Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Sastra –di dalamnya tentu saja termasuk juga cerpen— bukanlah sekadar karya fiksional –menyulap fakta menjadi fiksi—tetapi juga catatan sebuah kesaksian atas satu atau serangkaian peristiwa yang terjadi pada saat dan zaman tertentu. Sebagai sebuah kesaksian, sastra boleh jadi sekadar mencatat segala peristiwa itu tanpa pretensi. Atau, mungkin juga ia mencoba melakukan pemaknaan atas hakikat di balik peristiwa itu. Bahkan, tidak jarang pula sastra menjadi alat bagi pengarang untuk menyelusupkan ideologinya, menawarkan misi budaya, memprovokasi untuk melakukan pemihakan, atau meledek hal atau pihak tertentu secara tersembunyi. Itulah sebabnya, dari karya sastra, kita (: pembaca) kerap menemukan berbagai hal yang baik atau buruk; yang tersirat atau tersurat; ledekan atau pengagungan. Jadi, sebagai catatan sebuah kesaksian, sastra menghasilkan rekaman situasi sosial pada zamannya. Ia menampilkan semacam potret sosial. Dari sana, terungkap situasi sosial, di dalamnya sekaligus tersembunyi semangat zaman.
Mengingat catatan dan rekaman itu kadangkala dihasilkan dari sebuah tafsir dan evaluasi tentang satu atau berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan dan sastrawan mencoba memberi makna terhadapnya, maka tidak sedikit pula karya sastra yang mengisyaratkan tanda-tanda, petunjuk, prakiraan, atau sekadar potret saja yang di masa-masa berikutnya, ia menjadi semacam catatan sejarah; menjadi fakta historis subjektivitas pengarangnya. Ia mencatat dan merekam situasi sosial pada zaman tertentu dan kemudian mencoba pula memaknainya bagi kehidupan ini, sekalian juga mengisyaratkan berbagai kemungkinan akibat-akibatnya sebagai buah dari peristiwa itu. Jika kondisi sosial pada zamannya dimaknai sebagai sebuah isyarat, lalu apa yang bakal terjadi di masa hadapan atas masyarakat yang bersangkutan: kebahagiaan atau kehancuran? Dalam hal ini, sastra sering juga diperlakukan sebagai ramalan tentang perkembangan zaman dan tanda-tanda yang akan dihadapi di masa depan. Apakah ramalannya itu benar-benar terjadi atau tidak, tidaklah penting. Ia hanya bertugas memberi tanda-tanda, mengisyaratkan tentang sebuah peristiwa yang (mungkin) akan terjadi dan melanda masyarakatnya kelak.
Cerpen “Gerombolan” karya Ayatrohaedi ini ternyata tidaklah berindikasi sebagai sebuah “ramalan atau isyarat.” Dan tampaknya, ia memang tidak berpretensi ke arah sana. Ayatrohaedi sekadar memotret apa yang dirasakan dan dilihatnya. Jika ia tidak memberi isyarat atau tanda-tanda zaman yang akan datang, lalu apa maknanya bagi kehidupan masyarakat sekarang? Apakah karya itu kemudian tak bermakna sama sekali dan kita (: pembaca) tega melemparkannya ke keranjang sampah. Jika begitu, percuma juga kita menempatkan karya sastra sebagai potret sosial yang mengungkapkan semangat zamannya. Inilah contoh kasus, bagaimana karya sastra yang ditulis hampir setengah abad yang lalu, masih memancarkan tidak hanya menyangkut pesona estetikanya, tetapi juga fakta-fakta masa lalu sebagai sebuah potret sosial. Mari kita periksa.
***
Cerita yang diangkat Ayatrohaedi dalam cerpen “Gerombolan” sesungguhnya bukanlah sebuah kisah yang mengungkapkan peristiwa besar. Terkesan ia sekadar bercerita begitu saja seperti seorang pendongeng dalam tradisi lisan. Maka, gaya bertuturnya terasa mengalir enteng, tanpa kelak-kelok, tanpa niat berfilsafat, dan tak berkehendak membawa pembacanya berkerut kening. Justru dari situlah pesona estetik cerpen ini memancar dan menampakkan dirinya.
Dikisahkan, seorang penduduk desa, Mang Kentang, berhasil menangkap seorang gerombolan. Tentu saja penangkapan itu sebagai prestasi luar biasa bagi pelakunya. Berita penangkapan itu pun menyebar. Belakangan diketahui, bahwa yang ditangkap itu bukanlah gerombolan, melainkan seorang gila. Maka, tak ada alasan untuk tidak membebaskannya. Itulah ikhtisar cerpen yang pernah dimuat majalah Tjerita, No. 3, Th. II, Maret 1958.
Lalu, di manakah estetika cerpen yang tampak begitu sederhana itu? Secara tematis, jelas bahwa cerpen itu mengangkat peristiwa aktual pada zamannya. Tentang situasi kacau akibat konflik tentara dengan lasykar DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Karena layskar DI/TII sering melakukan penyerbuan secara bergerombol, tidak dilakukan seorang diri, tentara kemudian menyebutnya sebagai gerombolan DI/TII. Akhirnya, melekatlah kata gerombolan sebagai identik dengan lasykar DI/TII. Itulah etimologinya. Maka, bagi masyarakat Jawa Barat, yang dimaksud gerombolan itu adalah lasykar DI/TII. Jadi, seorang gerombolan tidak lain adalah seorang lasykar DI/TII. Dalam hal ini, terjadi pergeseran makna: gerombolan sebagai kelompok orang yang lebih dari dua orang menjadi lasykar DI/TII.
Pada awal kemerdekaan sampai pertengahan tahun 1950-an, kekacauan yang terjadi di wilayah Jawa Barat semata-mata disebabkan oleh konflik antara tentara dan pasukan DI/TII. Tentu saja yang menjadi korbannya adalah rakyat. Tentara kemudian membentuk apa yang disebut sebagai “Pagar Betis” yang artinya pertahanan dengan melibatkan kekuatan rakyat. Jika di dalam cerpen itu diceritakan perihal keterlibatan rakyat dalam menjaga keamanan wilayahnya, hal tersebut dilakukan dalam kerangka pembentukan “Pagar Betis” itu.
Selain itu, gambaran yang diperlihatkan tokoh aku tentang ketakutannya pada serbuan gerombolan, kecemasan beberapa penduduk yang ngukurung dan hendak pulang ke kampungnya, dan munculnya istilah main rebab, menunjukkan situasi yang sangat mencekam. Penyerbuan pihak gerombolan ke perkampungan penduduk yang sering diikuti dengan pembunuhan –penggorokan-penyembelihan— atau pihak tentara yang juga melakukan hal yang sama kepada pihak gerombolan, ketika itu sudah bukan hal yang aneh lagi. Cerita penduduk tentang orang-orang yang direbab, juga sudah menjadi bahan obrolan sehari-hari.
Perhatikan kutipan berikut:
“Mang, selama masih ada di dalam kampung kami, kami masih bertanggung jawab atas keselamatan Emang semua. Cuma keluar dari kampung kami, kami tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ini jika Emang memaksa juga mau pulang. Baiklah saya mintakan izin pada Pak Mayor nanti.”
Dan mereka terlihat sangat gembira aku sanggupi demikian. Mereka meneruskan perjalanan mereka setelah aku berkata-kata sebentar dengan Pak Mayor. Dan ucapan terima kasihnya pun keluar berderai-derai dari mulutnya, tak bisa kuhitung lagi berapa kali mereka ucapkan.
Tampak dalam kutipan itu, bahwa keselamatan diri merupakan barang yang amat berharga. Maka, ketika penduduk yang habis ngukurung itu diizinkan Pak Mayor (: tentara) untuk melanjutkan perjalanannya pulang, mereka berulang-ulang mengucapkan terima kasih kepada si tokoh aku. “…tak bisa kuhitung lagi berapa kali mereka ucapkan.” Buat penduduk yang habis ngukurung itu, izin seorang aparat keamanan boleh dikatakan merupakan tiket keselamatan untuk sampai tujuan. Jadi, jika penduduk itu berulang kali mengucapkan terima kasihnya, hal tersebut sebagai ekspresi yang wajar, karena ada jaminan keselamatan untuk jiwa dan raganya.
Demikianlah, di balik tema yang diangkatnya, cerpen ini sesungguhnya menyembunyikan tragedi kemanusiaan yang dahsyat. Munculnya istilah-istilah direbab (disembelih; digorok seperti orang sedang menggesek biola atau rebab), didorhos (dijedor dan hos nyawanya melayang: ditembak) menunjukkan betapa nyawa manusia diperlakukan seperti alat permainan, tak punya harga.
Meskipun demikian, kita juga dapat melihat, betapa semangat berguyon dan berkelakar, kerap juga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda. Di balik tragedi kemanusiaan itu, si tokoh aku dan teman-temannya, masih sempat mempermainkan mereka, penduduk yang ngukurung itu. Demikian juga, salah tangkap orang gila yang dikira gerombolan, meski banyak terjadi dalam situasi darurat perang masa itu, bisa menjadi bahan obrolan yang berakhir dengan gelak tawa. Begitu pula jawaban-jawaban kacau si Gila berikut tingkah lakunya ketika ditanya Mang Kentang, justru mendatangkan kelucuan, dan bukan ketegangan sebagaimana seorang tahanan diancam akan disiksa dan ditempak.
Cara bertutur yang diperlihat Ayatrohaedi dalam cerpennya itu boleh jadi merupakan representasi masyarakat Sunda dalam memandang dan menempatkan persoalan. Dalam beberapa hal, ia bisa menyikapi persoalan itu dengan sangat serius –seperti kabar tertangkapnya seorang gerombolan yang sangat mungkin malah mendatangkan bencana sebagaimana yang terjadi di beberapa desa di Jawa Barat. Pada waktu itu, jika ada perkampungan yang diserbu oleh pihak gerombolan atau oleh pihak tentara yang menganggap perkampungan itu sebagai sarang gerombolan, maka yang tersisa dari kampung itu ada puing-puing bekas pembakaran rumah. Dan cerita penduduk kemudian menyangkut nama-nama yang menjadi korban. Oleh karena itu, berita penangkapan seorang gerombolan, harus disikapi secara serius.
Meskipun demikian, dalam waktu yang sama, berita tentang penangkapan gerombolan itu juga bisa disikapi dengan kelakar, guyon. Jadi, di antara kisah-kisah pembumihangusan sebuah perkampungan, pembantaian penduduk tak berdosa, masyarakat masih menjadikan berita dan kisah-kisah itu sebagai bahan lelucon. Sebagai sebuah peristiwa yang tak perlu diperlakukan secara berlebihan, seolah-olah semuanya bisa mendatangkan kiamat. Atau setidak-tidaknya, peristiwa dan berita yang mengerikan itu bisa ditempatkan sebagai sebuah komedi.
***
Yang juga menarik dari cerpen ini adalah derasnya keinginan pengarang untuk memasukkan sejumlah kosakata bahasa Sunda. Sangat mungkin itu disebabkan oleh ketidakmampuan bahasa Indonesia mewakili ekspresi pengarangnya yang disadarinya sendiri tidak dapat melepaskan diri dari kultur masyarakatnya. Oleh karena itu, menjadi sangat beralasan ketika kita melihat begitu banyak kosakata bahasa Sunda bertebaran di sana. Kata-kata ngukurung, keletos, babet, beser dan sejumlah kosakata Sunda lainnya, memang khas yang tak ada pandanannya dalam bahasa Indonesia. Sebutlah misalnya kata kaprot, yaitu menampar dengan punggung tangan. Ia berbeda dengan tampiling (menampar), yaitu menampar dengan telapan tangan.
Dalam konteks warna lokal, tentu saja Ayatrohaedi sudah mendahului apa yang dilakukan banyak pengarang Indonesia dalam memanfaatkan kosakata daerah dan kultur etnik. Dalam banyak cerpen Ayatrohaedi, seperti “Yang Terjepit” (Tjerita, No. 4, Th. II, April 1958), “Djarak Makin Djauh” (Tjerita, No. 8, Th. II, Agustus 1958), “Seorang Wartawan” (Mimbar Indonesia, No. 32, Th. XII, 9 Agustus 1958), “Kereta tak Djadi Lewat” (Mimbar Indonesia, No. 17, Th. XIIm 26 April 1958), dan beberapa cerpen lainnya, tampak benar kesadaran memanfaatkan kosakata bahasa Sunda, bukan sekadar hendak memaksakan masuknya kosakata daerah, melainkan untuk kepentingan yang lebih mewakili ekspresi kreatifnya.
***
Jika dikatakan –seperti disebutkan di awal tulisan ini—sastra merupakan potret sosial yang juga mengungkapkan semangat zamannya, cerpen “Gerombolan” jelas dapat dijadikan contoh kasus. Kata-kata gerombolan (DI/TII), SOB (Staat van Oorlog en Beleg: keadaan darurat perang), BODM (Bintara Order Distrik Militer. Kini, Koramil ‘Komando Rayon Militer’), ngukurung (buruh tani yang bekerja jauh dari rumah tempat tinggalnya, sehingga terpaksa harus menginap atau tinggal di tempat kerja selama beberapa hari atau beberapa minggu bergantung pada tuntutan pekerjaannya) adalah kosa kata yang muncul pada tahun 1950-an itu. Oleh karena itu, estetika cerpen ini tidak hanya menyangkut tema sederhana yang justru di sebaliknya tersembunyi tragedi kemanusiaan akibat perang saudara, tetapi juga usaha pengarang untuk menampilkan sebuah potret kehidupan pada masa itu. Dalam hal itulah, cerpen ini menjadi penting sebagai salah satu gambaran sebuah masyarakat (Sunda) masa lalu (dasawarsa tahun 1950-an) ketika bangsa ini masih dilanda huru-hara.
Demikianlah, cerpen yang tampaknya sederhana itu, ternyata menyimpan banyak hal. Sebuah kajian sosiologis terhadap cerpen ini, tentu akan mengungkapkan berbagai peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya cerpen ini. Bagaimana misalnya, keadaan masyarakat (Sunda) pada masa itu; bagaimana pula harapan-harapannya, kegelisahannya, atau juga kecemasan dan penderitaannya. Terbukti pula kini, bahwa sastra dapat ditempatkan sebagai potret sosial zamannya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar