Lidia Mayangsari
http://www.suarakarya-online.com/
Kamu mau kemana? Pergi ke masa kecil. Mau ikut? Aku akan mengantarkan lukisan untuk teman. Lalu berangkat. Nenek yang cantik itu ikut bangun. Tapi tidak pergi ke mana-mana. Ia hanya melirik, memperhatikan lukisanku sebentar. Berangkat, berjalan-jalan ke masa lalu. Sebenarnya waktu itu aku sudah besar. Umurku sembilan jalan sepuluh. Hampir naik kelas empat. Nina tujuh tahun. Rambutnya bagus. Pipinya bulat. Badannya empuk dan wangi. Ia pendiam. Tapi senyumnya bisa meruntuhkan dunia. Ia cantik. Sangat amat cantik sekali.
Sudah kuputuskan, dalam hidup ini hanya ada Nina. Aku pasti menikahinya. Aku akan bahagia bersamanya sepanjang segala jaman. Makanya harus kerja keras.
Bahagia memang boleh datang begitu saja. Tapi yang terbaik, kalau kita serius menyambutnya. Bukan hanya menyambut, tapi juga bergiat menyiapkannya. Bahagia itu harus diciptakan. Diupayakan.
Bukan ditunggu untung-untungan. Tapi dirancang dan diupayakan dengan sebaik-baiknya. Termasuk kebahagiaan Nina pada hari ulangtahunnya ke tujuh.
Aku berpikir keras hadiah apa yang cocok untuknya. Sebuah lukisan?
Bagaimana membungkusnya? Di mana dan kapan menyerahkannya? Nina Nina Nina. Umurmu genap 7 tahun besok lusa. Aku ingin memberikan hadiah padanya. Kado istimewa berisikan lukisan dirinya. Tapi lukisan ini mungkin kurang disukainya. Mana mungkin Nina menyuka lukisan? Tapi, akan kuserahkan saja lukisan ini. Toh cuma sebuah hadiah.
Tapi aku harus membuat lukisan yang lain untuk Nina. Aku pun membuat gambar Nina seperti seorang model. Sosok gadis yang riang di hari ulangtahunnya. Masih banyak lagi sebenarnya yang ingin kuberikan untukmu. Aku ingin buku resep masakan. Aku ingin tuntunan mode selera tinggi. Aku ingin kamu pintar menjahit baju, merawat anak, memasak yang enak-enak, memilih lagu-lagu, dan menata interior rumah kita nanti.
Aku sudah besar. Sembilan jalan sepuluh. Dan kamu bakal tujuh tahun. Sudah waktunya menyiapkan diri. Kalau hidup ini panjangnya 70 tahun, maka ulang tahun ke tujuh adalah hitungan yang pertama. Harus disambut dengan mantap. Aku memang belum bisa naik sepeda. Tapi percayalah, kalau nanti aku bisa bersepedah. Kamu pasti kubonceng. Pasti. Dan hanya kamu.
Pada sore hari menjelang ulang tahunnya, semua hadiah yang ingin kuberikan padanya sudah lengkap. Selembar kliping resep masakan. Selembar kliping jahit menjahit. Dan yang sudah kusebut tadi: gambar mawar, merpati, dan seorang model di taman. Semua dalam amplop putih yang besar dan mewah. Sekarang aku harus menyerahkannya. Aku pakai topi. Jalan kaki ke rumahnya. Tapi, itulah sore yang sepi.
Rumahnya kosong. Semua pergi. Mungkin pesta ulang tahun Nina dirayakan di hotel? Di restoran?
Atau di rumah saudaranya? Tidak mungkin! Pada saat itu belum ada mode pesta-pesta ulang tahun di hotel untuk anak kecil. Pertengahan 1960-an. Indonesia carut marut dengan pertengkaran politik. Ekonomi berjalan sejadi-jadinya. Dan aku menggambarkan suasana itu dalam lukisan. Juga ada sosok pria berumur sembilan jalan sepuluh. Belum bisa naik sepeda. Tapi sudah pintar bercita-cita dan mencintai.
Aku mencintai Nina yang sore ini berumur 7 tahun. Tapi rumahnya kosong. Ada yang bilang ayahnya hilang. Tapi ada pula yang mengira pindah ke Surabaya. Aku tak percaya pada semuanya. Dengan hati-hati, kutulis namanya. Dengan sebagus-bagusnya kunyatakan di sampul putih yang mewah: Hanya untuk Nina. Lalu kumasukkan dalam kotak surat. Hampir saja tidak cukup lebar lubangnya. Tetapi untunglah, tanpa terlipat, seluruh hadiah untuk Nina masuk ke dalamnya. Tinggal aku menunggu reaksinya. Aka kata Nina besok pagi?
Apa kata Lidia, kakaknya. Apa kata Irfan adiknya. Apa kata ibunya? Apa kata seluruh dunia tentang hadiahku untuk Nina. Hanya untuk Nina. Tidak seorang pun berhak menerimanya kalau namanya bukan Nina. Sehari aku menunggu. Dua hari. Seminggu. Sebulan. Tahun berikutnya aku naik kelas lima. Lima tahun berikutnya aku sudah di SMP. Sepuluh tahun berikutnya aku mahasiswa. Aku tidak mendengar sepatah kata pun dari Nina. Rumahnya kosong. Nomornya 39, mulai lepas berguguran. Aku pergi ke Yogya. Lalu pindah ke Jakarta. Hidupku sudah ditakdirkan sukses.
Begitu juga tanahairku, Indonesia. Semua berkembang menjadi besar, pandai dan kaya. Aku mendapat seorang isteri, empat orang anak, dan dua orang cucu, hanya dalam tempo kurang dari 50 tahun berikutnya. Sekarang aku tinggal bersama seorang nenek yang cantik.
Pipinya bundar. Badannya empuk dan wangi. Pagi-pagi aku siap melukis lagi. Dialah yang selalu bertanya mau melukis apa? Dan selalu kujawab, mau melukis masa kecilku. Hanya ke masa kecilku. Aku ingin bertemu Nina. Rambutnya bagus. Pendiam. Tapi senyum kecilnya bisa meruntuhkan dunia.
Dan aku telah memberikan semua yang terbaik hanya untuknya. Pada hari ulang tahunnya ke 17, aku berhasil mengumpulkan lebih banyak resep masakan, lebih banyak pola pakaian, dan beberapa disain rumah nyaman. Jangan lupa, umurku sudah 19 jalan 20. Aku menjadi mahasiswa, sekaligus aktifis di Jakarta. Lukisanku sudah lebih bagus. Aku pun sudah berani melengkapi lukisan karyaku dengan kode namaku. Aku ingin memberikan pada Nina. Tapi, apalah artinya sebuah lukisan? Lebih bagus gambar bunga, merpati, dan gadis model di taman yang indah. Nina pasti menerimanya dengan bahagia. Amplop hadiah itu lebih besar. Bukan amplop tapi paket. Kubayangkan Nina telah tumbuh dewasa. Sebentar lagi dia tentu naik kelas tiga SMA. Badannya empuk dan harum.
Rambutnya bagus. Matanya jernih. Suaranya tulus. Senyumnya kecilnya ... ah, ah, ah! Kamu mau ke mana? Nenek itu kembali bertanya. Ia sudah punya dua orang cucu. Anaknya empat orang. Satu meninggal, tiga lagi sudah besar-besar.
Yang sulung sudah memberinya dua cucu. Tapi ia tetap cantik. Rambutnya bagus. Matanya jernih. Badannya empuk dan wangi. Itulah Nina. Betul, hanya Ninaku. Usianya menginjak 47. Sedangkan aku 49 jalan 50. Kami hidup di sebuah bukit, di selatan ibukota. Indonesia memasuki jaman baru.
Tak ada lagi Pancasilais yang membantai saudaranya. Tak ada lagi cerita rumah tiba-tiba kosong karena seluruh keluarga diangkut entah kemana. Waktu itu lewat pertengahan 1960-an. Aku datang membawa hadiah untuk Nina, pertengahan Mei 1966. Ulang tahunnya tanggal 16. Tetapi aku tidak melihatnya. Ayahnya diculik dan dibunuh atas nama Allah. Pada jaman yang aneh, orang bangga membunuh teman, tetangga, bahkan keluarganya sendiri. Di harian Suara Karya ada cerita tentang seorang jendral yang dengan bangga memberondongkan senapan mesin pada seorang tokoh komunis.
Padahal tokoh itu termasuk salah satu putera terbaik Indonesia. Namanya melegenda, meskipun tak perlu disebut di sini. Tetapi pembunuhnya diangkat menjadi gubernur, dengan jasa terpenting, yaitu kesalahan yang tak pernah disadarinya. Pada ulang tahun Nina ke 27, aku sudah punya anak dan isteri. Kami tinggal di luar negeri, karena mendapat beasiswa untuk menyelesaikan strata tiga, S-3. Aku menjadi orang kepercayaan pada perusahaan tekstil terkemuka. Karena dianggap berjasa pada perusahaan, maka disekolahkan lagi.
Mula-mula untuk mendapatkan master dalam administrasi bisnis di Manila, Filipina. Selanjutnya ambil doktor ekonomi di London, Inggris. Umurku 29 jalan 30. Aku masih tetap rajin melukis. Seperti selalu kukatakan, aku orang sukses. Begitu juga mestinya Nina. Sebagai hadiahnya, aku dapatkan lagi foto model di taman, bunga mawar dan burung merpati. Resep masakan dan kumpulan pola pakaian sudah berjilid-jilid. Tak terhitung lagi memenuhi dua almari besar dan satu rak buku di ruang tengah rumah kontrakan kami. Kamu mau ke mana? Pergi ke masa kecil. Mau ikut? Nina menggeleng. Ia tidak mau pergi ke sana. Hanya aku yang berani menengok rumah kosong bernomor 39. Hanya aku yang berani memasukkan amplop putih mewah, dengan tulisan yang jelas: Hanya untuk Nina.
Sekarang jaman telah berubah. Hal-hal yang dulu diceritakan dengan bangga, kini terbukti menjadi dosa yang memalukan. Sebaliknya, rasa takut dan tertekan yang dulu menindih sebagian warga, berubah menjadi kenangan yang membanggakan. Aku memakai topi. Aku ingin pergi ke masa lalu. Membela orang-orang tak berdaya yang tertindas selera jaman.
Nenek cantik itu tidak ikut. Ia menunggu di masa depan. Dengan rambutnya yang bagus. Dengan matanya yang jernih. Dengan suaranya yang tulus. Aku diliriknya, disapanya, dan dilepaskannya pergi. Angin masa lalu akan sampai di bumi masa depan yang lebih cerah. Lebih setia.
Pada umurnya ke 37, aku memasuki 39 jalan 40. Itu genap sepuluh tahun lalu. Nina yang berpipi bulat, berambut bagus, berbadan harum dan empuk, melahirkan anakku yang bungsu. Perempuan, cantik, seperti ibunya. Tetapi nasib berkata lain, bayi itu mati, justru pada saat "Orde Baru" mencapai puncak kemakmurannya. Aku tak kekurangan apa pun. Rumah kami bagus. Mobil kami bagus. Anak-anak sehat dan gembira. Tapi pada siang hari yang begitu cerah, kami harus pergi ke kuburan.
Aku memondong sendiri puteriku. Menyerahkan jasadnya ke haribaan bumi pertiwi. Tuhan, terimalah arwahnya yang suci. Istriku tidak ikut. Ia terbaring di rumah sakit, ditunggui anak sulung kami. Aku dan ditemani anakku kedua, puluhan teman, tetangga dan keluarga, pergi ke masa depan yang sunyi. Angin terhisak-hisak di ranting akasia. Beberapa burung kecil mencicit-cicit. Seolah-olah memperebutkan masa depan dan masa lalu.
Di sini, aku membaringkan puteri kecil, Nina yang lain dalam hidupku.
Nina Nina Nina. Untunglah hidup tidak hanya berisi sunyi dan kepedihan. Tak lama berikutnya, air mata bahagia tercurah sedesar-derasnya. Puteri sulung kami menikah, dan memberikan dua cucu dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya.
Maka pada ulang tahunnya ke 47, Nina telah menjadi nenek cantik yang bertanya tulus itu, "Mau ke mana?" Aku tidak perlu menjawabnya. Aku mencari lukisanku di lemari. Tapi tak ada. Kupandang istriku tiba-tiba. Ia sudah menyimpan lukisanku ke tempat lain. Seperti selalu mengerti, ia sudah menunggu aku di masa depan. Senyum kecilnya meruntuhkan dunia. ***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar