Senin, 04 Mei 2009

Paradigma Antologi Sastra

Binhad Nurrohmat
http://www.sinarharapan.co.id/

Bila ada seorang sastrawan Indonesia secara eksplisit menampakkan sikap kekecewaan lewat cara berburuk sangka atau marah-marah gara-gara karya sastranya tak masuk sebuah antologi sastra sebenarnya itu kecenderungan lama yang sudah berulang kali terjadi dan menjangkiti nyaris setiap antologi sastra kita. Kekecewaan semacam itu cenderung juga akan memancing tanggapan ”baik-baik maupun emosional.”

Penyusun antologi sastra dan sastrawan biasanya sama-sama saling bersikukuh dengan sikap dan pendapat masing-masing. Penyusun antologi sastra tak mau mengalah begitu saja, sedangkan sastrawan sulit bersikap bijaksana menghadapi kenyataan karyanya tak masuk antologi sastra. Urusan terus bersambung dan melebar.

Kecenderungan itu biasanya menyimpan endapan kepentingan pribadi yang menonjol, lebih mengandalkan dukungan argumentasi retoris ketimbang argumentasi analitis dan bahkan acap berlanjut terkesan naïf kekanakan ”meremehkan” antologi sastra. Intinya, kekecewaan itu lebih banyak yang tak mengerti latar ihwal dan telah khilaf memahami paradigma antologi sastra yang sebenarnya: pemetaan ”capaian-capaian puncak mainstream sastra” pada masa tertentu berdasarkan capaian estetik maupun tematik, sesuai ketetapan kriteria yang telah dipilih penyusunnya.

Sekadar contoh, sebuah antologi puisi memasukkan puisi Taufik Ismail dan WS Rendra dan tak memasukkan puisi Si Polan yang konon banyak menulis puisi cinta yang bertahun-tahun hanya mengeram di laci meja tulisnya, juga tanpa puisi Sitok Srengenge maupun puisi Jamal D Rahman. Antologi puisi ini ”sah” dan memenuhi kategori antologi puisi yang baik bila pilihan kriterianya, misal, berdasarkan capaian puncak mainstream puisi tema protes atau kritik sosial pasca-kemerdekaan Indonesia sampai sebelum rezim Soeharto lengser.

Konsekuensi praksis yang tak bisa dihindari dari paradigma antologi sastra adalah tak semua nama sastrawan dan karyanya bisa masuk antologi sastra. Antologi sastra memetakan prestasi puncak dan bukan koleksi selengkapnya nama sastrawan dan karyanya. Penyair tahun 40-an bukan hanya Chairil Anwar. Novelis tahun 30-an bukan hanya Armijn Pane. Penyair tahun 70-an bukan hanya Sutardji Calzoum Bachri. Tapi, Chairil adalah pencapai puncak mainstream estetik maupun tematik puisi yang ”mewakili” para penyair lain semasanya. Demikian halnya Armijn Pane dan Sutardji yang menjadi ”wakil” masanya masing-masing.

Kerja penyusun antologi sastra tak bisa dianalogikan sebagai kerja tukang sensus yang wajib mencatat nama-nama sastrawan dan karyanya selengkap-lengkapnya. Antologi sastra yang baik bukan kumpulan dokumentasi nama sastrawan dan karyanya selengkap-lengkapnya. Sebuah antologi sastra yang baik selain harus memiliki paradigma juga harus menetapkan seperangkat kriterianya sendiri yang setepat dan serepresentatif mungkin dan diterapkan oleh penyusun antologi sastra secara ketat dan akurat. Kriteria antologi sastra bisa sangat beragam sesuai ketetapan penyusun meskipun paradigmanya tak berbeda.

***
Publik sastra kita masih bisa mengenang dengan baik polemik antologi puisi Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 1996) dan Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Korrie Layun Rampan, 2000). Antologi-antologi yang lain sejenis ini juga tak bisa mutlak mengelak dari cecaran ekspresi kekecewaan yang datang ”hanya” dari komunitas sastrawan sendiri. Banyak penyusun antologi sastra terpaksa mengalami semacam paranoid: tegang duluan sebelum menerbitkan antologi sastra sebab telah menduga bakal muncul kekecewaan beberapa sastrawan. Kitab Horison Sastra Indonesia (Horison, 2002) pun terpaksa harus menghadapi hal demikian.

Mengapa nyaris selalu ada sastrawan yang eksplisit menampakkan sikap kecewanya tiap kali terbit antologi sastra dan acap melantur-lanturkannya kemudian membesar dan meruncing menjadi polemik hiruk-pikuk? Sastrawan kita mungkin mengidap pemahaman bahwa nama sastrawan dan karyanya yang masuk antologi sastra adalah wujud pengakuan yang signifikan dunia sastra terhadap kesastrawanan dan karyanya, sehingga ketika karya seorang sastrawan tak masuk sebuah antologi sastra akan menilai eksistensi kesastrawanannya tak diakui dunia sastra. Sastrawan merasa disikapi tak adil oleh dunia sastra bila karyanya tak masuk antologi sastra dan eksistensi kesastrawanannya terusik.

Latar psikologis ini akan memeram banyak potensi kekecewaan yang tak mudah untuk dipahamkan dan bisa lega menerima kenyataan. Barangkali juga latar persoalan bukan hanya kekecewaan atau ”keterusikan eksistensial” itu, kepentingan tertentu maupun aspirasi sejarah juga bisa potensial menjadi latar lain pemicunya.

Sikap pro-kontra yang menyertai polemik antologi sastra acap menciptakan front-front yang saling bersitegang pendapat dan menyulut perbalahan yang tak singkat dengan melibatkan banyak pihak. Toh buku antologi sastra masih terus diterbitkan meski ancaman polemik tampak tak kunjung padam juga dan (seperti biasanya) selalu tanpa melahirkan solusi mencerahkan atau pengertian yang bijak. Seolah-olah polemik seputar antologi sastra selama ini hanya menciptakan arena ”konflik wacana” yang sebenarnya banyak memubazirkan energi pikiran dan waktu banyak penulis maupun pembacanya dan jelas miskin manfaat.

Kita tak asing dengan antologi artikel sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, psikologi maupun demokrasi. Antologi-antologi artikel non-sastra ini nyaris tak memunculkan kekecewaan yang eksplisit dari para penulis yang artikelnya tak masuk di dalamnya. Antologi sejenis ini banyak sekali diterbitkan dan mendapat sambutan positif publik ditandai oleh antusiasme apresiasi dan diserap pasar pembaca. Alat ukur sambutan positif itu bisa berupa resensi yang semarak di media massa maupun diskusi dan banyak antologi sejenis ini yang mengalami cetak ulang secara signifikan.

Barangkali ”keikhlasan menulis” seorang penulis artikel politik membuat penulis tak perlu harus ”kebakaran jenggot” ketika karyanya tak masuk sebuah antologi artikel politik. Penulis artikel politik itu bekerja bukan untuk menjadi ”hero” melainkan ekspresi aspirasi pribadinya pada dunia politik. Sikap dewasa demikian tampak tak dimiliki beberapa sastrawan kita.

Mengapa antologi sastra sering disikapi dan bernasib buruk tak sebagaimana antologi tulisan non-sastra? Selain disebabkan sinyalemen ”keikhlasan” yang meragukan itu, juga piciknya rasa ”tahu diri” beberapa sastrawan terhadap posisi kesastrawanan dan karyanya dalam peta capaian-capaian mainstream estetika sastra di masanya. Dua hal ini membuat beberapa sastrawan yang karyanya tak masuk antologi sastra bersikap tak dewasa.

Dalam ungkapan yang lain sastrawan mestinya tak usah kecewa karyanya tak masuk antologi sastra; tugas utama sastrawan menulis dan menulis sebaik-baiknya. Bila karyanya baik sejarah akan merawatnya dan mengenang kesastrawanannya. Sejarah selalu mengajukan, membela dan menguji kembali bukti-bukti yang telah ada. Kekecewaan sastrawan hanya karena karyanya tak masuk antologi sastra adalah indikator lemahnya kepercayaan diri sastrawan terhadap diri dan karyanya sendiri disebabkan terlanjur menganggap bahwa waktu yang semasanya adalah satu-satunya penentu ukuran nilai karyanya, penentu sejarah karyanya.

Apresiasi yang buruk apalagi sinisme yang muncul dari dalam komunitas sastrawan terhadap antologi sastra akan melongsorkan citranya sehingga publik tak memiliki gambaran yang ”menjanjikan” dan positif dan efeknya akan mengasingkan antologi sastra dan seisinya dari daftar agenda perhatian publik luas.

Polemik seputar antologi sastra barangkali sebuah fakta yang bisa dijadikan indikator signifikan antologi sastra masih dianggap penting dalam dunia sastra kita. Anggapan itu tak keliru. Sebab artefak karya sastra itu teks, tulisan, sehingga buku dan alternatif medium yang sefungsi lainnya jadi penting dan representatif.

Kini sastrawan dan penyusun antologi sastra sangat penting untuk memahami paradigma antologi sastra maupun pada pilihan kriteria penyusunnya. Penerapan pemahaman ini akan menghasilkan antologi sastra yang representatif serta dapat dipertanggungjawabkan dan bisa ”menepis” kemungkinan muncul kekecewaan dari luar maupun dari dalam komunitas sastrawan sendiri.***

*) Penulis adalah penyair

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi