Jumat, 10 April 2009

Potret Buram Libido yang Menyimpang

Maman S. Mahayana
http://kompas-cetak/

Sebuah novel metaforis dengan tokoh yang juga metaforis: Sendalu karya Chavchay Syaifullah. Sendalu “kencang” yang dalam konteks novel itu meski dimaknai sebagai “pengaruh (buruk) yang cepat menyebar; wabah, epidemi macam penyakit kusta, AIDS, atau flu burung”.

Tokoh utama, Lumang, diposisikan sebagai “anak terapit bangkai” karena kakak dan adiknya meninggal prematur. Lumang sendiri bermakna ’lumpur, noda’. Jadilah tokoh Lumang digambarkan hidup lebih nista dari lumpur, pencipta teror, penebar noda bagi manusia, jawara keparat bagi wanita.

Dikisahkan, Lumang sebagai sosok introver, tertutup, penyendiri. Ia asyik-masyuk membangun dunianya berdasarkan pikiran-pikirannya sendiri yang liar dan mesum. Tinggal di rumah yang tak punya privasi memaksanya terbiasa menangkap adegan ranjang ayah-ibunya.

Pengalaman menikmati desah-napas, rintih-erang, tekan-goyang, meronta-mendekap yang dilakukan kedua orangtuanya itu membentuknya menjadi anak yang punya kekayaan melihat, tetapi sama sekali tidak punya pengalaman melakukan. Jadilah kehidupannya di tengah keluarga dan masa kecil di sekolah dipandang sebagai dua dunia yang asing. Dalam dua dunia itu, ia berada dalam posisi marjinal, pecundang. Maka, pencarian jati diri adalah kesia-siaan, keterpurukan, dan kerap menghasilkan sejumlah pertanyaan tak berjawab.

Perubahan terjadi ketika orangtuanya pindah ke Jakarta. Tinggal di deretan rumah kontrakan yang sempit juga tidak memberinya privasi. Pikiran mesum yang telah terbentuk sejak kecil makin subur memperkaya daya khayalnya manakala ia melihat adegan pengantin baru, Lastri dan Burhan.

Prinsip kenikmatan (pleasure) yang terbentur realitas—dalam kerangka psikoanalisis Sigmund Freud—makin mencampakkan dirinya sebagai pecundang sejati. Hiduplah sebuah persaingan imajiner. Burhan, suami Lastri; dan belakangan juga ayah, adalah pesaing utama yang harus dikalahkan. Ia tak mau lagi menjadi pecundang. Ia harus menerabas prinsip realitas.

Sampai di situ, Chavchay melalui tokoh Lumang seperti membentangkan sebuah penampang psikoanalisis Freud tentang prinsip kenikmatan, prinsip realitas, dan represi psikis yang dalam bahasa Van Peursen mengganggu keseluruhan roh, tubuh, dan jiwanya. Di situ pula cantelan pada tiga instansi—id-ego-superego—relevan dalam memahami problem psikis tokoh Lumang.

Pembentukan karakter Lumang memasuki fase sindrom kelelahan kronis, yang dalam pandangan Michel Foucault terbawa kegilaan seks yang suram. Itulah sebabnya, ketika ada kesempatan, ia melakukan aksinya pada Lastri dan kemudian pada ibunya sendiri sebagai bentuk perlawanan dalam persaingan imajinernya.

Lumang gagal menahan desakan libido. Seperti saluran air yang mampat, ia mendesak terus, menciptakan rembesan yang menyimpang, sampai pada saat tertentu, tanggul itu jebol. Muncratlah arus air itu ke mana-mana, liar tak terkendali. Itulah yang terjadi pada Lumang. Seketika itu pula ia merasa jadi pemenang. Untuk mengukuhkan kemenangannya, ia harus melakukannya lagi pada orang lain. Korban pun berjatuhan.

Lumang menggelandang makin gila. Ketika tragedi Mei mewartakan terjadinya pemerkosaan massal, ia menyadari ada sesuatu yang tak beres. Eksistensinya pecah. Perayaan kemenangannya adalah derita, aib, dan penistaan bagi orang lain. Maka, untuk tidak memperpanjang deretan korban, tidak dapat lain, ia harus menghancurkan kejantanannya. Itulah akhir petualangan Lumang, tokoh metaforis, si raja tega, penebar noda.

Tokoh paradoksal

Sendalu jelas merupakan novel Indonesia pertama yang mengusung tema pengumbaran libido begitu sadis dan memerindingkan. Hudan Hidayat, sastrawan yang juga terkenal dengan karya-karyanya yang sadis dan berani, dalam catatannya tentang novel itu mengatakan: “Inilah novel Indonesia yang paling gila dan paling seram….” Sebuah pernyataan hiperbolis yang dari sudut pandang penafsiran dan argumen yang mendasarinya, sangat dapat diterima dan rasional.

Chavchay Syaifullah seperti sengaja mengangkat ketokohan Lumang secara paradoksal. Ia korban pembentukan karakter yang menyimpang. Maka, ia pun harus melakukan penyimpangan dan membangun kerajaannya dengan menciptakan korban baru. Terhamparlah sebuah tragedi kemanusiaan yang sesungguhnya berada di sekitar kita. Chavchay coba memberi penyadaran, betapa dahsyat pengaruh seks yang tak terkendali. Di sinilah pentingnya seks ditempatkan dalam ruang privat secara benar. Sebuah wilayah yang seyogianya dimasuki orang-orang tertentu yang diizinkan etika, norma, dan kedewasaan dalam memperlakukannya secara benar.

Secara tematis, Sendalu menggiring kita untuk melakukan permusuhan massal pada pemerkosaan. Dengan sangat meyakinkan, Chavchay menggambarkan latar belakang pembentukan karakter tokoh Lumang sebagai awal terjadinya tragedi kemanusiaan itu. Dengan begitu, novel ini seolah-olah sengaja menyodorkan potret kehidupan masyarakat kita yang tanpa sadar telah ikut menciptakan karakter macam Lumang. Fiksionalitas Lumang jadinya faktual ketika kita coba menariknya dalam konteks kehidupan masyarakat. Pelarangan dan undang-undang atau apa pun jadinya tetap akan sia-sia ketika kita sendiri menyuburkan kegilaan seks yang suram itu.

Memusuhi dan menciptakan

Kita memusuhi pemerkosaan, tetapi di balik itu, tanpa sadar kita menciptakan benihnya. Sebagai sebuah novel yang terkesan memberi penyadaran itu, Chavchay berhasil membangun ketokohan Lumang melalui latar belakang pembentukan karakternya yang mengarah pada “sindrom kelelahan kronis”. Jadi, ideologi pengarang, sebagaimana tersurat dalam Testimoni yang ditempatkan sebagai pembuka novel itu, menyelusup dan menjiwai karakterisasi tokoh Lumang.

Meski begitu, kecenderungan mengusung tema tanpa punya kesabaran dan tak tergoda pada ketergesaan juga kerap mengundang bahaya. Itulah yang terjadi selepas peristiwa jebolnya tanggul libido Lumang. Laksana sebuah lagu dengan nada andante atau maestoso, tiba-tiba kita berhadapan dengan nada allegretto atau tempo di marcia.

Irama narasi yang semula disajikan perlahan dengan trik-trik psikologisnya serempak berganti jadi begitu cepat, selintasan, dan tanpa proses perubahan karakter. Maka, pertobatan Lumang tidak cukup beralasan hanya lantaran kematian Bono, ketika sahabatnya itu disodomi. Bukankah hubungan emosional dengan ibu jauh lebih punya akar psikologis dibandingkan dengan Bono yang baru dikenalnya.

Begitu pula penempatan Lumang sebagai pelaku pemerkosaan, tidak cukup kuat mengajak pembaca bermusuhan dengan tindak pemerkosaan ketika para korban diabaikan. Akan jauh lebih dahsyat jika Chavchay memberi ruang yang luas dan mendalam pada dampak psikologis para korban pemerkosaan atau tindak kekerasan terhadap perempuan. Nawal el-Saadawi dalam Perempuan di Titik Nol telah mewartakan itu dengan sangat bagus. Bukankah trauma yang dialami para korban akan nemplok terus seumur hidup. Jika itu dieksploitasi, boleh jadi pembaca terjerat melakukan pemihakan pada para korban.

Sebagai novelis generasi terkini, Chavchay Syaifullah lewat Sendalu menunjukkan pengharapan yang menjanjikan. Novel pertamanya, Payudara (2004), telah mengundang polemik yang seru. Kini, Sendalu sangat mungkin menciptakan polemik yang lebih seru lagi. Maka, sebelum novel ini dibaca berbagai kalangan, mesti ada semacam peringatan. Paling tidak, bagi para penganut konservatisme yang punya gejala penyakit jantung, sebaiknya tidak nekat membaca novel ini.

*) Pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok.

Seni, Imajinasi, dan Kampanye Pencitraan

M. Shoim Anwar
http://www.jawapos.com/

HARI-HARI ini di sekitar kita benar-benar dipenuhi oleh suasana dan media kampanye dengan simbol-simbol politik. Poster, baliho, spanduk, foto, selebaran, dan sejenisnya tumbuh seperti rumput liar di pinggir-pinggir jalan. Radio yang kita dengar, televisi yang kita tonton, serta koran yang kita baca telah dikepung oleh nuansa politik. Persuasi yang dimunculkan simbol-simbol itu terus berulang, mengalami repetisi dari waktu ke waktu untuk merogoh simpati kita. Ibarat menu, semua itu disajikan secara bersama-sama dan kita dipaksa untuk melahapnya. Atas nama pesta, awalnya kita memang sangat bernafsu melahapnya, tapi lama-lama kita pun muntah dibuatnya.

Kita memang selalu belajar dari sejarah. Masa lampau, hari ini, dan masa mendatang adalah ruang gerak perjalanan sejarah. Ironisnya, politik dan kekuasaan hampir selalu memberi sejarah ketidakpastian dalam kenyataan hidup. Berbagai isi media politik yang ada di sekeliling kita bukanlah kenyataan sebenarnya. Seni dengan ruang imajinasinya telah membangun politik pencitraan seperti halnya iklan kecap atau obat sakit kepala. Foto para caleg dan tayangan iklannya dengan berbagai simbol yang melekat diusahakan sedemikian rupa agar seakan-akan mendekati realita.

Pada tahap seperti ini pandangan Plato tentang mimesis dalam seni jadi relevan, seni di satu sisi telah menjauhkan kita dari realita. Bagi Plato, seni yang ideal harus mendekatkan kita pada kebenaran (truthful). Bila tidak, seni justru menjauhkan kita dari akal budi. Itulah sebabnya, seniman harus senantiasa santun (modest).

Kampanye dengan berbagai atributnya adalah seni. Dominasi ruang imajinasi di dalamnya terlalu besar jika dibanding dengan realita. Janji-janji dan impian yang disuguhkan adalah fiksi, mirip seperti the American Dream bahwa ”tukang semir dapat menjadi pemilik pabrik sepatu”. Pidato dan iklan yang ditampilkan adalah klaim sepihak, hitam putih, dan semua kebaikan diatasnamakan diri sendiri dan golongannya. Wacana yang telah dilontarkan bukanlah faktual, melainkan fiksional karena ada fakta lain yang disisihkan dan disembunyikan. Pada tataran semiotik, seperti dikatakan penyair Rusia Tyutcev, ”pikiran yang diucapkan adalah suatu kebohongan”.

Apakah dengan demikian seni dan imajinasi selalu bersifat merusak? Tentu saja tidak. Ini sangat bergantung pada siapa dan apa motivasinya. Albert Einstein pernah berkata, ”The imagination is more important than knowledge”, imajinasi lebih penting dibanding pengetahuan. Einstein adalah seorang ilmuwan. Baginya, imajinasi merupakan titik pijak untuk membangun penemuan dalam realita. Tetapi, bagi politikus, imajinasi dipakai untuk membangun kekuasaan, seperti halnya teori imajinatif Machiavelli tentang kekuasaan dalam Sang Pangeran (The Prince) yang menghalalkan segala cara. Kekuasaan dan politik secara praktis cenderung korup. Tak heran jika para pelakunya dijuluki zoon politicon, binatang yang berpolitik.

Seni bukanlah tindak tutur yang wajar (speech act). Seni tidak berbicara apa adanya. Mendengarkan iklan atau pidato kampanye bukanlah sesuatu yang aplikatif. Karena termasuk seni, keberadaannya selalu diwarnai ambiguitas atau ketidakpastian. Maka, jangan terlalu berharap pada ketidakpastian yang terlontar. Lebih dari 63 persen caleg, menurut KPU Pusat, tidak memiliki pekerjaan yang jelas. Itu artinya, ada tindak improvisasi yang dibangun. Sementara improvisasi adalah bayi yang dilahirkan oleh dunia kesenian. Pada situasi politis demikian, kita dihantui kecemasan, jangan-jangan para caleg adalah wrong man in a wrong place.

Sekarang kita berada dalam situasi ”jeruk makan jeruk”, yaitu dunia imajinatif yang dibangun lewat kampanye politik juga memanfaatkan media kesenian. Ini berarti seni makan seni. Memanfaatkan seni sebagai media pencitraan politik selalu memiliki ambivalensi. Bila dikaitkan dengan dunia politik dan kekuasaan, seni yang benar-benar seni memiliki naluri di luar pagar sebagai manivestasi kebebasannya. Seni yang isinya dipakai sebagai media kampanye politik dan kekuasaan akan jatuh pada wilayah pragmatisme.

Seorang caleg di Surabaya baru-baru ini memamerkan 23 lukisan dirinya karya 23 pelukis di Balai Pemuda, lantas disusul dengan konser musik bersama Sawung Jabo untuk memperkuat citranya. Seni model demikian akan runtuh, seperti halnya patung Karl Max, Lenin, dan Saddam Hussein yang ramai-ramai dirobohkan seiring dengan jatuhnya figur tersebut. Nasib yang sama menimpa lagu Bapak Pembangunan atau lukisan potret diri Soeharto oleh Dede Eri Supria. Bahkan uang yang bergambar potret diri Soeharto ditarik peredarannya ketika Soeharto jatuh.

Pada sisi lain, seni juga ketiban berkah saat iruk pikuk kampanye seperti ini. Tentu saja yang dimaksud adalah seni populer. Acara kampanye yang diramaikan dengan pertunjukan musik dan para artis umumnya dibanjiri orang. Tidak ada relevansi antara jumlah orang yang hadir dan besarnya dukungan terhadap caleg/partai penyelenggara. Mereka mungkin hanya menikmati hiburannya atau hadir karena diberi sesuatu. Ketika pertunjukan musik selesai dan giliran pidato kampanye para caleg, penonton pun bubar. Para artis hadir karena profesi mereka memang ditanggap. Muatan seninya umumnya tidak berkaitan dengan partai atau caleg tersebut.

Seni memang dapat ditempatkan di berbagai kemungkinan. Pada masa rezim komunis masih berkuasa di Uni Sovyet (Rusia) hampir semua karya seni diarahkan untuk pencitraan partai politik dan kekuasaan. Di samping tidak ada gaungnya, karya seni tersebut jatuh pada slogan kosong, mirip dengan karya sastra yang diproduksi oleh orang-orang Lekra di Indonesia. Sebaliknya, karya seni yang mengambil posisi berlawanan justru menjadi monumental seperti karya-karya Boris Pasternak, Solzhenitsyn, Anton Chekov, Joseph Brodsky, dan sebagainya. Maka, jika sajak-sajak perlawanan Rendra masih eksis hingga kini karena dia mengambil sikap perlawanan terhadap dunia politik dan kekuasaan yang dinilainya tidak beres: O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!/ O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!/ Dari sejak jaman Ibrahim dan Musa / Allah selalu mengingatkan/ bahwa hukum harus lebih tinggi/ dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara.

Seni memang sudah lama dimanfaatkan untuk sarana pencitraan. Di masa lampau seni juga dimanfaatkan oleh penguasa dan raja-raja untuk membentengi kekuasaan agar rakyat tidak berani melawan. Tidak heran jika salah satu ciri sastra lama di berbagai negara dan daerah adalah istana sentris, di mana raja dan keluarganya selalu dikisahkan sebagai figur ideal dan keturunan dewa-dewa. Tidak heran bila para penguasa lebih suka menanggap wayang kulit. Ini adalah model kampanye istana. Di sisi lain, muncul pula seni perlawanan seperti ludruk yang egaliter. Penguasa umumnya tidak suka dengan kesenian rakyat karena sering bernada kritis.

Di tengah-tengah iruk pikuk kampanye caleg dan partai politik, lagu Wakil Rakyat dari Iwan Fals menjadi segar kembali. Citra legislatif semakin terpuruk karena para anggotanya di berbagai wilayah tanah air sering terlibat berbagai kasus pelanggaran etika dan hukum, khususnya perkara korupsi. Bila Iwan Fals di masa Orde Baru melontarkan kritik ”wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat”, atau cuplikan novel Belantik karya Ahmad Tohari yang menyatakan bahwa anggota parlemen kalau sidang ”ngantuk melulu” dan ”mereka bermusyawarah-mufakat sambil guyon”, kini kondisinya jauh lebih parah. Korupsi berjamaah yang dilakukan para wakil rakyat terjadi hampir merata di seluruh tanah air. Cocok dengan judul drama Parlemen Gombal yang pernah dipentaskan di Balai Pemuda Surabaya.

Di pengujung 1990-an, pelukis Yusuf Susilo Hartono memamerkan sebuah lukisannya yang berjudul Bebek-Bebek Senayan. Lukisan berobjek gerombolan bebek dengan latar belakang gedung DPR/MPR itu sangat jelas pesannya, bahwa anggota parlemen perilakunya seperti bebek, penurut, dan tidak memiliki integritas. Ini mirip dengan cerpen Jurdil karya Yudhistira A.N.M. Massardi yang menggambarkan ketragisan fungsi anggota legislatif yang mengabdikan dirinya kepada kepentingan raja serta sesekali menyuarakan aspirasi segenap keluarga dan kerabat. Sebuah kaca benggala legislatif yang buram. Sama juga seperti drama atau monolog Butet Kartarajasa Lidah Masih Pingsan atau Mayat Terhormat.

Politik pencitraan lewat seni yang dilakukan para politikus dan caleg telah menemukan tandingannya. Jika janji-janji imajinatif dalam kampanye selalu memberi angin surga, Danarto justru mematahkannya lewat puisi ”Negeri Bandit”: Tuhan tinggal pajangan di dinding-dinding hotel berbintang, meja seminar, gedung DPR/MPR, dan rak-rak file dari kebobrokan ekonomi dan moral para pejabat.

Rakyat memang semakin pandai. Perilaku para politisi dan janji para caleg yang tidak masuk akal akan dibiarkan di alam imajinasi. Rakyat akan menilai dengan logikanya sendiri, seperti bunyi sajak Darmanto Jatman ”Hukuman Karto”: Atas asma Allah. Kuhukum kamu dengan mendiamkan tanda gambarmu / Sekalipun katamu kamu memihakku, membebaskan kami dari biaya edukasi apalagi korupsi / Tapi pada masa putaran kampanye, perilakumu tak mengundang simpatiku/ Kamu gasak rokok daganganku, kamu geber saudara-saudaraku!

Politik praktis berorientasi kekuasaan. Ideologinya adalah pragmatisme atau tergantung kepentingan sesaat. Lihatlah ulah para politisi yang loncat sana loncat sini. Omongannya juga susah dipegang. Sementara seni (man), yang juga tak dapat melepaskan diri dari ideologi, memiliki ikatan sangat kuat dengan ideologi yang dianutnya. Maka, ketegangan ideologis antara seni dan politik akan selalu terjadi. Kata-kata John F. Kennedy akan selalu aktual, ”Ketika politik menjadi bengkok, maka puisi akan meluruskannya.” (*)

Geliat Sastra Melayu di Penyengat

Maryati
http://www.suarakarya-online.com/

Pada awal abad ke-19 kesenian dan budaya Melayu berkembang pesat di Pulau Penyengat, daratan kaya bauksit seluas 240 hektare yang terletak di seberang di bagian Barat Pulau Bintan, Riau.

Ketika itu kegiatan tulis menulis dipandang sebagai pekerjaan mulia yang bisa dilakukan oleh siapa saja sehingga sastra Melayu berkembang pesat dan buku-buku banyak diterbitkan.

“Semua orang yang tinggal di Penyengat sangat aktif berkarya. Tidak hanya sastrawan saja yang menulis dan menerbitkan karya-karyanya tetapi rakyat jelata, nelayan dan kaum perempuan pun membuat aneka tulisan,” kata Ketua Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu Riau Pulau Penyengat, Raja Malik Hafrizal.

Dia mencontohkan sebuah buku Perkawinan Penduduk Penyengat dikarang oleh seorang nelayan bernama Encik Abdullah pada tahun 1902 sedangkan buku berjudul Kumpulan Gunawan ditulis oleh seorang perempuan bernama Khatijah Terung. Pesatnya perkembangan sastra Melayu kala itu tidak lepas dari peran kerajaan.

“Dulu kerajaan sepenuhnya menyokong kegiatan penciptaan karya seni dan budaya. Kerajaan menyediakan kertas dan pena bagi siapa saja yang hendak berkarya dan membangun percetakan untuk menerbitkan karya-karya mereka,” kata pria berambut ikal itu.

Tahun 1890-an percetakan Mathba’atul Riauwiyah dan Mathba`atul Al Ahmadi dibangun untuk menyebarluaskan karya-karya yang dihasilkan oleh putera-puteri Penyengat. Dari pulau kecil bertanah merah itu kemudian lahir banyak tokoh penulis dan sastrawan produktif yang keberadaannya di kenal luas di Semenanjung Tanah Melayu.

“Sebuah kelompok bernama Rusdiyah Klab yang beranggotakan intelektual dan sastrawan Melayu juga dibentuk sebagai forum bersama untuk mengembangkan sastra Melayu,” kata Raja Malik seraya menyayangkan saat ini gedung tempat Rusdiyah Klab beraktifitas sudah tidak bisa lagi dijumpai sisa-sisanya di Penyengat.

Salah satu pengarang produktif yang dikenal pada masa itu adalah Raja Haji Ahmad Engku Tua, putera tertua Raja Haji Fisabillilah. Raja Haji Ahmad Engku Tua menulis banyak syair yang di antaranya adalah Syair Engku Puteri dan Syair Perang Johor serta membuat kerangka tulisan buku Tuhfat An-Nafis yang pembuatanya kemudian dilanjutkan oleh puteranya Raja Ali Haji.

Raja Ali Haji yang lahir di Penyengat Indera Sakti pada 1808 dan meninggal pada 1873 merupakan tokoh budaya, pujangga, ahli siasat, politikus dan ahli bahasa ketika sastra Melayu berjaya di Penyengat. Dari goresan penanya lahir karya-karya besar seperti Gurindam XII, Bustanu`l-katibin (Kamus Bahasa Melayu), Kitab Pengetahuan Bahasa, Samratu`l-muhimmati (kitab pegangan pejabat pemerintah), Muqaddimah Fi Intizam (undang-undang), Syair Abdul Muluk, Tuhfat An-Nafis, Silsilah Melayu dan Bugis, Syair Suluh Pegawai, Syair Siti Shianah dan Syair Sinar Gemala Mestika Alam.

Keturunan Raja Ali Haji seperti Raja Haji Ahmad, Raja Saliha, Raja Safiah dan Raja Ali Kelana selanjutnya juga memberikan kontribusi penting bagi perkembangan sastra Melayu pada masa itu.

Pesatnya perkembangan dan kemajuan bahasa dan sastra Melayu ketika itu juga mendorong pemerintah Belanda untuk menjadikan Bahasa Melayu Riau sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah Indonesia pada 1865.

Namun saat perang melawan Belanda mulai berkecamuk di Penyengat perkembangan sastra Melayu di kawasan itu mulai surut dan mencapai titik terendah ketika Belanda menguasai pulau itu pada 1911.

“Setelah Belanda berkuasa anggota kerajaan dan sebagian penduduknya, termasuk para satrawan dan penulis, meninggalkan Penyengat untuk berhijrah ke Singapura dan Malaysia karena tidak mau berada di bawah kekuasaan Belanda sehingga aktifitas seni pun menurun drastis,” kata Raja Malik.

Sejak saat itu aktifitas penciptaan karya sastra dan seni Melayu di kawasan Segantang Lada Kepulauan Riau lantas tidak lagi terdengar gaungnya dan masa dorman itu berlangsung cukup lama.

“Karena beberapa hal perkembangan sastra dan kebudayaan Melayu di kawasan Segantang Lada dan sekitarnya memang mengalami pasang surut, namun saat ini geliatnya sudah mulai terlihat,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kepulauan Riau H Robert Iwan Loriaux.

Karya sastra seperti syair dan pantun masih menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat baik dalam pelaksanaan upacara adat maupun dalam kegiatan pemerintahan. “Tokoh-tokoh baru juga mulai muncul. Tahun 2004 budayawan Melayu Tenas Effendi menerbitkan buku Tunjuk Ajar Melayu dan Putra Pulau Penyengat Hasan Yunus menerbitkan buku berjudul Raja Haji Fissabulillah Hanibal dari Riau,” katanya.

Pramoedya

Ahmad Sahal
http://majalah.tempointeraktif.com/

Setiap kali membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer, saya selalu merasa kagum, tapi juga sekaligus terganggu. Saya mengagumi karya-karyanya, yang secara persisten melantunkan humanisme. Pram mengakui berguru kepada Multatuli, pengarang Max Havelaar, yang mengatakan bahwa tugas manusia adalah menjadi manusia. Dalam karyanya, Pram selalu menampilkan revolutionary hero yang menentang pelbagai situasi tidak manusiawi yang datang dari tradisi, seperti feodalisme priayi Jawa, maupun dari pihak asing, seperti kolonialisme dan imperialisme.

Betapa tidak manusiawi-nya feodalisme bisa dibaca dalam Bumi Manusia, yakni ketika Minke, anak Bupati yang telah belajar pengetahuan Eropa, merasa terhina sekali waktu bertemu ayahnya: “harus merangkak, berengsot seperti keong, dan menyembah seorang raja kecil yang, barangkali, buta huruf pula….” Kolonialisme juga tidak manusiawi karena, di samping sistem itu sendiri menindas dan mengisap, ia membentuk orang semacam Sa’aman (dalam Blora), yang akibat penganiayaan kolonial akhirnya dikuasai dendam sehingga menjadi jahat. Kolonialisme jugalah yang melahirkan pegawai yang korup (dalam Korupsi) dan Pangemanan, polisi pribumi yang mengontrol Minke dan gerakan kebangsaan (dalam Rumah Kaca).

Namun, saya terganggu manakala menengok pandangannya tentang kesenian. Dalam prasarannya yang bertajuk “Realisme-Sosialis dan Sastra Indonesia”, di UI, pada 1963, Pram menyerukan paham realisme-sosialis dan menggasak humanisme universal. Di mata Pram, humanisme universal adalah humanisme individualis-borjuis yang melemahkan cita-cita revolusi karena membawakan pesimisme dan negativisme, cerminan bagi suara kapitalis Barat yang kehilangan tanah jajahan. Sementara itu, realisme-sosialis berwatak optimistis dan menentang kapitalisme dan imperialisme. Pram lalu menyatakan, dan ini yang membuat saya terganggu, salah satu watak realisme-sosialis adalah sikap militan yang ia kutip dari Maxim Gorky: if the enemy does not surrender, he must be destroyed. Militansi semacam inilah yang tampaknya menjadi gaya Pram ketika mengasuh Lentera.

Ketika Pram ditanya kenapa dulu di Lentera menyerukan agar penulis yang tidak berpihak pada the perspiring and toiling masses “dibabat” dan “tidak perlu diberikan luang sekecil-kecilnya pun”, argumennya ternyata berbau security approach. Menurutnya, saat itu Soekarno sedang terancam dan negara dalam bahaya. Karena itu, seni yang tidak mendukung revolusi harus minggir.

Di samping itu, Pram juga menyebutkan alasan pribadi: waktu pegang Lentera, ia sangat marah pada militer dan semua yang diperalat oleh militer karena penahanan atas dirinya yang semena-mena. Dan Lentera penuh dengan kemarahannya. Jadi, persoalan pribadilah yang menyebabkannya.

Tentu saja, alasan personal yang dilontarkan Pram tersebut tak bisa diabaikan begitu saja. Tapi, alangkah baiknya kalau sekarang pertikaian antara realisme sosialis (Lekra) dan humanisme universal (manifes) tidak hanya berkubang pada urusan pribadi “orang itu-itu saja”. Ini bukan soal Pram pribadi. Karena itu, saya tidak setuju desakan agar Pram meminta maaf, bukan saja lantaran Pram sendiri tidak merasa salah, melainkan juga karena represi yang sangat kejam dari rezim Orde Baru atas dirinya sangat tidak sebanding dengan apa pun yang dilakukannya.

Pertikaian itu harus diangkat pada level debat yang bersifat teoretis. Untuk menjawab kenapa realisme-sosialis membawa militansi ala Gorky dan kenapa mereka menganggap humanisme universal dekaden, ada baiknya kita melihat perdebatan pada awal abad ini di Eropa antara realisme sosialis dan modernisme dalam seni. Pandangan realisme sosialis tentang humanisme universal sejajar dengan pandangan mereka tentang seni modern.

Militansi model Gorky sebenarnya tidak menjadi unsur inheren dalam realisme sosialis. Realisme-sosialis adalah bagian dari satu proyek (atau mitos) emansipasi manusia, yakni komunisme. Dalam komunisme, kemerdekaan kini dan kebebasan hari ini harus ditunda dan dikorbankan demi kemerdekaan bersama hari depan.

Andrei Zhdanov, konseptor realisme-sosialis yang juga dikutip Pramoedya, menegaskan, sastra harus melukiskan kenyataan historis-kongkret dalam perkembangan revolusionernya demi pembentukan ideologi dan semangat sosialisme kaum buruh. Sastra harus bertendens dan optimistis. Jargon yang sering dipakai adalah “politik sebagai panglima”. Ketika kemudian realisme-sosialis menjadi “paham resmi” komunisme, di sinilah totalisasi terjadi dan militansi Gorky bekerja. Sastra yang tak hendak membuang kebebasan hari ini demi kebebasan bersama hari depan, sastra yang tidak menempatkan politik sebagai panglima bukan saja bakal tidak mendapat tempat, tapi juga akan dibabat.

Sementara itu, penilaian negatif terhadap seni modern sudah muncul sebelum Zhdanov, yakni dari Georgy Lukacs. Lukacs menyatakan, seni haruslah melukiskan keharmonisan totalitas kenyataan yang sekarang ini mengalami fragmentasi dan tercabik-cabik akibat sistem kapitalisme. Fragmentasi itu terjadi karena dalam kapitalisme, segala aspek kehidupan mengalami reifikasi (pembendaan) sehingga hubungan antarmanusia berubah menjadi hubungan antarbenda.

Realisme-sosialis dianggap oleh Lukacs mampu mencerminkan totalitas yang hilang tersebut. Sementara itu, surealisme, Dada, dan kaum avant-garde yang asyik dengan montase, keserentakan, ambiguitas, ketidakpastian, dan lebih berkutat pada medium seni ketimbang isinya dilihat oleh Lukacs hanya berhenti pada realitas yang terpecah-pecah, yang ter-reifikasi. Lukacs juga menyerang seni modern, terutama ekspresionisme Jerman, karena dianggap mengandung cetusan irasionalisme, padahal irasionalisme pada akhirnya menjerumuskan orang ke dalam fasisme. Lukacs lalu mencap seni modern sebagai dekaden.

Anehnya, pandangan bahwa seni modern membawa pesimisme dan dekadensi tidak hanya datang dari kaum realisme-sosialis. Sutan Takdir Alisjahbana, sastrawan yang menjadi salah satu target serangan Pram, ternyata punya pendirian yang kurang lebih sama, meski dari jurusan yang lain. Bagi Takdir, kesenian harus turut dalam reconstructie arbeid, kerja pembangunan dan modernisasi sosial. Seni harus punya tanggung jawab sosial. Seni tidak boleh untuk seni itu sendiri, tidak boleh individualistis. Karena itu, Takdir menyerang Chairil Anwar, Picasso, Hemingway, Rimbaud, dan Kandinsky.

Seni modern, di mata Takdir, mencemaskan karena membawa pesimisme, menjadi barang dagangan, terasing dari masyarakat, dan hanya merupakan pemberontakan yang tak bertanggung jawab dan tak bertujuan. Dengan kata lain, seni modern di mata Takdir sama dengan di mata Pramoedya: dekaden dan pesimistis.

Pandangan minor terhadap seni modern yang dilantunkan Pram, Lukacs, dan Takdir sebenarnya tidak punya dasar kuat. Realisme Lukacs, misalnya, dikritik oleh Brecht sebagai hanya formal dan tak historis. Lukacs menampik seni modern karena ia tidak punya kepekaan seorang seniman dan tidak banyak masuk dalam dunia puisi lirik atau teater. Ia juga tidak sadar, klaim bahwa realisme mencerminkan kenyataan sejati (mimesis) dalam prakteknya bisa—meski tidak selalu—dimanfaatkan oleh rezim totaliter, baik itu Stalinisme maupun Naziisme, yang juga cocok dengan hasrat mimesis tersebut. Dan kita tahu, Stalin dan Hitler paling getol memuja “seni rakyat” dan paling galak menghujat seni individual.

Kaum realisme-sosialis juga tidak bisa mengaku sebagai satu-satunya wakil seni Marxis. Kenyataannya, banyak pendukung seni modern yang Marxis. Andre Breton, yang memelopori surealisme, Bertolt Brecht dengan teater epik, dan pelukis Diego Riviera adalah contoh Marxis yang modernis. Bahkan, Breton, Riviera, ditambah Leon Trotsky sempat membikin manifesto yang mereka tandatangani bertiga, yang isinya mengutuk rezim totaliter Uni Soviet yang mereka anggap bukan pembawa suara resmi komunisme, dan mengecam seni resmi Stalinis. Artinya, antara Marxisme dan modernisme bukanlah dua mazhab yang saling membatalkan.

Klaim realisme sosialis bahwa seni modern adalah seni borjuis yang dekaden juga tidak meyakinkan. “Program” seni modern justru menggempur filosofi dan tatanan borjuis. Modernisme bisa menjadi perlawanan terhadap dehumanisasi dalam masyarakat modern. Masyarakat modern, yang kelihatannya tertib dan makmur, sebenarnya hanyalah selubung yang menyembunyikan proses dehumanisasi akibat dominasi rasionalitas-teknis. Nah, selubung itulah yang hendak disingkap oleh pemberontakan dan “efek pengasingan” seni modern.

Padahal, dehumanisasi jenis ini justru tidak diantisipasi oleh Pramoedya. Pandangan Pram dalam tetralogi masih menunjukkan optimisme khas abad ke-19 bahwa ilmu modern dari Eropa, seperti yang dipelajari Minke, merupakan sarana pencerahan dan membawa humanisme. Kini terbukti bahwa rasionalitas yang menjadi dasar ilmu modern tersebut tidak hanya mencerahkan. Ia juga membelenggu dan melahirkan dehumanisasi.

Dengan demikian, pembelaan terhadap humanisme tidak bisa diukur dari realis atau modernisnya suatu karya. Karya realis bisa saja sangat humanis, seperti karya Pram, tapi bisa juga antihumanisme ketika ia menjadi “seni resmi”, “seni pembangunan”. Sementara itu, puisi liris, yang kelihatannya individual, dalam rezim totaliter bisa saja menjadi suara subversif.

Korupsi Dalam Novel-novel Indonesia

Deddy Arsya*
http://www.padangekspres.co.id/

AA Navis pernah ingin jadi menteri. Entah, entah ingin jadi menteri apa. Setidak-tidaknya ia pernah bercita-cita. Andai ia diberi pilihan antara sebagai alat kekuasaan, menulis, dan berbicara, yang dia pilih adalah kekuasaan. Kenapa? Katanya, ia mau menyikat semua koruptor. Navis pesimis tentang kekuatan pena untuk memberantas korupsi.

Membicarakan korupsi, setidak-tidaknya praktek ini sudah dimulai sejak manusia ada dan hidup berkelompok. Dalam riyawat Israilian dikatakan, Kabil dan Habil yang bekerja pada lapangan yang berbeda, yang satu bekerja bercocok tanam yang lain beternak atau mengembala, diminta untuk menyerahkan “qurban” kepada Tuhan. Habil mengurbankan ternaknya yang gemuk-gemuk dan sehat seperti yang dianjurkan, sementara Kabil berlaku curang dengan menyerahkan buah-buahan atau hasil pertanian yang busuk.

Sejak saat itu, prilaku korupsi terus-menerus berkembang seiring meluasnya bumi. Dengan coraknya yang beraneka, dengan beragam-ragam bentuk, mulai dari yang kecil-kecil sampai korupsi dalam skala besar, mulai dari tingkat rendah sampai korupsi massal.

China maupun India, yang pernah tercatat sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi, perlawanan terhadap korupsi telah digalakkan di segala aspek kehidupan. Pelaku korupsi mendapatkan hukuman yang berat dan tak kenal ampun. Indonesia kini masih termasuk dan ikut dalam lima rangking teratas korupsi paling banyak di dunia. Namun sepertinya, korupsi belum juga sepenuhnya menjadi musuh bersama bangsa ini.

Tak semua lapisan masyarakat dengan tegas dan gencar menentang korupsi. Meskipun ajaran agama, maupun kebudayaan mana pun, mengutuk habis-habisan prilaku korupsi. Banyak ajaran-ajaran tentang kesederhanaan yang dikandung oleh agama dan kebudayaan kita, dalam artian manusia dianjurkan untuk memelihara hak diri tanpa merampas milik oranglain, memakan apa yang sekedar menjadi kebutuhan tanpa menjangkau yang sesungguhnya dibutuhkan oleh oranglain. Namun jangan-jangan korupsi di negeri ini baru menjadi permasalahan profan (sekuler) saja?

Tulisan pendek ini tidak akan mempertanyakan itu lebih jauh, namun sesungguhnya tulisan pendek ini hanya akan mencoba menggambarkan beberapa catatan perihal apa kata novel-novel Indonesia tentang korupsi. Untuk itu, akan diuraikan beberapa novel Indonesia yang berbicara tentang korupsi secara.

Pada dua dasawarsa abad ke-20, Hikayat Kadiroen ditulis. Novel ini sesungguhnya sangat bertendensi komunis-sosialis. Penulisnya adalah seorang aktivis partai komunis bernama Semaoen. Dalam novel itu ditemukan ide-ide dasar komunis tentang perlawanan terhadap penindasan kaum borjuis dan usaha menuju kesetaraan kelas. Novel ini bergaya realisme sosialis. Dalam novel ini Semaoen sepertinya ingin memperlihatkan bagaimana penderitaan yang dialami rakyat yang ditindas kaum borjuasi, para tuan tanah dan pejabat praja pribumi dan colonial yang korup.

Jauh sebelum Hikayat Kadiroen ditulis Semaoen, telah pula ditulis sebuah novel berjudul Max Havelar of de Aoffieveillingen der Nederlandsche Handelmaatschappij. Edisi Indonesia-nya berjudul Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda. Novel karangan Multatuli alias Edward Douwes Dekker yang telah ditulis hampir satu setengah abad yang lalu itu sesungguhnya juga mengisahkan para penguasa pribumi maupun penguasa kolonial yang korup. Lewat novel itu konon, Multatuli berhasil membukakan mata kaum politisi di Negeri Belanda saat itu tentang kebobrokan yang terjadi di daerah jajahannya, Nusantara.

Akibatnya, sejak terbitnya Max Havelaar pada tahun 1860 pemerintah Belanda memulai usaha-usaha mendatangkan kesejahteraan pada kehidupan rakyat Indonesia, walaupun pada masa itu masih terjadi ekspedisi militer menaklukkan beberapa daerah Nusantara yang bergolak akan senjata menentang Belanda.

Novel politik Max Havelaar, dalam beberapa tanggapan, dianggap telah menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi di Hindia Belanda pada masa itu atau sekitar satu setengah abad sebelum Indonesia menjadi negara dan bangsa yang merdeka. Buku ini pula yang kemudian menyulut perubahan politik penjajahan Belanda, antara lain melalui politik Balas Budi (ethische politiek) di Hindia. Politik Balas Budi inilah yang kemudian oleh beberapa sejarawan dianggap pemantik lahirnya kaum terpelajar yang di dasawarsa berikutnya mencita-citakan Indonesia merdeka, yang bebas dari penjajahan bangsa mana pun.

Di tahun 1950, Pramudya menulis sebuah novel yang berjudul Korupsi. Novel ini berkisah tentang pejabat negara yang masuk dalam perangkap korupsi. Novel ini berlatar revolusi pada masa pemerintahan Orde Lama. Novel itu pernah menyebabkan Pramoedya memiliki hubungan yang tidak begitu harmonis dengan pemerintahan Soekarno waktu itu. Novel ini tidak begitu ramai dibicarakan atau 0kurang mendapat apresiasi dari penikmat sastra kita jika dibandingkan dengan novel-novel Pramoedya lainnya. Karena gaya bercerita dalam novel ini dianggap berbeda dengan novel-novel Pram seperti Tetralogi Pulau Buru maupun Arus Balik.

Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari yang berlatar waktu pada masa Orde Baru juga menggambarkan bagaimana alur korupsi, bagaimana karakter-karakter yang terlibat, sebab-sebab terjadinya korupsi, dan bagaimana korupsi menjadi suatu budaya dalam masyarakat Indonesia. Novel ini bercerita tentang “permainan” dalam proyek pembuatan jembatan. Lewat tokoh seorang insinyur kepala proyek yang juga mantan aktivis kampus, Ahmad Tohari mencoba mengungkapkan dan menyingkap praktek kotor yang berlangsung di sekeliling tokoh itu. “Aku insinyur.

Aku tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan proyek ini dengan keberpihakan kepada masyarakat miskin. Apakah yang pertama merupakan manifestasi yang kedua? Apakah kejujuran dan kesungguhan sejatinya adalah perkara biasa bagi masyarakat berbudaya, dan harus dipilih karena keduanya merupakan hal yang niscaya untuk menghasilkan kemaslahatan bersama?” kata Kabul, sang insinyur, dalam usahanya memahami proyek pembangunan jembatan desa yang dikepalainya itu.

Tentu masih banyak novel dari pengarang Indonesia yang membicarakan tentang korupsi yang luput dari pembacaan saya yang rabun. Dan tentu akan lebih banyak lagi tema-tema yang sama yang diusung oleh karya kreatif pada genre sastra lain seperti pada cerita pendek, sajak, maupun naskah drama.

Seperti kata Navis, karya sastra mungkin tak akan mampu berbuat banyak dalam memberantas korupsi. Novel maupun genre sastra lainnya hanya bisa menggugah. Tapi setidak-tidaknya, sastra telah turut membicarakan korupsi di negeri ini.

*) Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam, IAIN Imam Bonjol Padang.

Perpuisian Yogyakarta di Era Transisi

Abdul Wachid B.S.
http://www.mathorisliterature.blogspot.com/

1. Pengantar : Persada Studi Klub, Era Transisi, Perpuisian Yogya 1980-an

Pengertian “di era transisi” sangatlah sosiologis, yakni masa peralihan, pancaroba. Namun, peralihan dari apa ke apa, dan dalam konteks apa? Dalam konteks kebudayaan pengertian “transisi” sangatlah kompleks. Dalam konteks politik, boleh jadi, hal itu dikaitkan dengan pergantian rejim dari Soeharto ke B.J. Habibie, dan berakhir dengan Pemilu yang di sepanjang sejarah Indonesia paling demokratis yaitu dengan terpilihnya K.H. Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI ke-4.

“Transisi” dalam konteks kesusastraan dapat dibaca sebagai berikut:

(1) Suatu masa di mana sastra “terus mencoba budaya tanding”, [1] baik melalui pengungkapan yang paling keras yaitu berposisi berhadapan langsung dengan negara, maupun menjelmakan “budaya tanding” itu melalui estetisme, dan semua ini berlangsung sebelum Reformasi Mei 1998. Yang pertama, berakhir dengan pembredelan dan pencekalan; yang kedua, ada campur-tangan kekuasaan terhadap arah kesusastraan, dengan alasan agar tidak mengganggu “stabilitas nasional”, di antaranya mengontrol media-massa sebagai publikasi kesusastraan di bawah Departemen Penerangan;

(2) Sejak tanggal 21 Mei 1998 merupakan momen jatuhnya rejim Soeharto; dan setelahnya yaitu euforia sebab secara lahir-batin terbebas dari cengkeraman rejim Soeharto, dan karenanya posisi sastra yang semula dimarginalkan menjadi mengalami kenduri keterbukaan. Kemudian, euphoria yang berlebihan itu memunculkan realitas sosial yang kacau akibat “perang saudara” di Aceh, Maluku, Kalimantan Barat, Papua Barat, dan ternyata kekerasan tak kunjung usai.

Saya bukan sosiolog, juga bukan pengamat politik, dan karenanya mendiskripsikan tahun masa transisi itu akan menjadi terlampau spekulatif.

Problem lain, jika disebut sebagai “sastra Yogya”, maka akan memunculkan makna yang polyinterpretable. Hal itu antara lain dapat dimaknakan sebagai “sastra yang bernuansa ke-Yogya-an”. Sastra yang demikian telah surut ditulis oleh sastrawan dari komunitas Persada Studi Klub (PSK) sekalipun kita masih menjumpainya yang berhasil pada perpuisian Fauzi Absal dan Iman Budi Santosa.

Baiklah, “sastra Yogya” itu kita maknakan sebagai “yang ditulis oleh sastrawan yang bertempat-tinggal di Yogya, yang sebab suatu hal masih punya hubungan dengan Yogya, dan dalam artikel ini pun masih ditawar pemaknaannya yakni yang berhubungan dengan “era transisi” tadi.

Kepenyairan Yogya yang muncul pada dekade 1980-an diuntungkan oleh keberadaan “rejim sastra” PSK itu, yang melahirkan dominasi kesastraan Iman Budi Santosa, kesastraan Linus Suryadi A.G., dan kesastraan Emha Ainun Nadjib.

Jalur kesastraan Iman Budi Santosa menguat dalam perpuisian Fauzi Absal dan Bambang Widiatmoko yakni dengan mentradisikan lirisisme murni yang ketat, serupa disiplinnya diksi-diksi Chairil Anwar yang dikembangkan oleh perpuisian Toto Sudarto Bachtiar, lalu perpuisian Subagio Sastrowardoyo. Jalur tersebut dikembangkan oleh Iman Budi Santosa dengan berhasil. Pada pengembangannya, Iman Budi Santosa memasukkan pikiran hidup Jawa-Mataram di dalam perpuisiannya. Pada aspek kebahasaannya diwarnai oleh perhitungan kata-kata yang njlimet, namun setiap ungkapan lebih diposisikan sebagai wakil dari pikiran sekalipun menyebut latar (set) namun set hanyalah wakil dari pikiran. Fenomena perpuisian yang demikian, saya menyebutnya sebagai “sajak yang menyatakan”. Di samping itu, perpuisiannya diwarnai oleh permainan enjabemen kalimat untuk menggandakan makna. Saya seringkali baru mendapatkan makna puisi Iman Budi Santosa secara utuh setelah saya mendengarkan dia membacakan sajaknya sebab dengan begitu dia melakukan satu pemaknaan saja terhadap sekian kemungkinan pemaknaan akibat dari enjabemen tersebut. Fenomena perpuisian Iman Budi Santosa yang demikian dapat kita jumpai pada buku puisinya Dunia Semata Wayang (1996),[2] dan belakangan juga pada buku puisinya Matahari-matahari Kecil (2004).[3]

Pada perpuisian Linus Suryadi A.G., yang menonjol ialah keketatan diksi itu dia baurkan dengan merevitalisasi parikan dan pantun ke dalam lirisisme puisinya, dengan latar (set) dan simbol dan pikiran yang diambil dari dunia pewayangan dan Nasrani. Membaca irama sajak Linus, seringkali saya teringat kepada irama sajak Sitor Situmorang, sajak “Lagu Gadis Itali”,[4] di samping sajak lain dalam buku Dalam Sajak. Tetapi, pikiran Jawa-Mataram-lah yang menjadi uniknya perpuisian Linus Suryadi A.G., terutama pada prosa-liris Pengakuan Pariyem,[5] dan Tirta Kamandanu [6] sehingga perpuisiannya menjadi khas.

Sebenarnya antara perpuisian Umbu Landu Paranggi, Linus Suryadi A.G., dan iman Budi Santosa, ada kekerabatan estetik sebagai penyair yang hidup dalam tradisi kesastraan PSK, terutama dalam menyikapi kata-kata secara ketat. Permainan irama sajak akibat keketatan itu sebagaimana yang kemudian dominan dalam perpuisian Linus Suryadi A.G. yakni nafas pantun atau parikan, namun hal demikian tidak terjadi pada perpuisian Iman Budi Santosa dan Umbu Landu Paranggi.

Sebuah pengecualian pada perpuisian Emha Ainun Nadjib yang kemudian menggali tema-tema religius Islam, disertai oleh narasi-narasi religiusnya. Hal ini dilakukan setelah Emha melakukan eksperimentasi dari hasil kemuakannya terhadap tradisi lirisisme Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. (sajak Emha di awal 1970-an dalam antologi Gendrang Kurusetra masih mirip perpuisian Goenawan Mohamad). Eksperimentasi Emha tersebut mengarah kepada protes sosial, sebagaimana dalam buku puisi M Frustasi, dan sajaknya yang lain pada periode sebelum buku puisi 99 Untuk Tuhanku. [7]

Kepenyairan Yogya yang lahir pada dekade 1980-an diuntungkan oleh eksistensi mereka tersebut yang menjadi patron kepenyairan Yogya pada masa itu. Pada masa itu media-massa (Kedaulatan Rakyat, Masa Kini, Berita Nasional) di setiap rubrik sastranya selalu memunculkan karya sang Patron tadi. Oleh karenanya, sosialisasi puisi penyair seperti Mustofa W. Hayim, Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Abidah el-Khalieqy, Mathori A.Elwa, Hamdy Salad, Otto Sukatno Cr, Ulfatin Ch., Santosa Warna Atmaja, Adi Wicaksono, dan beberapa penyair dekade itu, menjadi ter-cancel dan sulit. Sekalipun hal demikian dapat dipandang wajar dalam arus informasi, bahwa yang terlanjur mempunyai nilai berita akan terus menjadi head-line. Sementara itu, di Jakarta, terutama di Koran Berita Buana yang diredakturi oleh Abdul Hadi W.M., pada saat itu lebih memberi peluang bagi pemuatan karya penyair muda tadi, di samping sebab Abdul Hadi W.M. sedang mengobarkan trend sufisme (lihat jejaknya dalam buku puisi Forum Puisi Indonesia’87, jilid 1-3). [8] Namun, saat itu sebab standar kepenyairan diukur oleh “panggilan pusat” Jakarta, karenanya kepenyairan Yogya dekade 1980-an justru dimulai dari pusat Indonesia itu.

Sebab mereka memulai dari Jakarta, maka langsung maupun tidak, isu pemikiran dan gaya ungkap sajak kepenyairan Yogya dekade 1980-an justru dimulai dari mainstream pusat, seperti halnya penawaran wacana sufisme, wacana histeria akibat tekanan sosial disebabkan pemiskinan ekonomi, juga surealisme kebahasaan sajak yang menjadi strategi akibat represivitas negara. Jadi, kepenyairan Yogya dekade 1980-an justru menjadi lepas dari tradisi kesastraan PSK. Konklusi demikian sebab eksistensi PSK dapat diposisikan dan dipersepsikan sebagai tradisi estetika dan pemikiran yang khas.

Sekalipun banyak faktor yang mengakibatkan dominannya pemikiran dan gaya perpuisian seseorang atau kelompok diikuti oleh jamannya atau setelahnya, namun dalam sosialisasi sastra Indonesia bahwa peran koran dan majalah amatlah vital. Oleh karenanya, pemuatan karya sastra penyair Yogya yang menguat pada dekade 1980-an di media-massa Jakarta pada saat itu, jelas mewarnai perkembangan perpuisian mereka selanjutnya.

2. “Yang Maha Syahwat”, dan Dekonstrusi Formalisme Agama : (Refleksi atas Perpuisian Mathori A. Elwa)

Di sepanjang 1980-an, militerisme rejim Soeharto melalui tentakelnya mengatasnamakan “stabilitas nasional” atau ancaman hantu komunisme, sampai juga di Yogya, seperti melakukan pencekalan pementasan drama (Rendra di tahun 1975), penahanan terhadap seorang siswa Madarasah Aliyah Negeri sebab membacakan sajak (M. Nasruddin Anshory Ch, di awal 1980-an), dan banyak lagi kasus serupa. Lucien Goldmann benar bahwa karya sastra bukanlah struktur statis, melainkan produk sejarah, strukturisasi dan destrukturisasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakatnya. [9] Apalagi dalam masyarakat yang bawah-sadar budayanya belum kering dari budaya lisan seperti Indonesia, di mana romantisme memposisikan seni (sastra) memiliki peran penting lantaran diyakini memiliki daya tafsir terhadap perilaku social, yakni dengan menawarkan keindahan spiritualitas. Keyakinan demikian tidak saja tersimpan dalam memori bawah-sadar budaya masyarakat, melainkan pada diri sastrawan sebagai bagian dari masyarakat lisan.

Karena itu, tatkala hidup dalam masyarakat mengalami pergeseran nilai, dari keyakinan hidup yang bereferensi kepada pertimbangan religiositas, menuju kepada keyakinan baru yang ditumbuhkan oleh negara, misalnya peribadatan adalah perkara individual, atau bahwa kita dapat beribadah setelah problem ekonomi selesai; semua itu dapat dipulangkan kepada keyakinan yang ditumbuhkan oleh negara bahwa “pembangunan ekonomi adalah urgen”. Tentu saja, perlawanan terhadap ideologi demikian, tumbuh di kalangan terdidik-sadar seperti sastrawan. Karenanya, sastrawan merepresentasikan histeria kehidupan yang dinilainya telah kehilangan dimensi kemanusiaannya: “semrawutnya” jalan raya memunculkan histeria. Salah satu penyair yang banyak menuliskan histeria jalan raya itu ialah Mathori A. Elwa dalam buku puisinya, Yang Maha Syahwat, berikut ini. [10]

Jalan Raya Pecah

jalan raya pecah
jalan raya pecah
tak ada lagi manusia di mataku
tak ada
hanya mayat yang kujumpai
kemanusiaan yang dibungkus tubuhmu
kemanusiaan yang terpendam
kemanusiaan yang terkubur di jalan-jalan

jalan raya pecah
jalan raya pecah
tak ada suara di hatiku tak ada
hanya desing mobil yang kaulambaikan
tafakur kegaduhan
dzikir keterasingan

jalan raya pecah
jalan raya pecah
tak ada lagi manusia
tak ada
hanya binatang saling menelan
kemanusiaan melata
menjilat-jilat
menganga

Sajak Mathori A. Elwa tersebut bukanlah sajaknya yang terbaik, setidaknya kita bisa merasakan denyutnya melakukan presentasi melawan arus hedonisme di tengah budaya masyarakat transisi, antara mempertahankan tradisi, dan menerima modernisme mentah-mentah.

Perlawanannya bukanlah vis-à-vis bahwa ada yang salah dalam strategi berkebudayaan yang dimainkan oleh negara sebagai lembaga yang memberi rasa aman lahir-batin terhadap rakyatnya. Namun, sebab demi menggembosi peran agama dalam tata hidup bernegara, agama telah direduksi paradigma sosialnya, seperti adanya jargon “Islam Yes, Partai Islam No!”.

Sekulerisasi antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial itu berefek kepada penanggalan “baju agama”, ditinggalkannya ruh agama, seperti merebaknya “Bupati” (buka paha tinggi-tinggi) dan “Sekwilda” (sekitar wilayah dada), yang berkibar di mana-mana tanpa “BH” (ungkapan Faruk HT). Sebagai “Orang Laut” (judul sajak Elwa), yang menatap senjakala kebudayaan serupa itu, ia histeria, sampai pada klaim, ‘/ tak ada lagi manusia di mataku/tak ada/ hanya mayat yang kujumpai/ kemanusiaan yang dibungkus tubuhmu/’.’

Pada sajak awal Elwa, aku-lirik memang mengalami histeria, dengan bereferensi kepada “ingatan teologis” (terimakasih Adi Wicaksono atas istilah ini) [11] melakukan jarak hitam-putih, seolah “agamamu adalah agamamu, agamaku adalah agamaku.” Dalam begitu, Elwa melakukan politik-identitas yakni merekonstruksi wajah ke-Diri-an dengan berulangkali mencitrakan siapakah “Mathori A. Elwa” yang sebenarnya, ‘//bercermin lautan bening/ wajah buram dan pangling/ kucukil mata saja/ : membuat dunia baru’ (sajak “Mathori A. Elwa, 1) [12] sebab mengakrabi “dunia-jalan-raya”, ia akan bias, dan karenanya, jalan yang aman ialah pulang kepada “Horizon” agar dapat ‘/kumaknai peta-peta/ : aku memanggil-manggil duniamu//’ (sajak “Horizon”).[13]

Perkembangan pemikiran terhadap perubahan sosial dalam sajak Elwa bukanlah sebagaimana yang dicontohkan itu yang dominan. Elwa sekalipun banyak bertumpu kepada “ingatan teologis”, justru melaluinya ia mencairkan kebekuan pandangan kaum formalis agama di satu sisi, dan di sisi lain ia mengkritik kaum yang sok medernis yang mengikut saja kepada arus modernisme. Basis teologis Elwa justru diperlukan, dan ia menguasai ihwal itu mulai dari tataran simbolik sampai praksis. Sebab dengan begitu, eksklusivitas pemaknaan yang dilakukan oleh pemeluk formalis terhadap agama, melalui strategi kebahasaan sajaknya yang parodis, ironis, humor, menjadi dapat dicairkan. Semuanya itu dapat dilakukannya di dalam sajak, secara aman, tanpa menyinggung kaum formalis agama maupun hedonis sebab cara pandang Elwa dilakukannya dengan cara melebur tirai itu. Ia memusatkan kritik terhadap perubahan sosial yang hedonisme, baik perilaku maupun sekadar wacana, sekali lagi di dalam sajaknya berpusat kepada aku-lirik (bisa dibaca : diri penyair). Fenomena inilah yang akhirnya dominan di dalam pemikiran perpuisian Elwa.

Tipikal hal tersebut ia tampilkan di dalam sajak “Yang Maha Syahwat”, yang menjadi judul buku puisinya. Sepanjang kepenyairannya, puisi dipilih dan dikumpulkan di dalam buku ini. Elwa tidak lagi mengambil jarak ontologis, ia justru “masuk” ke dalam dunia yang-maha-syahwat itu, dengan mengidentifikasi sebagai “pengembara abadi”, (setan), yang maha mengagumi dirinya sendiri:[14]

1
aku seorang pengembara atau pertapa
kubiarkan dirimu menentukan jalan sendiri
dan tunggulah suatu saat
bahwa bulan bersinar karena aku
matahari terbenam karena aku


14
tangis dan doamu hanyalah musik dangdut
segala langkah dan rencana-rencana
adalah tarian hula-hoop para pelacur


19
wahai diriku yang berotak cemerlang
jangan hanya kekerasan
ciptakanlah pengangguran besar-besaran
di dalam filsafatku tak ada musuh atau sekutu
semua adalah musuh atau sekutu

20
karena kebaikan yang busuk inilah
dunia menjadi lain dan melesat jauh
semua naik pesawat-yang-akan-datang
atau sekarat sekalian
selebihnya tertinggal sebagai debu
dan gurem-gurem
sementara aku yang mengajari tepuk tangan
akan tetap sebagai psikopat yang maha
syahwat
di menara-menara
lembah-lembah
dan rawa-rawa
manusia

Dengan mengidentifikasi sebagai “yang maha syahwat”, ia berleluasa melakukan otokritik terhadap formalis agama sekaligus menampilkan efek dari berhala modernisme kepada Sysiphus sejati. Personifikasi akan nilai manusia agung sebagai skenario ideal dari Yang Maha Berkehendak, dihancurkannya sebab kehendak itu sendiri ditarik ke dalam “aku”. Di saat itulah arogansi apa saja menjadi sah, termasuk untuk menciptakan, ‘jangan hanya kekerasan/ ciptakanlah pengangguran besar-besaran/ di dalam filsafatku tak ada musuh atau sekutu/ semua adalah musuh atau sekutu.’

Hampir di setiap sajak Elwa menciptakan ironi dengan bahasa komunikatif serupa sajak “Yang Maha Syahwat” itu. Ironi sebab ia mencitra-dirikan kepada persona dunia yang secara ideal tidak diterima oleh masyarakatnya, namun dunia serupa itu hidup di sekeliling kita, bahkan melekat kepada kita : ego tahta, harta, juga wanita. Dari situlah justru ada tumbukan makna, karenanya bahasa puisi Elwa sekalipun cukup “terang” jika pembaca terbiasa dengan simbol dari referensi teologis, maka Elwa cuma sebatas mengusik acuan makna baku dari pandangan dunia itu. Bagaimanapun, pembaca yang mengenal referensi baik-buruk akan tidak terima, karenanya memunculkan penawaran wacana, justru di situlah bahasa sajak Elwa menjadi “puisi”.

Adakah yang salah pada “puisi dengan ingatan teologis sebagai wacana, yang ditampilkan melalui citra sosial dan individual manusia yang hidup berdampingan di antara dunia simbol dan keseharian” serupa sajak Elwa?

Perpuisian Elwa menjadi fenomena langka dalam perpuisian Yogya, mungkin juga Indonesia sebab Elwa mengukuhkan barisan pengucapan puisi yang tidak punya pengikut. Saya piker sulit menjadi pengikut Elwa dalam bersajak, sama sulitnya menjadi pengikut perpuisian Kuntowijoyo, atau Sutardji Calzoum Bachri (terutama pada O Amuk Kapak).[15] Hal itu sebab pohon yang ditancapkan dalam perpuisiannya terlampau sulit dipanjat oleh orang lain, tentu jika tidak ingin terpeleset dan jatuh dicap sebagai epigon total. Lain halnya dengan “jalur besar” yang banyak diikuti perpuisian Indonesia, Chairil Anwar dalam lirisisme-ekspresionisme, atau Goenawan Mohamad dalam lirisisme-imajisme, dan balada atau sajak pamplet Rendra (juga Taufiq Ismail), atau fenomena mutakhir ialah surealisme-estetis (Afrizal Malna). Ibarat rumah, masih banyak pintu untuk memasuki perpuisian model jalur itu, lalu keluar dengan “mencuri” sesuatu, dan sebagai ahli kimia kata-kata mencampur ini dan itu menjadi zat lain, lalu berkata, “Ini puisi inavatif lho! Puisi saya!

Tentu saja, tak ada yang kurang dengan penampilan bahasa Elwa yang demikian, “ingatan teologis” itu tergantung kepada bagaimana membahasakan di dalam puisi. Bukankah justru pengalaman religius yang sebenarnya tanbahasa itu menjadi terbahasakan lantaran refleksi analogis? (Ingat, tradisi ritus para sufi dengan bahasa sajak). Hal itu sebab formula bahasa yang membersihkan kompleksnya ide, emosi, bawah-sadar, bukanlah menutup kemungkinan suatu pengalaman menjadi verbal. Banyak pengalaman yang terang, ternyata tetap menjadi suatu yang menggetarkan sukma, dan terus-menerus kita menikmatinya dengan kesan dan makna yang selalu baru, seperti menyatunya suami dengan istri.

Dengan begitu, puisi Elwa berdiri di antara bahasa-yang-menampilkan dan bahasa-yang-menyatakan problem eksistensial dan sosialnya dengan caranya sendiri : bahasa puisi merespon gempita bahasa massa, metafora implisit yang dihiperbolikkan dengan mampertautkan antara dunia makna (yang bereferensi pada “ingatan teologis”) dan dunia keseharian. Memang, ada nafas surealistiknya, tetapi bukan pencitraan dunia bawah-sadar itu sendiri yang dipentingkan Elwa, melainkan hanya sebatas formula. Pikiran aku-lirik masuk kepada realitas maupun pikiran masyarakatnya yang dipersoalkan itu dengan strategi politik-peleburan. Dengan begitu, pikiran yang ditampilkan ke dalam bahasa sajak membuka ruang perdebatan makna. Manusia menemui surga dan nerakanya sendiri tanpa seretan tangan lain, tinggal posisi dan presisinya tatkala nyemplung di dalam arus massa.

3. “Reportase yang Menakutkan” Mustofa W. Hasyim

Puisi Mustofa W. Hasyim (Reportase yang Menakutkan)[16] terasa lain tatkala memposisikan identifikasi aku-lirik maupun aku-publik di dalam sajaknya sekalipun ada psikologis yang sama bila dibandingkan, misalnya, dengan puisi Mathori A. Elwa (Yang Maha Syahwat, 1997), yaitu psikologisnya orang kalah, psikologisnya rakyat banyak di sepanjang rejim Soeharto, terutama tatkala gerakan mahasiswa selalu berakhir dengan penjara. Kejiwaan tertindas itu mendorong pencarian pegangan kepada spiritualisme-religi maupun non-religi. Mustofa W. Hayim membangkitkan kisah tragis kemanusiaan sebagai “reportase-budaya”, dengan menyublimasi kekerasan sosial itu ke dalam sajak-berkisah (memakai pencerita orang-pertama), ataupun balada (memakai pencerita orang-ketiga).

Karena Mustofa W. Hasyim memilih berkisah, konsekuensinya bahasa yang dipilih komunikatif dengan fakta sosial yang terfiksikan, sebagaimana sajak yang amat mewakili perpuisian Mustofa W. Hasyim pada dekade menjelang jatuhnya rejim Soeharto, yang diambil dari buku Reportase yang Menakutkan, berikut ini.[17]
Buruh yang Amat Sabar

Seorang buruh yang sabar selalu tersenyum
meski upahnya selalu dikurangi
tiap bulan. Ia bersyukur
bisa mengisi hari-harinya
dengan kerja.

Suatu hari upahnya menyusut
sampai ke angka nol
ia pun mengangguk pasrah
tanpa niat protes sedikitpun.

“Bulan depan ganti kau
yang membayar aku,”
kata majikannya garang.
“Baik. Insya Allah kubayar,” jawabnya.

Ia pulang dengan langkah segar
tapi istri dan mertuanya marah
“Masak kerja sebulan
tidak mendapat upah,” hardik mereka.

Hari berikutnya ia tetap bekerja
lebih rajin dibanding temannya
ia pun menyukai lembur
menggantikan temannya yang sakit.

Di awal bulan ia tidak mendapat upah
justru ia yang membayar majikannya.
“Bagus. Darimana kaudapat uang ini?”
“Dari berhutang tetangga.”

Sampai rumah kembali
istri, mertua dan anak-anaknya
marah sambil menangis
“Tuhan, kenapa kauturunkan juga
lelaki tolol seperti ini,” keluh istrinya.

Ia tersenyum, tapi kaget
waktu terdengar letusan
dan asap menggumpal
diikuti api yang berkobar.

“Pabrik tempatmu bekerja terbakar,” kata orang-orang.
Ia termenung. Heran campur pedih
“Aku selalu mengampuni majikanku
dan mendoakan agar selamat. Tapi Tuhan
ternyata berkehendak lain,” bisiknya.

Kapitalisme semu memposisikan pemilik modal yang menguasai alat produksi bebas menentukan aturan main proses produksi sebab hak-hak buruh tidak terlindungi oleh Undang-undang secara manusiawi, hal ini terjadi di Indonesia. Bahkan, tidak hanya hubungan buruh dan pengusaha, juga hubungan guru dan lembaga pendidikannya, dosen dan universitasnya. Sebagai contoh, di Purwokerto di sebuah perguruan tinggi swasta, bahkan ada perjanjian kerja demikian :

“Masa kerja minimal 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali. Apabila mengundurkan diri sebelum masa kerja berakhir, maka bersedia mengembalikan seluruh jumlah gaji dan honor dosen yang telah diterimakan sejak diangkat sebagai dosen.” [18]

Hal tersebut jelas merampas Hak Asasi Manusia (dalam Deklarasi HAM, pasal 23); dan tidak sesuai dengan rincian jenis pekerjaan yang boleh dikontrakkan (guru/dosen, tidak dalam kategori itu); di samping itu, masa kontrak kerja semestinya maksimal 2 tahun (sesuai dengan Undang-undang Perburuhan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja, 1986); apalagi ditinjau dari perspektif hadis, “Beri upah buruhmu sebelum kering keringatnya.”

Dalam sajak tersebut, Mustofa W. Hasyim mengadakan protes terhadap ketidakadilan yang dilakukan majikan kepada buruh. Tetapi, protes Mustofa juga secara tidak langsung, ia tidak misalkan memprotes bahwa upah minimum regional di Yogya teramat rendah dibanding propinsi lain, atau tiadanya Undang-undang yang memberi perlindungan terhadap hak sosial-politik buruh, atau mandulnya Serikat Pekerja yang selama rejim Orde Baru hanya dijadikan kendaraan politik oleh para elitnya di bawah Golongan Karya (Golkar).

Dengan gaya sajak berkisah sekalipun banyak juga sajak Mustofa yang kemudian lebih pendek-pendek, namun gaya pengisahan itu dominan, dan karena ia berkisah, maka sajaknya tidak hanya menampilkan problem sosial itu dalam solilokui aku-lirik atau persona lain. Persona lain dalam sajaknya dengan menampilkan peristiwa itu, di sana-sini juga menyatakan sikapnya. Sikap yang bagaimana? Persona yang dibangun ialah perlawanan orang kalah, yang sembunyi di balik jubah spiritualisme sebab bagaimanapun masih ada Tuhan yang Maha Adil yang akan mengadili ketidakadilan itu (bait terakhir sajak tersebut mempresentasikan hal itu). Kekuatan semacam itu memang eksis, apalagi tatkala tangan dan mulut dibungkam, sebagaimana kisah yang menjadi pemeo perlawanan di Ethiopia di bawah cengkeraman tuan-tuan tanah Prancis : saat terjadi inspeksi terhadap perkebunan, orang berjajar di pinggir jalan. Si Tuan bule dengan cerutunya lewat. Orang-orang menunduk sembari memegang lututnya. Mereka marah atas kesewenangan itu. Namun, mereka tidak berdaya. Apa yang mereka lakukan? Di antara mereka ada yang sengaja mengentut keras-keras…… Gaya seperti itulah perlawanan Mustofa, dan hal itu sah-sah saja.

Sebagai penyair yang dibesarkan dalam kultur Jawa-Mataram, Mustofa tidak memilih perspektif untuk menjadi ruang dan waktu bagi setting puisinya, ia hanya menempatkan hal itu sebagai latar (set), selebihnya ideologi puisi merefensikan diri kepada religiositas (Islam), semacam : ingatkan dengan tanganmu, mulutmu, jika tak mampu, maka berdoalah. Namun, sebab atmosfer kultur yang ia hadirkan dunia wong cilik Jawa, karenanya, dalam menghadapi ketakberdayaan nasib, ia mendekati masalah itu dengan cara wong cilik Jawa pula, yaitu tertawa getir dalam kepahitan : ‘Aku melihat mayat tersayat-sayat/ di sekujur tubuhnya/ menggigil. “Aku telah diperkosa/ dan telah membalas dendam,” katanya/ lalu diam.’ (”Reportase yang Menakutkan”)[19]; ‘Benar. Kambing itu melahirkan bayi/ dan sejak itu kisah cinta Anisah/ tidak pernah dipercakapkan lagi.’ (”Matarantai Cinta yang Ruwet”) [20], dan banyak lagi contoh sikap serupa itu dalam sajak Mustofa, yang membuat kita membacanya “geli” sekaligus getir.

Namun, pasca reformasi sajak Mustofa W. Hasyim menjadi singkat-singkat, pencitraan realitas dan problem sosial yang kerap juga “dinyatakan” menjadi sangat dihematkan sehingga “hanya” memberi sugesti-sugesti. Mustofa W. Hasyim sekalipun menulis sejak dekade 1970-an, namun menurut saya kurang berhasil sebab masih dibayang-bayangi oleh tradisi Persada Studi Klub yakni dengan berorientasi kepada hidup kejawaan, yang tidak sematang pemikiran Linus Suryadi A.G. Kemudian, ia keluar dari mainstream itu, dan berhasil pada buku puisi Reportase yang Menakutkan, juga buku puisi Zaman yang Beracun. [21]

4. “Celana” dalam Surealistisnya Joko Pinurbo

Di dalam buku puisi Celana [22] karya Joko Pinurbo, problem sosial masyarakat transisi disublimasi ke tingkat supralogis pemikiran sajak, maupun imaji, yang ia bangun dari peristiwa keseharian ke dunia simbolik, sebagaimana sajak berikut ini. [23]

Kisah Seorang Nyumin

Demonstrasi telah bubar. Kata-kata telah bubar.
Juga gerak, teriak, gegap dan gejolak.
Tak ada lagi karnaval.
Bahkan pawai dan gelombang massa telah menggiring diri
ke dataran lengang, tempat ilusi-ilusi ringan
masih bisa bertahan dari serbuan beragam ancaman.
Siapa masih bicara? Bendera, spanduk, pamflet
telah melucuti diri sebelum dilucuti para pengunjuknya.
Tak ada lagi karnaval.
Di pelataran yang mosak-masik yang tinggal hanya
koran-koran bekas, berserakan, kedinginan
diinjak-injak sepi.
Tapi di atas mimbar, di pusat arena unjuk rasa
Nyumin masih setia bertahan, sendirian.
Lima peleton pasukan mengepungnya.
- Sebutkan nama partaimu.
- Saya tak punya partai dan tak butuh partai.
- Lalu apa yang masih ingin kau lakukan?
Mengamuk, mengancam, menggebrak, melawan?
- Diam itu yang saya inginkan.
- Lakukan, lakukan dengan tertib dan sopan.
Kami akan pulang, mengemasi senjata,
mengemasi kata-kata. Pulang ke rumah
yang teduh tenang.
Sayang Nyumin tak bisa diam. Nyumin terus bicara,
Menghardik, menghentak, meronta, meninju-ninju udara.
Dan para demonstran bersorak, “Hidup Nyumin!”
Suasana serasa senyap sesungguhnya.

‘Demonstrasi telah bubar. Kata-kata telah bubar,’ demikian tulis Pinurbo, tetapi ‘Nyumin terus bicara’ sekalipun ‘Suasana serasa senyap sesungguhnya’. Sepertinya paradoks, bagaimana mungkin demonstrasi kata-kata telah bubar, namun demonstran masih dapat bersorak? Tetapi tidak, sebab Pinurbo memanggil suprarealitas itu sebagai jalan mengatasi realitas (sosial)-nya yang gagal dalam menyuarakan kata. Apakah dengan begitu dunia yang dibangun sajak Pinurbo merupakan dunia surealis? Saya sepakat dengan Sapardi Djoko Damono, dunia Pinurbo memang surealis. Ia merekonstruksi realitas sosialnya yang kalah kepada dataran kemenangan secara makna, sebagaimana demonstran di luar sajak yang sesungguhnya telah disenyapkan oleh senjata, namun dalam sajak demo itu terus berlangsung menjadi makna. Pertikaian untuk “memerdekakan kata” sekalipun demokrasi baru dalam wacana saat itu terus berlangsung.

Kata, memang vital bagi upaya “mengatasi” : kebudayaan, dan surga. Tetapi, kata itulah yang menjadikan sebuah rejim jengah, dan perlu selalu waspada, karenanya setiap mereka yang punya kata musti dicurigai, ‘//Selamat datang. Saya sudah menyiapkan semua yang akan/ Saudara rampas dan musnahkan : kata-kata suara-suara/ atau apa saja yang Saudara takuti tapi sebenarnya/ tidak saya miliki.’ (Sajak “Malam Pembredelan”).[24] Peristiwa semacam ini menyeruak tatkala di tengah 1980-an gerakan mahasiswa menguatkan formulasinya kepada pemihakan nasib wong cilik, seperti kasus Kedung Ombo atau Nipah, dan rejim Soeharto buru-buru keras mengikisnya. Pinurbo dalam Celana sangat menyadari posisi dan fungsi kata-kata itu di tengah represivitas, kerap ia di tengah tampilan peristiwa yang ia bangun, menyatakan semacam ini : ‘Kata-kata adalah kupu-kupu yang/ berebut bunga, adalah bunga-bunga yang berebut warna,/ adalah warna-warna yang berebut cahaya, adalah cahaya yang/ berebut cakrawala, adalah cakrawala yang berebut saya.’

Yang menjadikan puisi Pinurbo punya nuansa bahasa dan pemikiran yang khas di tengah ‘Pasukan disiagakan dan/ diperintahkan untuk memblokadir setiap jalan. Semua mendadak/ panik. Kata-kata kocar-kacir dan tiarap seketika/’ (sajak “Patroli”) [25] sehingga memunculkan bangunan sajak pasemon atau lebih menyeruak lagi memunculkan bahasa surealis, menurut pengamatan saya, hal itu disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut.

(1) Puisi Pinurbo mempresentasikan komunikasi terhadap realitas sosialnya dengan memasuki secara langsung peristiwa sosial itu. Ia mengisahkannya tidak secara telanjang terhadap latar (set) dan peristiwa. Narator membangun suasana, setting, peristiwa itu kepada visi person-nya. Setidaknya ini dapat dicermati dalam sajak : “Poster Setengah Telanjang”, “Kisah Seorang Nyumin”, “Kisah Senja”, “Bayi dalam Kulkas”, “Malam pembredelan”, “Kisah Semalam”, “Gambar Porno di Tembok kota”, “Boneka dalam Celana”, dan semacamnya.

(2) Dan, karena gaya pengisahan mendominankan visi narator, maka ungkapan-ungkapan liris itu tak terhindarkan dan cenderung disengaja, yang menjadikannya berbeda dengan sajak balada yang cenderung membiarkan peristiwa telanjang sebagaimana puisi Rendra. Kita menjumpai begitu banyak harmoninya persajakan dalam puisi Pinurbo, ungkapan serupa ini misalnya sajak “Kisah Semalam”: [26]

Yang ditunggu belum juga datang. Tapi masih digenggamnya
surat terakhir yang sudah dibaca berulang. Aku pasti pulang
pada suatu akhir petang. Tentu dengan bunga plastik
yang kau berikan saat kau mengusirku sambil menggebrak pintu,
“Minggat saja kau banjingan. Aku akan selamanya di sini,
di rumah yang terpencil di sudut kenangan.”
…….

(3) Setiap bangunan kata yang membawa makna bersebarangan dengan ideologi negara terhadap realitas, sejak peristiwa Malari, dimaknakan ancaman oleh dan terhadap negara. Karenanya, kata menjadi medan perebutan makna. Kesadaran semacam ini cukup kuat pada pemikiran puisi Pinurbo, dan ia tak ingin mengikut arus umumnya puisi dekade 1980-an yang membangun pecahan-pecahan imaji seperti ‘orang-orang terbaring dalam tubuhnya sendiri, dada. tak ada yang berjalan. anjing terbaring dalam lolongannya sendiri. kota juga terbaring dalam dinding-dinding beton yang dingin, dada’ (Sajak”Dada”, Abad yang Berlari, 1984, Afrizal Malna).[27]

Pinurbo justru membangun pecahan-pecahan “ideologi rakyat banyak” itu, dengan memfiksikan fakta sehingga sifat kefaktualannya sublim. Realitas (sosial)-nya itu ia tundukkan di dalam puisi menjadi kemenangan makna, keyakinan, dan spiritualisme. Tidak lagi dengan jalan mencitrakan pecahan-pecahan ideologis yang kalah itu sendiri sebagaimana yang dilakukan Afrizal Malna, juga Hamdy Salad, melainkan membiarkan kisah itu kembali hidup di dalam sajak. Tidak juga dengan mengambil jalan ironi sehingga getir sebagaimana puisi Mustofa W. Hasyim, melainkan menyiasati keterpurukan, ketertindasan itu dengan mencari basis lain yakni dunia makna dengan perlambang, yang sebagiannya dapat dicari referensinya kepada ingatan-teologis, sebagiannya kepada humanisme universal. Contoh yang paling asyik, tentang “kata” yang diperebutkan versi maknanya antara negara yang disimbolkan dengan ‘Patroli’ berhadapan dengan ‘demonstran’ yang dalam sajak berikut ini diposisikan sama dengan ‘penyair’. [28]
Patroli

Iringan-iringan panser mondar-mandir di jalur rawan
di seantero sajakku. Di sebuah sudut yang agak gelap
komandan melihat kelebat seorang demonstran yang gerak-
geriknya dianggap mencurigakan. Pasukan disiagakan dan
diperintahkan untuk memblokir setiap jalan. Semua mendadak
panik. Kata-kata kocar-kacir dan tiarap seketika.
Komandan berteriak, “Kalian sembunyikan di mana penyair
kurus yang tubuhnya seperti jerangkong itu? Pena yang baru
diasahnya sangat tajam dan berbahaya.” Seorang peronda
memberanikan diri angkat bicara, “Dia sakit perut komandan,
lantas terbirit-birit ke dalam kakus. Mungkin dia lagi
bikin aksi di sana. “ “Sialan!” umpat komandan geram sekali,
lalu memerintahkan pasukan melanjutkan patroli.
Di huruf terakhir sajakku si jerangkong itu tiba-tiba muncul
dari dalam kakus sambil menepuk-nepuk perutnya. “Lega,”
katanya. Maka kata-kata yang tadi gemetaran serempak
bersorak dan merapatkan diri ke posisi semula. Di kejauhan
terdengar letusan, api sedang melalap dan menghanguskan
mayat-mayat korban.

(4) Dengan basis semacam itu, Pinurbo pun berleluasa melakukan eksperimentasi ungkapan, imaji yang liar, bahasa keseharian namun tak kehilangan kelirisannya. Dengan basis dunia makna melalui perlambang itu, ia juga melakukan penjungkirbalikan perlambang setelah diskripsi kisah yang dibangunnya, dan di sinilah letak kesurealistisan puisi Pinurbo sehingga menimbulkan parodi-parodi, dan kita ngakak dibuatnya, contohnya dalam sajak “Celana (3)”, tatkala seorang lelaki yang telah mendapatkan celana idaman yang lama didambakannya, asli buatan Amerika, dan memamerkan kepada perempuannya, tak disangka: [29]

…….
Tapi perempuan itu lebih tertarik pada yang
bertengger di dalam celana. Ia sewot juga.
“Buka dan buang celanamu!”
Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru, yang
gagah dan canggih modelnya, dan mendapatkan burung
yang selama ini dikurungnya sudah kabur entah kemana.

5. Memasuki “Nikah Ilalang” Dorothea Rosa Herliany

“Memasuki” Dorothea Rosa Herliany dalam buku Nikah Ilalang (1995),[30] saya menemukan ceruk terdalam dari kata “nikah” itu sendiri, yakni nilai yang diidealkan, yang abadi. Hal itu tidak semata kata-kata untuk suatu tarikan agar diakui persona dirinya sebagai perempuan di bawah bayang tradisi yang memaknainya secara inferior. Puisi Rosa oleh sementara kritikus sastra dikatakannya sebagai upaya mengatasi dominasi maskulinitas terhadap femininitas.

Saya meminjam kata “nikah” itu bukan bermaksud melakukan pembacaan terhadap dunia gender sebab hal itu telah dilakukan dengan baik oleh Afrizal Malna sebagai kata penutup buku Rosa. Saya meminjamnya sebagai kata kunci memasuki upaya Rosa “menikahi” realitas (sosial)-nya.

Nikah Perkampungan [31]

dengan sadar, aku kawini rumahrumah kardus,
tanpa cincin kawin, selain kemiskinan dan
Ilmudaurulang. tanpa perjamuan, selain wabah
dan ilmutatakota. tanpa nyanyian pengiring,
selain ketergusuran hewanhewan jelata.
dengan sadar, aku nikahi dunia yang gelisah.
sambil kuganti doa jadi harapan. kuganti
janji jadi ratapan.
kunikmati jaman yang sekarat minta susu.
pengantin yang takpernah kunikahi, tapi
minta menetekku dengan bahasa ketakutan.

Ini kali kita dengan berat hati melalui begitu saja upaya Rosa mengadakan tawaran struktur dan cara penulisan serta penyusunan kata, misalnya : tiadanya pemakaian hurup besar; penggunaan penulisan bersambung untuk kata ulang (ulatulat); penggabungan dua kata atau lebih (anakkumuntah); belum lagi, pemotongan atau pemenggalan kalimat. Tentu saja, hal itu dapat dibaca sebagai tanda memasuki dunia yang dibangun puisinya.

‘dengan sadar, aku kawini rumahrumah kardus,/ tanpa cincin kawin, selain kemiskinan dan/ Ilmudaurulang’, Rosa mengambil jarak ontologis terhadap sudut-pandang perempuan yang secara konvensional memposisikan kelembutan, kemapanan. Dalam sajak tersebut, justru dengan sadar ia mengawini kemiskinan sosial, kemiskinan struktural, dan ia tahu risiko ‘(me)nikahi dunia yang gelisah.’

Dalam dunia serupa itu, nilai-nilai menjadi abai. Rosa menyadari sungguh makna diksi ‘kawin’ dan ‘nikah’, yang dalam banyak sajaknya dibedakan aksentuasi dan maknanya. ‘aku kawini rumahrumah kardus’, kenapa tidak ‘aku nikahi rumahrumah kardus’? Rosa ingin mencitrakan pecahnya nilai di dataran kemiskinan, wabah, dan hewan-hewan jelata. Hal ini mengingatkan saya kepada teks agama bahwa “Kemiskinan itu dekat pada kekufuran” sekalipun saya tak ingin memasukinya dengan ideologi serupa itu sebab akan sangat tidak adil dan dogmatis. Tetapi, Rosa punya ingatan-teologis secara substansi semacam itu, karenanya ia dalam bait II menggunakan kata ‘aku nikahi’ untuk menyebut ungkapan selanjutnya yang bernafaskan rasa keagaman ini ‘sambil kuganti doa jadi harapan’.

Afrizal Malna pernah mengungkap bahwa diksi-diksi keras, maskulin, yang digunakan Rosa sebagai risiko tak tertahankan lantaran dunia-di-luar-rumah telah menjadi klaim laki-laki. [32] Memang, diksi, idiom, simbol, rangkaian ungkapan, dapat dijadikan penanda untuk merekonstruksi suatu persona yang dibangun dunia sastra. Namun, diksi-diksi gagah dan keras dalam puisi Rosa dapat juga dimaknakan sebagai cara memasuki bahasa massa yang memang mengarah ke arah sama, keras.

Tetapi, Rosa bukan mengambil posisi mengisahkan peristiwa sosial itu agar pembaca “menikahi” kembali lewat tokoh-tokoh yang dibangunkan. Ia menyublimasi pengalaman sosial itu sebagai bagian yang samar, impresi, dari posisi “aku” yang dominan. Dengan begitu, peristiwa sosial yang memang tidak dominan di-wadag-kan di dalam sajaknya itu, dipilihnya, yang semata memberi sugesti-sugesti dari hembusan “pernyataan” aku-lirik. Dengan sadar ia menikahi dunia yang gelisah, berarti ia memilih dari yang banyak itu sebagai objek dan (atau) subjek sudut-pandang, serta pengucapan dunianya, sajaknya.

Kerenanya, sekalipun Rosa juga berbicara soal “Lagu Asing dari Desa” (judul sajaknya), maka ia hanya melukiskan impresi seperti ini: [33]

di atas gerobak kuhitung mesin dan listrik
yang membagibagikan kekosongan kepada semuaorang.
malaikatmalaikat menyebarkan kebencian. sawahsawah
dan gubukgubuk tibatiba berubah gumpalankertas.
kubakar : jadi tanahair bagi bayangbayang.
sepanjang gang orangorang berjaga. tangantangan
kurus mencabikcabik tanah dan jantungnya sendiri.
sebuah semesta : jutaan rumah tanpapenghuni.
…….

Di dalam bangunan dunia impresi, yang terlukiskan yang pokok saja, karenanya muncul patahan-patahan peristiwa sosial yang telah disublimasi itu, disejajarkan antara yang satu dengan lainnya. Sebagaimana dalam bait terakhir sajak itu juga, dinyatakan, ‘di gerbanggerbang desa kuhitung bayangbayang/ yang terpatahpatah. kusihir : menjadi jarijari/ yang selalu ingin menuliskan ribuan kalimat/ tak terbaca.’

Dengan begitu, menjadi tidak ada teriakan kata-kata di dalam puisi Rosa (satu hal yang secara estetis kerap menjadi ukuran keberhasilan kesastraan). Hal tersebut tidak banyak dimiliki oleh penyair semasanya yang cenderung berteriak-teriak atau meneriakkan problem sosial (yang masih telanjang konteks ruang dan waktunya) disebabkan oleh gempuran modernisme, atau represivitas oleh negara. Hal itu sebab Rosa melakukan metamorfosa makna (metamorfosa, kata yang kerap dipakainya dalam sajak), dan bukan metamorfosa kata-kata. Metamorfosa makna (termasuk konteks ruang dan waktunya) sebab ia menyublimasi peristiwa, ide-ide. Sementara itu, kata-kata via diksi-diksi tetap mengambil dari fenomena massa. Karenanya, problem-problem sosial yang secara biografis pernah hadir dalam hidup individual dan sosial Rosa itu mengalami metamorfosa ruang dan waktunya tatkala dihadirkan di dalam sajaknya.

Misalkan saja, sajak “Aku Diam di Halte”, halte ini telah dihilangkan ruang-waktunya sebagai halte-biografis sehingga halte menjelma suatu ruang-waktu tempat di mana dan kapan ‘kuhayati kebenaran yang lebih panjang/ dari rentangan waktu.’[34] Inilah bahasa sajak yang dipilih Rosa di tengah arus massa yang menuntut ruang pembebasan dari ketertindasan eksistensial, institusional, struktural; yang bahasa tersebut erat kaitannya dengan ekspresi bahasa sipil yang mengkerut di tengah slogan pembangunan. Dan Rosa, sekali lagi, memilih bahasa impresi dalam puisi, yang dapat dimaknakan sebagai anti-tesis dari bahasa kekuasaan yang slogan, yakni dengan menghayati ‘kebenaran yang lebih panjang/ dari rentangan waktu.’ [35]

6. Puisi vis-a-vis Negara

Secara sederhana boleh disebut bahwa bahasa pada umumnya adalah alat komunikasi bagi segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang berlangsung di dalam jiwa manusia. Sementara itu, dalam proses perkembangan bahasa dapat disebabkan banyak hal seirama dengan perkembangan masyarakat pemakainya, juga secara rekayasa seperti yang dilakukan oleh negara.

Pada konteks sosialnya itulah bahasa dapat mengalami tekanan-tekanan oleh persoalan yang melingkupinya senyampang dengan tekanan yang dialami oleh masyarakat pemakai bahasa itu.

Pada akhir 1950-an hingga 1960-an, situasi sosial digiring kepada pemaknaan baru revolusi versi Soekarno, jargon-jargon politiknya demikian merebak dalam pengucapan sehari-hari : neokolonialisme (Neokolim), Jasmerah (jangan sekali-kali melupakan sejarah), ganyang, berangus, gerus, nasionalisme-agama-komunis (Nasakom), dan semacamnya. Yang tentu saja “kata-kata besar” itu bukannya tanpa risiko dampak kengeriannya.

Dengan lingkungan bahasa demikian, bahasa mengalami pembesaran yang tampak menakutkan akibat suntikan ideologi oleh elit politik, dan di sisi lain oleh masyarakat umum juga direspon secara instan sebagai kemegahan; namun di sisi lain lagi oleh masyarakat kritis disadari sebagai hal yang harus ditawar sebab risiko-risikonya.

Suasana hingar-bingar politik 1960-an yang akhirnya memunculkan kekerasan politik itu, pada konteks kebahasaan dalam sastra memberi gambaran bahwa tanggapan oleh pemakai bahasa secara umum itu juga tercermin di dalam sastra. Di satu sisi, kerasnya bahasa yang dipompa oleh suasana sosial politik memunculkan realisme sosial sebagai paradigma, dengan citra estetik kebahasaan sastra maupun citra ideologisnya.

Di segi lain, kekerasan yang tercitra melalui bahasa, juga memunculkan upaya untuk menyublimasi dan mengembalikan bahasa kepada keadaan normalnya, yang memberi ruang pemaknaan masyarakat pemakainya secara sejuk. Hal ini tercermin sebagaimana dilakukan sastrawan yang kemudian kita kenal sebagai kaum manifestan.

Sekalipun di segi lain, hal tersebut juga memunculkan upaya mensintesakan antara bahasa yang terlanjur mengalami pengerasan akibat politik-identitas oleh front ideologi itu, yakni dengan memberi ruh penolakan kepada penjajahan suatu kebudayaan terhadap kebudayaan lain. Upaya ini dilakukan oleh Taufiq Ismail, justru dengan meminjam “tangan bahasa sastra” dari kaum realisme sosial, untuk mengkritisi kekerasan yang dilakukan oleh kaum realisme sosial itu sendiri terhadap bahasa sekaligus pemakainya.

Tarik-menariknya ideologi pada masa itu senyampang dengan upaya negara untuk merangkul tiga komponen ideologi besar, yakni nasionalisme, agama, dan komunisme. Memang hal tersebut dapat dibaca sebagai munculnya demokrasi di dalam berkebudayaan, yang memberikan ruang bagi hak berpolitik, hak sipil, dan hak aktualisasi diri, sebagaimana substansi berdemokrasi. Pada kesusastraan pun antara ideologi dan ideologi lain melakukan kompetisi untuk mengukuhkan “bahasa” masing-masing dengan segala pemaknaan sosiologisnya. Keadaan demikian itu, tidak semata disebabkan negara melakukan tekanan terhadap bahasa, yang merupakan dampak langsung dari tekanan negara terhadap masyarakat pemakai bahasa, sekali lagi, tidak.

Politik-identitas ideologi masa 1950-1960-an itu berakhir dengan jatuhnya rejim Orde Lama Soekarno oleh gerakan mahasiswa yang didukung oleh Angkatan Darat sehingga memunculkan Soeharto. Hingar-bingar ideologi politik perlahan-lahan digembosi, yakni dengan adanya fusi para partai politik ke dalam tiga nuansa, nasionalisme, agama, dan Golongan Karya (menggantikan Nasakom, hal yang dulu ditentangnya).

Namun, dengan puncaknya yaitu dengan pengasasan-tunggal Pancasila terhadap semua kekuatan politik di Indonesia, karenanya mengakibatkan tekanan yang lebih besar terhadap hak-hak sipil oleh militer. Pada masa inilah, menjelang Pemilu 1978 dan setelahnya, bermunculan “kata-kata besar” yang mirip dengan masa rejim sebelumnya: “pembangunan manusia seutuhnya”, dan semacamnya; sebagai upaya berkompetisi mencari posisi di dalam kekuasaan. Bahasa bernasib sama dengan di masa Orde lama, hanya saja pada masa Orde Lama “membesarnya bahasa” tidak saja terjangkit kepada masyarakat pelaku politik, melainkan bahkan ke sebagian besar masyarakat. Pada masa Orde Baru sebab semua elemen ideologi telah dimandulkan sehingga mengenali bahasa yang membesar itu lebih mudah datangnya yakni dihembuskan oleh lingkaran kekuasaan dan militer. Sementara itu, bahasa di luarnya cenderung mengalami pemungkretan, eufemisasi yang keterlaluan sehingga mengaburkan arti dan tujuan komunikasinya.

Pada kesusastraan, tekanan sosial politik terhadap masyarakat itu berimbas ke dalam ekspresi sastra, yang dalam pemakaian bahasa sebagaian mengalami pentabiran estetisme, bahkan dijadikan ideologi oleh sebagian sastrawan, sekalipun di sisi lain juga penuh dengan tawaran di dalam tiarap. Rute dominannya estetisme sebagai ideologi ini dapat dibaca sebab kesusastraan Indonesia bergantung kepada media massa di dalam sosialisasinya; padahal, media-massa di bawah kendali negara melalui Departemen Penerangan dengan berbagai kecemasan akan pencabutan SIT/SIUPP jika fakta tak diekspose sejalan dengan versi negara. Pada konteks inilah, sastra mengalami penyaringan oleh media-massa yang telah dihegemoni oleh negara. Karenanya, rute sosialisasi yang demikian tidak menampakkan sastra vis-a-vis terhadap negara. Upaya menyiasati seperti pernah dilakukan oleh Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) hanya sebatas gertakan merebut ruang publik, dan karenanya tidak substansial, selebihnya justru mengukuhkan hegemoni yang tanpa disadari kian memerosokkan estetisme.

Penawaran-penawaran akibat tekanan terhadap bahasa, dan imbas tekanan terhadap unsur kebudayaan lainnya itu di dalam kesusastraan (baca: puisi) dilakukan dengan munculnya beberapa gejala, yang dapat kita kenali sebagai berikut.

(1) “Sajak-sajak yang menyatakan” pikirannya sebagai respon langsung terhadap represi yang dialami oleh realitas sosial, dengan gaya dan sudut-pandang secara langsung, mempersoalkan, bahkan merumuskan problem sosial itu, yang berpusat kepada aku-lirik (juga, aku-publik, kerap mengidentifikasi dalam penokohan jika bentuk sajak berkisah atau balada) berhadapan langsung terhadap negara yang diposisikan sebagai penyebab dari tekanan mental dan jasmani yang dialami masyarakat.

Gaya dan sudut-pandang semacam ini merupakan penerusan dari perpuisian Taufiq Ismail dan Rendra di tahun 1960-an, bahkan sampai sekarang keduanya memposisikan demikian dalam bersastra, vis-a-vis terhadap negara. Dengan sudut-pandang demikian, setiap berkebudayaan masyarakat yang dipandang mengalami problem akibat spiral kekerasan yang muncul sebab salah-urus negara, maka akan dikritisinya, dari perihal pelacuran sampai perihal penggusuran tanah, dan bermacam lainnya. Taufiq Ismail mereferensikan pemikiran kritisnya itu kepada religiositas (Islam), Rendra kepada daya-hidup dan daulat-rakyat, dan Wiji Thukul kepada kaum proletar.

Tetapi, puisi jenis ini tidak banyak ditulis oleh sastrawan di saat menguatnya negara, jikapun ada maka kalah pamor dibanding Rendra dan Taufiq Ismail. Terkecuali Wiji Thukul yang membangun tradisi puitiknya sendiri, dengan memusatkan pengisahan problem sosialnya kepada aku-lirik, yang penokohannya sebagai prototipe buruh. Tetapi lebih dari itu, Thukul menyeruak dan dinilai ancaman sebab keterlibatannya pada organisasi sosial yang berlawanan dengan negara, yakni Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker) di bawah Partai Rakyat Demokratik (PRD). Di samping itu, setidaknya juga dalam puisi Sosiawan Leak, keduanya dari Solo. Barangkali secara sosiologis perlu dilakukan penelitian, mengapa beberapa penyair dari Solo dalam ekspresi seninya banyak yang mengambil gaya dan sudut-pandang demikian, setidaknya Rendra dan Slamet Sukirnanto yang berasal dari Solo, juga demikian. Hal ini mengingatkan kita, di Yogya di saat bergulirnya reformasi gelombang demonstrasi tidak berefek kepada kekacauan yang parah, tetapi Solo justru menjadi “lautan api”.

Jenis puisi serupa sekalipun dengan varian “puisi balsem” juga ditulis oleh KH.A. Mustofa Bisri, dengan sudut-pandang budaya santri, yang mengkritisi kekuasaan.

Tentu saja, sebab berhadapan langsung dengan negara, maka karya sastra jenis ini selalu mengalami penolakan mediamassa yang keberadaannya di bawah kontrol negara. Contohnya, sajak Rendra [36] yang mempersoalkan eksistensi Dewan Perwakilan Rakyat ini, mempresentasikan jenis “sajak yang menyatakan”:

Rakyat adalah sumber kedaulatan
kekuasaan tanpa rakyat
adalah benalu tanpa karisma
Rakyat adalah bumi
politik dan kebudayaan adalah udara
bumi tanpa udara
adalah bumi tanpa kehidupan
udara tanpa bumi
adalah angkasa hampa belaka
Wakil rakyat bukanlah abdi kekuasaan
Wakil rakyat adalah abdi para petani
para kuli, para nelayan
dan para pekerja
dari seluruh lapisan kehidupan
Wakil rakyat
adalah wakil dari sumber kehidupan

(2) “Sajak-sajak yang menampilkan” problem sosial, sembari melalui bahasa puisi “menyatakan” ide atau sikapnya atas problem itu, tanpa merumuskan persoalan sosialnya sebab alasan estetika, di segi lain sebab sengaja tiarap dari berhadapan langsung terhadap negara. Hampir semua penyair yang menonjol di Yogya, memilih jalur ini, tentu dengan varian dan kekhasan masing-masing.

Mathori A. Elwa (dalam buku puisi Yang Maha Syahwat) bertumpu pada “ingatan teologis”, dan justru melaluinya ia mencairkan kebekuan pandangan formalis religi, dan di sisi lain menyemprot kaum yang sok medernis yang mengikut saja arus modernisme. Basis teologis serupa itu justru perlu sebab dengan begitu, eksklusivitas pemaknaan religi oleh formalis, dalam sajak Mathori A. Elwa melalui strategi kebahasaan yang parodis, ironis, seringkali juga humor, menjadi dapat dicairkan.

Reportase yang Menakutkan, buku puisi Mustofa W. Hasyim ini memposisikan “aku” kepada psikologis yang sama dengan puisi Mathori A. Elwa, yakni psikologisnya orang kalah. Kejiwaan tertindas itu mendorong pencarian pegangan kepada spiritualisme-religi. Ia membangkitkan kisah-kisah tragis kemanusiaan sebagai “reportase-budaya”, dengan cara menyublimasi kekerasan sosial itu ke dalam sajak-berkisah. Namun, sebab atmosfer kultur yang ia hadirkan dunia wong cilik Jawa, karenanya dalam menghadapi ketakberdayaan nasib ia mendekati masalah dengan cara wong cilik Jawa pula, yaitu menertawai diri sendiri dalam kepahitan.

Buku puisi Celana karya Joko Pinurbo mempresentasikan komunikasi terhadap realitas sosialnya dengan memasuki secara langsung peristiwa sosial itu. Ia mengisahkannya tidak secara telanjang terhadap latar (set) dan peristiwa sebagaimana yang dilakukan Mustofa W. Hasyim. Narator membangun suasana, setting, peristiwa itu kepada visi person-nya. Dengan basis itu, Pinurbo berleluasa melakukan eksperimentasi ungkapan, imaji yang liar, bahasa keseharian, namun tidak kehilangan kelirisannya. Ia juga melakukan penjungkirbalikan perlambang setelah diskripsi kisah yang dibangunnya, di sinilah letak kesurealistisan puisi Pinurbo sehingga menimbulkan parodi-parodi, dan kita ngakak dibuatnya.

Tetapi, Nikah Ilalang buku puisi Dorothea Rosa Herliany tidak mengambil posisi mengisahkan peristiwa sosial itu agar pembaca “menikahi” kembali lewat tokoh-tokoh yang dibangunnya. Ia menyublimasi pengalaman sosial itu sebagai bagian yang samar, impresi, dari posisi “aku” yang dominan. Dengan begitu, peristiwa sosial yang memang tidak dominan di-wadag-kan di dalam sajaknya itu dipilihnya, yang semata memberi sugesti-sugesti dari hembusan “pernyataan” aku-lirik.

Perpuisian yang mengambil posisi estetik dan “ideologi” serupa itu di Yogya, selain penyair tersebut tentu yang perlu diperhatikan adalah Ibuku Laut Berkobar (1998) buku puisi Abidah el-Khalieqy [37], perempuan penyair yang telah menonjol sejak pertengahan 1980-an, di mana masa tekanan politik terhadap sastra masih berlangsung; juga, di dalam puisi Santosa Warna Atmadja. Sementara itu, hal sama juga dapat dicermati pada perpuisian penyair yang menyeruak pada dekade 1990-an tatkala kian kerasnya kooptasi negara seperti pada puisi Raudal Tanjung Banua. Tidak kalah asyik dari puisi Raudal, adalah puisi Asa Jatmiko dalam Pertarungan Hidup Mati (2000) sekalipun tak semua sajak di dalamnya dapat dikatakan berhasil. [38]

(3) “Sajak-sajak yang menampilkan” problem realitas sosialnya, hanya menampilkan, jikapun mencoba menyatakan ide-ide tentangnya, maka realitas sosialnya itu ditariknya ke tingkat pengalaman (yang amat) individual. Bahasa sajak dalam konteks ini tinggal memvisualisasikan realitas sosialnya.

Fenomena itu tampak sekalipun tidak menonjol pada puisi Ulfatin Ch., dengan ekspresi bahasa yang amat liris. Fenomena sosial itu ditariknya sebagai setting bagi representasi biografisnya (lihat, buku puisi Konser Sunyi; dan Selembar Daun Jati, 1999). [39] Hiruk-pikuk perubahan sosial dalam sajak Ulfatin Ch. tidak mempengaruhi aku-lirik sebagai bagian dari komunitas sosialnya, ia membiarkan dunia luar itu hanya sebatas sebagai panorama:

…….
Dan ketika aku kembali di musim lain
kudapatkan hutan itu telah ramai
menjadi kota
dan di antara daratan yang dibelah sungai
telah terbangun jembatan
aku tak tak lupa rumahku, tapi di mana

(”Di Musim Lain, Aku kembali”, Konser Sunyi, 1993) [40]

Yang menarik dari fenomena bahasa dalam sajak akibat metamorfosa bahasa dari bahasa massa yang mengalami eufemisasi akibat mengkeret-nya realitas yang dicerminkannya, ialah munculnya pencitraan yang bersifat surealisme, untuk mencitrakan realitas ke tingkat yang paling abstrak, semacam “melawan dengan cara lari”. Jika pada puisi Joko Pinurbo, realitas sosial itu masih dapat kita kenali peristiwanya, ia hanya melakukan penawaran di tingkat perlambang tatkala gagal di tingkat realitas keseharian, secara maknawi kegagalan itu dimenangkan pada tingkat makna sehingga itulah cara menghibur diri. Tetapi, pada perpuisian Hamdy Salad, gagalnya akibat benturan di tingkat realitas empiris itu, hanya divisualisasikan lagi ke dalam dunia puisi, tak pelak lagi maka puisi Hamdy sehiruk-pikuk, secemas, seberdarah gambaran realitas sosialnya, yang tercekik tetapi diam, yang beku tetapi histeris. Gila!

Perpuisian Hamdy Salad memilih jalur yang lebih jauh mengekspresikan keterjajahan bahasa dan masyarakat pemakainya, dengan mengeksplorasi pengucapan lirisismenya kepada bawah-sadar kemanusiaan, di mana atas-sadarnya tercerabut oleh kekuatan besar yang menghegemoni terhadapnya. Perpuisian Hamdy Salad mencitrakan pecahnya masyarakat dari paguyuban religiositasnya, sebagai gambarannya, ia gencar sekali merekonstruksi keterpecahan itu, antara dunia keseharian yang chaos, dipertautkan dengan dunia yang diidealkan dalam gambaran imaji, karenanya pecahan gambaran kemanusiaan itu hadir terus-menerus dalam sajaknya. Di antaranya, beberapa sajaknya yang dimuat Kompas, edisi suplemen “Bentara”, Jum’at, 7 April 2000. Sajak berikut sangat mewakili bagaimana Hamdy Salad mengalihkan realitas sosialnya ke dalam sajak, ia seperti ‘mengarak silsilah’ pencitraan, tanpa ingin menyatakan tanggapan, apalagi merumuskan persoalan.

Perkabungan di Laut Timor [41]

Burung-burung berkalung hampa
melipat bendera di laut Timor
anyir ombak berkejaran sepanjang musim
merangkai buih dalam perkabungan
ikan-ikan menggelembungkan rasa perih
mendorong bangkai ke tepi pantai
lambang sengketa dan pertikaian

Kapal-kapal berlayar dalam gelap
menebar dusta para perampok
badai dan topan saling bertandang
ke empat penjuru, darah langit membeku
mengurung duka di relung cakrawala
orang-orang putih bertubuh kaku
menabuh genderang di pelabuhan waktu
membangun barak dan kemah persekutuan
memperanakkan tahta dunia sebagai hantu

Segunduk pulau telah tenggelam
diremuk gelombang angin samudra
kain kafan berterbangan di udara fana
meninggalkan masa lampau dan kematian
dalam perang. Matahari mengambang!
rajah negeri terbakar amunisi
mengarak silsilah ke tebing perbatasan

7. Penutup

Pertanyaan yang kemudian kerap muncul dalam batin saya, bukan lantaran alasan pilihan estetika, melainkan ingin melihatnya secara sosiologis, mengapa perpuisian di Yogyakarta tidak pernah memposisikan vis-a-vis terhadap negara?

Pertanyaan tersebut bukan berarti bahwa bentuk seni dan sudut-pandang yang demikian sebagai hal yang lebih baik, tidak. Sebaliknya, juga bukan berarti jelek sebab pada kenyataannya banyak karya sastra besar yang dengan kemampuan kesastraannya memposisikan vis-a-vis terhadap kekuasaan. Pada hakikatnya, dengan mengutip Faruk [42] yang mirip dengan pendapat Kuntowijoyo [43] tentang demokrasi kebudayaan bahwa ekspresi dan sudut-pandang kebudayaan (juga kesusastraan) senantiasa partikuler, dan karenanya khas, dan karenanya pula, misalnya selalu memandang pembunuhan adalah pembunuhan, tanpa memandang alasan yang melatarinya, apakah itu demi kesucian negara atau tetek-bengek lain. Tetap saja, pembunuhan adalah membunuh sebab hal itu merupakan pengingkaran terhadap kemanusiaan universal, hal yang menjadi substansi keagungan karya sastra.

Jika demikian, berhadapan langsung atau tidaknya terhadap tekanan kekuasaan atas kemanusiaan, bukan itu yang paling penting dalam mengambil sudut-pandang dan bentuk seni, melainkan sejauh mana substansi sastra mampu mengembalikan kehidupan manusia kepada kemerdekaan dari jajahan kultural dan kekuasaan, yakni dengan jalan mengembalikannya kepada Diri-nya sendiri. Dengan begitu, kesusastraan akan selalu dekat dan menjadi bagian terpenting tatkala manusia membangun citra kemanusiaannya.

2000, revisi

[1] “Budaya tanding” merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Emha Ainun Nadjib untuk mengimbangi kooptasi dan dominasi yang dilakukan oleh negara. Lihat dalam, Terus Mencoba Budaya Tanding (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).
[2] Iman Budi Santosa, Dunia Semata Wayang (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 1996).
[3] Ibid., Matahari-matahari Kecil (Jakarta:Grasindo, 2004).
[4] Sitor Situmorang, “Lagu Gadis Itali”, Dalam Sajak, dalam Bunga di Atas Batu (Jakarta: Gramedia, 1989), hal. 62.
[5] Linus Suryadi A.G., Pengakuan Pariyem (Jakarta: Sinar Harapan, 1981).
[6] Ibid., Tirta Kamandanu (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 1997).
[7] Emha Ainun Nadjib, 99 untuk Tuhanku (Bandung: Penerbit Pustaka, Perpustakaan Salman ITB, 1983).
[8] Dewan Kesenian Jakarta, Forum Puisi Indonesia 1987 ( Jakarta: DKJ, 1987).
[9] Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme (Yogkarta: Pustaka Pelajar, Cet.II, 1999), hal. 12.
[10] Mathori A. Elwa, Yang Maha Syahwat (Yogyakarta: Penerbit LkiS, 1997), hal. 107.
[11] Adi Wicaksono, “Puisi, Surga, dan Kota, dalam Histeria Kritik Sastra (Yogyakarta: Bentang, 1996), hal. 76.
[12] Mathori A. Elwa, Yang Maha Syahwat, hal. 11.
[13] Ibid., hal. 63.
[14] Ibid., hal. 135-141.
[15] Sutardji Calzoum Bachri, O Amuk Kapak (Jakarta: Sinar Harapan, 1981).
[16] Mustofa W. Hasyim, Reportase yang Menakutkan (Yogyakarta: Bentang, 1992).
[17] Ibid., sajak “Buruh yang Amat Sabar”, hal. 13.
[18] Teks tersebut merupakan Surat Perjanjian Kontrak Kerja sebagai Dosen Tetap di sebuah Perguruan Tinggi di Purwokerto. Sengaja nama Perguruan Tinggi tersebut tidak disebutkan dengan eksplisit demi etika jurnalistik.
[19] Mustofa W. Hasyim, sajak “Reportase yang Menakutkan”, dan Reportase…, hal. 7.
[20] Ibid., hal.9.
[21] Mustofa W. Hasyim, Zaman yang Beracun (Yogyakarta: Manuskrip, TT.).
[22] Joko Pinurbo, Celana (Magelang: Indonesia Terra, 1999).
[23] Ibid., sajak “Kisah Seorang Nyumin”, hal.4.
[24] Ibid., sajak “Malam Pembredelan”, hal. 8.
[25] Ibid., sajak “Patroli”, hal. 64.
[26] Ibid., sajak “Kisah Semalam”, hal. 10.
[27] Afrizal Malna, Sajak”Dada”, dalam Abad yang Berlari (Jakarta:TP, 1984).
[28] Joko Pinurbo, sajak “Patroli”, hal. 64.
[29] Ibid., hal. 30.
[30] Dorothea Rosa Herliany, Nikah Ilalang (Yogyakarta: Pustaka Nusatama, 1995).
[31] Ibid., sajak “Nikah Perkampungan”.
[32] Afrizal Malna, “Kata Penutup” dalam Nikah Ilalang, Ibid.
[33] Dorothea Rosa Herliany, sajak “Lagu Asing dari Desa”, Ibid.
[34] Ibid., sajak “Aku Diam di Halte”.
[35] Ibid.
[36] Rendra, sajak “Rakyat adalah Sumber Kedaulatan”, dalam Aceh Mendesah dalam Nafasku, Ed. Abdul Wachid B.S. et.al. (Banda Aceh: Kasuha, 1999), hal. 4.
[37] Abidah el-Khalieqy, Ibuku Laut Berkobar (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998).
[38] Asa Jatmiko, Pertarungan Hidup Mati (Yogyakarta: Yayasan Cempaka Kencana, 2000).
[39] Ulfatin Ch., Selembar Daun Jati (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999).
[40] Ulfatin Ch., sajak ”Di Musim Lain, Aku kembali”, dalam Konser Sunyi (Surakarta: Taman Budaya Surakarta, 1993).
[41] Hamdy Salad, sajak “Perkabungan di Laut Timor”, Kompas, edisi suplemen “Bentara”, Jum’at, 7 April 2000.
[42] Faruk, “Kejahatan Terbesar adalah Kebaikan”, dalam Aceh Mendesah dalam Nafasku (Banda Aceh: Kasuha, 1999), hal. ii-ix.
[43] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung : Mizan, 1997), hal. 149.

*) Alumnus S2 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dosen STAIN Purwokerto.

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi