Selasa, 12 Oktober 2010

Era Gagap Sastra bagi Akademisi

TANGGAPAN TULISAN ABDUL WACHID BS
Anton Suparyanto
http://www.kr.co.id/

DERASNYA Industri penerbitan buku-buku sastra akhir-akhir ini menimbulkan satu gejala pemikiran negatif. Berhura-hura untuk menghantam pengarang melaju tanpa kritik dengan dalih kritikus sastra kita sudah mati (?) justru telah berupaya membunuh iklim keutuhan berkesusastraan secara sehat. Ini menjadi pikiran kerdil, gagap untuk menyimak wawasan bersastra dengan cara ucap atau dengan media yang baru. Inikah gejala ewuh-aya bagi pengarang (sastra), pemerhati, ataupun pengamat sastra Indonesia yang paling mutakhir?

Entahlah. Yang pasti umpan Binhad Nurrohmat yang ditelan Satmoko Budi Santosa dan Budi Darma, justru “dicengengesi” Binhad lagi dengan tali ruwet “siapa suruh jadi kritikus (sastra)” di Kompas Minggu bulan lalu. Argumen yang bernada main-main ini seakan menekuk sinyal baik Abdul Wachid BS yang masih melambungkan kampus sebagai basis bersastra, meskipun hanya menetaskan satu-dua sosok yang meleksastra (baca Minggu Pagi, Minggu ketiga Juni 2003). Sedangkan matinya kritik sastra (?) yang cuma disebabkan ketiadaan karya sastra yang layak menjadi bahan pembicaraan akhir-akhir ini (baca Minggu Pagi, Minggu pertama Juli 2003), justru menjadi titik balik telah terjadi era gagap sastra bagi kaum akademik.

Kritik sastra Indonesia tidak memiliki tradisi, tetapi toh kritik kita memiliki nilai keunikan. Pada mulanya kritik sastra menyebar hadir melalui rubrik koran pun majalah yang sentralistrik, Jakarta oriented. Bukankah publikasi dan penerbitan pers yang memiliki gurta industri hingga kini masih dihegemoni oleh Jakarta minded? Bukankah tahun 60-70-an hingga paruh awal 80-an kiblat kesastraan Indonesia menggumpal di pusat metropol tersebut? Nah, kalau kita kini hanya terpaku pada kejayaan “zaman sastra metropolis” tersebut, tentulah para pelaku sastra akan terjatuh pada kubangan “universalitas yang sempit”. Kenapa begitu?

Alasan kuno-nya, justru timbul kecenderungan-mutlak untuk sebuah pola yang dimapankan. Pemapanan yang hanya bertumpu pada universalnya gaya bangsa Barat ini, tanpa disadari akan memaksa kesastraan Indonesia harus bergaya intelektual. Untuk itulah kita tak bisa ingkar terhadap dominasi persebaran karya dan kritik sastra di kantong Budaya Jaya, Sastra, Kisah, Zaman, Horison ataupun Basis ketika masih bernyali untuk “nyastra”. Lalu arifkah kini ketika majalah-majalah tersebut telah kehilangan nafas, justru kita menghantam dengan “pengarang melaju tanpa kritik” sehingga dengan mudah menuduh “kritikus sastra kita sudah mati”? Nah, kalau pelaku sastra kini hanya bisa melap-lap “zaman keemasan” bersastra seperti tersebut di atas, tentulah bahaya dahsyat akan digerogotinya dengan istilah inertia, cuma tahu satu kemungkinan di bidangnya. Bukankah ini sebuah penyakit, parasit dalam kesusastraan?

Lalu sikap kita? Ketika era sastra di majalah telah almarhum, penyerbuan sastra kini eksis di koran-koran (baik media nasional maupun daerah). Akan tetapi, kendala besar pun terus menghadang. Publikasi kritikan sastra menjadi sempit yang mengakibatkan kritik yang sumir, dangkal, dan cenderung verbalitas literer atau kritik sastra sambil lalu. Untuk alasan inilah dibutuhkan media alternatif untuk publikasi karya kritikan sastra.

“Kegagalan” penikmat sastra terkini adalah taqlid terhadap media alternatif ini, sehingga dengan enteng menuliskan tiadanya kontinyuitas kritik-(us) sastra akhir-akhir ini.

Ada pergeseran dalam publikasi kritik sastra. Mula-mula berorientasi majalah sastra yang Jakarta sentris, kemudian diimbangi oleh koran-koran yang bertumbuh di Jakarta pula. Lalu berkat peledakan industri pers, koran pun telah menyebar terbit ke daerah-daerah. Anehnya, karena sastra tak ber-uang, ruang sastra budaya kini banyak yang dipinggirkan oleh kebijakan redaksi. Menyikapi penyempitan kapling inilah, muncul media alternatif untuk mempublikasikan kritik sastra yang begitu ilmiah dan mapan. Media ini hadir dalam wujud majalah, jurnal pun buletin yang diterbitkan oleh kalangan akademisi.

Cobalah kita arif terhadap media alternatif yang terbit berkala seperti berikut: Widya Parwa (Balai Bahasa Yogya): Humaniora (Fak. Ilmu Budaya UGM); Widya Dharma (Universitas Sanata Dharma Yogya); Diksi (Universitas Negeri Yogya); Semiotika (Universitas Sarjana Wiyata Tamansiswa Yogya); Seni (ISI Yogya); Citra Yogya (Dewan Kesenian Yogya); Haluan Sastra Budaya (Fak. Sastra UNS Solo); Kajian Bahasa dan Sastra (Univ. Muh. Surakarta); Kajian Sastra (Fak. Sastra UNDIP Semarang); Widya Pustaka (Fak. Sastra Univ. Udayana Bali); Lontara (Univ. Hasannudin Ujung Pandang); Puitika (Fak. Sastra Univ. Andalas Padang); Pengajaran Bahasa dan Sastra (Depdikbud Jakarta); Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia (Fak. Sastra UI Jakarta); pun Fenolingua dan Magistra (Univ. Widya Dharma Klaten). Sejumlah media berkala ini ternyata secara rutin eksis menawarkan kritik sastra yang cenderung ilmiah ataupun ilmiah populer. Bukankah data majalah dkk kampus ini bisa dideret di PTN pun PTS seluruh Indonesia?

Pertumbuhan, perkembangan, dan penyebaran kritik sastra Indonesia memang sangat lambat jika dibandingkan dengan publikasi karya sastra yang memiliki wawasan dan pandangan luas atau netral seperti almarhum HB Jassin. Tengara pokok disebabkan oleh pluralitas karya sastra yang menuntut kepekaan khusus dari para kritikus atau penelaah sastra dalam upaya pemahaman yang komprehensif, serta mampu menggali nilai utuh dari karya tersebut.

Kritikus sastra Indonesia pada umumnya merupakan deretan penulis kreatif yang serba bisa (ada yang menulis puisi, cerpen, novel, drama, skenario,…) dan sangat terpengaruh pada aliran atau mazhab sastra yang dianutnya. Akibatnya terjadi kesulitan ketika menilai suatu karya sastra yang berada di luar kerangka mazhab yang diilmuinya. Efek yang menjadi cemooh terkini yakni kritikus menjadi kurang objektif, dan cenderung menjadi subjektif belaka. Namun subjektivitas bukanlah harga mati. Subjektivitas kritikan toh tak membuat pengkaburan karya, asalkan titik berangkat subjektif ini menjadi lambaran untuk mencapai nilai penuh objektif. Contoh yang berhasil yakni: Chairil Anwar, Sebuah Pertemuan (Arief Budiman), Tergantung Pada Kata (A. Teeuw), dan Sosok Pribadi dalam Sajak (Subagio Sastrowardoyo). Tapi apakah subjektivitasnya tak ditunggangi aliran yang dianutnya? Dan murni objektif? Nonsense!

Kritikus sastra senior yang hingga kini masih rajin nyastra yakni Korrie Layun Rampan. Korrie menegaskan bahwa pada pokoknya kritik sastra harus berangkat dari subjektivitas untuk meraup objektivitas. Namun penilaian yang sepenuhnya mengandalkan rasa subjektif akanlah mengurangi nilai kritik, apalagi bila kritikus telah terjebak pada monolitik aliran yang dikuasainya.

Subjektivitas untuk mencapai objektivitas dan ditopang visi, keseriusan, telaten sangat dituntut pada diri seorang kritikus, di samping menguasai perangkat teori tentunya. Sehingga tuntutan sosok kritikus terkini adalah totalitas yang multi-faset, pengalaman literer yang ultima. Ajip Rosidi, Jacob Sumardjo, pun Sapardi Djoko Damono adalah figur anutan. Tetapi jika setiap kata dimaknai secara intelektual, toh, sebuah karya sastra menjadi bangkai semata. Akibatnya?

Ajip, Jacob, Pradopo, pun Sapardi yang berusaha maksimal dalam penulisan kritik akhirnya “menyerah”, karena profesi sebagai kritikus lebih berupa “romantisme’ yang tidak mungkin menopang kebutuhan hidup yang layak. Ini menjadi pialang, mengapa kritik sastra Indonesia tidak berkembang secara wajar. Industri makna karya sastra yang tampak hingga kini tidak jauh dari kritik sastra sambil lalu, kritik sastra menjadi sambilan kerja.

Jacob Sumardjo yang getol dengan penulisan kritik bergaya sejarah sastra, sosiologi sastra, toh, mandeg juga. Keluhan serupa muncul dari Budi Darma, bahwa sastra kita adalah sastra sambil lalu. Kebutuhan hidup sastrawan yang labil akanlah menggoyahkan proses kreasi kesastraannya. Menulis sastra dalam kondisi amatiran ini pun berimbas pada penulisan kritik, mau tidak mau, kerja amatiran juga; karena mereka pun harus menggantungkan hidup dari pekerjaan lain di luar mainstream dunia sastra. Nama-nama seperti Boen S. Oemarjati, M.S. Hutagalung, Junus Amir Hamzah yang diikuti Dami N. Toda, Umar Junus, Jiwa Atmaja, Mursal Esten, Nyoman Tusthi Eddy, Putu Arya Tirtawirya,… tidak lagi menggigit dan kreatif di bidang kritik satra.

Camkan juga nama-nama seperti Yudiono Ks., Kusman K. Mahmud, Made Sukada, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Sugihastuti, Subijantoro Atmosuwito, Harta Pinem tak lagi menunjukkan kerja intensif yang kontinyu, Barangkali sosok Afrizal Malna, Kurnia J.R., Agus R. Sarjono, ataupun Faruk H.T. dan Th. Sri Prihatmi masih punya “gigi sastra” untuk mengupas bidang kritik sastra walau akhirnya hanya kerja sambilan semata.

Kendala utama terkini yang membelenggu para penulis kritik sastra (sambil lalu) atau kritikan bisu ala verbalitas literer adalah media publikasi yang mapan. Bagi kaum akademisi (dosen) tentunya sudah tersedia wadah kritikan, seperti media alternatif yang terpapar pada awal tulisan ini, tapi risiko yang mencolok yakni benturan honorarium. Akan tetapi, bagi penulis di luar akademisi, media massa umum (koran, khususnya) tidak mungkin memuat analisis tentang karya sastra secara mendetail dan tajam. Gejolak yang terasa menghimpit yakni karya-karya Emha Ainun Nadjib, Danarto, Kuntowijoyo, Afrizal Malna, Zawawi Imron, Mustofa Bisri, F. Rahardi, Abdul Wachid B.S., Acep Zamzam Noor, Beni Setia, Agus R. Sarjono, Ahmadun Yossie Herfanda, Dorothea Rosa Herliany, Abidah El Khalieqy, Wiji Thukul, Agus Noor, Joni Ariadinata, Indra Tranggono dan sederet penulis muda lainnya hanya disebut-sebut sebatas paparan judul-judul karya.

Mulai geliat paruh kedua 90-an sudah berjubel penerbitan karya: puisi, cerpen, novel, drama, antologi esai sastra, tetapi penanggapnya begitu miskin. Apakah ekspresi kesastraan Indonesia telah mengidap “diskomunikasi” dengan masyarakat pembacanya? “Kerakusan” ala Seno Gumira Ajidarma dan novelis wanita “dongeng” ala Titis Basino PI tak mendapat perhatian serius. Mengapa belakangan ini tidak sedikit dosen sastra (Indonesia) “bisu” bersastra? Begitukah? ***

*) Staf pengajar PBSID Universitas Widya Dharma Klaten

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi