Asarpin*
http://www.lampungpost.com/
SEJARAH kesusastraan abad ke-20 sangat dipengaruhi interaksinya dengan kolonialisme. Pada dasawarsa pertama Orde Lama, sastra Indonesia diwarnai sikap yang mendua: Sikap antara keharusan mengembangkan nilai-nilai lokal dan kekhawatiran terhadap identitas di baliknya. Ini berbeda dengan kenyataan yang terjadi di India dan Afrika, di mana sastra lokal pada 1950–1960-an menjadi strategi perlawanan terhadap kanon sastra Eropa.
Dasawarsa pertama Orde Baru, karya-karya sastra yang terbit mulai banyak menyuarakan sastra daerah meskipun tema pokok yang dibahas belum menunjukkan pergeseran. Novel-novel yang terbit pada paro pertama hingga pertengahan 1970-an, menampilkan serentetan gejala lokal melukiskan tatanan sehari-hari, seperti keluarga, kepercayaan, ritual, dan kebiasaan sebuah komunitas. Hal ini bisa ditelusuri dalam novel Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan, Khotbah di Atas Bukit (1976), cerpen “Suluk Awang-Uwung” (1975), Makrifat Daun, Daun Makrifat (1977) karya Kuntowijoyo, sekadar menyebut beberapa contoh. Memasuki dasawarsa pertama 1980-an, suara lokal dalam sastra Indonesia masih berkutat pada persoalan nilai tradisional dan modern dan belum mampu melahirkan sastra lokal sebagai strategi kultural dalam mengimbangi sastra pusat. Kecuali novel tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Burung-burung Manyar (1981), dan Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (1983) karya Y.B. Mangunwijaya, Bako (1983) karya Darman Moenir, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari, untuk menyebut beberapa contoh, masih berkutat pada persoalan ritual, agama, dan kekerabatan.
Novel Bumi Manusia (1980) secara simpatik Pram menampilkan watak Minke yang lebih menyukai bahasa Melayu ketimbang bahasa Jawa dan Belanda meskipun ia menguasai kedua bahasa itu. Pramoedya menekankan pentingnya penggunaan bahasa Melayu sebagai salah satu faktor penyatuan bangsanya dalam tetralogi ini. Dia mengutarakan pandangan ini melalui watak-watak yang muncul dalam karya ini, khususnya watak Minke. Pada awal ceritanya, Minke dilukiskan menulis makalah untuk sebuah surat kabar dalam bahasa Belanda daripada bahasa Jawa dan bahasa Melayu karena dia menerima pendidikan di HBS (Hogere Burger School).
Namun, watak Minke menunjukkan dengan keras ia ingin menulis dengan bahasa Melayu, bukan Jawa apalagi Belanda. Bahasa dalam Bumi Manusia menjelma sebagai sebuah perlawanan atau siasat kolonialisme dan kekuasaan kaum feodal. Ini terlihat dengan jelas lewat dialog tokohnya, “Sekali Tuan mulai menulis Melayu, Tuan akan cepat dapat menemukan kunci. Bahwa Tuan mahir berbahasa Belanda memang mengagumkan. Tetapi bahwa Tuan menulis Melayu, bahasa negeri Tuan sendiri, itulah tanda kecintaan Tuan pada negeri dan bangsa sendiri…. Siapa yang mengajak bangsa-bangsa pribumi bicara kalau bukan pengarang-pengarangnya sendiri seperti Tuan?” (hlm. 104).
Watak utama Minke digambarkan Pram sebagai seorang pelopor yang amat menghargai bahasa Melayu sebagai bahasa yang digunakan dalam surat kabar dan organisasi-organisasi baru. Bahasa Melayu sudah lama berfungsi sebagai alat komunikasi dalam masyarakat, baik yang mengenal aksara maupun masih niraksara. Dengan demikian, bahasa Melayu dapat mengambil peranan penting di kepulauan Nusantara. Apabila Minke bertemu Ketua Cawangan Palembang Syarikat Dagang Islamiah dalam perjalanan yang diadakan untuk melihat perkembangan organisasi itu dari dekat, ia menjelaskan perlunya menggunakan bahasa Melayu seperti terungkap dalam novel Jejak Langkah (1985).
Munculnya perdebatan sastra kontekstual pada pertengahan 1980-an tak bisa dilepaskan dengan novel tetralogi. Sejak munculnya karya tetralogi dan disambut perdebatan sastra kontekstual, terjadi perubahan cukup radikal dalam menyuarakan identitas lokal dalam sastra Indonesia. Pendukung sastra kontekstual mempersoalkan universalisme dalam sastra Indonesia lantaran terlalu memusatkan perhatian pada kehidupan kota. Munculnya sastra kontekstual sekaligus berusaha menjawab konsep politik negara integralistik Orde Baru. Pendukung sastra kontekstual mengusulkan sastra seharusnya lebih terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan atau anasir-anasir lain di luar wacana pusat.
Namun, komitmen sosial yang ditawarkan sastrawan pendukung sastra kontekstual, tidaklah seekstrem yang terjadi di Afrika. Mereka tidak melarang penggunaan istilah universal dalam diskusi-diskusi tentang sastra, seperti fenomena yang pernah dikemukakan Chinua Achebe dalam Colonialist Critism di Afrika. Penggagas sastra kontekstual di Indonesia hanya menawarkan estetika alternatif sebagai pengimbang estetika mainstream sastra universal. Mereka menjawab universalisme tidak dengan esensialisme yang radikal, apalagi mencoba membatasi gagasan universalisme dengan cara sempit yang membahayakan.
Beberapa tahun kemudian, terutama pada awal 1990-an, suara lokal dalam sastra Indonesia tampil kembali seiring munculnya perdebatan posmo yang mempersoalkan apakah sejarah sastra nasional Indonesia sebatas satu narasi besar atau apakah sebenarnya ada banyak narasi kecil dengan keragaman yang juga harus dicatat dan diapresiasi kalangan sastrawan. Namun, alih-alih menawarkan estetika alternatif bagi sastra lokal atau sastra daerah, posmo justru mengundang bahaya yang mengancam.
Bahaya yang mengancam untuk, seperti pernah ditegaskan teoritikus poskolonial, Bill Ashcerift, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin dalam buku Menelanjangi Kuasa Bahasa (2003), mengajak kita menyerap kembali kebudayaan lokal ke dalam internasionalis dan universalis yang baru. Karena itu, ketiga teoretikus pascakolonial itu membedakan apa yang disebut postmodernisme dengan poskolonialisme, baik dari segi misinya, sumber inspirasinya, maupun watak keduanya.
Dorongan mengumpulkan kembali warisan-warisan sastra daerah dalam karya-karya sastra Indonesia pada 1990-an terus berlanjut lewat dekolonisasi kebudayaan dan kehendak kembali pada bahasa-bahasa dan mode-mode lokal prakolonial. Ini ditunjukkan beberapa karya yang muncul di era reformasi. Pergeseran warna lokal dalam bentuk bahasa, suara, konsep, ujaran, menjadi hal yang sangat penting yang menandakan era ini. Suara lokal tampil lebih radikal, berani, dan terang-terangan menggugat wacana pusat (dalam arti politik maupun budaya).
Dalam periode ini bermunculan komunitas-komunitas sastra daerah atau sastra kepulauan dengan semangat yang terlalu jauh dan nyaris berlebihan menolak universalisme melalui esensialisme ekstrem. Dalam cerita pendek yang muncul pada periode ini, suara lokal dapat ditelusuri dalam cerpen “Gerundelan Wong Tegal” (1999) karya Nurhidayat Poso, “Tambo” (2000) karya Gus tf. Belum lagi strategi yang digunakan lewat esai-esai yang secara sengaja mengampanyekan pentingnya kembali ke nilai-nilai lokal.
Beberapa novel juga tak ketinggalan mengusung semangat kelokalan, seperti Tarian Bumi (2000) karya Oka Rusmini, yang menggugat habis-habisan tradisi Bali seraya menampik pandangan “asing” yang mengeksploitasi tradisi lokal. Novel Gelombang Sunyi (2001) karya Taufik Ikram Jamil tak ketinggalan menyemarakkan suara lokal, ekspresi identitas Melayu, dan menggugat sastra nasional yang memusat. Karya Taufik Ikram Jamil ini mengingatkan saya pada maklumat sastra poskolonial yang pernah dikemukakan penyair dan novelis Ghana, Kofi Awoonor, “Sastrawan harus kembali ke sumber-sumber lokal mereka untuk mendapatkan inspirasi.”
Dalam Tarian Bumi, Oka Rusmini menampilkan warna lokal lewat tokoh bernama Luh Kambren yang merasa muak terhadap tingkah-polah orang-orang asing sebagai ancaman terhadap perempuan Bali. Kambren merasa orang asing telah mengobjektivikasikan tubuhnya sebagai lambang keindahan Bali (hlm. 86). Sikap Kambren terhadap pusat sarat dengan kekecewaan. Kalaupun ada sikap cinta Tanah Air yang ditampilkan lewat karakter tokoh-tokohnya, itu lebih mengacu pada tanah Bali, sebagaimana dalam salah satu pernyataan Kambren yang dengan seni tarinya mengharapkan apa yang diperbuatnya bagi tanah air Bali-nya dihargai.
Novel Gelombang Sunyi menyuarakan sikap kecewa terhadap pusat dan dengan tegas mengemukakan penilaian yang positif terhadap sastra lokal (Melayu). Tak bisa dibantah suara kemarahan dan rasa frustrasi dengan pemerintah pusat dan perusahaan swasta nasional, yang telah menghancurkan kohesi dan tatanan sosial masyarakat Melayu (Riau) dan kekerasan aparat sangat nyata dalam novel ini. Dalam Tarian Bumi dan Gelombang Sunyi, suara lokal menjadi semacam strategi kultural, untuk tidak menyebut sebagai tandingan, terhadap sastra nasional. Kedua novel ini sudah keluar dari kecenderungan novel 1970-an yang hanya menampilkan gejala lokal berupa keluarga, kepercayaan, upacara, dan kebiasaan rohani sebuah komunitas. Suara lokal diubah menjadi sebuah identitas linguistik, budaya, dan sejarah yang merupakan ciptaan bebas manusia menurut kurun waktu dan tempat yang juga berubah-ubah.
Tujuan penggunaan bahasa lokal, suara, konsep, istilah, diksi, dan bentuk-bentuk lokal lainnya, untuk mengembangkan kembali motif-motif dan bentuk-bentuk yang sudah ada ke dalam suatu keseluruhan yang artistik dan estetik, sehingga si pengarang pada akhirnya dikembalikan kepada perasaan komunitas, kepada resolusi; usaha pengembalian ketenangan dan keheningan.
Perincian tentang suara lokal atau warna lokal dalam karya-karya di atas mampu mengelak dari pemaparan secara entografis. Masalah identitas “aku” (nyak), “kami” (sikam), dan identitas “mereka” (tiyan) justru mampu memberikan cara pandang yang arif menyikapi masalah keragaman. Karya-karya itu tidak mengajak pembaca memuja semangat primordialisme–seperti sering dikhawatirkan selama ini–melainkan menawarkan sisi kreatif yang lentur mengolah khazanah sastra yang bertebaran di belahan bumi Nusantara.
Sampai di sini, novel Bumi Manusia, Jejak Langkah, Tarian Bumi, dan Gelombang Sunyi yang dikemukakan di atas sama sekali bukan suara etnosentrisme atau sektarianisme, melainkan ke-Melayu-an dan ke-Bali-an lewat bahasa, suara, budaya, konsep, ujaran, dan sejarah. Ini menunjukkan semacam konsep identitas yang lebih lincah, fleksibel, lentur, lebih gampang disesuaikan dengan keadaan zaman yang berubah. ***
*) Peminat kajian budaya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar