyai kegelisahan yang sama, pengucapan yang sama atau obsesi yang sama. Tetapi, dalam sejumlah kesamaan tematik, pengucapan dan ekspresi itu, selalu ada kekhasan, unikum yang menciptakan keberbedaan. Di situlah posisi kepenyairan Lawen Newal ikut mewarnai lanskap peta perjalanan puisi Indonesia yang dalam kenyataannya memang tidak dapat menghindar dari kultur ibu, kecamuk kegelisahan batin, dan pemaknaan atas situasi sosial zamannya. Lawen dengan kesadaran kepenyairannya, sangat memahami jalan bergelombang yang menjadi pilihannya.

Dalam kumpulan puisi Topeng Makyong –Batu Api Dua— (Pustaka Panggung Melayu, 2008), pengucapan Lawen tampak lebih reflektif, simbolik—sebagaimana yang dapat kita tangkap pada dua antologi sebelumnya—metaforis, meski dalam beberapa puisinya, cara membungkus kesadaran keindonesiaannya kerap mencelat begitu saja dan menyebar dalam sejumlah pengucapan yang menggugah emosi. Permainan makna dalam balutan metafora, cukup cantik tidak sekadar sebagai ekspresi kegelisahan batin an sich, melainkan juga sebagai pantulan kesadaran diri pada alam yang sesungguhnya cermin bagi kehidupan manusia; pada negeri yang kian tak bersahabat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Lawen coba memaknai dengan latar kultur ibu yang berada di belakangnya dan segala harapan yang berada di depannya. Maka, segala benda yang diakrabinya, seperti laut—gelombang—perahu, kerap menjadi latar material yang berfungsi mendukung tema yang hendak disampaikannya. Di situlah eksotisme kultur etnik memperoleh pencerahan ketika ia digunakan sebagai upaya memaknai dan menerjemahkan situasi sosial perkembangan zaman.

Periksalah puisinya yang bertajuk “Topeng Makyong.” Meski kritiknya atas situasi kehidupan kenegaraan dan kebangsaan ini jelas dialamatkan ke mana, posisi topeng makyong dalam teks itu memaksa kita menelusuri makna topeng dalam tari makyong, sebuah tradisi berkesenian dalam kebudayaan Melayu yang makin terpinggirkan. Lawen memang mengungkap kegelisahannya pada situasi sosial zaman ini, tetapi sekaligus membawa misi kulturalnya ketika tradisi kesenian makyong dalam kebudayaan Melayu, tidak lagi mendapat apresiasi masyarakat. Dan topeng, sebagai properti penting dalam kesenian itu ditempatkan sebagai salah satu ikonnya.

Periksa juga puisinya yang berjudul “Dialog Ikan dan Para Pemancing” yang mengawali buku kumpulan puisi ini. Bukankah itu merupakan sebuah isyarat yang mewartakan dua makhluk dengan dua kepentingan? Para pemancing yang bertindak sebagai pemburu, dan ikan sebagai simbolisasi makhluk tak berdaya yang kerap dijerat tipu daya, iming-iming, janji palsu, dan omong kosong. Sebuah paradoks yang menggambarkan kuasa para penguasa—penipu dan keteraniayaan makhluk (baca: rakyat) tak berdaya. Bukankah kehidupan kemasyarakatan kita dewasa ini laksana paradoks pemancing dan ikan. Umpan pemancing adalah jerat yang membawa ikan pada kematian. Maka ketika ikan-ikan itu terbang dibawa camar, dan barangkali juga pergi menghadap tuhannya, kesadaran aku liris adalah mengembalikan kehidupan pada habibatnya; pada sunatullah, pada hukum alam yang jujur dan tak menipu. Lawen coba memberi penyadaran, betapa busuk kehidupan yang ditaburi tipu-daya dan kemufaikan.

Puisi “Rig dari Natuna” –yang mengingatkan saya pada puisi Rendra, “Rick dari Corona” jelas mewartakan kedukaan tentang kekayaan alam yang dikuras, sementara masyarakat di sekeliling tidak mendapatkan apa pun dari tanahnya sendiri, padahal tanah itu adalah warisan leluhurnya yang tetap menunjukkan jejak nenek moyang. Itulah model suara penyair (Melayu) yang kerap digemakan. Lawel bagai hendak merepresentasikan gugatan itu. Ia tak mengungkap suasana hati atau suasana peristiwa. Ia mewartakan sebuah narasi kepedihan. Gaya pengucapan ini akan mengundang efek puitik yang menggugah dan penuh pesona manakala ia disampaikan secara teaterikal dengan vokal yang menyihir. Lawen agaknya sangat menyadari kualitasnya sebagai penyair dan pembaca puisi yang piawai. Maka, sejumlah puisinya yang lain, tampak dikemas dengan kesadaran itu. Lihat juga puisinya yang berjudul “Orang-Orang Perahu,” “Perih,” atau “Orang-Orang Terbuang” dan sejumlah besar puisinya yang lain.

Dalam konteks itu, saya melihat, Lawen makin matang dalam memainkan peran kepenyairannya yang menempatkan bahasa dan pengucapan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dan secara keseluruhan, puisi-puisi dalam antologi ini adalah pengucapan kegelisahan penyair yang tidak dapat meninggallupakan tradisi kelisanannya, dan sekaligus menyadari bahwa bahasa adalah sarananya. Di sini pula keunikan—kekhasan puisi-puisi Lawen memperlihatkan eksotismenya; bagaimana ia memadukan kelisanan dan keberaksaraan dalam wujud puisi. Maka, napas yang mendominasi semangat puisi-puisi Lawen berkenaan dengan ibu budaya yang melahirkannya, bukanlah pada mantera atau pada hikayat, melainkan pada pantun dan gurindam. Pada pantun kita melihat spontanitasnya, dan bukan pada bentuk sampiran dan isinya; dan pada gurindam ada kandungan tentang fatwanya yang coba memberi penyadaran.

Lalu di mana pula kelisanan itu dilesapkan Lawen? Justru di situlah kekuatan puisi-puisi Lawen memancarkan pesonanya. Simak saja secara sembarang salah satu puisinya dalam antologi ini. Maka, puisi-puisi itu akan menjadi puisi yang enak dibaca—enak didengar. Bukanlah puisi-puisi seperti ini merupakan kekhasan puisi tradisional yang sengaja dibangun untuk dibacakan di depan publik. Itulah model kelisanan yang dalam tradisi kesusastraan Melayu dalam menciptakan komunikasi antara pembaca—pendengar; aktor—audiens.

Meskipun demikian, tentu saja pilihan itu bukan tanpa risiko. Lalu di manakah Lawen–lewat puisi-puisinya itu—hendak menciptakan jalinan komunikasi dengan pembacanya? Jelas, Lawen coba menghindar permainannya dalam pemikiran filosofis yang menjadikan puisi sebagai sebuah perenungan yang asyik-masyuk sendiri, Puisi-puisi Lawen bukanlah untuk dinikmati sendiri di dalam kamar tertutup (close reading). Puisi-puisi Lawen adalah puisi mimbar yang akan memancarkan efeknya yang mempesona ketika ia berhadapan dengan publik pendengar. Simak saja puisinya yang bertajuk “Hidung tak Mancung”. Meski ia membungkus sebuah simbolisme –hidung mancung—dan topeng makyong, sasarannya jelas menegaskan perlawanannya pada kemunafikan. Topeng makyong adalah penutup wajah yang di sana, pemain akan menjalanklan karakternya sesuai dengan fisiologi topeng itu.
***

Begitulah puisi-puisi mimbar Lawen Newal tidak sekadar mewartakan serangkaian kegelisahan penyair tentang puak dan tanah moyangnya, melainkan juga pengucapan puitik yang berada dalam tarik-menarik kelisanan dan keberaksaraan. Puisi-puisi Taufiq Ismail, Rendra, atau Hamid Jabbar berada dalam semangat yang sama dengan yang dimanifestasikan Lawen Newal. Dengan demikian, puisi disadari sebagai alat ucap yang bakal menghamburkan efeknya yang dahsyat manakala penyairnya berada di tengah publik. Itulah puisi mimbar, meski ia juga tetap tak meninggalkan sarana puitikanya sebagai karya seni yang juga mengusung keindahan puitik.

Bukankah di dalam puisi-puisi mimbar itu, kita juga masih menjumpai begitu banyak metafora, simbolisme, dan derap kesamaan bunyi yang sadar atau tidak, dapat merangsang emosi pendengarnya. Jadi, meskipun puisi-puisi Lawen berada dalam tarik-menarik kelisanan dan keberaksaraan, berada dalam jalin-kelindan tradisi puisi yang diwariskan oleh ibu budaya dan perubahan sosial zamanya, ia tidak tergelincir pada bentuk pernyataan yang artifisial. Lawen sama sekali tidak hendak mengumbar propaganda tentang kisah-kisah pedih puak Melayu dan tanah moyangnya. Ia berkisah tentang kepedihan dalam peristiwa yang menimpa masyarakat di sekitarnya, luka moyangnya, dan kecemasan pada elan kebangsaannya dalam serangkaian puisi yang tetap menyimpan daya pukau. Dan daya pukau itu akan menjelma pesona jika ia berada dalam suara pembaca puisi yang piawai.

Menikmati puisi-puisi dalam antologi ini, sungguh saya merasa berada di atas pentas yang tangkas. Dan Lawen Newal punya kualitas itu.

Lawen Newal telah melakukan pilihan atas jalur yang hendak ditempuhnya. Kekuatan itu niscaya akan menjadi monumen, jika ia punya banyak kesempatan memamerkan kualitasnya itu.
Tahniah, syabas, selamat!

Bojonggede, 27 Mei 2008

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi