Selasa, 05 Januari 2010

Kosmologi Santri dalam Kisah

Riadi Ngasiran*
http://dutamasyarakat.com/

Karya sastra yang berkualitas tak harus sesuai dengan selera pasar. Karya yang sesuai dengan kaidah kesusastraraan, yang memperkaya peradaban, belum tentu diminati oleh pihak penerbit profesional karena tak banyak menarik keuntungan. Bila ditilik dari sisi kuantitas karya-karya Pramoedya Ananta Toer tak seberapa memperoleh pasar dibanding dengan karya-karya populer yang diminati oleh pasar dan digandrungi para pembaca. Tapi, bila ia emas tidaklah berubah jadi loyang demikian pula sebaliknya.

Ada pengakuan yang patut dicatat dari Ahmad Tohari, sastrawan Ronggeng Dukuh Paruk ketika ditunjuk sebagai juru Lomba Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2006. Sebenarnya yang diunggulkannya bukanlah yang kebetulan menjadi juara I, melainkan karya yang lain, berjudul Buku tanpa Kisah. Naskah ini berkisah seputar pesantren, tentang pendobrakan dinding pesantren. Tapi, akhirnya dewan juri memutuskan Hubbu karya Mashuri, lantaran dinilai sangat utuh dan padu ceritannya: berkisah tentang perjalanan seorang pemuda desa biasa menuju suatu ruang yang sangat jauh di sana, jauh dari tradisi keluarganya, jauh dari pesantren.

Mashuri adalah jebolan dua Pondok Pesantren yakni Pesantren Salafiyah Wanar dan Pesantren Tasisut Taqwa, keduanya berada di Lamongan. Dari sudut pandang seorang santri-Jawa inilah ia mengeksplorasi imajinasinya.

Kisah Hubbu diawali ketika Jarot, seorang mahasiswa Universitas Airlangga Surabaya, menemukan istilah yang pernah ia dengar dengan segenap perasaan, yang ingin dikuburnya jauh di lubuk dada: Sastra Gendra. Ungkapan itu mampu menyeretnya dari waktu kekinian, mengingatkannya pada masa kecilnya di desa Alas Abang dengan latar belakang budaya santri nan kental.

Ia teringat masa lalunya di lingkungan keluarga, juga di lingkungan pesantren yang telah menempa dirinya dengan segala renik uniknya. Ia teringat harapan keluarganya, agar dia meneruskan pesantren warisan leluhurnya di Alas Abang, meski ia memilih jalan sendiri: memberontak pada tradisi keluarga.

Sebagai puncak pemberontakan-nya, ia belajar di perguruan tinggi umum.

Begitu simpul tali kenangan itu tersentuh, walau ia sudah jauh dari Alas Abang, semua kenangan dan ingatannya seakan-akan terbuka, tumpah-ruah, termasuk kisah-kisah sedihnya saat menapaki masa-masa remaja di kampung halaman. Ia teringat rajutan kisah-kasihnya. Di antaranya kepada Istiqomah, seorang santri perempuan. Memang, semasa di pesantren, ia juga merajut kasih dengan gadis pujaannya itu, dengan model pacaran khas pesantren.

Istiqomah sering disebut Jarot dengan sapaan Priangan si Jelita.

Demikianlah, Jarot menjadi salah seorang di antara sekian juta mahasiswa yang turun ke jalan untuk berteriak: Turunkan Suharto! Sayang, seiring dengan tergulingnya penguasa Orde Baru itu, ternyata terguling pula dunia ideal Jarot. Ia merasa menjadi manusia paling nista di dunia; ia merasa tak lagi bisa mempertahankan nilai-nilai yang ia perjuangkan selama ini, juga masalah tabu seks yang seharusnya ia hindari. Ia terjerat affair cinta dengan Agnes, seorang gadis cantik, bermasalah, dan masih tetangga rumah kontrakannya.

Hubungan asmara mereka sampai pada taraf intim: seks pranikah. Sebagai seorang yang memiliki latar belakang santri dari keluarga terhormat, Jarot pun merasa sangat berdosa setelah melakukan perbuatan terkutuk itu. Pada titik inilah, Jarot benar-benar merasa dirinya identik dengan Begawan Wisrawa, meski sebelumnya ia juga merasa identik dengan tokoh wayang itu.

Begawan Wisrawa merupakan tokoh wayang yang tergelincir ke lembah nista, padahal awalnya ia ingin mengajarkan sebuah pengetahuan suci. Perlu diketahui, sebelum Jarot terjerat cinta dan tidur dengan Agnes, sebenarnya Jarot ingin mengembalikan orientasi rasa ketuhanan Agnes yang goyah.

Pada akhirnya Jarot pun bertindak ekstrim: ia memenggal kehidupannya dengan masa lalu, baik terhadap Surabaya maupun Alas Abang. Ia minggat ke Ambon bersama Agnes, sebagai satu ikrar penebusan dosa. Ia ingin memulai hidup baru, dengan beban keterpurukan jiwa yang hebat. Di Ambon pun ternyata banyak hal yang membuatnya sadar sekaligus tertampar. Apalagi ada peristiwa yang seakan-akan kembali menasbihkan kesalahannya: Agnes meninggal setelah melahirkan seorang bayi perempuan, yang ia beri nama Sonya. Ia lalu menikah dengan Zulaikha, berputeri satu. Ia beri nama Aida.

Semua episode sekitar masa kejatuhan masa muda Jarot itu dikuak oleh Aida, yang diharapkan Jarot bisa menjadi penyuci noda terhadap kesalahan dirinya sebagai orang tua di masa silam. Dengan jiwa muda dan jiwa zaman yang berbeda, tahun 2040, Aida menelusuri masa lalu dan obsesi ayahnya.
Aida pergi ke Surabaya untuk bertemu dengan Teguh sahabat Jarot, juga ke kampung Alas Abang guna bertemu dengan keluarga sang ayah yang sudah lama dilupakan, serta sama sekali tak dikenal Aida. Aida menemukan jawab berbagai rahasia yang dipendam ayahnya, termasuk obsesi agung pada masa muda Jarot.

Begitulah, pencarian eksistensi seorang santri. Setidaknya, kesadaran akan dirinya menjadi jendela untuk mengenal eksistensi dan kesadaran akan kekuatan di luar dirinya. Itulah orientasi Ketuhanan yang diangkat seorang penulis. Adakah hal itu merupakan bagian dari unsur biografis penulisnya? Sebagai pembaca, kita cuma bisa menduga-duga. Dan kita pun kerap diingatkan akan pandangan Barthesian: intepretasi naskah semau kita, anggap penulis sudah mati. Tapi, saya masih percaya ada unsur kosmologis seorang kreator: memberikan pantulan hidupnya dalam berkarya seni, baik pandangan hidup atau ideologisnya.

Kemunculan beragam karya sastra dengan latar kehidupan pesantren atau yang kemudian disebut sastra pesantren dalam khazanah sastra di Indonesia dewasa ini merupakan fenomena baru yang unik. Kemunculannya yang selanjutnya diikuti lahirnya penulis-penulis sastra dari kalangan remaja pesantren dinilai sebagai akhir dari keterasingan pesantren terhadap kehidupan perkotaan.

Kini lebih banyak lahir penulis-penulis sastra dari kalangan santri. Kita berharap, hal itu merupakan tanda berakhirnya alienasi, keterasingan, dunia pesantren terhadap kota. Memang, dalam sejarahnya, keberadaan pesantren di Indonesia muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan. Komunitas pesantren membuka ruang perlawanan terhadap pemerintah kolonial yang berbasis di kota dengan menciptakan banyak tradisi kebudayaan yang berbeda, termasuk dalam kesenian; sastra, musik, seni rupa, seni peran, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, pesantren selalu mengambil posisi berlawanan dengan tradisi dan kebudayaan perkotaan yang dibawa kaum kolonial (kaum penjajah) Belanda pakai celana, santri pakai sarung. Belanda pakai dasi, santri pakai peci. Belanda membaca sastra roman, santri membaca nadhoman. Belanda memainkan musik jazz atau blues, santri memainkan musik gambus atau kasidah. Belanda hidup di kota, santri di desa. Begitu seterusnya. Semuanya dalam posisi berlawanan.

Oleh karenanya, munculnya penulis-penulis remaja dari pesantren yang baru terjadi dewasa ini merupakan warna tersendiri dalam dunia sastra di Tanah Air dan patut diapresiasi. Sastra tidak lagi terbagi pada sastra serius, sastra populer, dan lain-lain. Tapi juga ada sastra pesantren, katanya.
Di era 1960-an sempat muncul nama Jamil Suherman, novelis dari kalangan santri, karyanya mengambil setting pesantren. Namun, hal itu tidak menggejala dan seolah menjadi tren baru dalam dunia sastra seperti sekarang ini.

Sisi lain fenomena baru tersebut, generasi muda saat ini punya tambahan referensi bacaan sastra yang lebih memiliki semangat muda. Sastra pesantren juga berjasa dalam mengenal dunia pesantren kepada masyarakat luas. Dengan demikian, hal itu juga akan membantu merubah pandangan buruk orang luar terhadap pesantren yang belakangan dinilai sebagai sarang teroris.

Bagi sebagian orang, kehidupan pesantren merupakan kehidupan tertutup yang sulit dipahami. Banyak di antara mereka yang memiliki stigma negatif tentang pesantren. Novel tentang pesantren ini sedikit banyak bisa bercerita kepada masyarakat luas apa dan bagaimana hidup di pesantren dengan segala ritual dan tradisinya.

Perilaku santri bandel, selalu bikin ulah, anak kota yang masuk pesantren yang sok mengglobal tapi tak beretika dan pecandu narkoba dihadapkan dengan kehidupan santri yang selalu guyub dan menjaga nilai-nilai agama merupakan kisah nyata yang dituliskan kembali oleh tangan-tangan kreatif santri.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi