Sabtu, 12 Februari 2011

Dilahirkan Kembali lewat Puisi Cinta

Ragil Supriyatno Samid
http://pawonsastra.blogspot.com/

Hampir bisa dipastikan bahwa bentuk puisi yang pertama kali digubah oleh semua penyair di awal karier kepenulisan mereka adalah puisi lirik. Puisi sebagai penampung segala luapan perasaan si penyair yang ditulis dengan bahasa yang lugas, yang menceritakan peristiwa-peristiwa kecil dan intim yang dialaminya serta, banyak mempergunakan gambaran-gambaran alam sebagai simbolisasi makna dalam tulisan; secara sederhana, begitulah ciri dari puisi lirik. Tema dalam puisi lirik dipenuhi oleh hal-hal universal seperti cinta, keriduan, perpisahan, kesendirian, kesunyian dan keterasingan.

Dari kesuntukan dalam mengakrabi puisi lirik atau biasa disebut sajak-sajak konvensional seperti itu. barulah kemudian mereka berangkat lebih jauh dan lebih dalam lagi mengeksplorasi bentuk kebahasaan dan kata-kata yang mereka pakai sebagai medium ekspresi mereka. Sampai akhirnya menemukan visi kepenyairan dan ciri khas bahasa-ungkapnya masing-masing.

Seperti Afrisal Malna yang mampu menghidupkan benda-benda mati dan remeh-temeh di lingkungan keseharian sebagai metafor puitiknya. Ada Rendra, dengan Puisi Pamfletnya, yang sampai pada visi mempergunakan puisi sebagai alat protes dan korektif terhadap ketimpangan sosial-politik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Juga, yang akhir-akhir ini kembali hangat dibicarakan karya-karyanya yaitu, Sutardji Calzoum Bachri (SCB), yang terkenal dengan kredo puisinya “membebaskan kata dari beban makna”, sehingga seringkali pencapaian bentuk karya puisinya dinamakan puisi mantra.

Namun, setiap tanjakan pasti memiliki turunannya. Di balik puncak gunung yang gersang dan beku pasti ada ngarai dan lembah yang hijau. Begitu pula, di tiap puncak (klimaks) kreatifitas seseorang pasti ada anti-klimaksnya. SCB yang mendapati puncak dari eksplorasi puitik lewat puisi-puisi mantranya, sebagaimana yang terangkum dalam buku antologi puisinya yang berjudul O Amuk Kapak (1981), akhirnya kembali menulis sajak-sajak konvensional yang lebih komunikatif, yang terasa lebih mudah terpahami maknanya oleh para pembaca awam, pada waktu belakangan (baca puisi SCB yang berjudul Idul Fitri di http/geocities/tamansastra/).

Begitu juga dengan Acep Zamzam Noer yang telah puluhan tahun ngebut mendaki puncak kepenyairannya dengan puisi-puisi yang beraroma spiritual dan religius yang kental, pada akhirnya pun kembali menulis sajak-sajak cinta yang profan dan sekuler (picisan?). Seperti sajak-sajaknya yang terhampar dalam buku antologi puisinya yang terbaru Menjadi Penyair Lagi (2007).

Sehingga kalau kita jeli melihat, puisi lirik pada akhirnya menjadi semacam sangkanparan-nya para penyair. sebuah bentuk penulisan yang menandai awal dan akhir dari putaran roda (cokromanggilingan) atau siklus proses kreatif dalam dunia kepenyairan mereka.

Kelahiran Kembali

Bagi Acep, dengan kembalinya ia mengakrabi puisi lirik, tidaklah kemudian menjadi semacam kematian dari perjalanan kepenyairannya. Namun, ia malah merasa seperti dilahirkan kembali menjadi seorang penyair. Seperti yang diungkap dalam petikan puisinya berikut ini: Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa/ Menjadi penyair lagi. Helai-helai rambutmu yang kecoklatan/ kuletakan dengan hati-hati di atas meja/…lalu kutulis puisi/ ketika kurasakan bibirmu masih tersimpan dimulutku/ ketika suaramu masih memenuhi telinga dan pikiranku/ kutulis puisi sambil mengingat-ingat warna sepatu/… serta ikat pinggangmu/ yang dulu kau tinggalkan di bawah ranjang/ sebagai ucapan selamat tinggal. (“Menjadi Penyair Lagi”, hal. 66).

Penyair, seperti juga orang lain pada umumnya, tentu akan merasa sakit pula kalau dikhianati dan dipecundangi. Tetapi bukan lantaran ini ia kemudian harus frustasi dan menarik diri dari kehidupan. Bagaimana pun sakitnya hidup ini tentu harus terus dihadapi dan dijalani. Karena setiap peristiwa yang dialami pasti menyimpan makna yang bila diresapi dengan baik akan jadi hikmah dan pelajaran untuk kehidupan mendatang.

Peristiwa yang dialami oleh aku-lirik pada puisi di atas, dalam telaah sastra, dimaksudkan si penyair sebagai suatu personifikasi atas pola hubungan manusia yang lebih kompleks. Semisal, antara rakyat dan wakil rakyat atau para pemimpinnya; dalam pembacaan secara keseluruhan isi puisi tersebut akan kita dapati pernyataan tersirat si penyair yang ingin mengatakan, lewat perumpamaan, bahwa: orang yang paling dekat, intim, serta merasa paling kita kenal pun ternyata mampu mengkhianati dan meninggalkan kita, apalagi, mereka yang hanya kita kenal lewat kampanye-kampanye politik di stadion, koran-koran dan televisi, atau malah yang baru kita tahu wajahnya di lembar coblosan. Mereka ini, ketika telah terpilih, bukan saja hanya bisa mangkir dari janji-janji muluknya diajang kampanye akan tetapi juga bisa lebih jauh lagi dengan berbalik menindas rakyatnya (sekaligus massa pemilihnya sendiri) dengan kebijakan-kebijakan yang menyimpang jauh dari kebutuhan riil masyarakatnya.

Karena itu, lanjut Acep, penyair tidak akan menangis karena dikhianati juga tidak pingsan bila mulutnya dibungkam. Tetapi ia hanya akan mati bila kehilangan tenaga kata-kata atau kata-kata saktinya berubah menjadi prosa.

Lewat pengakraban dan pemaknaan kembali peristiwa-peristiwa kecil yang dialami lalu disampaikan dengan gaya bertutur yang lugas seperti itu, Acep akhirya seperti mendapati kembali nyala api kepenyairannya yang mungkin, setelah tiga puluhan tahun lewat, sempat meredup.

Leburnya yang Profan dan Transenden

Saini KM pernah mengatakan, berpuisi bagi Acep adalah upaya yang bersungguh-sungguh di dalam melakukan pengembaraan dan petualangan rohani. Ia sekaligus memasuki dua dunia yaitu, dirinya sendiri dan lingkungannya, baik itu lingkungan manusia, lingkungan alam dan lingkungan spiritualnya (Jalan Menuju Rumahmu, 2004). Apa yang kemudian dapat dicerap dari interaksi dua dunia itulah yang merupakan makna dari pengalaman puitik Acep.

Jejak-jejak pengembaraan spiritual inilah yang memang menjadi kekuatan dari sebagian besar puisi Acep selama ini. Lewat kepiawaiannya dalam mengelola energi kreatif ini membuat ia kemudian mampu melebur hal-hal bersifat duniawi menjadi suatu aktifitas spiritual atau sebentuk pemujaan terhadap sang Khalik.

Kecenderungan ini tetap terbaca pada puisi-puisi yang ada dalam buku ini. Salah satunya berjudul “Sajak Nakal”.

Doa-doaku
Menyelinap ke dalam
Kutangmu. Seperti tangan
Tanganku
Nakal
Seperti doa
(……………..)

Aktifitas dan luapan gairah pada lawan jenis dipakai sebagai simbol (metafor) dari angan dan perasaan si penyair yang menggebu-gebu, yang menggapai-gapai Tuhannya.

Dari sini juga bisa kita dapati semacam penjungkirbalikan dari adat-kebiasaan religius yang terlanjur mapan, yang ingin dikritisi, atau ditambah-maknai lagi oleh Acep. Doa sebagai media bagi komunikasi manusia dengan Tuhannya tidak hanya harus dilakukan dengan nyepi sendiri, telapak tangan menengadah, kepala tertunduk lesu sambil berceracau memohon-mohon. Namun, gairah percintaan dua insan manusia yang apabila dilakukan dengan dasar cinta tulus, suci dan rasa keikhlasan untuk memberi dan menerima tanpa unsur pemaksaan maupun penindasan, demi menuju puncak kenikmatan bersama; maka ini juga adalah doa: sebagai implementasi rasa syukur terhadap nikmat yang diberikan oleh sang Maha Pengasih dan Penyayang, dari umatnya yang bersekutu dalam cinta. Berdoa memohon kebaikan dan kemurahanNya tak akan jadi apa-apa bila kita sendiri tak mampu berbuat baik dan murah hati terhadap sesama ciptaanNya.

Ada pesan cinta yang menggaung panjang dalam setiap puisi Acep. Ia ingin mengingatkan pada kita bahwa segala ketimpangan dan kekisruhan sosial, pertumbahan darah dan kerusakan lingkungan yang semakin parah dan semacamnya yang masih terus terjadi ini merupakan akibat dari mulai hilangnya rasa cinta-mencintai antar manusia dan lingkungannya; yang berarti juga mulai pudarnya kecintaan kita kepada sang Pencipta.

Karena itu, lewat puisi-puisi cinta ini, harusnya bukan hanya Acep seorang yang mendapati sebentuk kelahiran kembali tetapi kita (para pembaca) juga mesti mendapatinya. Terlebih bagi yang sedang menikmati ramadhan yang penuh hikmah ini, kita berhak menjadi pemenang dan kembali fitri bila mampu memaknai lebih dalam arti cinta dalam kehidupan ini. Hingga terlahir kembali menjadi seorang pencinta sejati: yakni orang yang mampu memancarkan laku dan rasa cinta-kasih dalam lingkungan keseharian. Sebagai bukti bahwa kita adalah makhluk ciptaan Sang Ar’rahman-Ar’rahim. Semoga!

Ragil Supriyatno Samid, lahir di Kupang, 25 Januari 1979. Alamat Jl. Diponegoro 3 Malang, Jawa Timur 65111. Bergiat di Mozaik Community. Email ragils_id@yahoo.com.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi