Rakhmat Giryadi
http://sastraapakah.blogspot.com/
Ketika dinyatakan tidak jadi mati, Nyonya Sugondo seperti manusia setengah mayat. Orang-orang kampung sering memelesetkan dengan Nyonya Gondo Mayit, artinya bau mayat. Namanya sendiri sebenarnya Satemi. Sugondo adalah nama suaminya yang telah meninggal dunia.
Setiap hari pekerjaannya hanya duduk di kursi sampai senja menjemput. Ketika langit tampak merona merah, Nyonya –dimikian ia terbiasa dipanggil dalam keluarga besar Sugondo- telah siap dengan dandanannya. Ketika Lastri pembantunya yang telah bertahun-tahun merawatnya, mengajak ke kamar, Nyonya melambaikan tangan pada senja yang meredup.
Nyonya Sugondo, atau tepatnya Nyonya Satemi Sugondo, sejak empat tahun yang lalu sebenarnya sudah mati. Ia sudah mati ketika suaminya, Sugondo, meninggal bersama selesainya karir politik yang disandangnya selama berkuasa, karena serangan bertubi-tubi dari lawan-lawannya. Nyonya Sugondo sebenarnya sudah mati, ketika jasad sang suami dikubur di pemakaman tempat kelahirannya. Sementara anak-anaknya hanya mengirim ucapan bela sungkawa, hanya lewat telepon. Kemudian dengan suara sedih, mereka menyatakan tidak bisa menghadiri pemakaman bapaknya, karena sedang ada kesibukan yang tak bisa ditinggalkan. Hanya itu.
Sejak saat itu, ketika terompah penjaga kubur berderapan, sebenarnya Nyonya Sugondo sudah benar-benar mati. Tetapi entah mengapa, Tuhan masih menginjinkannya untuk hidup, meski separuh tubuhnya sudah membusuk. Dokter yang telah merawatnya satu bulan lebih, sudah angkat tangan. Tetapi kemudian, seperti mendapat bisikan Tuhan, dokter yang berkulit putih itu, menyatakan, Nyonya sembuh dari segala penyakit yang dideritanya.
“Saya akan dibawa kemana? Saya bosan tinggal di rumah seperti kuburan ini!” seru Nyonya. Lastri tidak menjawab. Ia segera menyiapkan makanan untuk Nyonya.
“Lastri kamu tahu tidak, ini bukan rumah kita. Besok pagi-pagi antarkan aku ke Jl. Musirin! Aku tidak mau makan, kalau tidak kamu antarkan!”
“Lo, ini jalan Musirin, Nyah…!”
“Bukan begitu, lo. Jalan Musirin itu, rumahnya besar, ramai dengan anak-anak. Ini sepi begitu. Yang ada cuman setan!” sahut Nyonya.
“Setan-setan gundhul….” ledek Lastri.
“Gundhulmu atos itu. Setannya kamu itu!” Lastri berlalu sambil membawa sisa makanan, sekeranjang obat dan beberapa butir obat penenang..
Suami Nyonya empat tahun lalu meninggal dunia mendadak. Tanpa diduga ia terlibat korupsi secara ‘berjamaah’. Begitulah kata orang-orang. Konon, Sugondo tidak tahu menahu, karena dia hanya terima uang saja. Namun ternyata uang yang dikira bonus dari rekanan itu, ternyata hasil penggelapan dana pembangunan dan pajak. Sugondo tidak bisa mengelak.
Waktu itu, usai menonton Berita Malam, Sugondo tiba-tiba merasakan sakit yang teramat sangat di dada kirinya. Nyonya tidak menyadari, kalau malaikat maut sedang menjemput suaminya. Meski suaminya sekarat, Nyonya asik memindah cenel televisi. Ketika Nyonya mendapatkan acara kesukaannya, tiba-tiba suaminya mengerang kesakitan. Sepontan Nyonya berteriak memanggil Lastri.
Sugondo dilarikan ke dokter terdekat. Sayang rumah dokter itu gelap gulita. Lastri menggedor-gedor pintu, ketika napas tuanya semakin megap-megap. Sedetik atau dua detik tak ada jawaban. Namun, tiba-tiba jendela sebesar kepala terbuka. Dari dalam terlihat wajah tanpa dosa dengan rambut tak teratur. “Sudah malam, besok saja!” dokter berkacamata tebal itu menutup jendela.
Lastri pantang menyerah. Ia menggedor pintu lebih keras, dan bicara amat cepat. Dokter baru membukakan pintu ketika Sugondo terkulai tak berdaya dan hampir jatuh ke tanah. Lastri menyeretnya begitu saja. Begitu dibaringkan Nyonya berteriak histeris, karena ia tahu, suaminya telah tiada.
Dokter yang hanya memakai celana kolor itu, berusaha membuat napas buatan. Sayang tangan malaikat maut begitu terampil. Tanpa menunggu waktu karir politik Sugondo yang semakin gemilang itu berhenti seketika. Begitu juga harapan-harapan Nyonya Sugondo untuk bisa berumah seperti Nyonya Suprapto yang kini suaminya berhasil menjadi wakil bupati, terjungkal ke lubang gelap tak berdasar. Sejak saat itu Nyonya memang seperti kehilangan kendali. Hidupnya hanya tinggal menunggu mati.
“Kopi Bapakmu mana?” tanya Nyonya.
“Tidak punya kopi, Nyah.”
“Kalau habis ya beli. Masak, tidak tahu kalau kesukaan Bapak kopi?” sahut Nyonya.
“Tapi..Bap…”
“Tidak usah tapi-tapian. Pergi sana dan buatkan kopi segera. Ia nanti marah!” sergah Nyonya.
Lastri segera beranjak. Nyonya diam dengan napas tersengal-sengal. Dari mulutnya keluar kata-kata yang tak sedap didengar. Ia memang suka sekali marah. Kalau marah perangainya jelek sekali. Meski tampak lemah, kalau berteriak seperti harimau kelaparan. Ia sering marah dengan kemarahan yang meledak-ledak. Bila tak segera dituruti maka ledakan itu berubah menjadi kemarahan yang merusakan.
Sejak kelakuan berubah seperti itu, anak-anaknya tak pernah menjenguk. Tidak tahu mengapa mereka tidak mau menjenguk? Apa karena kemarahan yang membikin telinga merah? Atau kerena kesibukan? Memang sejak penyakit itu berubah menjadi kemarahan, anak-anaknya memilih merantau. Maka perempuan yang malang itu, sendirian menungu sepi.
Kalau ingin bertemu Nyonya, anak-anaknya hanya telpon. Atau kalau Nyonya kangen, mereka hanya mengirim poto-poto terbaru mereka. Meskipun mereka sering telpon, sebenarnya Nyonya tak pernah menerimanya. Lastri lebih sering menerima, dan menggantikan peran Nyonya. Dari dialah semua keadaan Nyonya disampaikan. Jarang sekali, Nyonya berbicara di telpon dengan anak-anaknya. Begitu juga ketika kiriman foto-foto lucu, cucu-cucunya mata tuanya sudah tak bisa lagi mengenali siapa yang dilihatnya, Lastrilah yang menerangkan. Bahwa ini Mas Tono yang kerja di Medan, ini Mbak Rika yang kerja di Brunei, ini Dik Dina yang kerja di Arab, dan Ini Dik Urip yang kerja di Hongkong. Semua diterangkan dengan detail.
Semua yang dilakukan anak-anaknya bagai orang mengirim bunga setaman di pekuburan. Itu dilakukan hampir setiap bulan sekali. Atau bahkan terkadang tidak sama sekali. Setelah empat tahun itu, mereka hanya lebih suka mengirim surat lewat wesel. Di dalam wesel itu terdapat kata-kata yang tak bisa dibacanya sendiri. Meski kata-kata itu jelas terucap, ‘Anak-anak dirantau sehat. Semoga ibu sehat juga.’ Kata-kata itu tak pernah lupa dan sepertinya kata-kata itulah yang pantas diucapkan bagi anak di perantauan.
Dulu anak-anak Nyonya Sugondo adalah anak-anak yang sangat patuh. Karena bapaknya sendiri adalah orang yang terhormat dilingkungannya. Di rumahnya berlaku hukum ketertiban. Semua anak-anaknya tak ada yang boleh membandel. Sebagai anak pejabat, mereka harus bisa menjadi contoh. Contoh apa saja. Nyonya memang beruntung, keempat anaknya tak ada yang membandel. Bahkan mereka juga sangat menjaga nama baik keluarga.
Tetapi bagi keluarga besar Sugondo itu belum cukup. Untuk menjadi keluarga terhormat harus cukup secara ekonomi. Maka tak ayal lagi, anak-anaknya adalah para pekerja keras yang tak pernah mengenal lelah. Sepanjang siang dan malam mereka bekerja. Setiap hari, Tono yang sekarang bekerja di Medan itu, tak pernah pulang sore. Tono yang bekerja sebagai kontraktor itu, setiap hari kerja lembur. Baru menjelang pagi dia pulang, dan ketika matahari belum separuh jalan, ia terbangun kemudian bergegas pergi.
Begitu juga Mbak Rika, setiap hari pulang usai magrib. Kalau lembur bisa jadi pulang jam sebelas malam. Tak kalah hebat lagi adiknya si Dina, dua hari sekali ia pulang. Perempuan sekretaris sebuah perusahaan besar ini memang sering keluar kota. Lebih gila lagi Urip, setiap minggu ia pulang. Pekerjaannya menuntut demikian. Hampir setiap minggu ia harus pergi ke luar pulau untuk mengantar barang-barang. Ketika mereka sukses dan telah menikah, satu persatu meninggalkan rumah yang dirasakan seperti neraka.
Bahkan setelah berpisah rumah, mereka jarang sekali berkunjung ke rumah orang tuanya. Ketika bapaknya meninggal, hanya Lastri yang berada di rumah, mengurus ini itu, bahkan sampai menyambut para pejabat yang datang berta’jiah. Sementara anak-anaknya hanya mengucapkan bela sungkawa dari balik gagang telpon, kemudian berjanji akan mengirim bantuan dana untuk selamatan sampai seribu hari.
Melihat kehidupan seperti itu, sebenarnya Nyonya pantas disebut mayat hidup. Betapa tidak, selama ini Nyonya Sugondo memang tak lebih fotokopian suaminya. Ketika suaminya disebut-sebut sebagai pejabat ini-itu, ia tak lupa disebut-sebut sebagai orang yang menyebabkan suaminya menjadi ini-itu. Ketika suaminya berpidato tak pernah lupa menyebut peran istrinya itu. Semua yang dilakukan suaminya pasti pantas dan baik untuk istrinya. Dan hukum itu seperti menemukan kebenarannya. Pernah suatu kali, suaminya tersangkut penggelapan uang negara, dengan sabar dan penuh cinta kasih, Nyonya mendorong mental suaminya, sampai ia dinyatakan tak bersalah oleh pengadilan.
Itulah peristiwa yang membuat keluarga Sugondo terguncang. Hampir semua publik tidak percaya, orang yang diyakini jujur itu melakukan kejahatan korupsi. Sementara lawan-lawan politiknya terus memojokannya, sampai ke liang lahat.
Perisitiwa itu juga menjadi titik balik karir politik Sugondo. Meski hakim memutuskan Sugondo tidak bersalah, serangan demi serangan tak pernah berhenti. Bahkan sampai dirinya meninggal dunia, khasus itu belum juga tuntas, karena putusan hakim masih perlu ditinjau kembali. Bahkan baru-baru ini, rumah Sugondo dan beberapa kekayaan yang lain ditengarai hasil kejahatan selama menjadi pejabat. Maka rumah itu, perlu disita.
“Kalau misalnya Bapak masih di rumah, pasti saya tidak kesepian seperti ini.” kata Nyonya sambil membaringkan tubuhnya pelan-pelan ke tempat tidur dekat televisi. “Besok kita pulang ya, Las? Ibu kangen betul dengan Bapakmu,” lanjutnya dengan memejamkan mata.
“Iya, Nyah,” jawab Lastri.
***
“Pos! Pos!”
“Kok tumben bukan wesel, Pak?” tanya Lastri.
“Bukan itu surat dari kantor Keadilan,” kata pegawai Pos.
“Apa isinya?”
“Baca sendiri.” Kemudian pegawai Pos yang setiap kali mengantar wesel itu berlalu.
Lastri hendak membacanya, tetapi Nyonya keburu memanggilnya.
“Itu pasti wesel dari anaku?”
Lastri tak bisa menjawab. Ia membuka surat dari kantor Keadilan.
“Apa isinya? Pasti mereka kirim uang banyak. Kalau kirim uang kita bikin nyusul Bapak saja, Las,” kata Nyonya.
Lastri tidak memperhatikan kata-kata Nyonya. Ia mengeja, bunyi surat itu.
“Cepat Lastri katakan apa kata mereka? Berapa yang dikirimkan. Saya sudah kangen betul dengan, Bapak,” kata Nyonya lagi. Lastri tidak mengatakan apa-apa. Ia menyerahkan surat itu kepada Nyonyanya.
“Disita?” kata Nyonya yang kemudian jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Lastri berteriak histeris. Kali ini mengundang para tetangga berbondong-bondong datang. Nyonya benar-benar menyusul suaminya. Orang-orang mengantarkannya ke pekuburan dengan gremeng-gremeng, bukan doa, tetapi suara-suara sumbang. “Ia mati karena banyak makan uang rakyat dari suaminya!”
Besoknya, pegawai Pos datang lagi. Kali ini ia tidak berteriak. Ia hanya meletakan ucapan bela sungkawa dari anak Nyonya Sugondo yang dikirim dari seberang. Ia menyandarkan karangan bunga kecil dekat pengumuman yang dipasang oleh petugas kantor Keadilan : ‘Rumah ini disita negara.’
Surabaya, 2006
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 06 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar