Ragil Supriyatno Samid
http://pawonsastra.blogspot.com/
Hampir bisa dipastikan bahwa bentuk puisi yang pertama kali digubah oleh semua penyair di awal karier kepenulisan mereka adalah puisi lirik. Puisi sebagai penampung segala luapan perasaan si penyair yang ditulis dengan bahasa yang lugas, yang menceritakan peristiwa-peristiwa kecil dan intim yang dialaminya serta, banyak mempergunakan gambaran-gambaran alam sebagai simbolisasi makna dalam tulisan; secara sederhana, begitulah ciri dari puisi lirik. Tema dalam puisi lirik dipenuhi oleh hal-hal universal seperti cinta, keriduan, perpisahan, kesendirian, kesunyian dan keterasingan.
Dari kesuntukan dalam mengakrabi puisi lirik atau biasa disebut sajak-sajak konvensional seperti itu. barulah kemudian mereka berangkat lebih jauh dan lebih dalam lagi mengeksplorasi bentuk kebahasaan dan kata-kata yang mereka pakai sebagai medium ekspresi mereka. Sampai akhirnya menemukan visi kepenyairan dan ciri khas bahasa-ungkapnya masing-masing.
Seperti Afrisal Malna yang mampu menghidupkan benda-benda mati dan remeh-temeh di lingkungan keseharian sebagai metafor puitiknya. Ada Rendra, dengan Puisi Pamfletnya, yang sampai pada visi mempergunakan puisi sebagai alat protes dan korektif terhadap ketimpangan sosial-politik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Juga, yang akhir-akhir ini kembali hangat dibicarakan karya-karyanya yaitu, Sutardji Calzoum Bachri (SCB), yang terkenal dengan kredo puisinya “membebaskan kata dari beban makna”, sehingga seringkali pencapaian bentuk karya puisinya dinamakan puisi mantra.
Namun, setiap tanjakan pasti memiliki turunannya. Di balik puncak gunung yang gersang dan beku pasti ada ngarai dan lembah yang hijau. Begitu pula, di tiap puncak (klimaks) kreatifitas seseorang pasti ada anti-klimaksnya. SCB yang mendapati puncak dari eksplorasi puitik lewat puisi-puisi mantranya, sebagaimana yang terangkum dalam buku antologi puisinya yang berjudul O Amuk Kapak (1981), akhirnya kembali menulis sajak-sajak konvensional yang lebih komunikatif, yang terasa lebih mudah terpahami maknanya oleh para pembaca awam, pada waktu belakangan (baca puisi SCB yang berjudul Idul Fitri di http/geocities/tamansastra/).
Begitu juga dengan Acep Zamzam Noer yang telah puluhan tahun ngebut mendaki puncak kepenyairannya dengan puisi-puisi yang beraroma spiritual dan religius yang kental, pada akhirnya pun kembali menulis sajak-sajak cinta yang profan dan sekuler (picisan?). Seperti sajak-sajaknya yang terhampar dalam buku antologi puisinya yang terbaru Menjadi Penyair Lagi (2007).
Sehingga kalau kita jeli melihat, puisi lirik pada akhirnya menjadi semacam sangkanparan-nya para penyair. sebuah bentuk penulisan yang menandai awal dan akhir dari putaran roda (cokromanggilingan) atau siklus proses kreatif dalam dunia kepenyairan mereka.
Kelahiran Kembali
Bagi Acep, dengan kembalinya ia mengakrabi puisi lirik, tidaklah kemudian menjadi semacam kematian dari perjalanan kepenyairannya. Namun, ia malah merasa seperti dilahirkan kembali menjadi seorang penyair. Seperti yang diungkap dalam petikan puisinya berikut ini: Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa/ Menjadi penyair lagi. Helai-helai rambutmu yang kecoklatan/ kuletakan dengan hati-hati di atas meja/…lalu kutulis puisi/ ketika kurasakan bibirmu masih tersimpan dimulutku/ ketika suaramu masih memenuhi telinga dan pikiranku/ kutulis puisi sambil mengingat-ingat warna sepatu/… serta ikat pinggangmu/ yang dulu kau tinggalkan di bawah ranjang/ sebagai ucapan selamat tinggal. (“Menjadi Penyair Lagi”, hal. 66).
Penyair, seperti juga orang lain pada umumnya, tentu akan merasa sakit pula kalau dikhianati dan dipecundangi. Tetapi bukan lantaran ini ia kemudian harus frustasi dan menarik diri dari kehidupan. Bagaimana pun sakitnya hidup ini tentu harus terus dihadapi dan dijalani. Karena setiap peristiwa yang dialami pasti menyimpan makna yang bila diresapi dengan baik akan jadi hikmah dan pelajaran untuk kehidupan mendatang.
Peristiwa yang dialami oleh aku-lirik pada puisi di atas, dalam telaah sastra, dimaksudkan si penyair sebagai suatu personifikasi atas pola hubungan manusia yang lebih kompleks. Semisal, antara rakyat dan wakil rakyat atau para pemimpinnya; dalam pembacaan secara keseluruhan isi puisi tersebut akan kita dapati pernyataan tersirat si penyair yang ingin mengatakan, lewat perumpamaan, bahwa: orang yang paling dekat, intim, serta merasa paling kita kenal pun ternyata mampu mengkhianati dan meninggalkan kita, apalagi, mereka yang hanya kita kenal lewat kampanye-kampanye politik di stadion, koran-koran dan televisi, atau malah yang baru kita tahu wajahnya di lembar coblosan. Mereka ini, ketika telah terpilih, bukan saja hanya bisa mangkir dari janji-janji muluknya diajang kampanye akan tetapi juga bisa lebih jauh lagi dengan berbalik menindas rakyatnya (sekaligus massa pemilihnya sendiri) dengan kebijakan-kebijakan yang menyimpang jauh dari kebutuhan riil masyarakatnya.
Karena itu, lanjut Acep, penyair tidak akan menangis karena dikhianati juga tidak pingsan bila mulutnya dibungkam. Tetapi ia hanya akan mati bila kehilangan tenaga kata-kata atau kata-kata saktinya berubah menjadi prosa.
Lewat pengakraban dan pemaknaan kembali peristiwa-peristiwa kecil yang dialami lalu disampaikan dengan gaya bertutur yang lugas seperti itu, Acep akhirya seperti mendapati kembali nyala api kepenyairannya yang mungkin, setelah tiga puluhan tahun lewat, sempat meredup.
Leburnya yang Profan dan Transenden
Saini KM pernah mengatakan, berpuisi bagi Acep adalah upaya yang bersungguh-sungguh di dalam melakukan pengembaraan dan petualangan rohani. Ia sekaligus memasuki dua dunia yaitu, dirinya sendiri dan lingkungannya, baik itu lingkungan manusia, lingkungan alam dan lingkungan spiritualnya (Jalan Menuju Rumahmu, 2004). Apa yang kemudian dapat dicerap dari interaksi dua dunia itulah yang merupakan makna dari pengalaman puitik Acep.
Jejak-jejak pengembaraan spiritual inilah yang memang menjadi kekuatan dari sebagian besar puisi Acep selama ini. Lewat kepiawaiannya dalam mengelola energi kreatif ini membuat ia kemudian mampu melebur hal-hal bersifat duniawi menjadi suatu aktifitas spiritual atau sebentuk pemujaan terhadap sang Khalik.
Kecenderungan ini tetap terbaca pada puisi-puisi yang ada dalam buku ini. Salah satunya berjudul “Sajak Nakal”.
Doa-doaku
Menyelinap ke dalam
Kutangmu. Seperti tangan
Tanganku
Nakal
Seperti doa
(……………..)
Aktifitas dan luapan gairah pada lawan jenis dipakai sebagai simbol (metafor) dari angan dan perasaan si penyair yang menggebu-gebu, yang menggapai-gapai Tuhannya.
Dari sini juga bisa kita dapati semacam penjungkirbalikan dari adat-kebiasaan religius yang terlanjur mapan, yang ingin dikritisi, atau ditambah-maknai lagi oleh Acep. Doa sebagai media bagi komunikasi manusia dengan Tuhannya tidak hanya harus dilakukan dengan nyepi sendiri, telapak tangan menengadah, kepala tertunduk lesu sambil berceracau memohon-mohon. Namun, gairah percintaan dua insan manusia yang apabila dilakukan dengan dasar cinta tulus, suci dan rasa keikhlasan untuk memberi dan menerima tanpa unsur pemaksaan maupun penindasan, demi menuju puncak kenikmatan bersama; maka ini juga adalah doa: sebagai implementasi rasa syukur terhadap nikmat yang diberikan oleh sang Maha Pengasih dan Penyayang, dari umatnya yang bersekutu dalam cinta. Berdoa memohon kebaikan dan kemurahanNya tak akan jadi apa-apa bila kita sendiri tak mampu berbuat baik dan murah hati terhadap sesama ciptaanNya.
Ada pesan cinta yang menggaung panjang dalam setiap puisi Acep. Ia ingin mengingatkan pada kita bahwa segala ketimpangan dan kekisruhan sosial, pertumbahan darah dan kerusakan lingkungan yang semakin parah dan semacamnya yang masih terus terjadi ini merupakan akibat dari mulai hilangnya rasa cinta-mencintai antar manusia dan lingkungannya; yang berarti juga mulai pudarnya kecintaan kita kepada sang Pencipta.
Karena itu, lewat puisi-puisi cinta ini, harusnya bukan hanya Acep seorang yang mendapati sebentuk kelahiran kembali tetapi kita (para pembaca) juga mesti mendapatinya. Terlebih bagi yang sedang menikmati ramadhan yang penuh hikmah ini, kita berhak menjadi pemenang dan kembali fitri bila mampu memaknai lebih dalam arti cinta dalam kehidupan ini. Hingga terlahir kembali menjadi seorang pencinta sejati: yakni orang yang mampu memancarkan laku dan rasa cinta-kasih dalam lingkungan keseharian. Sebagai bukti bahwa kita adalah makhluk ciptaan Sang Ar’rahman-Ar’rahim. Semoga!
Ragil Supriyatno Samid, lahir di Kupang, 25 Januari 1979. Alamat Jl. Diponegoro 3 Malang, Jawa Timur 65111. Bergiat di Mozaik Community. Email ragils_id@yahoo.com.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar