Herman Rn*
http://sosbud.kompasiana.com/
Jika ada yang menyebutkan “Aceh dan Islam” adalah ibarat dua sisi mata uang, yang apabila satu di antaranya tidak ada maka tak berfungsi mata uang tersebut, di sini saya hendak menisbatkan Aceh di mata sastra. Dalam hemat saya, “Aceh dan sastra adalah ibarat keniscayaan zat ngon sifeut, kulet ngon asoe, agam ngon inong, langet ngon bumo“.
Mungkin jargon ini memang terlalu berlebihan. Namun, inilah Aceh dan sastra. Terlepas dari ada atau tidaknya kesetujuan orang terhadap nisbat tersebut, hemat saya demikian adanya. Mereka yang memberi gelar pada Aceh sebagai Seuramoe Makkah, Tanoh Rincong, Nanggroe Iskandar Muda, Daerah Modal, Daerah Istimewa, hingga terakhir sebagai Negeri Syariat Islam, tentunya memiliki alibi masing-masing. Maka saya menisbatkan Aceh dan sastra sebagai zat ngon sifeut, juga berdasarkan asumsi yang saya miliki.
Menurut saya, kejayaan dan kemasgulan Aceh tak lepas dari peran sastra dan sastrawannya yang membuat nama daerah ini dikenal hingga ke bangsa luar, bansigom donya. Kendati demikian, tentu pula tak terlepas dari peran pejuang-pejuang Aceh di masa silam yang menjadikan sejumlah ulama Aceh berani lahir sebagai sastrawan, yang kemudian pada akhirnya mengukir Aceh di mata dunia, bahkan di hati bangsa-bangsa yang pernah menjajah wilayah Aceh. Sungguh, dengan demikian, ulama Aceh pada masa silam adalah sastrawan.
Kita sebut saja dengan nama Nuruddin Ar-Raniry dan Syekh Abdul Rauf As-Singkili, dua ulama Aceh ini juga tercatat dalam ensiklopedi atas nama sastrawan. Sangking masyhurnya, Prof. Dr. Hamka menyatakan bahwa menyebut nama dua ulama besar (Nuruddin Ar-Raniry dan Abdul Rauf As-Singkili) itu, sama halnya dengan menyebut 1000 bahkan 2000 orang Aceh lainnya. Mengapa bisa? Karya sastralah yang membuat mereka bisa seperti itu.
Sebut saja salah satu karya sastra dimaksud kitab tafsir Turjuman Al-Mastafiid, satu dari sekian karya Abdul Rauf As-Singkili yang bernama lengkap Syekh Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili. Turjuman Al-Mastafiid merupakan sebuah kitab tafsir pertama terhadap seluruh isi kandungan Al-Quran, mulai dari Surah Al-Fatihah sampai dengan Surah An-Nash. Sampai hari ini, kitab tafsir tersebut masih diakui sebagai karya sastra fenomenal yang belum ada tandingannya sebagai sebuah karya tafsir terhadap wahyu Allah swt. Sayangnya, masyarakat Aceh, sekalipun dia meyebut diri sebagai sastrawan, masih jarang kenal terhadap kitab tersebut. Kalaupun ada yang tahu pasti tentang Turjuman Al-Mastafiid, hanya sekelompok orang. Padahal, di luar sana, karya tersebut sangat dikagumi dan bernilai sehingga meskipun sudah berlangsung belasan abad, Turjuman Al-Mastafiid masih terus dicetak ulang. Pencetakan ulang secara kontinyu terhadap kitab tersebut dilakoni oleh penulis terkenal di Mesir, Syaikh Mustafa al-Babi al-Halabi. Disebutkan pula bahwa kitab tafsir tersebut masih dibaca tekun oleh Muslim di Negeri Syiam, Kamboja, Malaysia, Banjar, dan mungkin sejumlah wilayah lainnya. Turjuman Al-Mastafiid adalah satu dari sekian karya Abdul Rauf yang telah membawa nama Aceh dikenal gagah oleh bangsa-bangsa luar.
Selanjutnya, yang membawa nama Aceh dikenal di dunia karya sastra adalah Bustanussalatin. Goresan pena Nuruddin Ar-Raniry itu telah membuktikan bahwa sastra di Aceh sudah hidup dan berkembang sejak zaman kejayaan Iskandar Muda.
Tersebut pula Hikayat Prang Sabi karangan Teuku Chik Pante Kulu. Sangking dikenalnya sastra berbentuk hikayat itu, Belanda secara khusus mengirim Snouck Hurgronje untuk meneliti sastra tersebut. Snouck yang terkenal punya banyak ide dan licik itu menyimpulkan bahwa Hikayat Prang Sabi berbahaya bagi orang asing yang masuk ke Aceh, terutama bangsa non-Islam seperti Belanda. Hal ini karena dalam hikayat tersebut dikatakan bahwa perang melawan kaphé Beulanda adalah suci dengan imbalan surga. Karenanya pula, sastra satu ini berhasil membawa nama Aceh sepanjang abad untuk dikenal dan disegani oleh bangsa luar, terlepas masa sekarang perubahan terhadap apa yang ditakutkan itu tidak lagi berterima.
Sastra Panggung
Selain dalam bentuk sastra tulis atau sastra tutur, Aceh juga dikenal dengan sastra panggungnya. Salah satu sastra tersebut adalah seudati. Para pakar kolonialis Belanda sepakat bahwa dalam gerak seudati terkandung nilai-nilai karakteristik keacehan yang sangat tinggi. Melalui gerak tarian seudati disimpulkan oleh para peniliti Belanda bahwa Aceh memiliki sifat ke-aku-an yang sangat memuncak, egois, dan arogan. Tuduhan itu disematkan dari gerak seudati yang berulang kali menepuk dada, memukul perut, dan menelisip “licik” dari kelincahan keramaian lewat variasi gerak yang beragam. Keindahan gerak itu ditamsilkan awak Belanda sebagai kelicikan ureueng Aceh dalam melakukan penyusupan ke dalam pihak musuh.
Kendati disematkan dengan nilai-nilai negatif, seudati diakui sebagai simbol sastra yang sangat tinggi, yang geraknya sulit ditiru oleh orang (bangsa) lain. Ini pulalah yang membuat Aceh semakin dikenal di mata sastra.
Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan Aceh boleh jadi dikenal oleh bangsa luar lewat Iskandar Muda. Namun, masa pemerintahan tersebut mulai pudar seiring bergantinya rezim pemerintahan di Aceh atau jika boleh tidak munafik, kehilangan gemilang itu sejak Aceh termakan tipu muslihat Indonesia. Bayangkan saja, berapa besar sumbangan rakyat Aceh untuk membeli dua pesawat terbang bagi Indonesia, tetapi yang dibeli hanya satu pesawat RI-001, sedangkan uang sisa satu pesawat lagi, tak jelas. Ini baru secuil kisah memilukan Aceh dari Indonesia, belum lagi kita balik sejarah Aceh yang membiayai hidup pakar-pakar kebanggaan Indonesia seperti Dr. Sudarsono di India, L.N.Palar di Pertubuhan Bangsa-bangsa Bersatu (PBB) New York, biaya keliling Haji Agussalim, hingga Konferensi Asia di New Delhi pun dibiayai dari uang rakyat Aceh. Bukankah semua ini dapat menjadi catatan sejarah kegemilangan Aceh masa lalu?
Hal ini terkesan pudar atau sengaja dipudarkan (?). Maka sastra menjawab itu semua sehingga tak mampu dikalahkan. Nuruddin Ar-Raniry dan Abdul Rauf As-Singkili adalah salah satu dari sekian contohnya. Kemasyhuran dan kemasygulan dua sastrawan itu pula, menjadikan Aceh sangat dikenal dalam bidang agama, terutama atas nama Islam. Hal ini menunjukkan bahwa gelar Serambi Makkah itu muncul karena adanya sastrawan. Artinya, ada sastrawan dahulu, baru muncul gelar-gelar yang lain. Itu salah satu alibi saya menyebut Aceh tak dapat dilepaskan dari sastra serupa kulit dengan isi.
Sastrawan dengan karyanya memperkenalkan Aceh ke belahan dunia mana pun secara cepat, sedangkan raja, menjadi masgul hanya tatkala pemerintahannya bagus dan apik dikelola. Jika mengacu pada zaman sejarah, sang raja baru akan dikenal oleh bangsa luar tatkala menang perang dengan segala taktiknya. Sedangkan sastrawan, cukup bermodalkan sebatang pena dan kertas, baik dalam situasi kalah perang maupun menang, tetap dapat mengangkat marwah bangsa dan daerahnya. Hal ini karena sastra berbicara atas dasar estetika dan etis, yakni keindahan dengan menjunjung tinggi peradaban, bukan perlawanan yang berdarah-darah. Maka dalam warkah ini, ada gelisah yang membesar di benak saya, yakni manakala karya-karya besar dan sastrawan hebat Aceh tersebut jarang dikenal oleh dan di bangsanya sendiri, lantas di manakah peran sastrawan Aceh di masa kini dan akan datang? Haruskah kita hanya bernostalgia atas gemilang yang sudah lampau, sementara zaman terus berputar?
Sejatinya, peran pemerintah Aceh, baik di tingkat daerah maupun provinsi, sangat penting demi mendukung kemajuan sastrawan Aceh. Sebab, selama ini saya melihat yang menjadi konsumsi anak-anak Aceh hanya dongeng dari negeri seberang. Padahal, di Aceh banyak hikayat yang menjadi kecerdasan dan semangat bagi aneuk-aneuk Aceh. Namun, semua masih bertabur sehingga sering kita dengar sastrawan-sastrawan muda di Aceh kesulitan mendokumentasikan naskahnya sebagai sebuah penghargaan untuk Aceh. Saya kira pemerintah Aceh tahu yang mesti diperbuatnya terhadap sastra di Aceh, sebab sastra dengan Aceh ibarat dua sisi mata uang yang salig berkesinambungan. Atau kita kembali menerima kekalahan berikutnya dari negeri kesatuan ini?
*) Mahasiswa Pascasarjana Bahasa dan Sastra Universitas Syiah Kuala. Menulis di beberapa media lokal. Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar