Kamis, 19 Agustus 2010

VOTUM SANG PENYAIR: Pemikiran & Pemberontakan Octavio Paz

Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/

Saya bukan mempengaruhi dan bukan mendoktrin siapapun. Saat ini cobalah alihkan segala bentuk imajinasi dan logika pada satu arah sudut pandang yaitu kesusastraan. Sastra merupakan satu bentuk perwujudan agung dan suci yang terpancar dari kedalaman pribadi seorang manusia. Ia menjelma dalam hidup dan kehidupan sebagai cahaya kejujuran yang memancarkan sinar kemalanya yang berbinar-binar. Ini tak pandang bentuk dan tampilanya. Walaupun kadang berbentuk rekaan maupun tampilan esensinya secara real terasa tersembunyi, ia pada dasarnya merupakan satu ungkapan kejujuran hati atau gambaran nyata dari kepribadian pengguratnya yang bertujuan agar mampu ditangkap, dipahami, dicerna, direfleksi, dan bahkan untuk diikuti oleh siapa saja yang berkenan membacanya.

Semua itu adalah keinginan yang mutlak yang timbul dari dalam diri seorang sastrawan. Semua satrawan pasti memiliki hasrat semacam itu. Hasrat agar karyanya dibaca, ditangkap, dipahami, dicerna, direfleksi, dan juga diikuti.

Di samping itu masih terdapat satu hasrat yang sangat fital dan menjadi landasan utama dalam karya yang di guratnya. Hasrat ini terkadang sama, namun kebanyakan berbeda sebab beracuan pada eksistensi logika dan daya imajinasi yang dipancarkan oleh seorang sastrawan dalam merefleksi sebuah fenomena yang sedang melintasi indra, hati, dan benaknya. Tentunya semua itu tidak lepas dari kedekatan pribadi sastrawan sendiri. Hasrat tersebut adalah hasrat pikiran dan keyakinan.

Hasrat pikiran merupakan hasrat yang terungkap dalam bentuk pemikiran-pemikiran yang dihasilkan oleh eksistensi logika mereka. Sedangkan hasrat keyakinan terkait erat dengan persoalan keimanan mereka yang merupakan pancaran hati sanubarinya. Keimanan tersebut merupakan suatu daya yang dahsyat yang dipancarkan oleh pribadi seseorang terhadap suatu hal yang dianggap memiliki nilai kebenaran yang mutlak bagi dirinya. Kedua hasrat ini tersugesti oleh realitas fisik maupun nonfisik yang telah menjadi pengalaman pribadi mereka.

Mari mencermati pancaran hasrat seorang Octavio Paz yang merupakan perefleksian diri atas realitras yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Hal ini merupakan salah satu bentuk dari pengalaman pribadi yang sempat ia temui dan menjadi ilham bagi terciptanya karya sastranya.

Mungkin aku bisa berbelok untuk hidup bersama satwa,
Mereka begitu lembut lagi percaya diri,
Aku berdiri memandang mereka begitu lama.

Gambaran hasrat yang terpancar dari kedalaman hati dan jiwa Paz memilki intensitas yang begitu dalam dan bahkan sangat jalang. Ungkapan tersebut muncul akibat adanya fenomena indrawi yang sedang melintasinya. Saat itu Paz dengan cukup lama serta dengan khusuknya memandang sekawanan satwa yang berada di depanya. Namun, ini bisa jadi tidak mengarah pada kegiatan memandang secara fisikal, memandang dapat berorientasi pada satu perenungan pengalaman masa lampau yang ia bangkitkan kembali pada masa kini. Ketika terjadi proses pengamatan tersebut, timbullah perefleksian diri yang ia bentur-benturkan dengan realitas kehidupan yang sedang terjadi di dunia sekitarnya saat itu.

Dalam realitas yang terpancar dari ungkapan tersebut, Paz memandang bahwa dunia yang berada di sekitarnya memiliki satu keganjilan tertentu. Ia merasakan satu keanehan sehingga ia tidak memiliki satu ketenangan, ketentraman, juga kelembutan perasaan saat menjalani realitas kehidupan yang ada. Dengan timbulnya perasaan semacam itu, ia berhasrat untuk mengubah pola hidup yang ada yang dimulai dari diri pribadinya terlebih dahulu. Ia bekeinginan untuk membelokkan diri untuk hidup bersama satwa.

Hasrat untuk hidup bersama satwa bukan berarti berorientasi pada pembauran diri bersama hewan-hewan. Bukan berarti harus bersosialisasi dengan hewan, namun bisa mengarah pada sikap hidup yang terpancar dari sekawanan satwa yang telah ia amati, rasakan, renungkan, serta ia refleksikan ke dalam realitas kehidupan manusia pada umumnya. Ia merasakan realitas kehidupan yang dijalin oleh sekawanan satwa mengandung nilai kehangatan, kelembutan, serta kasih sayang yang tinggi sehingga ia berpikir untuk mengubah kehidupan manusia yang penuh dengan kekerasan, penindasan, serta penganiayaan dengan pola hidup satwa yang penuh dengan cinta kasih. Tentunya pola hidup semacam ini akan ia awali dari diri pribadinya sendiri.

Mereka tidak berkeringat meratapi nasibnya,
Mereka tak berbaring dan mendelik dalam gelap
menangisi dosa-dosanya,
Mereka tidak memualkanku dengan berbicara kewajiban terhadap Tuhan,

Etape kedua yang ditunjukkan oleh Paz akan realitas kehidupan yang dijalani sekawanan satwa adalah berorientasi pada ketenangan jiwa. Kehidupan satwa ia rasakan memiliki satu pesona kedamaian dan ketenangan yang tinggi. Mereka tenang karena tak disibukkan dengan masalah-masalah dosa. Mereka dalam realitas hidupnya tidak terbebani kriteria-kriteria dosa sehingga tidak harus melakukan pertaubatan atau penebusan dosa. Semua itu tentunya tidak terlepas dari kodrati hewani yang bersifat ma’sum.

Selain itu, kehidupan satwa tidak pernah menuntut terhadap sesamanya dengan tuntutan-tuntutan yang berkaitan dengan kewajiban terhadap Tuhan. Kehidupanya lebih mengalir, yaitu tanpa adanya paksaan dan pengekangan-pengekangan tertentu yang berorientasi terhadap diri Tuhan. Hal itu dilandasi dengan satu keyakinan bahwa urusan dengan tuhan adalah urusan fundamental dari tiap-tiap personal. Sehingga hal ini tidak perlu dipaksa-paksakan pada sesamanya yang pada akhirnya memunculkan nilai ketulusan dan keikhlasan yang tinggi dan bukan malah mencipta pengekangan terhadap personalitas yang ada. Selain itu juga tidak pernah memperdebatkan atau mempertentangkan keyakinan antarsesama. Mereka cenderung mencipta satu kedamaian dan kebahagiaan, bukan malah menciptakan realitas perselisihan yang memualkan.

Yang paling mendasar dalam etape ini adalah sifat ikhlas menerima segala bentuk realitas kehidupan yang menimpa mereka. Tentunya dalam hal ini bukan sekedar tabah dan sabar dalam menerima realitas yang menimpa, tetapi mereka juga menelusuri dan menjalaninya. Sifat ikhlas menerima disamping sebagai salah satu bagian yang mendasar dalam tiap personal, ia juga merupakan bentuk tertinggi sebuah kepribadian. Mengapa demikian? Karena semuanya berawal dari sebuah peninjauan dari sisi mistikus. Sifat ini dalam tradisi mistikus menduduki tahap atau etape paling atas yang disimbolkan dengan ungkapan fana dari kefanahan. Dalam diri sudah lenyap akan sifat personalitas. Yang ada hanyalah sifat kesemestaan, yaitu segala orientasi hidup hanyalah tertuju kepada Tuhan dan bahkan kondisi fisikal dari individi akan terabaikan. Jiwa menjadi tenang karena seolah-olah tuhan telah bersamanya dan membaur dalam dirinya.

Dengan pola kehidupan semacam itu, bagi Paz dalam etape ini mendambakan satu bentuk ketenangan jiwa untuk segera melingkupi personalitas tiap manusia. Semua itu diharapkan agar tercipta suasana yang enjoi dan menyenangkan dalam menjalani realitas kehidupan yang bersifat fana ini. Tidak ada satu pengekangan, tidak ada lagi perbuatan dosa, tidak ada rasa was-was serta yang ada hanyalah kedamaian rasa dalam tiap-tiap manusia.

Lebih lanjut Paz juga mendambakan satu kehidupan dalam diri manusia untuk bersifat kaya. Yang dimaksud adalah adanya perasan cukup atau tidak merasa kurang yang selalu melingkupi hati dan pikiran manusia. Selain itu dambaan lain adalah tidak adanya orang yang bersifat melampaui batas dalam segala hal baik yang mengacu pada harta maupun perhiasan duniawi maupun lainya yang telah ditentukan Tuhan kepadanya. Semua itu tidak lain adalah pengaruh nafsiyah manusia yang selalu merincu dan selalu mengobarkan api “kewas-wisan” dalam diri seorang individu.

Tidak ada yang kekurangan, tidak ada yang jadi edan
Oleh nafsu memiliki benda-benda,

Tidak adanya sifat dan sikap penindasan maupun penghegemonian terhada sesama dalam realitas kehidupan tampaknya juga menjadi dambaan oleh seorang Octavio Paz. Penghegemonian ini bisa mengarah pada sebuah kekuasaan pemerintahan dan dapat bersifat ideologis yang telah ditelorkan atau didoktrinkan lampau hari oleh mereka yang telah hidup lebih awal. Oleh mereka yang telah mengantongi sekali atau beribu penghargaan. Oleh mereka yang diagung-agungkan, yang mampu menimbulkan pesona kedukaan yang begitu mendalam oleh penjuru dunia ketika mereka sudah tiada lagi hidup di dunia ini.

Penghegemonian ini memiliki dampak yang sangat besar dalam kreatifitas manusia. Ia mampu membunuh kreatifitas yang hendak tumbuh dan berkembang ketika ia mencoba untuk mengisi sejarah kehidupan umat manusia. Hal itu juga akan mencipta satu bentuk kehidupan yang statis dan monoton di dunia ini. Manusia-manusia seolah menjadi robot hidup yang hanya dikendalikan oleh orang-orang tertentu, oleh mereka yang berkuasa baik dari sisi pemerintahan maupun ideology
.
Tak ada yang berlutut pada yang lain, tak juga pada sesama
Yang hidup ribuan tahun silam,
Yang sekalipun dihargai atau berduka atas seluruh penjuru bumi

Ungkapan-ungkapan yang telah di ujarkan Paz mencerminkan hasrat pemberontak terhada realitas kehidupan yang begitu dahsyat. Ini akan menjadi wacana dan bahkan doktrin maupun ajaran yang begitu menyentuh hati seorang manusia yang khusuk melakukan perenungan akan realitas hidup yang sedang bergelora. Mengapa demikian? Hal tersebut disebabkkan oleh adanya perefeleksian diri di dalam hakekat dasar manusia. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang paling sempurna penciptaanya. Ia sempurna ketimbang makhluk-makhluk yang lain.

Tapi, mengapa di sini berbeda dan mengandung daya ironi, sehingga kehidupan manusia dianggap jauh lebih rendah ketimbang kehidupan satwa? Semuanya tidak terlepas dari konsepsi dasarnya. Manusia diciptakan sempurna bukan mengarah pada kesempurnaan hidupnya, melainkan kesempurnaan bentuk penciptaanya yang di tandai dengan adanya kemampuan berfikirnya yang lebih. Gambaran kehidupan yang hina ketimbang kehidupan satwa ini muncul apabila sugesti nafsu selalu melingkupi tiap gerak langkahnya. Logika berfikirnya tidak sanggup menetralisir serta membendung hal tersebut. Ia cenderung hanyut ke dalamnya. Saat itulah derajatnya akan turun. Dan realitas semacam itu kini muncul dalam logika berfikir Paz, sehingga ia ingin membalik keadaan lewat diri pribadinya dahulu untuk melakukan pola hidup seperti satwa yang dirasanya lebih banyak mengandung kedamaian, ketentraman dan juga cinta kasih.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi