Sabrank Suparno
Detik detik penutupan serangkaian acara Gebyar Pesta Seni Rakyat Jombang yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jombang (DeKaJo) beserta lembaga terkait di gedung PSBR, dipungkasi dengan pertunjukan Teatrikalisasi-Puisi-Musik persembahan mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Jombang angkatan 2009. Pementasan sesi pertama digelar pukul 15:30 dan pementasan ulang pukul 19:00, dengan 4 judul puisi sekaligus: Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan Balada Terbunuhnya Atmo Karpo karya WS. Rendra, Menghisap Kelembak Menyan karya Emha Ainun Nadjib, dan terahir MAJOI (Malu Aku Jadi Orang Indonesi karya Taufik Ismail.
Seperti ada serabut di tempurung kepala penonton. Kalau pun tidak, pasti ada gumpalan di rongga dada yang pada saatnya akan meledak. Seminggu, semenjak acara berlangsung, saya kerap klitar kilter hingga larut menyaksikan seluruh pementasan di gedung itu. Dan ketika sekitar jam 2:00 siang, seluruh mahasiswa tampak melakukan persiapan di pelataran masjid dan area parkir, dengan memoles diri, memoles temannya sesuai peran masing-masing. Saya jadi ingat sebilik tobongan yang dipakai berias para pemain ludruk sebelum tampil. Sebilik ruang sederhana yang kerap saya masuki ketika meliput ludruk bersama rekan Fahrudin Nasrulloh. Itupun hanya di kerumuni hanya sekitar 60 awak seniman. Tetapi mahasiswa STKIP angkatan 2009 yang berjumlah sekitar 250 berjubel menyesaki pelataran PSBR.
Ada catatan tersendiri di sana. Canda canda kecil, wajah belepotan, over menor, menyiapkan alat adegan dll. Meski belum menyamai pementasan Sumpah Gajah Mada yang ditulis Sri Murtono pada tahun 1952 di depan musium Sonobudoyo (Keraton Yogyakarta) yang melibatkan 350 aktor termasuk 125 diantaranya aktris, 8 ekor kuda, sepuluh kereta yang ditarik 20 ekor sapi, di seluas panggung berukuran 50 kali 135 meter.*
Ah, ini buakan zaman perang. Sungguh. Pagi setelah malam penutupan itu, seperti desingan peluru berhamburan memberondong. Ledakan kanon, thank, pistol, bedil, bayonet, martil, koka, granat masih membekas di pendengaran saya. Seperti ada pertempuran semalam.
Macapat Sasana Gebyar Seni
Acara dibuka dengan penampilan Sasana Gebyar Seni pimpinan Bapak Suhartono yang berpadepokan di Perumahan Jombang Indah. Komunitas ini menampilkan paduan lantunan macapat dengan teatrikal dalang. Dimana salah satu anggota mereka berperan memegang kelir, bertempur dengan kelir itu, yang dalam pementasan wayang kulit dikenal dengan istilah ‘nyirep goro goro’menyingkirkan prahara.
Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta
Seiring pergantian musik setelah goro goro menyingkir, barulah keluar ratusan para pelacur. Orasi pembacaan Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta pun berselang seling menyelinap diantara kerumunan para pelacur. Saya, sempat lupa kalau para pelacur itu hanyalah penampakan puisinya Rendra. Hingga saya sempat bertanya pada rekan Jabbar Abdulloh selaku networker yang sedang meliput, “ Jabbar, tarife pelacur iki piroan?” sambil tersenyum Jabbar menjawab “selawe nggeblak dewe”, haha.
Demikianlah ketika puisi diteatrikalisasikan. Adalah misi yang digagas seniman dengan harapan agar maksud isi puisi yang ditulis sastrawan efektif membekas di hati dan kesadaran penonton. Proses kerja teatrikalisasi itu sendiri mencoba menerjemahkan keterbatasan bahasa dalam menggambarkan sesuatu (visual). Jalan ini juga ditempuh Afrizal Malna dengan gagasan Puisi Art: Penyampaian puisi yang didesain dengan vidio. Untuk menggambarkan kilat misalnya, atau kecepatan pesawat super sonik, tak cukup hanya mengandalkan bahasa. Tetapi akan lebih paham jika ditampakkan ilustrasi visual.
Dalam proses teatrikalisasi puisi atau puisi musik, diperlukan garapan yang seimbang antar civitas: Penonton, pemain, penulis naskah, kritikus, bahkan peliput. Terutama hal yang menyangkut konseptual, termasuk memahami kondisi ruang. Sebab, pada kadar intonasi yang tidak reflektif terhadap ruang bisa menenggelamkan puisi itu sendiri. Disinilah letak kegagalan pementasan.
Pada pementasan Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta, sutradara seperti kurang memahami konsep ‘kesamaan derajat’ yang ditawarkan Rendra. Bukan kesamaan gaya, kostum, cara, bahkan predikat kesejatian pelacur itu sendiri. Nyaris tidak ditemukan pelacur yang bergaya-berpakaian kantoran, anak kuliah, bahkan cabutan usia SMA. Sehingga tidak sertamerta mewakili realitas yang ada. Pelacur disitu hanya dipahami sabagai PSK kelas rendahan yang dijajahkan di pinggir jalan. Kalaupun agak elit, taruhlah tempat tempat prostitusi seperti Padang Galak, Ketewel (Denpasar), Padyang Ulan (Banyuwangi), Tretes (Pasuruan), Gang Dolly dan Kremil (Surabaya), Balong Cangkring/BC (Mojokerto), Tunggorono, Klubuk (Jombang), Guyangan (Nganjuk), Lembah UGM (Yogyakarta), Jurang Songgoriti (Malang) dll.
Namun kekurangan akting itu dalam batas kewajaran. Seperti dikatakan Henri Nurcahyo Esais Surabaya saat diskusi teater di gedung PSBR tanggal 6 Januari 2011 pagi, bahwa dunia teater adalah dunia seolah-olah. Maka tak heran jika para pelacur di panggung PSBR adalah pelacur yang diragukan kepelacurannya. Artinya, meski pun mereka bergaya dan berpenampilan ala pelacur, tapi tidak sungguh sungguh berprofesi sebagai pelacur. Andai pun ada yang terlanjur (maaf), sehina hinanya pelacur yang dicolok Rendra dalam puisi ini, ialah orang yang sembodo, ksatria dalam hidupnya. Sebab mereka nyata dalam transaksi menjual dirinya secara total. Sementara para penguasa malah menjadi pelacur ter-hina yang menjual rakyat (tubuh lain) demi eksistensinya.
Balada Terbunuhnya Atmo Karpo
Kejanggalan pada pementasan Balada Terbunuhnya Atmo Karpo dapat kita lihat dari penuangan momentum sejarah. Apakah sesuai tahun terbunuhnya Atmo Karpo dengan interpretasi gaya konflik yang dibangun diatas panggung? Memang, dalam naskah itu, atas nama dendam kesumat, Joko Pandan menelikung kematian Atmo Karpo dari 4 penjuru mata angin. Armo Karpo terjungkal setelah bahu kirinya tertembus anak panah. Sepertinya zaman nomaden. Lantas, kenapa 4 wanita pemanahnya tidak memakai BeHa koteka sekalian?
Keadaan demikian akan menyulitkan format para penonton. Hendak dikemanakan konsep format yang demikian? Kesannya, tragedi itu hanya terjadi di masa lampau. Padahal sesungguhnya bahaya selalu mengancam siapa pun dalam berbagai bentuk. Termasuk kekejaman tekhnologi cyber yang lebih bahaya bagai busur angin.
Menghisap Kelembak Menyan
Pengemasan Edy Haryoso selaku sutradara tidak jauh melebar dari teks format aslinya ketika dibacakan Emha Ainun Nadjib sendiri bersama teater Dynasti. Seting backround pementasan Menghisap Kelembak Menyan formatnya tidak berubah. Naskah ini tergolong sublim. Perebutan eksistensi digambarkan dalam perang dialog antar dua teori yang bertabrakan akibat kondisi kekinian yang dialami generasi penerus bangsa. Orang tua dan kaum feodal menjadikan pitutur kuno sebagai bius demokratisasi, sedang kaum intelektual muda menemui kenyataan berbalik 180 derajat.
Benturan dua teori di atas diharapkan menjadi serbuk /glepung yang disebut ‘irama pembusukan’. Berawal dari teori medok, mogol, tanggung, entah gak entah-mateng gak mateng. Setelah mati, busuk, barulah muncul kehidupan baru, file file baru yang lebih tertata.
Karena pakem dengan format aslinya, menjadikan pementasan Menghisap Kelembak Menyan kurang menghenyak penonton. Meskipun dari alur teks penonton terpukau. Kentaranya, sutradara hanya menguasai intensitas teks, tetapi lemah intensitas ruang. Dengan hanya berdiri monoton di pojok, penonton yang paling belakang tidak terdengar. Apalagi para penonton yang belum pernah dikursus menjadi penonton yang baik, bisik kegaduhannya acapkali menenggelamkan suara orator. Saya sekedar membayangkan seandainya pembaca puisinya sambil berjalan menguasai panggung, mengacung-acungkan teks, mengibaskan atau bahkan membanting teks ke lantai. Dan sah juga sambil menghampiri kerumunan penonton. Setahu saya, Emha sering mengatakan “kalau anda meniru saya, Emhais, nyakNun, artinya aku gagal membangun kemandirian kalian. Anggaplah aku garam bagimu yang kau ramu untuk sekedar ngepyuri bumbu masakan sosial”*
MAJOI (Malu Aku Jadi Orang Indonesia)
Ada kreativitas ide pada pementasan MAJOI. Yaitu penuangan panggung yang bersifat elastis. Hanya dengan alat sederhana, sesi peralihan adegan yang bernuansa kehidupan modern efektif seperti menonton layar kaca. Sayangnya si tokoh yang pemalu (penyebab), yang kemudian bersedih (akibat malu) gagal mewakili kesedihan Taufik Ismail yang didera oleh kabar tentang keburukan negerinya yang disimbolkan dua orang samar (media). Tokoh tidak menggambarkan ekspresi wajah kesedihan yang sesekali mengernyitkan dahi. Bahkan tidak berani bertatapan mata dengan penonton. Seperti ada rasa kekurangan akting dalam dirinya. Si tokoh seperti orang yang tidak pernah putus cinta, yang mengajarkan hidup meratap-ratap serasa mati dalam kehidupan.
Disinilah pentingnya mencari aktor yang digali berdasarkan kondisi keseharian seseorang. Seperti dikatakan R. Giryadi (Ketua DKJT) saat nyambangi diskusi teater dan penutupan pentas seni tanggal 6 Januari di Jombang perihal konsep detail mengenal ruang. Ia mencontohkan soal latihan mengenal alam, tidak harus dilakukan di gunung, pantai, hutan seperti teori lawas. Bagi warga kota lebih baik di mall, dsb yang dekat dengan kesehariannya.
Awal pertempuran terbuka dalam pementasan Teatrikalisasi-Puisi-Musik oleh angkatan 2009 lalu dimulai keberaniannya memilih puisi ber-alur pemberontakan atas ketimpangan sosial. Selanjutnya gencar memberondong bertubi-tubi tembakan bait kata kata ke penonton. Kata Matori A Elwa:
Setiap pertempuran pasti ada yang terluka
Satu meninggal dunia
Dua luka parah
Selebihnya dirawat di rumah sendiri sendiri
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar