Iwan Nurdaya Djafar (Penyair-Budayawan)
Pewawancara: Rahmat Sudirman, Zulkarnain Zubairi
http://www.lampungpost.com/
WACANA sastra Timur mengalir begitu saja dari mulut Iwan Nurdaya Djafar. Keseriusan mendalami sastra-sastra oriental ini sangat terasa. Bukan saja dari banyaknya literatur sastra Timur yang dia miliki, yang menumpuk di lemari buku di ruang tamunya; keseriusan ini terasa dari jernihnya wacana yang menyeruak dari pikiran Iwan dan bernasnya apresiasi yang mengalir dalam pembicaraan Selasa (6-12) malam itu di kediamannya di Jalan Endro Suratmin, Sukarame, Bandar Lampung.
“Saya ingin mengingatkan masyarakat kalau sesungguhnya Timur ini sangat kaya. Begitu juga sastra tasawufnya. Khazanah kebudayaan Timur juga demikian. Makanya saya masuk Dalai Lama, Rabindranath Tagore, puisi-puisi klasik Jepang, dan sebagainya. Genre ini banyak melahirkan sastrawan, khususnya penyair. Inikan sangat menarik,” kata Iwan kepada wartawan Lampung Post Rahmat Sudirman dan Zulkarnain Zubairi malam itu.
Puisi-puisi Iwan yang muncul era 80-an memang kental rasa sufistiknya. Dalam antologi Seratus Sajak, misalnya, Iwan seperti menumpahkan kerinduan, pencarian sekaligus kegelisahan seorang hamba–yang adalah jagat cilik–tentang kehidupan yang profan ini. Iwan juga sadar akan “Sesuatu” (dengan huruf besar) yang tremendum fascinatum, hingga ia bersaksi dalam syairnya: Silakan sensor syair-syairku, ya allah/Biar butir butir dzikir/Ngalir dari sungai syairku/Tumpah ke lautan hati sesama (Doa Kepenyairan).
Dalam “Syahadat”, Iwan mengelana lebih jauh, seperti mendedah zat yang namanya tuhan (dengan “z” kecil). Ia pun bersyair: Allah, Allah, Allah!/sembahanku Allah bukan tuhan/berkali-kali mati di tangan pikiran/berkali-kali hidup di tangan pikiran/hidup mati tuhan tergantung pikiran/sedang dalam hati yang berserah/yang tunggal dan kekal hanya Allah/hanya Allah/…la ilaha ‘ill-Allah/betapa ingin kudzikirkan selalu/la ilah…pada setiap tarikan nafasku/’ill-Allah pada setiap hembusan nafasku/…sembahanku bbukan tuhan melainkan Allah/sembahanku dulu tuhan/kini Allah/Allah!
Bukan lantaran karya-karyanya berlatar sufistik lantas ia sampai sekarang mendalami sastra Timur. Bagi Iwan, ini adalah pilihan. “Saya juga baca Nietszche, Bertrand Russel, Karl Jasper, Sastre, Kiekegard, dan segalanya. Ya, semua itu kita kritisi aja,” ujar Iwan, saat ditanya pemikir-pemikir Barat yang memenuhi wacana pemikiran kontekstual di Tanah Air.
“Saya juga ada refleksi tentang Nietszche, saya kasih judul ‘Mengapa (Tidak) Kembali’. Yang terjadi pada Nietszche kan tidak kembali. Di puncak renungannya, dia tidak kembali. Malah kebablasan. Kalau Karl Jasper kan tidak, dia kembali ke pengakuan-Nya,” kata Iwan.
Soal kepenyairan–lebih luas lagi soal menulis–ia tidak pernah main-main, sekalipun jabatan taruhannya. “Saya enggak ada urusan dengan segala tekanan. Saya enggak ada urusan. Saya berani kok dicopot dari jabatan kalau memang konsekuensinya harus begitu. Target saya kan jadi diri sendiri. Iyalah, mesti begitu,” ujar dengan mimik serius.
Iwan memang hidup di “dua dunia”: sastra dan birokrasi. Sebagai penyair, ia suntuk melacak khazanah sastra-kebudayaan Timur. Iwan juga seorang pejabat; pernah menduduki posisi sebagai kepala kantor Catatan Sipil Pemkab Lampung Timur. Kini, ia menjabat kepala Bagian TU Dinas Pengairan Pemkab Lamtim.
Iwan memang tidak pernah main-main dengan hidup, dengan sastra, kepenyairan, dan segala yang berbau serius. Suatu saat, ia ingin mendirikan penerbit yang concern pada seni, sastra, budaya, dan filsafat seperti yang banyak berkembang di Yogyakarta. Ia juga terus menerjemahkan literatur-literatur sastra Timur. Suatu saat, Iwan ingin menerbitkan anotasi puisi-puisi Ayatullah Khomeini, pemimpin dan tokoh spiritual Iran itu.
Kenapa Timur yang dipilih?
Timur itu sangat besar. Kalau ditanya kenapa enggak Barat, ya karena orang yang mendalami dan menerjemahkan sastra Barat sudah banyak. Kalau tidak, Timur nanti bisa ditingalkan.
Saya juga terbata-bata menerjemahkan karya-karya sastra Timur ini. Tidak cukup satu atau dua kamus, harus ada kamus-kamus lain yang khusus.
Anda merasakan ada kekhasan dalam sastra-sastra Timur?
Kalau kita lihat substansinya, sastra Timur itu menerapkan pendekatan kalbu. Nah, cara ini ternyata juga diambil Barat, baik terang-terangan maupun diam-diam. Misalnya, kayak Dante Allegeri yang nyomot karya Al Maari. Shakespeare juga begitu, dia terilhami sastra Timur. Kenapa di Jerman pada abad ke-19 muncul gerakan ketimuran, oriental itu? Ternyata, penyair Jerman juga terpengaruh karya penyair tasawuf seperti Kabir (penyair sufi India abad ke-15, 1440–1518, red). Goethe misalnya, ternyata penyair ini pernah menulis satu karya berjudul “Diwan Timur Barat”. Inikan menarik. Goethe yang nonmuslim ternyata menulis puisi dalam bentuk diwan–satu genre puisi Persia yang sering dipakai para penyair sufi seperti Jalaluddin Rumi dan M. Iqbal. Goethe juga paham benar tarik Nabi Muhammad. Inikan dalam maknanya.
Goethe juga pernah mau bikin satu drama, “Muhamed”, tapi enggak jadi. Akhirnya Goethe buat puisi, judulnya “Muhamed the Song”. Abdul Hadi W.M. pernah menerjemahkannya. Saya juga ada teks aslinya, sudah saya terjemahkan juga.
Inikan menarik, Timur-Barat itu ada saling pengaruh.
Artinya, bicara sastra dan orisinalitas karya itu enggak mesti barat?
Ya, enggak mesti begitu. Omar Kayam, misalnya. Dia itu penyair, sufi, pakar astronomi, dia juga penemu aljabar. Dia juga ahli strategi. Ini lagi, yang kita kenal dengan “segitiga Pascal” itu, ternyata punya Omar Kayam. Artinya apa…Barat itukan hanya papan gema.
Rumi juga pernah menulis puisi evolusi. Ini kalau kita lihat-lihat, teorinya Darwin itu mirip dengan gagasan Rumi. Dari sel tunggal sampai manusia, ini jelas mirip teori spesiesnya Darwin.
Kemudian Einstein juga, teorinya itu, big bang. Ledakan raksasa terjadinya bumi yang muncul abad ke-19. Pada abad ke-6, ini sudah dibicarakan dalam puisinya Al Hallaj.
Jadi, kalau sekarang kita bicara orisinalitas, yang mana itu? Tentu tidak mustahil Einstein pernah membaca karya Al Hallaj ini.
Tetapi, sekarang Barat begitu menguasai, begitu juga dengan teori-teorinya seperti post-modernisme. Bagaimana ini? Apakah sastra Timur memang kurang diminati?
Dulu pada era 80-an, berkembang sastra sufistik, sastra transendental semasa Kuntowijoyo. Ini juga bisa dilihat pada karya-karya Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar, Emha Ainun Nadjib, Danarto, lalu Fudoli Zaini. Sastra sufi itu cukup kuat. Memang sekarang agak terputus, apalagi sekarang muncul genre teenlit, yang banyak diterjemahkan Gramedia. Kita masuk toko buku, teenlit-nya segunung itu.
Buat saya, ini pendangkalan. Memang, orang enggak mau capek, mau baca yang menghibur-hibur saja. Tetapi, nanti bisa-bisa yang terjadi hanya pendangkalan. Jangan-jangan nanti remaja perempuan kita terbiasa berpikir lembek terus. Wah….
Kalau bicara pendalaman, saya kira hanya terjadi pada buku. Ya, kalau anak-anak muda kita hanya menonton TV dan baca yang ringan-ringan, lalu mau ke mana nanti. Kan gitu pertanyaannya.
Inikan bisa membuat orang suka baca sastra?
Iya, kalau teenlitÿ20ini hanya sasaran antara menuju yang serius. Kalau muter-muter di situ juga, ya repot. Kalau kita tidak punya fondasi yang kuat, fondasinya dibangun dengan teenlit, repot kan.
Sekarang soal perkembangan perpuisian Lampung, bagaimana menurut Anda?
Saya gembira. Puisi dan cerpen sekarang ini luar biasa. Generasi setelah saya sekarang inikan banyak muncul, misalnya Jimmy, Alex R., Inggit, dan Diah. Ini bagus. Lampung ternyata punya kekuatan sastra yang luar biasa.
Saya kira ini tidak terlepas dari budaya membaca. Mereka terbiasa membaca karya-karya serius. Sekarang kan banyak karya terjemahan dan karya penulis Indonesia di toko-toko buku.
Kalau dulu, puisi itu dunia kesepian. Pada era 80-an masih seperti itu. Dulu, saya pulang ke Lampung ketemu Isbedy, dunia sastra itu masih kesepian.
Sayangnya, seniman itu, populasi seniman, tidak begitu banyak. Sehingga, mereka mendiskusikan karya-karya sastra masih di lingkungan sendiri. Mau kita kan, karya-karya ini dilempar ke publik, ke masyarakat. Ini yang juga mesti dilakukan. Jadi, karya itu tidak berhenti sebagai wacana di lingkaran seniman. Misalnya, memanggungkan sastra, dicari bentuk-bentuk lain. Lihat, misalnya, baru-baru ini Sutardji memadukan sastra “Aku”-nya Khairil Anwar dengan blues. Inikan bagus. Kebetulan, Tardji memang pintar nyanyi. Ha ha ha…
Kenapa sastra di Lampung begitu kuat? Padahal, toko buku dikepung teenlit, tapi mereka bisa menelurkan karya serius dan berkualitas?
Ya, saya kira ini kita anggap berkah untuk Lampung. Mereka itu besar “di jalan”, di luar lembaga formal. Sekarang ini bacaan bermutu mudah di dapat, iyakan.
Anda seperti percaya benar dengan “membaca”; seakan ide itu akan muncul kalau kita membaca. Apakah suatu karya berkualitas sulit muncul tanpa rangsangan bacaan?
Ya, saya kira salah satu bahannya pasti buku. Tetapi, jangan sampai bergantung pada buku. Jadikan kita ini buku itu sendiri. Pengamatan, intuisi, ketajaman juga merangsang proses berkarya. Semuanya tidak terpisah.
,Saya Bertanggung Jawab dengan Pilihan ini’
TUJUH tahun sebelum keluar UU 32/2004, Iwan pernah menulis tentang pemilihan langsung di harian ini. Saat itu, ia staf di Kanwil Penerangan Provinsi Lampung.
“Saat itu, kakanwil saya marah benar. Saya dipanggil, ditanya kenapa nulis begini. Kata kakanwil, tulisan saya tidak sejalan dengan kebijakan Departemen Penerangan,” ujar Iwan, menceritakan kejadian yang membekas di benaknya itu.
“Saya bilang sama kakanwil. Sebagai penulis, saya tidak ada atasan. Kakanwil bukan atasan saya. Sebagai penulis, saya pemikir bebas. Saya tidak bisa didikte atau diarahkan,” kata Iwan mengungkapkan keseriusannya pada dunia tulis-menulis.
Ya, begitulah Iwan. “Saya kan tidak bisa jadi orang lain, saya mesti jadi diri sendiri,” kata dia menjelaskan keberadaannya di dunia sastra dan birokrasi–sebuah kondisi yang memiliki dunia berbeda.
Awal 1990, ia pulang ke Bandar Lampung. Delapan tahun ia kelanai dunia sastra Bandung, dengan segala kebebasan berekspresi. “Teman-teman saya sudah habis, makanya saya kembali ke sini,” ujar suami Cut Hilda Rina ini.
Apa pun namanya, seniman juga manusia. Iwan menyadari hal ini. “Saya mesti ada pegangan. Saat itu, penyair belum menjanjikan, saya harus ada pekerjaan yang bisa memberikan penghasilan, makanya saya masuk PNS,” kata Iwan soal keberadaannya kini sebagai pejabat di Pemkab Lamtim.
Pilihan Iwan menekuni dunia sastra juga bukan tanpa perlawanan. “Ayah saya keras. Saya harus meyakinkan beliau. Saya buktikan kalau sastra itu bagus,” kata Iwan.
Satu per satu, ia kirimi sertifikat juara ke orangtuanya di kawasan Enggal, Bandar Lampung. “Dengan begini, artinya kan saya bertanggung jawab dengan pilihan ini,” ujarnya.
Sebagai penyair, karya-karya Iwan memang tidak lagi terpampang di media massa atau majalan sastra. Tetapi, jangan berpikir elan kepenyairan Iwan telah mati. “Saya terus menulis puisi, tapi tidak saya publikasikan,” kata Iwan, yang tengah bersiap ke Tanah Suci ini.
Kini, Iwan menekuni dunia lain, merambah wilayah yang kerap dilakukan kritikus sastra atau akademisi. “Saya ingin membuat anotasi puisi-puisi Khomeini,” kata putra mantan bupati Lamsel, Djafar Amid ini.
Ia juga ingin menerbitkan tujuh terjemahan yang diselesaikannya selama bertugas di Pemkab Lamtim. Ada terjemahan puisi-puisi Kabir, Rabindranath Tagore, Dalai Lama II, puisi Shakespeare (“The Sonnets And A Lovers Complaint”), Jalaluddin Rumi, novel Omar Khayam juga puisi-puisi klasik Jepang. Sebelumnya, ia telah menerjemahkan karya-karya Khalil Gibran antara lain “Air Mata dan Senyuman” dan “Sang Nabi”.
“Malam hari, saya menulis. Saya sampai Jumat di Sukadana. Saya punya rumah dinas di sana. Artinya, saya punya banyak waktu juga untuk berkarya. Enggak diganggu anak-anak, enggak diganggu istri sekaligus juga enggak bisa ngegangguin istri. Ha ha ha…,” ujar Iwan menjelaskan soal dua dunia yang dilakoni.
Sampai kapan Iwan terus menulis? “Menulis itu kerjaan saya. Menulis itu sudah jadi kebutuhan. Saya menulis dari tahun 80-an, mulai dari media kampus terus merambah ke Pikiran Rakyat (koran terbitan Bandung, red). Kebetulan saya kan kuliah di Bandung,” kata Iwan, seakan meyakini energi kreatif yang mengaliri kesadaran dan tubuhnya tidak akan hilang.
“Menulis itu membahagiakan,” ujarnya RAHMAT SUDIRMAN
Biodata
Nama: Iwan Nurdaya Djafar
Tempat, Tanggal Lahir: Tanjungkarang, 14 Maret 1959
Orangtua: Djafar Amid (ayah)
Siti Kalang (ibu)
Istri: Cut Hilda Rina (menikah 7 Juli 1991)
Anak: 1) Rabia Edra Almera (14)
2) Selma Ilafi Al Zahra (8)
Pendidikan
1971 Lulus SD di Pangkal Pinang
1974 Lulus SMPN 2 Tanjungkarang
1977 Lulus SMA Xaverius
1986 Lulus S-1 Hukum Tata Negara
Universitas Parahyangan, Bandung
Pekerjaan Birokrasi
Pernah menjabat kasubdin Kebudayaan di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lampung Timur
2003 Kabaghumas Pemkab Lamtim
2003-2005 Kepala Kantor Catatan Sipil Pemkab Lamtim
2005… Kabag TU Dinas Pengairan Pemkab Lamtim
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar