Benny Arnas
Riau Pos, 2 Januari 2011
“Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi” (DSBASN), sajak kedua dari buku puisi Hanna Fransisca yang bertajuk Kode Penyair Han (Kata-Kita, 2010), dibagi dalam empat bagian. Pembagian dalam sajak yang diberi sub judul “:biografi Han” tersebut tampaknya dibuat dengan pertimbangan yang matang. Bila biografi adalah catatan runut, maka DSBASN adalah cerita yang teratur. Memang, pembagian tersebut tidak dimaksudkan untuk menjelaskan perjalanan dalam kerangka waktu, setting, dan konflik tertentu sebagaimana plot dalam cerpen, atau bab dalam novel. Hal itu lebih sebagai sekuen mini yang padat. Ungkapkan kegetiran dengan sumir. Hanna tak meminta pembaca mengikuti teori Tuebingen (1986) yang menyatakan bahwa pembaca harus memahami pengarang jauh lebih baik dibanding pengarang memahami karyanya sendiri. Hanna membiarkan pembaca menikmati kisahnya. Hanna tengah berkomunikasi tanpa mempersilakan dialog muncul.1 Hanna tengah bermonolog. Dan pembaca adalah para penonton yang diperangkap oleh (tuturan) perjalanan hidupnya.
Lubuk Biru
Maaf. Mulut adalah lubuk biru/tempat rimbun anggur dan lembut kabut./ada gerimis kecil pagi hari. Ada matahari/dan tujuh warna pelangi./Ada wangi gadis sehabis mandi.
Begitulah Hanna membuka DSBASN. “Maaf” diletakkan sebagai diksi pertama. Hanna paham benar bahwa biografi adalah catatan perjalanan hidup yang (sejatinya) bersifat pribadi. Lazimnya, memang (seolah) hanya orang-orang (atau yang merasa) terpandang, terhormat, berjasa pada masyarakat, terkenal, dll, saja yang biografinya layak ditulis dan atau dimaklumatkan kepada banyak orang. Hanna membuka kisah hidup dengan sebuah harapan sekaligus permintaan pemakluman. Harapan semoga biografinya berfaedah, dan meminta orang-orang memaklumi (sekaligus memaafkan) bila ternyata tak ada gunanya sama sekali. Dan Hanna tak sekadar berbasa-basi dengan “maaf” tersebut. Ia menuliskan “maaf” sebanyak 8 (delapan) kali dalam sajaknya yang cukup panjang tersebut. Hal ini lebih dilihat sebagai sebuah ketakziman dibanding keberlebihan. Di sini Hanna hendak melepaskan sajaknya dari aroma koran dan festival. Ia tampil sebagai penyair yang tukang cerita, yang membuat orang-orang hikmat mendengarkannya.2
“Mulut adalah lubuk biru.” Tiga kali Hanna menyematkan metafor itu dalam DSBASN. Di sini, Hanna tidak mencipta metafor sebagai Metaphorical Twist and Turn (MTaT); metafor dicipta karena sebuah kata yang secara konvensional tak dapat dihubungkan dengan perkataan lainnya, justru dihubungkan untuk melakukan penyimpangan yang disengaja (Ignas Kleden, 2004). Hanna tidak mencipta metafor sebagaimana Gunawan Muhammad menggunakan kata “sayup-sayup” dalam sajaknya “Lagu Pekerja Malam”: Lagu pekerja malam/ Di sayup-sayup embun/ antara dinamo menderam/ Pantun demi pantun.
Melalui “Mulut adalah lubuk biru”, Hanna bukan hanya tak mengindahkan MtaT namun juga mematahkan dalil filsafat Cartesian tentang manusia “saya berpikir maka saya ada”. Hanna menyatakan bahwa cerita muramnya bukan hanya karena keberadaannya sebagai manusia (entah sebagai wanita, entah sebagai seorang Tioghoa, entah sebagai orang yang pernah jatuh dalam kemiskinan), namun lebih dari itu, “saya mengalami maka saya ada”.
Hanna hendak menyatakan bahwa DSBASN adalah dirinya yang dikisahkan dalam tutur. Di sini Hanna sudah mengunci sajaknya. Ia menempatkan sajak bukan sebagai teks. Kisah hidup (biografi) ia tuturkan (dengan mulut), bukan ia tuliskan (sebagai teks). Maka, kalimat itu bagai menjadi gerbang yang bila dibuka akan tampaklah apa-apa yang ada di baliknya. Cerita-cerita pilu yang begitu tersuruk, tersuruk di lubuk. Lubuk biru. Sumber kegetiran. Kegetiran yang mendalam.
Namun begitu, dengan semua kegetirannya, Hanna tidak menyajikan sajaknya sebagai hidangan dengan rasa cengeng belaka. Ia juga menyalakan semangat pantang kalah. Ia memang sempat linglung menjalani hidup karena menenggak arak yang memabukkan dari “tempat serimbun anggur” sembari berjalan dalam “lembut kabut”. Namun itu tak berlangsung lama, karena “ada gerimis di pagi hari” yang serta merta menyegarkan dirinya sekaligus mengusir kabut keraguan. Hanna segera tersadar bahwa hidup tak monokrom. Hidup “ada(lah) tujuh warna pelagi”. Warna-warna itu adalah bebunga yang mekar. Lalu Hanna petik untuk dijadikan sabun kehidupan. Ia ingin sedikit mendongak di tengah keramaian. Agar orang-orang tak memandang sebelah mata terhadapnya, agar orang-orang membisikkan: “Ada wangi gadis sehabis mandi” dengan manis (ataukah sinis?) di belakangnya. Sampai di sini, Hanna seolah hendak meneriakkan bahwa kata-kata yang digunakan dalam sajaknya sepenuhnya bersifat arbitrer (Jonathan Culler, 1984). Tidak ada hubungan “anggur” dan rasanya dengan wujud buah anggur, dan sebagainya.
Tanpa bermaksud menyalip pembacaan, bait pembuka DSBASN adalah batang dari biografi Han yang hendak diceritakan. Kegetiran hidup! Memang, pada bait kedua di bagian pertama DSBASN, Hanna sempat menyinggung seseorang yang bernama “Aliong, Aliung, Along….” yang ia kiaskan sebagai “hantu lelaki yang menggigil lantaran istri/ yang mati.”, namun, Hanna tak memberikan informasi lebih dalam selain bahwa lelaki itu bukanlah pribumi. Hanna tak ingin membuka semua kisah tentang ’lelaki-nya’ itu pada bagian pembuka (atau Hanna tak ingin kehilangan fokus ’penceritaan’?).
Diskriminasi Tionghoa
“Di sudut bibirmu ada sebutir nasi/ Bukan tempatmu di sini”. Demikian ujar (hinaan) seorang pribumi tulen yang kala itu menjadi guru SMP-nya di baris terakhir bagian kedua sajaknya. Hanna bukan hendak menumpahkan semua kekesalannya sebagai seorang Tionghoa, namun ia sekadar menyampaikan apa-apa yang pernah ia terima. Dan bila dalam sajak (yang singkat dibanding cerpen/novel) ia ceritakan itu, tidakkah artinya perlakuan (hinaan/diskriminasi) itu begitu membekas dalam perjalanan hidupnya? Menyesakkan, membuat sebak, akhirnya (pernah) membuatnya jatuh dalam keputusasaan yang mendalam, ke dalam lubuk biru, seperti dalam larik “Sejak itu ia buang mimpi/ terbang memungut bintang./ Sejak itu ia selalu melihat: Ada sebutir debu/ terjungkal di sudut jurang.”
Karena keterpurukan itu pula, Hanna sempat ragu apakah benar tempat ia lahir dan hidup kini adalah tanah airnya. “Sebab hanya orang jatuh cinta bisa lancar bicara/laut, guguran daun hutan Kalimantan, ombak Natuna, ….” Tentu bagaimana ia akan menganggap pulau-pulau itu sebagai tanah airnya “Sedang ia tak pernah bisa sebut nama sendiri.”
Dan di sinilah kepandaian Hanna mengisahkan biografinya dengan sangat ritmis. Dengan wajar (walaupun sejatinya sebuah lompatan) Hanna memainkan dinamika. Bila tadi (sepanjang bagian kedua sajak) ia bercerita dengan mimik muram, mata sayu dan agak merah, atau bahkan sambil bersimpuh; maka, menjelang akhir bagian ini, Hanna tiba-tiba bercerita dengan semringah, mata yang berbinar, dan serta-merta berdiri! Hanna memang masih mengatakan betapa keinginan begitu susah digapai, betapa harapannya terus kerontang walaupun jumlah kaumnya (Tionghoa) makin banyak: “betapa rabun matahari di tebing mimpi./ Rambutmu tumbuh hitam sesubur hutan/ sepanjang musim penghujan, pipimu putih/ hamparan pasir-pasir kemarau/ di pulau-pulau sunyi. Bila DSBASN adalah lagu, maka Hanna meliukkan irama dengan sangat halus di bagian “Ada gerimis di pagi hari./ Ada matahari dan tujuh warna pelangi.” Bagaimana Hanna dapat dengan tiba-tiba melupakan kesedihan? Semua disebabkan si “lelaki”, itu jawabannya!
Tentang Kekasih
Hanna baru menceritakan si “lelaki” yang kemudian diketahui sebagai kekasihnya (atau kini telah menjadi suaminya?) di bagian ketiga dari DSBASN. Di sinilah Hanna memainkan dinamika bahasa bergerak di antara sifatnya yang taat makna (meaning-governed) dan sifatnya yang mengubah menciptakan makna (meaning changing).3 Kata “kekasih” dalam bagian ketiga sajak ini lebih tampil secara semantik, memiliki hubungan di antara bahasa, khususnya kata, dan apa yang ditunjuk oleh kata itu.4 Dan tak alang kepalang, demi memberikan (menunjukkan) tekanan pada kata (kekasih) yang ditunjuk tersebut, tak sedikit pun dari 25 baris sajak pada bagian ketiga, tersisa untuk catatan hidup Hanna yang lain. Semua tentang sang kekasih. Tampaknya sang kekasih sangatlah berjasa dalam hidupnya. Hal ini dapatlah dimaklumi ketika dengan sangat manis (nyaris tanpa metafora yang njelimet) Hanna menceritakan betapa sang kekasih sangat berjasa membuatnya makin bergelora menjalani hidup, seperti pada bagian: “Kekasih sejati datang sekali, noni, menculikmu/ di petang siang. Memcumbu wangi hari-hari,/ mengajak selingkuh dalam nikmat setubuh/ pertama kali. Setubuh? Pertama kali? Alangkah nikmatnya? Tentulah pada sesiapa yang telah memberikan kebaikan tak terhingga, kita akan sangat menghormatinya, mendengarkan kata-katanya, bukan? Nah, begitu pun Hanna. Bahkan sang kekasih pula yang menyadarkan, bahwa Hanna adalah bagian bangsa ini, bukan hanya pelengkap kepadatan kependuduk, namun orang yang dapat dibanggakan. “Kelahiranmu di bumi pertiwi/ membikin wajah negeri cantik sekali.”
Hanna sangat terbius oleh kata-kata sang kekasih. Hanna sangat mencintai negeri. Hingga, segala upaya rayuan dari lelaki lain, tak digubrisnya. Bahkan dengan semua kehebatan lelaki lain yang berjanji membawanya ke semua benua, Hanna bergeming. “Kita akan kawin/ bikin perahu dan penuhi koin, seberangkan kunci-kunci/ melintas lautan, ke mana saja ke semua benua:/ itulah tanah air kita. Hanna tak takluk. Ya, cukuplah baginya bujuk-rayu itu. Hanna bukannya tak hendak menyimpan ’rasa’. Selain karena ia kadung mencintai tanah kelahirannya, ia juga muak pada semua janji-janji, kata-kata manis dari mulut. Karena baginya “Mulut adalah lubuk biru.”
Ambiguitas Hanna
Bagian keempat DSBASN, lebih tampak sebagai epilog. Dan Hanna memilih menutup biografinya dengan ambigu. Serupa ending terbuka dalam sebuah prosa.
Ambiguitas itu pertamakali muncul secara harfiah dalam metafora “Kekasih memberi cahaya, suami meminta nyawa.” Hanna memaparkan bagaimana kehidupan kaumnya (Tionghoa) kini. Bagai memakan buah simalakama. Mereka harus kaya agar mempunyai harga diri, namun yang terjadi justru dibenci. Mereka tak ingin jadi miskin dengan tujuan agar tak merasa orang asing. Namun yang terjadi justru itulah yang (seolah-olah) diharapkan pribumi. Ambiguitas yang kedua muncul ketika Hanna menabrakkan “Di kuburan kita janji ketemu” di baris ketiga bagian sajak yang keempat, dengan “Di kuburan kita telah ketemu.” di baris ketigabelas (terakhir) sekaligus menutup DSBASN.5 Sepasang ungkapan tersebut lebih menggambarkan bentuk kegamangan, kegetiran tak selesai, dan pesimisme. Bagaimana Hanna dan kekasih, sang penyemangat (atau sang suami), dapat membuat janji bertemu dalam sebuah penderitaan, di kuburan? Sejak kapan cinta-mati dijadikan pelarian kaum keturunan? Sejak kapan kaum keturunan (hanya) pasrah pada keadaan?
Hanna sebenarnya tengah gamang dengan biografinya. Ia tak terang menceritakannya. Bukan, bukan karena sajak adalah karya sastra yang pendek hingga sangat terbatas untuk mengisahkan kehidupan (seorang) anak manusia. Bukan pula karena DSBASN disajikan bukan sebagai teks. Bukan karena ia hendak mengaburkan kegetiran perjalanan hidupnya. Bukan karena ia tak ingin tampak terlalu sentimental pada sang kekasih (suaminya?). Bukan karena ia takut isu “kaum Tionghoa” merembet pada hal-hal politis. Dan tentu saja, bukan karena ia ingin bersajak (bercerita) dengan aman-aman saja (untuk apa biografi ini disajakkan bila ingin aman-aman saja?!). Bukan! Hanna hanya ingin bilang bahwa ia tak menjual airmata —yang ia keruk dari lubuk biru— dalam biografinya. Ia bahkan membelinya. Lalu ia bagikan, agar orang-orang mengambil pelajaran darinya. Tentang mencintai kekasih, tentang nasionalisme, tentang tak lelah memberi.
Maka, bila ditanyakan kepada Hanna tentang hidupnya kini, saya yakin takkan ada kata “Maaf” sebagaimana dalam ’sajak-biografi’ yang termaktub dalam buku setebal 141 halaman tersebut. Saya pikir Hanna akan memulai ceritanya dengan kalimat “Hati adalah lubuk merah”; sumber kebahagiaan yang sudah ditempa oleh perjalanan hidup yang haru-biru.
Di masa lalu.***
Catatan:
1. Puisi pun bentuk komunikasi. Adanya monolog adalah salah satunya. (Luxemburg, Bal, dan Wetsteijn, 1989: 74)
2. Diadaptasi dari Pengantar Redaksi rumahlebah; ruang puisi 02 (Frame Publishing, 2009)
3. Paul Ricourer berbicara tentang sintaksis dan sifatnya yang “rule-governed” dan “rule-changing“. Konsep tersebut diterapkan di sini untuk semantik. Lebih lengkap lihat paul Ricourer, The Rule of Metaphor (London: Routledge & Kegan Paul, 1978) hal. 110-111.
4. Diadaptasi dari naskah “Puisi, Penyair, dan Intelektual Publik; Untuk Goenawan Muhammad 60 Tahun” (Pidato Ignas Kleden dalam Rangka 60 Tahun Gunawan Muhammad)
5. Perbandingan ini dipinjam dari penyair Amerika, Gregory Corso, dalam karangannya yang terdapat dalam Howard Nemerov, hal. 220. (Chicago, 1967).
Benny Arnas, lahir di Lubuklinggau. Puisi-prosaiknya Perempuan yang Dihamili oleh Angin menjadi salah satu pemenang Krakatau Award 2009. Buku kumpulan cerpen pertamanya Bulan Celurit Api (Koekoesan, 2010). Tinggal dan berkarya di Lubuklinggau (Sumatera Selatan)
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/01/hati-adalah-lubuk-merah-membaca.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar