Minggu, 14 November 2010

Berangkat ke Masa Lalu

Lidia Mayangsari
http://www.suarakarya-online.com/

Kamu mau kemana? Pergi ke masa kecil. Mau ikut? Aku akan mengantarkan lukisan untuk teman. Lalu berangkat. Nenek yang cantik itu ikut bangun. Tapi tidak pergi ke mana-mana. Ia hanya melirik, memperhatikan lukisanku sebentar. Berangkat, berjalan-jalan ke masa lalu. Sebenarnya waktu itu aku sudah besar. Umurku sembilan jalan sepuluh. Hampir naik kelas empat. Nina tujuh tahun. Rambutnya bagus. Pipinya bulat. Badannya empuk dan wangi. Ia pendiam. Tapi senyumnya bisa meruntuhkan dunia. Ia cantik. Sangat amat cantik sekali.

Sudah kuputuskan, dalam hidup ini hanya ada Nina. Aku pasti menikahinya. Aku akan bahagia bersamanya sepanjang segala jaman. Makanya harus kerja keras.

Bahagia memang boleh datang begitu saja. Tapi yang terbaik, kalau kita serius menyambutnya. Bukan hanya menyambut, tapi juga bergiat menyiapkannya. Bahagia itu harus diciptakan. Diupayakan.

Bukan ditunggu untung-untungan. Tapi dirancang dan diupayakan dengan sebaik-baiknya. Termasuk kebahagiaan Nina pada hari ulangtahunnya ke tujuh.
Aku berpikir keras hadiah apa yang cocok untuknya. Sebuah lukisan?

Bagaimana membungkusnya? Di mana dan kapan menyerahkannya? Nina Nina Nina. Umurmu genap 7 tahun besok lusa. Aku ingin memberikan hadiah padanya. Kado istimewa berisikan lukisan dirinya. Tapi lukisan ini mungkin kurang disukainya. Mana mungkin Nina menyuka lukisan? Tapi, akan kuserahkan saja lukisan ini. Toh cuma sebuah hadiah.

Tapi aku harus membuat lukisan yang lain untuk Nina. Aku pun membuat gambar Nina seperti seorang model. Sosok gadis yang riang di hari ulangtahunnya. Masih banyak lagi sebenarnya yang ingin kuberikan untukmu. Aku ingin buku resep masakan. Aku ingin tuntunan mode selera tinggi. Aku ingin kamu pintar menjahit baju, merawat anak, memasak yang enak-enak, memilih lagu-lagu, dan menata interior rumah kita nanti.

Aku sudah besar. Sembilan jalan sepuluh. Dan kamu bakal tujuh tahun. Sudah waktunya menyiapkan diri. Kalau hidup ini panjangnya 70 tahun, maka ulang tahun ke tujuh adalah hitungan yang pertama. Harus disambut dengan mantap. Aku memang belum bisa naik sepeda. Tapi percayalah, kalau nanti aku bisa bersepedah. Kamu pasti kubonceng. Pasti. Dan hanya kamu.

Pada sore hari menjelang ulang tahunnya, semua hadiah yang ingin kuberikan padanya sudah lengkap. Selembar kliping resep masakan. Selembar kliping jahit menjahit. Dan yang sudah kusebut tadi: gambar mawar, merpati, dan seorang model di taman. Semua dalam amplop putih yang besar dan mewah. Sekarang aku harus menyerahkannya. Aku pakai topi. Jalan kaki ke rumahnya. Tapi, itulah sore yang sepi.

Rumahnya kosong. Semua pergi. Mungkin pesta ulang tahun Nina dirayakan di hotel? Di restoran?

Atau di rumah saudaranya? Tidak mungkin! Pada saat itu belum ada mode pesta-pesta ulang tahun di hotel untuk anak kecil. Pertengahan 1960-an. Indonesia carut marut dengan pertengkaran politik. Ekonomi berjalan sejadi-jadinya. Dan aku menggambarkan suasana itu dalam lukisan. Juga ada sosok pria berumur sembilan jalan sepuluh. Belum bisa naik sepeda. Tapi sudah pintar bercita-cita dan mencintai.

Aku mencintai Nina yang sore ini berumur 7 tahun. Tapi rumahnya kosong. Ada yang bilang ayahnya hilang. Tapi ada pula yang mengira pindah ke Surabaya. Aku tak percaya pada semuanya. Dengan hati-hati, kutulis namanya. Dengan sebagus-bagusnya kunyatakan di sampul putih yang mewah: Hanya untuk Nina. Lalu kumasukkan dalam kotak surat. Hampir saja tidak cukup lebar lubangnya. Tetapi untunglah, tanpa terlipat, seluruh hadiah untuk Nina masuk ke dalamnya. Tinggal aku menunggu reaksinya. Aka kata Nina besok pagi?

Apa kata Lidia, kakaknya. Apa kata Irfan adiknya. Apa kata ibunya? Apa kata seluruh dunia tentang hadiahku untuk Nina. Hanya untuk Nina. Tidak seorang pun berhak menerimanya kalau namanya bukan Nina. Sehari aku menunggu. Dua hari. Seminggu. Sebulan. Tahun berikutnya aku naik kelas lima. Lima tahun berikutnya aku sudah di SMP. Sepuluh tahun berikutnya aku mahasiswa. Aku tidak mendengar sepatah kata pun dari Nina. Rumahnya kosong. Nomornya 39, mulai lepas berguguran. Aku pergi ke Yogya. Lalu pindah ke Jakarta. Hidupku sudah ditakdirkan sukses.

Begitu juga tanahairku, Indonesia. Semua berkembang menjadi besar, pandai dan kaya. Aku mendapat seorang isteri, empat orang anak, dan dua orang cucu, hanya dalam tempo kurang dari 50 tahun berikutnya. Sekarang aku tinggal bersama seorang nenek yang cantik.

Pipinya bundar. Badannya empuk dan wangi. Pagi-pagi aku siap melukis lagi. Dialah yang selalu bertanya mau melukis apa? Dan selalu kujawab, mau melukis masa kecilku. Hanya ke masa kecilku. Aku ingin bertemu Nina. Rambutnya bagus. Pendiam. Tapi senyum kecilnya bisa meruntuhkan dunia.

Dan aku telah memberikan semua yang terbaik hanya untuknya. Pada hari ulang tahunnya ke 17, aku berhasil mengumpulkan lebih banyak resep masakan, lebih banyak pola pakaian, dan beberapa disain rumah nyaman. Jangan lupa, umurku sudah 19 jalan 20. Aku menjadi mahasiswa, sekaligus aktifis di Jakarta. Lukisanku sudah lebih bagus. Aku pun sudah berani melengkapi lukisan karyaku dengan kode namaku. Aku ingin memberikan pada Nina. Tapi, apalah artinya sebuah lukisan? Lebih bagus gambar bunga, merpati, dan gadis model di taman yang indah. Nina pasti menerimanya dengan bahagia. Amplop hadiah itu lebih besar. Bukan amplop tapi paket. Kubayangkan Nina telah tumbuh dewasa. Sebentar lagi dia tentu naik kelas tiga SMA. Badannya empuk dan harum.

Rambutnya bagus. Matanya jernih. Suaranya tulus. Senyumnya kecilnya ... ah, ah, ah! Kamu mau ke mana? Nenek itu kembali bertanya. Ia sudah punya dua orang cucu. Anaknya empat orang. Satu meninggal, tiga lagi sudah besar-besar.

Yang sulung sudah memberinya dua cucu. Tapi ia tetap cantik. Rambutnya bagus. Matanya jernih. Badannya empuk dan wangi. Itulah Nina. Betul, hanya Ninaku. Usianya menginjak 47. Sedangkan aku 49 jalan 50. Kami hidup di sebuah bukit, di selatan ibukota. Indonesia memasuki jaman baru.

Tak ada lagi Pancasilais yang membantai saudaranya. Tak ada lagi cerita rumah tiba-tiba kosong karena seluruh keluarga diangkut entah kemana. Waktu itu lewat pertengahan 1960-an. Aku datang membawa hadiah untuk Nina, pertengahan Mei 1966. Ulang tahunnya tanggal 16. Tetapi aku tidak melihatnya. Ayahnya diculik dan dibunuh atas nama Allah. Pada jaman yang aneh, orang bangga membunuh teman, tetangga, bahkan keluarganya sendiri. Di harian Suara Karya ada cerita tentang seorang jendral yang dengan bangga memberondongkan senapan mesin pada seorang tokoh komunis.

Padahal tokoh itu termasuk salah satu putera terbaik Indonesia. Namanya melegenda, meskipun tak perlu disebut di sini. Tetapi pembunuhnya diangkat menjadi gubernur, dengan jasa terpenting, yaitu kesalahan yang tak pernah disadarinya. Pada ulang tahun Nina ke 27, aku sudah punya anak dan isteri. Kami tinggal di luar negeri, karena mendapat beasiswa untuk menyelesaikan strata tiga, S-3. Aku menjadi orang kepercayaan pada perusahaan tekstil terkemuka. Karena dianggap berjasa pada perusahaan, maka disekolahkan lagi.

Mula-mula untuk mendapatkan master dalam administrasi bisnis di Manila, Filipina. Selanjutnya ambil doktor ekonomi di London, Inggris. Umurku 29 jalan 30. Aku masih tetap rajin melukis. Seperti selalu kukatakan, aku orang sukses. Begitu juga mestinya Nina. Sebagai hadiahnya, aku dapatkan lagi foto model di taman, bunga mawar dan burung merpati. Resep masakan dan kumpulan pola pakaian sudah berjilid-jilid. Tak terhitung lagi memenuhi dua almari besar dan satu rak buku di ruang tengah rumah kontrakan kami. Kamu mau ke mana? Pergi ke masa kecil. Mau ikut? Nina menggeleng. Ia tidak mau pergi ke sana. Hanya aku yang berani menengok rumah kosong bernomor 39. Hanya aku yang berani memasukkan amplop putih mewah, dengan tulisan yang jelas: Hanya untuk Nina.

Sekarang jaman telah berubah. Hal-hal yang dulu diceritakan dengan bangga, kini terbukti menjadi dosa yang memalukan. Sebaliknya, rasa takut dan tertekan yang dulu menindih sebagian warga, berubah menjadi kenangan yang membanggakan. Aku memakai topi. Aku ingin pergi ke masa lalu. Membela orang-orang tak berdaya yang tertindas selera jaman.

Nenek cantik itu tidak ikut. Ia menunggu di masa depan. Dengan rambutnya yang bagus. Dengan matanya yang jernih. Dengan suaranya yang tulus. Aku diliriknya, disapanya, dan dilepaskannya pergi. Angin masa lalu akan sampai di bumi masa depan yang lebih cerah. Lebih setia.

Pada umurnya ke 37, aku memasuki 39 jalan 40. Itu genap sepuluh tahun lalu. Nina yang berpipi bulat, berambut bagus, berbadan harum dan empuk, melahirkan anakku yang bungsu. Perempuan, cantik, seperti ibunya. Tetapi nasib berkata lain, bayi itu mati, justru pada saat "Orde Baru" mencapai puncak kemakmurannya. Aku tak kekurangan apa pun. Rumah kami bagus. Mobil kami bagus. Anak-anak sehat dan gembira. Tapi pada siang hari yang begitu cerah, kami harus pergi ke kuburan.

Aku memondong sendiri puteriku. Menyerahkan jasadnya ke haribaan bumi pertiwi. Tuhan, terimalah arwahnya yang suci. Istriku tidak ikut. Ia terbaring di rumah sakit, ditunggui anak sulung kami. Aku dan ditemani anakku kedua, puluhan teman, tetangga dan keluarga, pergi ke masa depan yang sunyi. Angin terhisak-hisak di ranting akasia. Beberapa burung kecil mencicit-cicit. Seolah-olah memperebutkan masa depan dan masa lalu.
Di sini, aku membaringkan puteri kecil, Nina yang lain dalam hidupku.

Nina Nina Nina. Untunglah hidup tidak hanya berisi sunyi dan kepedihan. Tak lama berikutnya, air mata bahagia tercurah sedesar-derasnya. Puteri sulung kami menikah, dan memberikan dua cucu dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya.

Maka pada ulang tahunnya ke 47, Nina telah menjadi nenek cantik yang bertanya tulus itu, "Mau ke mana?" Aku tidak perlu menjawabnya. Aku mencari lukisanku di lemari. Tapi tak ada. Kupandang istriku tiba-tiba. Ia sudah menyimpan lukisanku ke tempat lain. Seperti selalu mengerti, ia sudah menunggu aku di masa depan. Senyum kecilnya meruntuhkan dunia. ***

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi