Kamis, 02 Desember 2010

Seorang Iwan Dan Timur Itu

Iwan Nurdaya Djafar (Penyair-Budayawan)
Pewawancara: Rahmat Sudirman, Zulkarnain Zubairi
http://www.lampungpost.com/

WACANA sastra Timur mengalir begitu saja dari mulut Iwan Nurdaya Djafar. Keseriusan mendalami sastra-sastra oriental ini sangat terasa. Bukan saja dari banyaknya literatur sastra Timur yang dia miliki, yang menumpuk di lemari buku di ruang tamunya; keseriusan ini terasa dari jernihnya wacana yang menyeruak dari pikiran Iwan dan bernasnya apresiasi yang mengalir dalam pembicaraan Selasa (6-12) malam itu di kediamannya di Jalan Endro Suratmin, Sukarame, Bandar Lampung.

“Saya ingin mengingatkan masyarakat kalau sesungguhnya Timur ini sangat kaya. Begitu juga sastra tasawufnya. Khazanah kebudayaan Timur juga demikian. Makanya saya masuk Dalai Lama, Rabindranath Tagore, puisi-puisi klasik Jepang, dan sebagainya. Genre ini banyak melahirkan sastrawan, khususnya penyair. Inikan sangat menarik,” kata Iwan kepada wartawan Lampung Post Rahmat Sudirman dan Zulkarnain Zubairi malam itu.

Puisi-puisi Iwan yang muncul era 80-an memang kental rasa sufistiknya. Dalam antologi Seratus Sajak, misalnya, Iwan seperti menumpahkan kerinduan, pencarian sekaligus kegelisahan seorang hamba–yang adalah jagat cilik–tentang kehidupan yang profan ini. Iwan juga sadar akan “Sesuatu” (dengan huruf besar) yang tremendum fascinatum, hingga ia bersaksi dalam syairnya: Silakan sensor syair-syairku, ya allah/Biar butir butir dzikir/Ngalir dari sungai syairku/Tumpah ke lautan hati sesama (Doa Kepenyairan).

Dalam “Syahadat”, Iwan mengelana lebih jauh, seperti mendedah zat yang namanya tuhan (dengan “z” kecil). Ia pun bersyair: Allah, Allah, Allah!/sembahanku Allah bukan tuhan/berkali-kali mati di tangan pikiran/berkali-kali hidup di tangan pikiran/hidup mati tuhan tergantung pikiran/sedang dalam hati yang berserah/yang tunggal dan kekal hanya Allah/hanya Allah/…la ilaha ‘ill-Allah/betapa ingin kudzikirkan selalu/la ilah…pada setiap tarikan nafasku/’ill-Allah pada setiap hembusan nafasku/…sembahanku bbukan tuhan melainkan Allah/sembahanku dulu tuhan/kini Allah/Allah!

Bukan lantaran karya-karyanya berlatar sufistik lantas ia sampai sekarang mendalami sastra Timur. Bagi Iwan, ini adalah pilihan. “Saya juga baca Nietszche, Bertrand Russel, Karl Jasper, Sastre, Kiekegard, dan segalanya. Ya, semua itu kita kritisi aja,” ujar Iwan, saat ditanya pemikir-pemikir Barat yang memenuhi wacana pemikiran kontekstual di Tanah Air.

“Saya juga ada refleksi tentang Nietszche, saya kasih judul ‘Mengapa (Tidak) Kembali’. Yang terjadi pada Nietszche kan tidak kembali. Di puncak renungannya, dia tidak kembali. Malah kebablasan. Kalau Karl Jasper kan tidak, dia kembali ke pengakuan-Nya,” kata Iwan.

Soal kepenyairan–lebih luas lagi soal menulis–ia tidak pernah main-main, sekalipun jabatan taruhannya. “Saya enggak ada urusan dengan segala tekanan. Saya enggak ada urusan. Saya berani kok dicopot dari jabatan kalau memang konsekuensinya harus begitu. Target saya kan jadi diri sendiri. Iyalah, mesti begitu,” ujar dengan mimik serius.

Iwan memang hidup di “dua dunia”: sastra dan birokrasi. Sebagai penyair, ia suntuk melacak khazanah sastra-kebudayaan Timur. Iwan juga seorang pejabat; pernah menduduki posisi sebagai kepala kantor Catatan Sipil Pemkab Lampung Timur. Kini, ia menjabat kepala Bagian TU Dinas Pengairan Pemkab Lamtim.

Iwan memang tidak pernah main-main dengan hidup, dengan sastra, kepenyairan, dan segala yang berbau serius. Suatu saat, ia ingin mendirikan penerbit yang concern pada seni, sastra, budaya, dan filsafat seperti yang banyak berkembang di Yogyakarta. Ia juga terus menerjemahkan literatur-literatur sastra Timur. Suatu saat, Iwan ingin menerbitkan anotasi puisi-puisi Ayatullah Khomeini, pemimpin dan tokoh spiritual Iran itu.

Kenapa Timur yang dipilih?

Timur itu sangat besar. Kalau ditanya kenapa enggak Barat, ya karena orang yang mendalami dan menerjemahkan sastra Barat sudah banyak. Kalau tidak, Timur nanti bisa ditingalkan.

Saya juga terbata-bata menerjemahkan karya-karya sastra Timur ini. Tidak cukup satu atau dua kamus, harus ada kamus-kamus lain yang khusus.

Anda merasakan ada kekhasan dalam sastra-sastra Timur?

Kalau kita lihat substansinya, sastra Timur itu menerapkan pendekatan kalbu. Nah, cara ini ternyata juga diambil Barat, baik terang-terangan maupun diam-diam. Misalnya, kayak Dante Allegeri yang nyomot karya Al Maari. Shakespeare juga begitu, dia terilhami sastra Timur. Kenapa di Jerman pada abad ke-19 muncul gerakan ketimuran, oriental itu? Ternyata, penyair Jerman juga terpengaruh karya penyair tasawuf seperti Kabir (penyair sufi India abad ke-15, 1440–1518, red). Goethe misalnya, ternyata penyair ini pernah menulis satu karya berjudul “Diwan Timur Barat”. Inikan menarik. Goethe yang nonmuslim ternyata menulis puisi dalam bentuk diwan–satu genre puisi Persia yang sering dipakai para penyair sufi seperti Jalaluddin Rumi dan M. Iqbal. Goethe juga paham benar tarik Nabi Muhammad. Inikan dalam maknanya.

Goethe juga pernah mau bikin satu drama, “Muhamed”, tapi enggak jadi. Akhirnya Goethe buat puisi, judulnya “Muhamed the Song”. Abdul Hadi W.M. pernah menerjemahkannya. Saya juga ada teks aslinya, sudah saya terjemahkan juga.

Inikan menarik, Timur-Barat itu ada saling pengaruh.

Artinya, bicara sastra dan orisinalitas karya itu enggak mesti barat?

Ya, enggak mesti begitu. Omar Kayam, misalnya. Dia itu penyair, sufi, pakar astronomi, dia juga penemu aljabar. Dia juga ahli strategi. Ini lagi, yang kita kenal dengan “segitiga Pascal” itu, ternyata punya Omar Kayam. Artinya apa…Barat itukan hanya papan gema.

Rumi juga pernah menulis puisi evolusi. Ini kalau kita lihat-lihat, teorinya Darwin itu mirip dengan gagasan Rumi. Dari sel tunggal sampai manusia, ini jelas mirip teori spesiesnya Darwin.

Kemudian Einstein juga, teorinya itu, big bang. Ledakan raksasa terjadinya bumi yang muncul abad ke-19. Pada abad ke-6, ini sudah dibicarakan dalam puisinya Al Hallaj.

Jadi, kalau sekarang kita bicara orisinalitas, yang mana itu? Tentu tidak mustahil Einstein pernah membaca karya Al Hallaj ini.

Tetapi, sekarang Barat begitu menguasai, begitu juga dengan teori-teorinya seperti post-modernisme. Bagaimana ini? Apakah sastra Timur memang kurang diminati?

Dulu pada era 80-an, berkembang sastra sufistik, sastra transendental semasa Kuntowijoyo. Ini juga bisa dilihat pada karya-karya Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar, Emha Ainun Nadjib, Danarto, lalu Fudoli Zaini. Sastra sufi itu cukup kuat. Memang sekarang agak terputus, apalagi sekarang muncul genre teenlit, yang banyak diterjemahkan Gramedia. Kita masuk toko buku, teenlit-nya segunung itu.

Buat saya, ini pendangkalan. Memang, orang enggak mau capek, mau baca yang menghibur-hibur saja. Tetapi, nanti bisa-bisa yang terjadi hanya pendangkalan. Jangan-jangan nanti remaja perempuan kita terbiasa berpikir lembek terus. Wah….

Kalau bicara pendalaman, saya kira hanya terjadi pada buku. Ya, kalau anak-anak muda kita hanya menonton TV dan baca yang ringan-ringan, lalu mau ke mana nanti. Kan gitu pertanyaannya.

Inikan bisa membuat orang suka baca sastra?

Iya, kalau teenlitÿ20ini hanya sasaran antara menuju yang serius. Kalau muter-muter di situ juga, ya repot. Kalau kita tidak punya fondasi yang kuat, fondasinya dibangun dengan teenlit, repot kan.

Sekarang soal perkembangan perpuisian Lampung, bagaimana menurut Anda?

Saya gembira. Puisi dan cerpen sekarang ini luar biasa. Generasi setelah saya sekarang inikan banyak muncul, misalnya Jimmy, Alex R., Inggit, dan Diah. Ini bagus. Lampung ternyata punya kekuatan sastra yang luar biasa.

Saya kira ini tidak terlepas dari budaya membaca. Mereka terbiasa membaca karya-karya serius. Sekarang kan banyak karya terjemahan dan karya penulis Indonesia di toko-toko buku.

Kalau dulu, puisi itu dunia kesepian. Pada era 80-an masih seperti itu. Dulu, saya pulang ke Lampung ketemu Isbedy, dunia sastra itu masih kesepian.

Sayangnya, seniman itu, populasi seniman, tidak begitu banyak. Sehingga, mereka mendiskusikan karya-karya sastra masih di lingkungan sendiri. Mau kita kan, karya-karya ini dilempar ke publik, ke masyarakat. Ini yang juga mesti dilakukan. Jadi, karya itu tidak berhenti sebagai wacana di lingkaran seniman. Misalnya, memanggungkan sastra, dicari bentuk-bentuk lain. Lihat, misalnya, baru-baru ini Sutardji memadukan sastra “Aku”-nya Khairil Anwar dengan blues. Inikan bagus. Kebetulan, Tardji memang pintar nyanyi. Ha ha ha…

Kenapa sastra di Lampung begitu kuat? Padahal, toko buku dikepung teenlit, tapi mereka bisa menelurkan karya serius dan berkualitas?

Ya, saya kira ini kita anggap berkah untuk Lampung. Mereka itu besar “di jalan”, di luar lembaga formal. Sekarang ini bacaan bermutu mudah di dapat, iyakan.

Anda seperti percaya benar dengan “membaca”; seakan ide itu akan muncul kalau kita membaca. Apakah suatu karya berkualitas sulit muncul tanpa rangsangan bacaan?

Ya, saya kira salah satu bahannya pasti buku. Tetapi, jangan sampai bergantung pada buku. Jadikan kita ini buku itu sendiri. Pengamatan, intuisi, ketajaman juga merangsang proses berkarya. Semuanya tidak terpisah.

,Saya Bertanggung Jawab dengan Pilihan ini’

TUJUH tahun sebelum keluar UU 32/2004, Iwan pernah menulis tentang pemilihan langsung di harian ini. Saat itu, ia staf di Kanwil Penerangan Provinsi Lampung.

“Saat itu, kakanwil saya marah benar. Saya dipanggil, ditanya kenapa nulis begini. Kata kakanwil, tulisan saya tidak sejalan dengan kebijakan Departemen Penerangan,” ujar Iwan, menceritakan kejadian yang membekas di benaknya itu.

“Saya bilang sama kakanwil. Sebagai penulis, saya tidak ada atasan. Kakanwil bukan atasan saya. Sebagai penulis, saya pemikir bebas. Saya tidak bisa didikte atau diarahkan,” kata Iwan mengungkapkan keseriusannya pada dunia tulis-menulis.

Ya, begitulah Iwan. “Saya kan tidak bisa jadi orang lain, saya mesti jadi diri sendiri,” kata dia menjelaskan keberadaannya di dunia sastra dan birokrasi–sebuah kondisi yang memiliki dunia berbeda.

Awal 1990, ia pulang ke Bandar Lampung. Delapan tahun ia kelanai dunia sastra Bandung, dengan segala kebebasan berekspresi. “Teman-teman saya sudah habis, makanya saya kembali ke sini,” ujar suami Cut Hilda Rina ini.

Apa pun namanya, seniman juga manusia. Iwan menyadari hal ini. “Saya mesti ada pegangan. Saat itu, penyair belum menjanjikan, saya harus ada pekerjaan yang bisa memberikan penghasilan, makanya saya masuk PNS,” kata Iwan soal keberadaannya kini sebagai pejabat di Pemkab Lamtim.

Pilihan Iwan menekuni dunia sastra juga bukan tanpa perlawanan. “Ayah saya keras. Saya harus meyakinkan beliau. Saya buktikan kalau sastra itu bagus,” kata Iwan.

Satu per satu, ia kirimi sertifikat juara ke orangtuanya di kawasan Enggal, Bandar Lampung. “Dengan begini, artinya kan saya bertanggung jawab dengan pilihan ini,” ujarnya.

Sebagai penyair, karya-karya Iwan memang tidak lagi terpampang di media massa atau majalan sastra. Tetapi, jangan berpikir elan kepenyairan Iwan telah mati. “Saya terus menulis puisi, tapi tidak saya publikasikan,” kata Iwan, yang tengah bersiap ke Tanah Suci ini.

Kini, Iwan menekuni dunia lain, merambah wilayah yang kerap dilakukan kritikus sastra atau akademisi. “Saya ingin membuat anotasi puisi-puisi Khomeini,” kata putra mantan bupati Lamsel, Djafar Amid ini.

Ia juga ingin menerbitkan tujuh terjemahan yang diselesaikannya selama bertugas di Pemkab Lamtim. Ada terjemahan puisi-puisi Kabir, Rabindranath Tagore, Dalai Lama II, puisi Shakespeare (“The Sonnets And A Lovers Complaint”), Jalaluddin Rumi, novel Omar Khayam juga puisi-puisi klasik Jepang. Sebelumnya, ia telah menerjemahkan karya-karya Khalil Gibran antara lain “Air Mata dan Senyuman” dan “Sang Nabi”.

“Malam hari, saya menulis. Saya sampai Jumat di Sukadana. Saya punya rumah dinas di sana. Artinya, saya punya banyak waktu juga untuk berkarya. Enggak diganggu anak-anak, enggak diganggu istri sekaligus juga enggak bisa ngegangguin istri. Ha ha ha…,” ujar Iwan menjelaskan soal dua dunia yang dilakoni.

Sampai kapan Iwan terus menulis? “Menulis itu kerjaan saya. Menulis itu sudah jadi kebutuhan. Saya menulis dari tahun 80-an, mulai dari media kampus terus merambah ke Pikiran Rakyat (koran terbitan Bandung, red). Kebetulan saya kan kuliah di Bandung,” kata Iwan, seakan meyakini energi kreatif yang mengaliri kesadaran dan tubuhnya tidak akan hilang.

“Menulis itu membahagiakan,” ujarnya RAHMAT SUDIRMAN

Biodata
Nama: Iwan Nurdaya Djafar
Tempat, Tanggal Lahir: Tanjungkarang, 14 Maret 1959
Orangtua: Djafar Amid (ayah)
Siti Kalang (ibu)
Istri: Cut Hilda Rina (menikah 7 Juli 1991)
Anak: 1) Rabia Edra Almera (14)
2) Selma Ilafi Al Zahra (8)

Pendidikan
1971 Lulus SD di Pangkal Pinang
1974 Lulus SMPN 2 Tanjungkarang
1977 Lulus SMA Xaverius
1986 Lulus S-1 Hukum Tata Negara
Universitas Parahyangan, Bandung

Pekerjaan Birokrasi
Pernah menjabat kasubdin Kebudayaan di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lampung Timur
2003 Kabaghumas Pemkab Lamtim
2003-2005 Kepala Kantor Catatan Sipil Pemkab Lamtim
2005… Kabag TU Dinas Pengairan Pemkab Lamtim

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi