Sabtu, 15 Januari 2011

Puisi itu…! Menerjang Pecundang

Sabrank Suparno

Detik detik penutupan serangkaian acara Gebyar Pesta Seni Rakyat Jombang yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jombang (DeKaJo) beserta lembaga terkait di gedung PSBR, dipungkasi dengan pertunjukan Teatrikalisasi-Puisi-Musik persembahan mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Jombang angkatan 2009. Pementasan sesi pertama digelar pukul 15:30 dan pementasan ulang pukul 19:00, dengan 4 judul puisi sekaligus: Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan Balada Terbunuhnya Atmo Karpo karya WS. Rendra, Menghisap Kelembak Menyan karya Emha Ainun Nadjib, dan terahir MAJOI (Malu Aku Jadi Orang Indonesi karya Taufik Ismail.

Seperti ada serabut di tempurung kepala penonton. Kalau pun tidak, pasti ada gumpalan di rongga dada yang pada saatnya akan meledak. Seminggu, semenjak acara berlangsung, saya kerap klitar kilter hingga larut menyaksikan seluruh pementasan di gedung itu. Dan ketika sekitar jam 2:00 siang, seluruh mahasiswa tampak melakukan persiapan di pelataran masjid dan area parkir, dengan memoles diri, memoles temannya sesuai peran masing-masing. Saya jadi ingat sebilik tobongan yang dipakai berias para pemain ludruk sebelum tampil. Sebilik ruang sederhana yang kerap saya masuki ketika meliput ludruk bersama rekan Fahrudin Nasrulloh. Itupun hanya di kerumuni hanya sekitar 60 awak seniman. Tetapi mahasiswa STKIP angkatan 2009 yang berjumlah sekitar 250 berjubel menyesaki pelataran PSBR.

Ada catatan tersendiri di sana. Canda canda kecil, wajah belepotan, over menor, menyiapkan alat adegan dll. Meski belum menyamai pementasan Sumpah Gajah Mada yang ditulis Sri Murtono pada tahun 1952 di depan musium Sonobudoyo (Keraton Yogyakarta) yang melibatkan 350 aktor termasuk 125 diantaranya aktris, 8 ekor kuda, sepuluh kereta yang ditarik 20 ekor sapi, di seluas panggung berukuran 50 kali 135 meter.*

Ah, ini buakan zaman perang. Sungguh. Pagi setelah malam penutupan itu, seperti desingan peluru berhamburan memberondong. Ledakan kanon, thank, pistol, bedil, bayonet, martil, koka, granat masih membekas di pendengaran saya. Seperti ada pertempuran semalam.

Macapat Sasana Gebyar Seni

Acara dibuka dengan penampilan Sasana Gebyar Seni pimpinan Bapak Suhartono yang berpadepokan di Perumahan Jombang Indah. Komunitas ini menampilkan paduan lantunan macapat dengan teatrikal dalang. Dimana salah satu anggota mereka berperan memegang kelir, bertempur dengan kelir itu, yang dalam pementasan wayang kulit dikenal dengan istilah ‘nyirep goro goro’menyingkirkan prahara.

Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta

Seiring pergantian musik setelah goro goro menyingkir, barulah keluar ratusan para pelacur. Orasi pembacaan Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta pun berselang seling menyelinap diantara kerumunan para pelacur. Saya, sempat lupa kalau para pelacur itu hanyalah penampakan puisinya Rendra. Hingga saya sempat bertanya pada rekan Jabbar Abdulloh selaku networker yang sedang meliput, “ Jabbar, tarife pelacur iki piroan?” sambil tersenyum Jabbar menjawab “selawe nggeblak dewe”, haha.

Demikianlah ketika puisi diteatrikalisasikan. Adalah misi yang digagas seniman dengan harapan agar maksud isi puisi yang ditulis sastrawan efektif membekas di hati dan kesadaran penonton. Proses kerja teatrikalisasi itu sendiri mencoba menerjemahkan keterbatasan bahasa dalam menggambarkan sesuatu (visual). Jalan ini juga ditempuh Afrizal Malna dengan gagasan Puisi Art: Penyampaian puisi yang didesain dengan vidio. Untuk menggambarkan kilat misalnya, atau kecepatan pesawat super sonik, tak cukup hanya mengandalkan bahasa. Tetapi akan lebih paham jika ditampakkan ilustrasi visual.

Dalam proses teatrikalisasi puisi atau puisi musik, diperlukan garapan yang seimbang antar civitas: Penonton, pemain, penulis naskah, kritikus, bahkan peliput. Terutama hal yang menyangkut konseptual, termasuk memahami kondisi ruang. Sebab, pada kadar intonasi yang tidak reflektif terhadap ruang bisa menenggelamkan puisi itu sendiri. Disinilah letak kegagalan pementasan.

Pada pementasan Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta, sutradara seperti kurang memahami konsep ‘kesamaan derajat’ yang ditawarkan Rendra. Bukan kesamaan gaya, kostum, cara, bahkan predikat kesejatian pelacur itu sendiri. Nyaris tidak ditemukan pelacur yang bergaya-berpakaian kantoran, anak kuliah, bahkan cabutan usia SMA. Sehingga tidak sertamerta mewakili realitas yang ada. Pelacur disitu hanya dipahami sabagai PSK kelas rendahan yang dijajahkan di pinggir jalan. Kalaupun agak elit, taruhlah tempat tempat prostitusi seperti Padang Galak, Ketewel (Denpasar), Padyang Ulan (Banyuwangi), Tretes (Pasuruan), Gang Dolly dan Kremil (Surabaya), Balong Cangkring/BC (Mojokerto), Tunggorono, Klubuk (Jombang), Guyangan (Nganjuk), Lembah UGM (Yogyakarta), Jurang Songgoriti (Malang) dll.

Namun kekurangan akting itu dalam batas kewajaran. Seperti dikatakan Henri Nurcahyo Esais Surabaya saat diskusi teater di gedung PSBR tanggal 6 Januari 2011 pagi, bahwa dunia teater adalah dunia seolah-olah. Maka tak heran jika para pelacur di panggung PSBR adalah pelacur yang diragukan kepelacurannya. Artinya, meski pun mereka bergaya dan berpenampilan ala pelacur, tapi tidak sungguh sungguh berprofesi sebagai pelacur. Andai pun ada yang terlanjur (maaf), sehina hinanya pelacur yang dicolok Rendra dalam puisi ini, ialah orang yang sembodo, ksatria dalam hidupnya. Sebab mereka nyata dalam transaksi menjual dirinya secara total. Sementara para penguasa malah menjadi pelacur ter-hina yang menjual rakyat (tubuh lain) demi eksistensinya.

Balada Terbunuhnya Atmo Karpo

Kejanggalan pada pementasan Balada Terbunuhnya Atmo Karpo dapat kita lihat dari penuangan momentum sejarah. Apakah sesuai tahun terbunuhnya Atmo Karpo dengan interpretasi gaya konflik yang dibangun diatas panggung? Memang, dalam naskah itu, atas nama dendam kesumat, Joko Pandan menelikung kematian Atmo Karpo dari 4 penjuru mata angin. Armo Karpo terjungkal setelah bahu kirinya tertembus anak panah. Sepertinya zaman nomaden. Lantas, kenapa 4 wanita pemanahnya tidak memakai BeHa koteka sekalian?

Keadaan demikian akan menyulitkan format para penonton. Hendak dikemanakan konsep format yang demikian? Kesannya, tragedi itu hanya terjadi di masa lampau. Padahal sesungguhnya bahaya selalu mengancam siapa pun dalam berbagai bentuk. Termasuk kekejaman tekhnologi cyber yang lebih bahaya bagai busur angin.

Menghisap Kelembak Menyan

Pengemasan Edy Haryoso selaku sutradara tidak jauh melebar dari teks format aslinya ketika dibacakan Emha Ainun Nadjib sendiri bersama teater Dynasti. Seting backround pementasan Menghisap Kelembak Menyan formatnya tidak berubah. Naskah ini tergolong sublim. Perebutan eksistensi digambarkan dalam perang dialog antar dua teori yang bertabrakan akibat kondisi kekinian yang dialami generasi penerus bangsa. Orang tua dan kaum feodal menjadikan pitutur kuno sebagai bius demokratisasi, sedang kaum intelektual muda menemui kenyataan berbalik 180 derajat.

Benturan dua teori di atas diharapkan menjadi serbuk /glepung yang disebut ‘irama pembusukan’. Berawal dari teori medok, mogol, tanggung, entah gak entah-mateng gak mateng. Setelah mati, busuk, barulah muncul kehidupan baru, file file baru yang lebih tertata.

Karena pakem dengan format aslinya, menjadikan pementasan Menghisap Kelembak Menyan kurang menghenyak penonton. Meskipun dari alur teks penonton terpukau. Kentaranya, sutradara hanya menguasai intensitas teks, tetapi lemah intensitas ruang. Dengan hanya berdiri monoton di pojok, penonton yang paling belakang tidak terdengar. Apalagi para penonton yang belum pernah dikursus menjadi penonton yang baik, bisik kegaduhannya acapkali menenggelamkan suara orator. Saya sekedar membayangkan seandainya pembaca puisinya sambil berjalan menguasai panggung, mengacung-acungkan teks, mengibaskan atau bahkan membanting teks ke lantai. Dan sah juga sambil menghampiri kerumunan penonton. Setahu saya, Emha sering mengatakan “kalau anda meniru saya, Emhais, nyakNun, artinya aku gagal membangun kemandirian kalian. Anggaplah aku garam bagimu yang kau ramu untuk sekedar ngepyuri bumbu masakan sosial”*

MAJOI (Malu Aku Jadi Orang Indonesia)

Ada kreativitas ide pada pementasan MAJOI. Yaitu penuangan panggung yang bersifat elastis. Hanya dengan alat sederhana, sesi peralihan adegan yang bernuansa kehidupan modern efektif seperti menonton layar kaca. Sayangnya si tokoh yang pemalu (penyebab), yang kemudian bersedih (akibat malu) gagal mewakili kesedihan Taufik Ismail yang didera oleh kabar tentang keburukan negerinya yang disimbolkan dua orang samar (media). Tokoh tidak menggambarkan ekspresi wajah kesedihan yang sesekali mengernyitkan dahi. Bahkan tidak berani bertatapan mata dengan penonton. Seperti ada rasa kekurangan akting dalam dirinya. Si tokoh seperti orang yang tidak pernah putus cinta, yang mengajarkan hidup meratap-ratap serasa mati dalam kehidupan.

Disinilah pentingnya mencari aktor yang digali berdasarkan kondisi keseharian seseorang. Seperti dikatakan R. Giryadi (Ketua DKJT) saat nyambangi diskusi teater dan penutupan pentas seni tanggal 6 Januari di Jombang perihal konsep detail mengenal ruang. Ia mencontohkan soal latihan mengenal alam, tidak harus dilakukan di gunung, pantai, hutan seperti teori lawas. Bagi warga kota lebih baik di mall, dsb yang dekat dengan kesehariannya.

Awal pertempuran terbuka dalam pementasan Teatrikalisasi-Puisi-Musik oleh angkatan 2009 lalu dimulai keberaniannya memilih puisi ber-alur pemberontakan atas ketimpangan sosial. Selanjutnya gencar memberondong bertubi-tubi tembakan bait kata kata ke penonton. Kata Matori A Elwa:

Setiap pertempuran pasti ada yang terluka
Satu meninggal dunia
Dua luka parah
Selebihnya dirawat di rumah sendiri sendiri

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi