Minggu, 14 November 2010

Dua Laki-Laki

Teguh Winarsho AS
http://www2.kompas.com/

"IA belum datang!" Rasto mendengus. Malam gelap tanpa bintang dan langit cuma bentangan kain hitam. "Baiklah, baiklah, aku akan menunggunya!" Rasto menyandarkan punggungnya pada tiang listrik. Matanya merah. Sementara jalan di depannya telah sepi sejak satu setangah jam lalu.

Hanya perempuan-perempuan dengan bedak tebal, parfum menyengat, dan tawa melengkingsesekali masih lewat. Rasto mengeluarkan botol minuman dari balik jaket dan menenggaknya pelan-pelan. Ia harus menghemat minuman itu sebelum subuh datang dan segalanya berakhir. Ia tidak tahu apakah akan pulang dengan kebahagiaan atau terkapar di pinggir jalan.

Waktu bergerak lambat seperto tusukan belati di jantung Rasto. Dan nyamuk-nyamuk itu telah menjadi begitu buas membuat tubuhnya bentol-bentol merah. Membuat kepalanya terasa berat dan sesekali berputar. Membuat darahnya mendidih seperti terbakar. Membuat suasana malam menjadi sangat buruk dan celaka. Mestinya malam ini ia enak-enak di rumah, tidur atau nonton televisi. Tapi sudah hampir tiga jam ia berdiri di pinggir jalan, seperti gelandangan. "Ia belum datang!" Lagi Rasto mendengus, geram. Matanya semakin merah. Nafasnya sengal.

Sebuah mobil patroli tiba-tiba melintas di jalan depan. Rasto merunduk menyembunyikan tubuhnya di balik tiang listrik. Sudah lama ia malas berurusan dengan makhluk-makhluk berseragam itu. Rasto melihat ada dua orang di dalam mobil itu. Seorang bertubuh gemuk dan seorang lagi kepalanya botak. Rasto terus merunduk hingga mpbil itu berlalu dan lenyap ditelan gelap.

"Ia belum...," Rasto tak sempat meneruskan kalimatnya. Matanya tiba-tiba mengerjap, menyala. Bibirnya mengurai senyum. Di kejauhan tampak sosok manusia tengah berjalan ke arahnya. Rasto dengan cepat bisa mengenali sosok itu. Rasto bahagia. Matanya berkilat-kilat. Sejenak Rasto mengusap pangkal belati di balik jaketnya. Masih tersimpan rapi. Rasto segera menghadang sosok itu. Ia tak punya waktu banyak. Ia harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya!

Rasto berdiri tegak menghadang sosok itu. Angin malam terasa dingin menyentuh kulitnya, tapi kemarahannya tak mungkin bisa ditunda. Rasto terus berdiri tegak sementara sosok itu kian berjalan mendekat. Perlahan-lahan Rasto meraba belatinya. Ia akan mencabut belati itu pada saat sosok itu berdiri persis di depannya. Ia akan menghujamkan belatinya berkali-kali ke tubuh sosok itu hingga lusa ia akan membaca berita koran tentang seseorang yang terbunuh di pinggir jalan; seorang laki-laki yang tubuhnya rusak oleh tikaman belati! Tapi.... Tapi.... Mendadak rasto beringsut mundur, menggosok-gosok mata. Sosok itu bukan orang yang ditunggunya!

"Ia belum datang!" Rasto mendesah kembali menyandarkan punggungnya pada tiang listrik.
Mengeluarkan botol minuman dan menenggaknya pelan-pelan. Ia harus menghemat minuman itu sebelum subuh datang dan segalanya berakhir. Ia tidak tahu apakah akan pulang dengan kebahagiaan atau terkapar di pinggir jalan.

Sebuah mobil patroli kembali melintas. Mobil yang sama. Juga orang yang sama. Rasto segera merunduk, menyembunyikan tubuhnya di balik tiang listrik. Tapi, entah, tiba-tiba Rasto mulai menimbang-nimbang kekuatannya untuk melawan dua orang berseragam itu. Ia bosan terus menerus dicekam ketakutan dan harus bersembunyi jika mobil patroli itu melintas di depannya. Itu pekerjaan lain di luar perhitungannya. Ia akan merasa tenang jika tak ada orang yang mengganggu pekerjaannya.

Seperti tahu ada orang bersembunyi di balik tiang listrik, mobil patroli itu berhenti mendadak. Seorang polisi turun menghampiri Rasto. Rasto tak bisa menghindar. Rasto ke luar dari tempat persembunyian, berdiri, sedikit tersenyum, menyambut kedatangan polisi itu. Sesaat Rasto sempat mmeraba pangkal belati di balik jaketnya. Masih tersimpan rapi. Tapi pangkal belati itu kini telah menjadi begitu dingin seperti membangkitkan sesuatu. Sesuatu yang juga dingin dan menegangkan.

Rasto pernah merasakan perasaan semacam itu entah berapa tahun lalu. Rasto akan meraih belati itu pada saat polisi itu menggeledah dirinya. Ia akan menghujamkan belatinya ke perut polisi itu.

Polisi itu menyuruh Rasto mengangkat tangan dan berbalik menghadap tiang listrik. Rasto sempat melihat polisi itu membawa pistol. Tapi Rasto tidak gentar. Ia dengan mudah bisa mengelabui polisi itu dengan mengajak bercakap-cakap atau memberinya beberapa batang rokok, dan pada saat bersamaan, ia akan menghujamkan belatinya ke perut polisi itu. Rasto sudah berbalik sembari mengangkat tangannya. Polisi itu lantas menggeledah dan hanya mendapatkan sebotol minuman yang hampir habis, lalu melemparkannya ke selokan. Rasto lega. Belati itu tersembunyi rapi.

Dengan langkah gagah polisi itu kembali ke mobilnya. Pada saat bersamaan Rasto meraba belatinya. Ia akan menusuk punggung polisi itu dari belakang. Mungkin hanya perlu empat atau lima tusukan dan lusa ia akan membaca berita di koran tentang seorang polisi yang terbunuh di pinggir jalan. Tubuhnya rusak penuh tikaman belati.

Pelan-pelan Rasto mulai mengeluarkan belatinya. Ujung belati itu tampak berkilat-kilat di matanya. Rasto berjalan menyusul polisi itu. Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti. Rasto sadar, ia hanya bisa membunuh satu polisi itu, sementara polisi satu lagi akan menembaknya dari dalam mobil. Cukup satu peluru di batok kepalanya dan ia akan tamat! Rasto tak mau mati konyol sebelum pekerjaannya selesai. Ia biarkan polisi itu masuk ke dalam mobil yang langsung menderu meninggalkan dirinya.

Rasto kembali menyandarkan punggungnya pada tiang listrik. Menatap langit di atas yang belum berubah.

"Ia belum datang...." Untuk kesekian kalinya Rasto melontarkan kalimat sama. Hanya kali ini datar tanpa tekanan. Mungkin juga tanpa emosi. Tapi sesekali ia masih meraba pangkal belati di balik jaketnya. Sesekali pula matanya masih menatap tajam kegelapan.

Tapi waktu enggan berhenti. Waktu terus berlalu dan berlalu hingga pagi tiba dan jalan di depannya menjadi ramai oleh kendaraan dan juga orang-orang yang berjalan tergesa-gesa. Rasto buru-buru meninggalkan tempat itu.
***

"IA belum datang!" rasto mendengus. Geram. Malam remang seperti kuburan tua. "Baiklah, baiklah, aku akan menunggunya!"

Rasto menyandarkan punggungnya pada tiang llistrik. Jalan di depannya telah sepi sejak ia datang. Entah ke mana perempuan-perempuan dengan bedak tebal dan parfum menyengat yang biasa hilir mudik, mencari laki-laki hidung belang.

Rasto mengeluarkan botol minuman dan menenggaknya pelan-pelan. Ia harus menghemat minuman itu sebelum subuh datang dan segalanya berakhir. Ia tidak tahu apakah akan pulang dengan kebahagiaan atau terkapar di pinggir jalan.

Menit-menit terus berlalu seperti menunggu ajal tiba. Dan dingin udara malam telah membuat kemarahan Rasto yang terpendam sekian malam kembali menganga. Membuat kepalanya berdengung-dengung seperti habis ditimpuk batu. Tapi sudah hampir empat jam ia berdiri di situ.

"Ia belum datang!"

Sebuah mobil patroli polisi melintas pelan di depan Rasto. Rasto heran, mobil patroli itu melintas malam-malam saat orang lain tidur nyenyak.

Rasto segera menjatuhkan tubuhnya di atas tanah, tiarap. Kemarin malam ia gagal menghabisi mahkluk-mahkluk berseragam itu. Rasto melihat ada dua orang di dalam mobil itu. Seorang bertubuh kurus dan seorang lagi mengenakan topi. Rasto terus tiarap hingga mobil itu berlalu dan lenyap ditelan gelap. Rasto kemudian berdiri lagi. Menyandarkan punggungnya pada tiang listrik.

"Ia belum..."

Kalimat itu terputus begitu saja. Secepat kilat Rasto meraba belatinya. Kali ini ia tak mungkin salah. Ia dapat mencium bau tubuh sosok itu. Hidungnya tak mungkin menipu. Rasto menghadang sosok itu. Ia harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya sebelum mobil patroli polisi datang.

Rasto berdiri tegak menghadang sosok itu. Kemarahannya sudah tak tertahankan. Sosok itu terus berjalan mendekat.

Perlahan-lahan Rasto meraih belatinya. Ia akan menhujamkan belatinya ke tubuh sosok itu, berkali-kali, hingga darah muncrat ke udara dan lusa ia akan menyaksikan berita di televisi tentang seseorang yang terbunuh di pinggir jalan. Tapi.... Tapi.... Mendadak Rasto gemetar lalu menyimpan belatinya. Sosok itu bukan orang yang ditunggunya!
***

"IA belum datang!" Mata Rasto berkilat. "Baiklah, baiklah, aku akan menunggunya!"

Rasto menyandarkan punggunngnya pada tiang listrik. Mengeluarkan botol minuman dan menenggaknya pelan-pelan. Itu adalah botol terakhir miliknya. Rasto terus menunggu. Tapi menit-menit berlalu hampa. Orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Malam masih gelap dan sepi seperti malam-malam sebelumnya.

Tapi mendadak mata Rasto menyala. Cepat ia meraih belatinya. Ia akan menusuk sosok itu begitu sampai di depannya. Rasto berdiri tegak menghadang sosok itu. Ia sudah tak sabar lagi. Sosok itu terus berjalan mendekat. Rasto menggenggam belatinya kuat-kuat. Ia akan menusukkan belatinya ke tubuh sosok itu. Berkali-kali. Dan besok pagi-pagi sekali penduduk kota pasti gempar menemukan seorang laki-laki terkapar di pinggir jalan. Tapi mendadak Rasto menggigil. Sosok itu bukan orang yang ditunggunya!
***

RASTO berdiri di pinggir jalan. Gerimis mulai turun. Rasto memperhatikan orang-orang yang berjalan tergesa-gesa di depannya. Beratus-ratus orang lewat di depannya. Tapi orang yang ditunggunya tak kunjung darang. Rasto menelan ludah. Tenggorokannya kering. Tapi ia sudah tak punya minuman lagi. Jaketnya kosong, hanya berisi belati. Sesekali ia meraba pangkal belati itu dan ia merasakan darahnya berkelupuk, mendidih.

"Apakah ia telah menjadi seorang pengecut?!" Rasto geram. Menyandarkan punggungnya padatiang listrik. Perutnya mulai berkerucuk lapar.

Sejak kemarin perutnya memang hanya berisi minuman. Dan malam ini ia benar-benar merasakan kepalanya pening. Tubuhnya menggigil gemetar panas dingin seperti terserang demam. Sementara detik terus beringsut menjadi menit dan menit berputar menjadi jam. Waktu berlalu sia-sia! Tubuh Rasto tiba-tiba rubuh ke tanah hanya beberapa menit setelah sebuah mobil patroli polisi melintas di depannya. Hanya beberapa detik setelah hujan turun deras disertai kilat menyambar-nyambar. Tak ada yang mengetahui keberadaannya. Seorang pun!

Sementara di sebuah sudut jalan lain, tak jauh dari tempat itu, tampak beberapa orang mengerubungi sosok laki-laki yang terkapar di pinggir jalan. Tak ada luka pada tubuh laki-laki itu. Hanya wajahnya mulai pucat membiru. Jelas laki-laki itu belum lama mati. Orang-orang menduga laki-laki itu mati kedinginan. Tapi orang-orang terhenyak setelah mengetahui laki-laki itu menyembunyikan pedang di balik jaketnya.

"Sudah beberapa malam. Ia seperti menunggu seseorang...."
***

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi