Riadi Ngasiran*
http://dutamasyarakat.com/
Karya sastra yang berkualitas tak harus sesuai dengan selera pasar. Karya yang sesuai dengan kaidah kesusastraraan, yang memperkaya peradaban, belum tentu diminati oleh pihak penerbit profesional karena tak banyak menarik keuntungan. Bila ditilik dari sisi kuantitas karya-karya Pramoedya Ananta Toer tak seberapa memperoleh pasar dibanding dengan karya-karya populer yang diminati oleh pasar dan digandrungi para pembaca. Tapi, bila ia emas tidaklah berubah jadi loyang demikian pula sebaliknya.
Ada pengakuan yang patut dicatat dari Ahmad Tohari, sastrawan Ronggeng Dukuh Paruk ketika ditunjuk sebagai juru Lomba Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2006. Sebenarnya yang diunggulkannya bukanlah yang kebetulan menjadi juara I, melainkan karya yang lain, berjudul Buku tanpa Kisah. Naskah ini berkisah seputar pesantren, tentang pendobrakan dinding pesantren. Tapi, akhirnya dewan juri memutuskan Hubbu karya Mashuri, lantaran dinilai sangat utuh dan padu ceritannya: berkisah tentang perjalanan seorang pemuda desa biasa menuju suatu ruang yang sangat jauh di sana, jauh dari tradisi keluarganya, jauh dari pesantren.
Mashuri adalah jebolan dua Pondok Pesantren yakni Pesantren Salafiyah Wanar dan Pesantren Tasisut Taqwa, keduanya berada di Lamongan. Dari sudut pandang seorang santri-Jawa inilah ia mengeksplorasi imajinasinya.
Kisah Hubbu diawali ketika Jarot, seorang mahasiswa Universitas Airlangga Surabaya, menemukan istilah yang pernah ia dengar dengan segenap perasaan, yang ingin dikuburnya jauh di lubuk dada: Sastra Gendra. Ungkapan itu mampu menyeretnya dari waktu kekinian, mengingatkannya pada masa kecilnya di desa Alas Abang dengan latar belakang budaya santri nan kental.
Ia teringat masa lalunya di lingkungan keluarga, juga di lingkungan pesantren yang telah menempa dirinya dengan segala renik uniknya. Ia teringat harapan keluarganya, agar dia meneruskan pesantren warisan leluhurnya di Alas Abang, meski ia memilih jalan sendiri: memberontak pada tradisi keluarga.
Sebagai puncak pemberontakan-nya, ia belajar di perguruan tinggi umum.
Begitu simpul tali kenangan itu tersentuh, walau ia sudah jauh dari Alas Abang, semua kenangan dan ingatannya seakan-akan terbuka, tumpah-ruah, termasuk kisah-kisah sedihnya saat menapaki masa-masa remaja di kampung halaman. Ia teringat rajutan kisah-kasihnya. Di antaranya kepada Istiqomah, seorang santri perempuan. Memang, semasa di pesantren, ia juga merajut kasih dengan gadis pujaannya itu, dengan model pacaran khas pesantren.
Istiqomah sering disebut Jarot dengan sapaan Priangan si Jelita.
Demikianlah, Jarot menjadi salah seorang di antara sekian juta mahasiswa yang turun ke jalan untuk berteriak: Turunkan Suharto! Sayang, seiring dengan tergulingnya penguasa Orde Baru itu, ternyata terguling pula dunia ideal Jarot. Ia merasa menjadi manusia paling nista di dunia; ia merasa tak lagi bisa mempertahankan nilai-nilai yang ia perjuangkan selama ini, juga masalah tabu seks yang seharusnya ia hindari. Ia terjerat affair cinta dengan Agnes, seorang gadis cantik, bermasalah, dan masih tetangga rumah kontrakannya.
Hubungan asmara mereka sampai pada taraf intim: seks pranikah. Sebagai seorang yang memiliki latar belakang santri dari keluarga terhormat, Jarot pun merasa sangat berdosa setelah melakukan perbuatan terkutuk itu. Pada titik inilah, Jarot benar-benar merasa dirinya identik dengan Begawan Wisrawa, meski sebelumnya ia juga merasa identik dengan tokoh wayang itu.
Begawan Wisrawa merupakan tokoh wayang yang tergelincir ke lembah nista, padahal awalnya ia ingin mengajarkan sebuah pengetahuan suci. Perlu diketahui, sebelum Jarot terjerat cinta dan tidur dengan Agnes, sebenarnya Jarot ingin mengembalikan orientasi rasa ketuhanan Agnes yang goyah.
Pada akhirnya Jarot pun bertindak ekstrim: ia memenggal kehidupannya dengan masa lalu, baik terhadap Surabaya maupun Alas Abang. Ia minggat ke Ambon bersama Agnes, sebagai satu ikrar penebusan dosa. Ia ingin memulai hidup baru, dengan beban keterpurukan jiwa yang hebat. Di Ambon pun ternyata banyak hal yang membuatnya sadar sekaligus tertampar. Apalagi ada peristiwa yang seakan-akan kembali menasbihkan kesalahannya: Agnes meninggal setelah melahirkan seorang bayi perempuan, yang ia beri nama Sonya. Ia lalu menikah dengan Zulaikha, berputeri satu. Ia beri nama Aida.
Semua episode sekitar masa kejatuhan masa muda Jarot itu dikuak oleh Aida, yang diharapkan Jarot bisa menjadi penyuci noda terhadap kesalahan dirinya sebagai orang tua di masa silam. Dengan jiwa muda dan jiwa zaman yang berbeda, tahun 2040, Aida menelusuri masa lalu dan obsesi ayahnya.
Aida pergi ke Surabaya untuk bertemu dengan Teguh sahabat Jarot, juga ke kampung Alas Abang guna bertemu dengan keluarga sang ayah yang sudah lama dilupakan, serta sama sekali tak dikenal Aida. Aida menemukan jawab berbagai rahasia yang dipendam ayahnya, termasuk obsesi agung pada masa muda Jarot.
Begitulah, pencarian eksistensi seorang santri. Setidaknya, kesadaran akan dirinya menjadi jendela untuk mengenal eksistensi dan kesadaran akan kekuatan di luar dirinya. Itulah orientasi Ketuhanan yang diangkat seorang penulis. Adakah hal itu merupakan bagian dari unsur biografis penulisnya? Sebagai pembaca, kita cuma bisa menduga-duga. Dan kita pun kerap diingatkan akan pandangan Barthesian: intepretasi naskah semau kita, anggap penulis sudah mati. Tapi, saya masih percaya ada unsur kosmologis seorang kreator: memberikan pantulan hidupnya dalam berkarya seni, baik pandangan hidup atau ideologisnya.
Kemunculan beragam karya sastra dengan latar kehidupan pesantren atau yang kemudian disebut sastra pesantren dalam khazanah sastra di Indonesia dewasa ini merupakan fenomena baru yang unik. Kemunculannya yang selanjutnya diikuti lahirnya penulis-penulis sastra dari kalangan remaja pesantren dinilai sebagai akhir dari keterasingan pesantren terhadap kehidupan perkotaan.
Kini lebih banyak lahir penulis-penulis sastra dari kalangan santri. Kita berharap, hal itu merupakan tanda berakhirnya alienasi, keterasingan, dunia pesantren terhadap kota. Memang, dalam sejarahnya, keberadaan pesantren di Indonesia muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan. Komunitas pesantren membuka ruang perlawanan terhadap pemerintah kolonial yang berbasis di kota dengan menciptakan banyak tradisi kebudayaan yang berbeda, termasuk dalam kesenian; sastra, musik, seni rupa, seni peran, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, pesantren selalu mengambil posisi berlawanan dengan tradisi dan kebudayaan perkotaan yang dibawa kaum kolonial (kaum penjajah) Belanda pakai celana, santri pakai sarung. Belanda pakai dasi, santri pakai peci. Belanda membaca sastra roman, santri membaca nadhoman. Belanda memainkan musik jazz atau blues, santri memainkan musik gambus atau kasidah. Belanda hidup di kota, santri di desa. Begitu seterusnya. Semuanya dalam posisi berlawanan.
Oleh karenanya, munculnya penulis-penulis remaja dari pesantren yang baru terjadi dewasa ini merupakan warna tersendiri dalam dunia sastra di Tanah Air dan patut diapresiasi. Sastra tidak lagi terbagi pada sastra serius, sastra populer, dan lain-lain. Tapi juga ada sastra pesantren, katanya.
Di era 1960-an sempat muncul nama Jamil Suherman, novelis dari kalangan santri, karyanya mengambil setting pesantren. Namun, hal itu tidak menggejala dan seolah menjadi tren baru dalam dunia sastra seperti sekarang ini.
Sisi lain fenomena baru tersebut, generasi muda saat ini punya tambahan referensi bacaan sastra yang lebih memiliki semangat muda. Sastra pesantren juga berjasa dalam mengenal dunia pesantren kepada masyarakat luas. Dengan demikian, hal itu juga akan membantu merubah pandangan buruk orang luar terhadap pesantren yang belakangan dinilai sebagai sarang teroris.
Bagi sebagian orang, kehidupan pesantren merupakan kehidupan tertutup yang sulit dipahami. Banyak di antara mereka yang memiliki stigma negatif tentang pesantren. Novel tentang pesantren ini sedikit banyak bisa bercerita kepada masyarakat luas apa dan bagaimana hidup di pesantren dengan segala ritual dan tradisinya.
Perilaku santri bandel, selalu bikin ulah, anak kota yang masuk pesantren yang sok mengglobal tapi tak beretika dan pecandu narkoba dihadapkan dengan kehidupan santri yang selalu guyub dan menjaga nilai-nilai agama merupakan kisah nyata yang dituliskan kembali oleh tangan-tangan kreatif santri.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar