Senin, 04 Mei 2009

Nasionalisme Sastra Pinggiran

Damhuri Muhammad
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/

Politik kolonial jelas membias dalam geliat pertumbuhan sastra Indonesia. Gejala ini tampak kentara, sejak berdirinya Balai Pustaka (1918) sebagai lembaga penerbitan Belanda yang bukan saja “memperalat” sastra, tapi juga “mengendalikan” gerak-geriknya agar tak menjadi ancaman laten.

DA. Rinkes (direktur pertama Balai Pustaka) seperti dikutip Maman S. Mahayana (2001), mencatat tiga kriteria yang digunakan Balai Pustaka dalam menyensor naskah-naskah yang akan diterbitkan, yaitu tidak antikolonial, tidak menyinggung perasaan dan etika golongan tertentu, dan tidak menyinggung perasaan agama tertentu. Akibatnya, lahirlah sastra elitis, tak menyinggung masalah perbedaan etnis dan yang paling muntlak adalah terlarang mengembuskan semangat kebangsaan.

Pemerintah kolonial tak henti-henti berupaya membendung pengaruh bacaan non-Balai Pustaka. Diusungnya sejumlah istilah peyoratif yang meminggirkan proses kreatif para pengarang di luar pagar Balai Pustaka. Karya-karya mereka diklaim sebagai “bacaan liar”, berbahaya, dan menyesatkan.

Sentimentalisme D. A. Rinkes (1923) menyebut mereka “saudagar kitab jang kurang sutji hatinja.” Untuk menyediakan bacaan sastra (yang “tidak liar”) bagi bumi putera, pada 1918, Balai Pustaka menerbitkan Tjerita Si Djamin dan Si Djohan (saduran dari Jan Smees karya J. Van Maurik). Dua tahun kemudian, terbitlah roman Azab dan Sengsara (1920), karya Merari Siregar, disusul Siti Nurbaja (1922) karya Marah Rusli.

Tetapi, “bacaan-bacaan liar” justru makin liar menyuarakan etos perlawanan terhadap Belanda. Buah karya para pengarang yang “membangkang” itu serupa api dalam sekam, yang di permukaan panasnya tak terasa, tapi di kedalaman timbunan sekam, gejolaknya tiada kunjung padam.

Ironisnya, sejarah sastra kita tidak mencatat gejolak perlawanan itu (dalam batas-batas tertentu ada kesengajaan untuk menghapus jejaknya). Padahal, sepak terjang sastra pinggiran ini berperan penting dalam membangun kesadaran kebangsaan paling awal. Jangan-jangan keterceceran ini juga bagian dari kepentingan tertentu untuk mengukuhkan bahwa sejarah sastra Indonesia modern lahir sejak Balai Pustaka tegak berdiri?

Siswa-siswa sekolah dewasa ini merasa asing dengan teks-teks sastra karya para pengarang pribumi seperti Hikajat Siti Mariah (1912 ) karya Haji Moekti, Njai Permana (1912) karya RM. Tirto Adhi Soerjo, Hikajat Kadiroen (1924) karya Semaoen, dan Studen Hidjo (1919) karya M. M. Kartodikromo. Begitu juga karya-karya pengarang Tionghoa peranakan, seperti Oey Se (1903) karya Thio Tjien Boen, Lo Fen Koei (1903) karya Gouw Peng Liang, Tjerita si Riboet (1917) karya Tam Boen Kim, Nyai Marsina (1923) karya Numa, Boenga Roos Dari Tjikembang (1927) karya Kweek Tek Hoaij, Itu Bidadari dari Rawa Pening (1929) karya Madame d`Eden Lovely, dan Njai Isah (1931) karya Sie Liplap.

Roman Njai Permana berkisah perihal seorang mantri polisi berwatak serakah. Menghalalkan segala tipu muslihat untuk menguasai kepemilikan tanah pada saat rakyat sedang terpuruk dalam kemiskinan dan ancaman kelaparan. Sementara itu, Hikajat Kadiroen menceritakan seorang pegawai negeri (Tjitro) yang semula mengabdi pada pemerintah Belanda, lalu berhenti dari pekerjaannya dan bergabung dalam aktivitas politik sebagai bentuk perlawanan. Semaoen menunjukkan bagaimana persinggungan dengan realitas objektif menjadi awal dari kesadaran kritis di kalangan menengah terpelajar (Agus Hernawan, 2004).

Hasrat melawan “bacaan-bacaan liar” berbeda dengan produk-produk Balai Pustaka yang mengawal para pengarangnya agar tidak kebablasan memperlihatkan watak kekuasaan kolonial. Maka, yang terbaca adalah sikap apatis dan pasrah pada nasib. Dalam banyak roman, yang tergambar hanyalah perwatakan hitam dan putih, “kebaikan” selalu mengalahkan “kejahatan”. Tetapi, yang “baik” itu selalu tokoh kolonial atau setidaknya prokolonial. Watak kolonial dicitrakan sebagai orang sabar dan bijak, sementara yang “jahat” selalu pribumi seperti Datuk Maringgih (tokoh zalim, tidak taat pajak, dan membangkang) dalam Siti Nurbaja.

Selain pencitraan yang merendahkan sastra non-Balai Pustaka, pemerintah kolonial juga memarginalkan peranan bahasa Melayu sebagai media ekspresi sastra perlawanan dengan pemisahan dikotomik antara Melayu Tinggi dan Melayu Rendah (Melayu Pasar). Bahasa Melayu tinggi adalah bahasa Melayu baku yang dikembangkan oleh guru-guru Melayu, utamanya yang bekerja di Balai Pustaka. Ditegaskan bahwa bahasa Melayu Tinggi (Melayu Balai Pustaka) inilah yang kemudian menjadi asal Bahasa Indonesia (A. Teeuw, 1972).

Sementara bahasa Melayu Pasar adalah bahasa yang berkembang di kalangan rakyat dan penerbitan swasta milik orang-orang Tionghoa peranakan (Hindia Bergerak, Sinar Hindia, Oetoesan Hindia, dan Persatoean Hindia) dan Indo Eropa sebagai “bukan bahasa” dan tidak patut digunakan (Hilmal Farid, 1996).

Pola pemisahan ini bertolak belakang dengan egalitarianisme dan inklusivisme bahasa Melayu. Di sini, lagi-lagi ada agenda tersembunyi yang hendak dilakukan pemerintah kolonial (melalui Balai Pustaka). Mereka memperlakukan bahasa Melayu dalam jenjang hierarkis, kasta-kasta, dan derajat bertingkat-tingkat.

Perumusan tata bahasa Melayu Tinggi yang dipelopori C.A Van Ophuijsen telah menempatkan peradaban tanah jajahan dalam tata pandang universalitas Barat (Ariel Heryanto, 1989). Ada gelagat hendak menguasai bahasa untuk memperkokoh dominasi dan kekuatan. “Language is also a medium of domination and power,” kata Jurgen Habermas (1967).

Geliat sastra pinggiran ini juga dilatarbelakangi oleh corak karya sastra pengarang-pengarang Belanda yang menggambarkan masyarakat pribumi dalam image yang berderajat rendah (malas, bodoh, dan kampungan). Salah satunya terlihat pada kejelian G. Francis dalam Njai Dasima, seperti dicatat Saifur Rohman (2002). Nyai Dasima adalah gundik Edward (Belanda totok). Kebahagiaan mereka terusik oleh seorang pribumi berstatus kiai. Diceritakan, kiai itu berhasil membujuk Nyai Dasima agar memeluk Islam. Dengan piawai, pengarang menuturkan bahwa seorang Muslimah tidak boleh bersuami orang Belanda. Maka, Nyai Dasima harus melepaskan diri dari Edward. Tetapi, kiai yang kemudian menikahi Nyai Dasima (setelah lari dari Edward) ternyata berniat jahat, ingin menguasai harta Nyai Dasima. Setelah jatuh miskin, Nyai Dasima dibunuh, mayatnya dibuang ke sungai yang mengalir sampai ke belakang rumah Edward. Edward menemukan mayat Nyai Dasima yang sudah membusuk. Pribumi digambarkan secara berjarak oleh pengarang sebagai pembohong, licik, dan penipu.

Berangkat dari model penggambaran distortif ini, para pengarang pribumi (juga pengarang Tionghoa peranakan) membangun budaya tanding untuk mengembalikan dan menempatkan etos masyarakat terjajah pada maqom yang lebih bermartabat. Di titik ini, sastra dilawan dan dipatahkan dengan sastra pula. Amat disayangkan, geliat sastra pinggiran sebagai “juru bicara zaman” di saat keadaban bumi putera sedang terimpit di bawah hegemoni kolonial dilupakan dalam sejarah sastra kita? Menghapus jejak sastra pinggiran sama saja dengan mengakui bahwa sastra Indonesia bermula sejak berdirinya Balai Pustaka yang berwatak kolonial itu. ***

1 komentar:

Goesta Agoestina Tika mengatakan...

Slam knal, sya izn mngutip artikel Anda to tmbahan tgs mkalah sya.
trmksih byk..

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi