Teguh Winarsho AS
http://www2.kompas.com/
"IA belum datang!" Rasto mendengus. Malam gelap tanpa bintang dan langit cuma bentangan kain hitam. "Baiklah, baiklah, aku akan menunggunya!" Rasto menyandarkan punggungnya pada tiang listrik. Matanya merah. Sementara jalan di depannya telah sepi sejak satu setangah jam lalu.
Hanya perempuan-perempuan dengan bedak tebal, parfum menyengat, dan tawa melengkingsesekali masih lewat. Rasto mengeluarkan botol minuman dari balik jaket dan menenggaknya pelan-pelan. Ia harus menghemat minuman itu sebelum subuh datang dan segalanya berakhir. Ia tidak tahu apakah akan pulang dengan kebahagiaan atau terkapar di pinggir jalan.
Waktu bergerak lambat seperto tusukan belati di jantung Rasto. Dan nyamuk-nyamuk itu telah menjadi begitu buas membuat tubuhnya bentol-bentol merah. Membuat kepalanya terasa berat dan sesekali berputar. Membuat darahnya mendidih seperti terbakar. Membuat suasana malam menjadi sangat buruk dan celaka. Mestinya malam ini ia enak-enak di rumah, tidur atau nonton televisi. Tapi sudah hampir tiga jam ia berdiri di pinggir jalan, seperti gelandangan. "Ia belum datang!" Lagi Rasto mendengus, geram. Matanya semakin merah. Nafasnya sengal.
Sebuah mobil patroli tiba-tiba melintas di jalan depan. Rasto merunduk menyembunyikan tubuhnya di balik tiang listrik. Sudah lama ia malas berurusan dengan makhluk-makhluk berseragam itu. Rasto melihat ada dua orang di dalam mobil itu. Seorang bertubuh gemuk dan seorang lagi kepalanya botak. Rasto terus merunduk hingga mpbil itu berlalu dan lenyap ditelan gelap.
"Ia belum...," Rasto tak sempat meneruskan kalimatnya. Matanya tiba-tiba mengerjap, menyala. Bibirnya mengurai senyum. Di kejauhan tampak sosok manusia tengah berjalan ke arahnya. Rasto dengan cepat bisa mengenali sosok itu. Rasto bahagia. Matanya berkilat-kilat. Sejenak Rasto mengusap pangkal belati di balik jaketnya. Masih tersimpan rapi. Rasto segera menghadang sosok itu. Ia tak punya waktu banyak. Ia harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya!
Rasto berdiri tegak menghadang sosok itu. Angin malam terasa dingin menyentuh kulitnya, tapi kemarahannya tak mungkin bisa ditunda. Rasto terus berdiri tegak sementara sosok itu kian berjalan mendekat. Perlahan-lahan Rasto meraba belatinya. Ia akan mencabut belati itu pada saat sosok itu berdiri persis di depannya. Ia akan menghujamkan belatinya berkali-kali ke tubuh sosok itu hingga lusa ia akan membaca berita koran tentang seseorang yang terbunuh di pinggir jalan; seorang laki-laki yang tubuhnya rusak oleh tikaman belati! Tapi.... Tapi.... Mendadak rasto beringsut mundur, menggosok-gosok mata. Sosok itu bukan orang yang ditunggunya!
"Ia belum datang!" Rasto mendesah kembali menyandarkan punggungnya pada tiang listrik.
Mengeluarkan botol minuman dan menenggaknya pelan-pelan. Ia harus menghemat minuman itu sebelum subuh datang dan segalanya berakhir. Ia tidak tahu apakah akan pulang dengan kebahagiaan atau terkapar di pinggir jalan.
Sebuah mobil patroli kembali melintas. Mobil yang sama. Juga orang yang sama. Rasto segera merunduk, menyembunyikan tubuhnya di balik tiang listrik. Tapi, entah, tiba-tiba Rasto mulai menimbang-nimbang kekuatannya untuk melawan dua orang berseragam itu. Ia bosan terus menerus dicekam ketakutan dan harus bersembunyi jika mobil patroli itu melintas di depannya. Itu pekerjaan lain di luar perhitungannya. Ia akan merasa tenang jika tak ada orang yang mengganggu pekerjaannya.
Seperti tahu ada orang bersembunyi di balik tiang listrik, mobil patroli itu berhenti mendadak. Seorang polisi turun menghampiri Rasto. Rasto tak bisa menghindar. Rasto ke luar dari tempat persembunyian, berdiri, sedikit tersenyum, menyambut kedatangan polisi itu. Sesaat Rasto sempat mmeraba pangkal belati di balik jaketnya. Masih tersimpan rapi. Tapi pangkal belati itu kini telah menjadi begitu dingin seperti membangkitkan sesuatu. Sesuatu yang juga dingin dan menegangkan.
Rasto pernah merasakan perasaan semacam itu entah berapa tahun lalu. Rasto akan meraih belati itu pada saat polisi itu menggeledah dirinya. Ia akan menghujamkan belatinya ke perut polisi itu.
Polisi itu menyuruh Rasto mengangkat tangan dan berbalik menghadap tiang listrik. Rasto sempat melihat polisi itu membawa pistol. Tapi Rasto tidak gentar. Ia dengan mudah bisa mengelabui polisi itu dengan mengajak bercakap-cakap atau memberinya beberapa batang rokok, dan pada saat bersamaan, ia akan menghujamkan belatinya ke perut polisi itu. Rasto sudah berbalik sembari mengangkat tangannya. Polisi itu lantas menggeledah dan hanya mendapatkan sebotol minuman yang hampir habis, lalu melemparkannya ke selokan. Rasto lega. Belati itu tersembunyi rapi.
Dengan langkah gagah polisi itu kembali ke mobilnya. Pada saat bersamaan Rasto meraba belatinya. Ia akan menusuk punggung polisi itu dari belakang. Mungkin hanya perlu empat atau lima tusukan dan lusa ia akan membaca berita di koran tentang seorang polisi yang terbunuh di pinggir jalan. Tubuhnya rusak penuh tikaman belati.
Pelan-pelan Rasto mulai mengeluarkan belatinya. Ujung belati itu tampak berkilat-kilat di matanya. Rasto berjalan menyusul polisi itu. Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti. Rasto sadar, ia hanya bisa membunuh satu polisi itu, sementara polisi satu lagi akan menembaknya dari dalam mobil. Cukup satu peluru di batok kepalanya dan ia akan tamat! Rasto tak mau mati konyol sebelum pekerjaannya selesai. Ia biarkan polisi itu masuk ke dalam mobil yang langsung menderu meninggalkan dirinya.
Rasto kembali menyandarkan punggungnya pada tiang listrik. Menatap langit di atas yang belum berubah.
"Ia belum datang...." Untuk kesekian kalinya Rasto melontarkan kalimat sama. Hanya kali ini datar tanpa tekanan. Mungkin juga tanpa emosi. Tapi sesekali ia masih meraba pangkal belati di balik jaketnya. Sesekali pula matanya masih menatap tajam kegelapan.
Tapi waktu enggan berhenti. Waktu terus berlalu dan berlalu hingga pagi tiba dan jalan di depannya menjadi ramai oleh kendaraan dan juga orang-orang yang berjalan tergesa-gesa. Rasto buru-buru meninggalkan tempat itu.
***
"IA belum datang!" rasto mendengus. Geram. Malam remang seperti kuburan tua. "Baiklah, baiklah, aku akan menunggunya!"
Rasto menyandarkan punggungnya pada tiang llistrik. Jalan di depannya telah sepi sejak ia datang. Entah ke mana perempuan-perempuan dengan bedak tebal dan parfum menyengat yang biasa hilir mudik, mencari laki-laki hidung belang.
Rasto mengeluarkan botol minuman dan menenggaknya pelan-pelan. Ia harus menghemat minuman itu sebelum subuh datang dan segalanya berakhir. Ia tidak tahu apakah akan pulang dengan kebahagiaan atau terkapar di pinggir jalan.
Menit-menit terus berlalu seperti menunggu ajal tiba. Dan dingin udara malam telah membuat kemarahan Rasto yang terpendam sekian malam kembali menganga. Membuat kepalanya berdengung-dengung seperti habis ditimpuk batu. Tapi sudah hampir empat jam ia berdiri di situ.
"Ia belum datang!"
Sebuah mobil patroli polisi melintas pelan di depan Rasto. Rasto heran, mobil patroli itu melintas malam-malam saat orang lain tidur nyenyak.
Rasto segera menjatuhkan tubuhnya di atas tanah, tiarap. Kemarin malam ia gagal menghabisi mahkluk-mahkluk berseragam itu. Rasto melihat ada dua orang di dalam mobil itu. Seorang bertubuh kurus dan seorang lagi mengenakan topi. Rasto terus tiarap hingga mobil itu berlalu dan lenyap ditelan gelap. Rasto kemudian berdiri lagi. Menyandarkan punggungnya pada tiang listrik.
"Ia belum..."
Kalimat itu terputus begitu saja. Secepat kilat Rasto meraba belatinya. Kali ini ia tak mungkin salah. Ia dapat mencium bau tubuh sosok itu. Hidungnya tak mungkin menipu. Rasto menghadang sosok itu. Ia harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya sebelum mobil patroli polisi datang.
Rasto berdiri tegak menghadang sosok itu. Kemarahannya sudah tak tertahankan. Sosok itu terus berjalan mendekat.
Perlahan-lahan Rasto meraih belatinya. Ia akan menhujamkan belatinya ke tubuh sosok itu, berkali-kali, hingga darah muncrat ke udara dan lusa ia akan menyaksikan berita di televisi tentang seseorang yang terbunuh di pinggir jalan. Tapi.... Tapi.... Mendadak Rasto gemetar lalu menyimpan belatinya. Sosok itu bukan orang yang ditunggunya!
***
"IA belum datang!" Mata Rasto berkilat. "Baiklah, baiklah, aku akan menunggunya!"
Rasto menyandarkan punggunngnya pada tiang listrik. Mengeluarkan botol minuman dan menenggaknya pelan-pelan. Itu adalah botol terakhir miliknya. Rasto terus menunggu. Tapi menit-menit berlalu hampa. Orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Malam masih gelap dan sepi seperti malam-malam sebelumnya.
Tapi mendadak mata Rasto menyala. Cepat ia meraih belatinya. Ia akan menusuk sosok itu begitu sampai di depannya. Rasto berdiri tegak menghadang sosok itu. Ia sudah tak sabar lagi. Sosok itu terus berjalan mendekat. Rasto menggenggam belatinya kuat-kuat. Ia akan menusukkan belatinya ke tubuh sosok itu. Berkali-kali. Dan besok pagi-pagi sekali penduduk kota pasti gempar menemukan seorang laki-laki terkapar di pinggir jalan. Tapi mendadak Rasto menggigil. Sosok itu bukan orang yang ditunggunya!
***
RASTO berdiri di pinggir jalan. Gerimis mulai turun. Rasto memperhatikan orang-orang yang berjalan tergesa-gesa di depannya. Beratus-ratus orang lewat di depannya. Tapi orang yang ditunggunya tak kunjung darang. Rasto menelan ludah. Tenggorokannya kering. Tapi ia sudah tak punya minuman lagi. Jaketnya kosong, hanya berisi belati. Sesekali ia meraba pangkal belati itu dan ia merasakan darahnya berkelupuk, mendidih.
"Apakah ia telah menjadi seorang pengecut?!" Rasto geram. Menyandarkan punggungnya padatiang listrik. Perutnya mulai berkerucuk lapar.
Sejak kemarin perutnya memang hanya berisi minuman. Dan malam ini ia benar-benar merasakan kepalanya pening. Tubuhnya menggigil gemetar panas dingin seperti terserang demam. Sementara detik terus beringsut menjadi menit dan menit berputar menjadi jam. Waktu berlalu sia-sia! Tubuh Rasto tiba-tiba rubuh ke tanah hanya beberapa menit setelah sebuah mobil patroli polisi melintas di depannya. Hanya beberapa detik setelah hujan turun deras disertai kilat menyambar-nyambar. Tak ada yang mengetahui keberadaannya. Seorang pun!
Sementara di sebuah sudut jalan lain, tak jauh dari tempat itu, tampak beberapa orang mengerubungi sosok laki-laki yang terkapar di pinggir jalan. Tak ada luka pada tubuh laki-laki itu. Hanya wajahnya mulai pucat membiru. Jelas laki-laki itu belum lama mati. Orang-orang menduga laki-laki itu mati kedinginan. Tapi orang-orang terhenyak setelah mengetahui laki-laki itu menyembunyikan pedang di balik jaketnya.
"Sudah beberapa malam. Ia seperti menunggu seseorang...."
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 14 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar