Sabtu, 28 Mei 2011

Hati adalah Lubuk Merah, Membaca “Biografi” Hanna Fransisca

Benny Arnas
Riau Pos, 2 Januari 2011

“Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi” (DSBASN), sajak kedua dari buku puisi Hanna Fransisca yang bertajuk Kode Penyair Han (Kata-Kita, 2010), dibagi dalam empat bagian. Pembagian dalam sajak yang diberi sub judul “:biografi Han” tersebut tampaknya dibuat dengan pertimbangan yang matang. Bila biografi adalah catatan runut, maka DSBASN adalah cerita yang teratur. Memang, pembagian tersebut tidak dimaksudkan untuk menjelaskan perjalanan dalam kerangka waktu, setting, dan konflik tertentu sebagaimana plot dalam cerpen, atau bab dalam novel. Hal itu lebih sebagai sekuen mini yang padat. Ungkapkan kegetiran dengan sumir. Hanna tak meminta pembaca mengikuti teori Tuebingen (1986) yang menyatakan bahwa pembaca harus memahami pengarang jauh lebih baik dibanding pengarang memahami karyanya sendiri. Hanna membiarkan pembaca menikmati kisahnya. Hanna tengah berkomunikasi tanpa mempersilakan dialog muncul.1 Hanna tengah bermonolog. Dan pembaca adalah para penonton yang diperangkap oleh (tuturan) perjalanan hidupnya.

Lubuk Biru

Maaf. Mulut adalah lubuk biru/tempat rimbun anggur dan lembut kabut./ada gerimis kecil pagi hari. Ada matahari/dan tujuh warna pelangi./Ada wangi gadis sehabis mandi.

Begitulah Hanna membuka DSBASN. “Maaf” diletakkan sebagai diksi pertama. Hanna paham benar bahwa biografi adalah catatan perjalanan hidup yang (sejatinya) bersifat pribadi. Lazimnya, memang (seolah) hanya orang-orang (atau yang merasa) terpandang, terhormat, berjasa pada masyarakat, terkenal, dll, saja yang biografinya layak ditulis dan atau dimaklumatkan kepada banyak orang. Hanna membuka kisah hidup dengan sebuah harapan sekaligus permintaan pemakluman. Harapan semoga biografinya berfaedah, dan meminta orang-orang memaklumi (sekaligus memaafkan) bila ternyata tak ada gunanya sama sekali. Dan Hanna tak sekadar berbasa-basi dengan “maaf” tersebut. Ia menuliskan “maaf” sebanyak 8 (delapan) kali dalam sajaknya yang cukup panjang tersebut. Hal ini lebih dilihat sebagai sebuah ketakziman dibanding keberlebihan. Di sini Hanna hendak melepaskan sajaknya dari aroma koran dan festival. Ia tampil sebagai penyair yang tukang cerita, yang membuat orang-orang hikmat mendengarkannya.2

“Mulut adalah lubuk biru.” Tiga kali Hanna menyematkan metafor itu dalam DSBASN. Di sini, Hanna tidak mencipta metafor sebagai Metaphorical Twist and Turn (MTaT); metafor dicipta karena sebuah kata yang secara konvensional tak dapat dihubungkan dengan perkataan lainnya, justru dihubungkan untuk melakukan penyimpangan yang disengaja (Ignas Kleden, 2004). Hanna tidak mencipta metafor sebagaimana Gunawan Muhammad menggunakan kata “sayup-sayup” dalam sajaknya “Lagu Pekerja Malam”: Lagu pekerja malam/ Di sayup-sayup embun/ antara dinamo menderam/ Pantun demi pantun.

Melalui “Mulut adalah lubuk biru”, Hanna bukan hanya tak mengindahkan MtaT namun juga mematahkan dalil filsafat Cartesian tentang manusia “saya berpikir maka saya ada”. Hanna menyatakan bahwa cerita muramnya bukan hanya karena keberadaannya sebagai manusia (entah sebagai wanita, entah sebagai seorang Tioghoa, entah sebagai orang yang pernah jatuh dalam kemiskinan), namun lebih dari itu, “saya mengalami maka saya ada”.

Hanna hendak menyatakan bahwa DSBASN adalah dirinya yang dikisahkan dalam tutur. Di sini Hanna sudah mengunci sajaknya. Ia menempatkan sajak bukan sebagai teks. Kisah hidup (biografi) ia tuturkan (dengan mulut), bukan ia tuliskan (sebagai teks). Maka, kalimat itu bagai menjadi gerbang yang bila dibuka akan tampaklah apa-apa yang ada di baliknya. Cerita-cerita pilu yang begitu tersuruk, tersuruk di lubuk. Lubuk biru. Sumber kegetiran. Kegetiran yang mendalam.

Namun begitu, dengan semua kegetirannya, Hanna tidak menyajikan sajaknya sebagai hidangan dengan rasa cengeng belaka. Ia juga menyalakan semangat pantang kalah. Ia memang sempat linglung menjalani hidup karena menenggak arak yang memabukkan dari “tempat serimbun anggur” sembari berjalan dalam “lembut kabut”. Namun itu tak berlangsung lama, karena “ada gerimis di pagi hari” yang serta merta menyegarkan dirinya sekaligus mengusir kabut keraguan. Hanna segera tersadar bahwa hidup tak monokrom. Hidup “ada(lah) tujuh warna pelagi”. Warna-warna itu adalah bebunga yang mekar. Lalu Hanna petik untuk dijadikan sabun kehidupan. Ia ingin sedikit mendongak di tengah keramaian. Agar orang-orang tak memandang sebelah mata terhadapnya, agar orang-orang membisikkan: “Ada wangi gadis sehabis mandi” dengan manis (ataukah sinis?) di belakangnya. Sampai di sini, Hanna seolah hendak meneriakkan bahwa kata-kata yang digunakan dalam sajaknya sepenuhnya bersifat arbitrer (Jonathan Culler, 1984). Tidak ada hubungan “anggur” dan rasanya dengan wujud buah anggur, dan sebagainya.

Tanpa bermaksud menyalip pembacaan, bait pembuka DSBASN adalah batang dari biografi Han yang hendak diceritakan. Kegetiran hidup! Memang, pada bait kedua di bagian pertama DSBASN, Hanna sempat menyinggung seseorang yang bernama “Aliong, Aliung, Along….” yang ia kiaskan sebagai “hantu lelaki yang menggigil lantaran istri/ yang mati.”, namun, Hanna tak memberikan informasi lebih dalam selain bahwa lelaki itu bukanlah pribumi. Hanna tak ingin membuka semua kisah tentang ’lelaki-nya’ itu pada bagian pembuka (atau Hanna tak ingin kehilangan fokus ’penceritaan’?).

Diskriminasi Tionghoa

“Di sudut bibirmu ada sebutir nasi/ Bukan tempatmu di sini”. Demikian ujar (hinaan) seorang pribumi tulen yang kala itu menjadi guru SMP-nya di baris terakhir bagian kedua sajaknya. Hanna bukan hendak menumpahkan semua kekesalannya sebagai seorang Tionghoa, namun ia sekadar menyampaikan apa-apa yang pernah ia terima. Dan bila dalam sajak (yang singkat dibanding cerpen/novel) ia ceritakan itu, tidakkah artinya perlakuan (hinaan/diskriminasi) itu begitu membekas dalam perjalanan hidupnya? Menyesakkan, membuat sebak, akhirnya (pernah) membuatnya jatuh dalam keputusasaan yang mendalam, ke dalam lubuk biru, seperti dalam larik “Sejak itu ia buang mimpi/ terbang memungut bintang./ Sejak itu ia selalu melihat: Ada sebutir debu/ terjungkal di sudut jurang.”

Karena keterpurukan itu pula, Hanna sempat ragu apakah benar tempat ia lahir dan hidup kini adalah tanah airnya. “Sebab hanya orang jatuh cinta bisa lancar bicara/laut, guguran daun hutan Kalimantan, ombak Natuna, ….” Tentu bagaimana ia akan menganggap pulau-pulau itu sebagai tanah airnya “Sedang ia tak pernah bisa sebut nama sendiri.”

Dan di sinilah kepandaian Hanna mengisahkan biografinya dengan sangat ritmis. Dengan wajar (walaupun sejatinya sebuah lompatan) Hanna memainkan dinamika. Bila tadi (sepanjang bagian kedua sajak) ia bercerita dengan mimik muram, mata sayu dan agak merah, atau bahkan sambil bersimpuh; maka, menjelang akhir bagian ini, Hanna tiba-tiba bercerita dengan semringah, mata yang berbinar, dan serta-merta berdiri! Hanna memang masih mengatakan betapa keinginan begitu susah digapai, betapa harapannya terus kerontang walaupun jumlah kaumnya (Tionghoa) makin banyak: “betapa rabun matahari di tebing mimpi./ Rambutmu tumbuh hitam sesubur hutan/ sepanjang musim penghujan, pipimu putih/ hamparan pasir-pasir kemarau/ di pulau-pulau sunyi. Bila DSBASN adalah lagu, maka Hanna meliukkan irama dengan sangat halus di bagian “Ada gerimis di pagi hari./ Ada matahari dan tujuh warna pelangi.” Bagaimana Hanna dapat dengan tiba-tiba melupakan kesedihan? Semua disebabkan si “lelaki”, itu jawabannya!

Tentang Kekasih

Hanna baru menceritakan si “lelaki” yang kemudian diketahui sebagai kekasihnya (atau kini telah menjadi suaminya?) di bagian ketiga dari DSBASN. Di sinilah Hanna memainkan dinamika bahasa bergerak di antara sifatnya yang taat makna (meaning-governed) dan sifatnya yang mengubah menciptakan makna (meaning changing).3 Kata “kekasih” dalam bagian ketiga sajak ini lebih tampil secara semantik, memiliki hubungan di antara bahasa, khususnya kata, dan apa yang ditunjuk oleh kata itu.4 Dan tak alang kepalang, demi memberikan (menunjukkan) tekanan pada kata (kekasih) yang ditunjuk tersebut, tak sedikit pun dari 25 baris sajak pada bagian ketiga, tersisa untuk catatan hidup Hanna yang lain. Semua tentang sang kekasih. Tampaknya sang kekasih sangatlah berjasa dalam hidupnya. Hal ini dapatlah dimaklumi ketika dengan sangat manis (nyaris tanpa metafora yang njelimet) Hanna menceritakan betapa sang kekasih sangat berjasa membuatnya makin bergelora menjalani hidup, seperti pada bagian: “Kekasih sejati datang sekali, noni, menculikmu/ di petang siang. Memcumbu wangi hari-hari,/ mengajak selingkuh dalam nikmat setubuh/ pertama kali. Setubuh? Pertama kali? Alangkah nikmatnya? Tentulah pada sesiapa yang telah memberikan kebaikan tak terhingga, kita akan sangat menghormatinya, mendengarkan kata-katanya, bukan? Nah, begitu pun Hanna. Bahkan sang kekasih pula yang menyadarkan, bahwa Hanna adalah bagian bangsa ini, bukan hanya pelengkap kepadatan kependuduk, namun orang yang dapat dibanggakan. “Kelahiranmu di bumi pertiwi/ membikin wajah negeri cantik sekali.”

Hanna sangat terbius oleh kata-kata sang kekasih. Hanna sangat mencintai negeri. Hingga, segala upaya rayuan dari lelaki lain, tak digubrisnya. Bahkan dengan semua kehebatan lelaki lain yang berjanji membawanya ke semua benua, Hanna bergeming. “Kita akan kawin/ bikin perahu dan penuhi koin, seberangkan kunci-kunci/ melintas lautan, ke mana saja ke semua benua:/ itulah tanah air kita. Hanna tak takluk. Ya, cukuplah baginya bujuk-rayu itu. Hanna bukannya tak hendak menyimpan ’rasa’. Selain karena ia kadung mencintai tanah kelahirannya, ia juga muak pada semua janji-janji, kata-kata manis dari mulut. Karena baginya “Mulut adalah lubuk biru.”

Ambiguitas Hanna

Bagian keempat DSBASN, lebih tampak sebagai epilog. Dan Hanna memilih menutup biografinya dengan ambigu. Serupa ending terbuka dalam sebuah prosa.

Ambiguitas itu pertamakali muncul secara harfiah dalam metafora “Kekasih memberi cahaya, suami meminta nyawa.” Hanna memaparkan bagaimana kehidupan kaumnya (Tionghoa) kini. Bagai memakan buah simalakama. Mereka harus kaya agar mempunyai harga diri, namun yang terjadi justru dibenci. Mereka tak ingin jadi miskin dengan tujuan agar tak merasa orang asing. Namun yang terjadi justru itulah yang (seolah-olah) diharapkan pribumi. Ambiguitas yang kedua muncul ketika Hanna menabrakkan “Di kuburan kita janji ketemu” di baris ketiga bagian sajak yang keempat, dengan “Di kuburan kita telah ketemu.” di baris ketigabelas (terakhir) sekaligus menutup DSBASN.5 Sepasang ungkapan tersebut lebih menggambarkan bentuk kegamangan, kegetiran tak selesai, dan pesimisme. Bagaimana Hanna dan kekasih, sang penyemangat (atau sang suami), dapat membuat janji bertemu dalam sebuah penderitaan, di kuburan? Sejak kapan cinta-mati dijadikan pelarian kaum keturunan? Sejak kapan kaum keturunan (hanya) pasrah pada keadaan?

Hanna sebenarnya tengah gamang dengan biografinya. Ia tak terang menceritakannya. Bukan, bukan karena sajak adalah karya sastra yang pendek hingga sangat terbatas untuk mengisahkan kehidupan (seorang) anak manusia. Bukan pula karena DSBASN disajikan bukan sebagai teks. Bukan karena ia hendak mengaburkan kegetiran perjalanan hidupnya. Bukan karena ia tak ingin tampak terlalu sentimental pada sang kekasih (suaminya?). Bukan karena ia takut isu “kaum Tionghoa” merembet pada hal-hal politis. Dan tentu saja, bukan karena ia ingin bersajak (bercerita) dengan aman-aman saja (untuk apa biografi ini disajakkan bila ingin aman-aman saja?!). Bukan! Hanna hanya ingin bilang bahwa ia tak menjual airmata —yang ia keruk dari lubuk biru— dalam biografinya. Ia bahkan membelinya. Lalu ia bagikan, agar orang-orang mengambil pelajaran darinya. Tentang mencintai kekasih, tentang nasionalisme, tentang tak lelah memberi.

Maka, bila ditanyakan kepada Hanna tentang hidupnya kini, saya yakin takkan ada kata “Maaf” sebagaimana dalam ’sajak-biografi’ yang termaktub dalam buku setebal 141 halaman tersebut. Saya pikir Hanna akan memulai ceritanya dengan kalimat “Hati adalah lubuk merah”; sumber kebahagiaan yang sudah ditempa oleh perjalanan hidup yang haru-biru.
Di masa lalu.***

Catatan:

1. Puisi pun bentuk komunikasi. Adanya monolog adalah salah satunya. (Luxemburg, Bal, dan Wetsteijn, 1989: 74)
2. Diadaptasi dari Pengantar Redaksi rumahlebah; ruang puisi 02 (Frame Publishing, 2009)
3. Paul Ricourer berbicara tentang sintaksis dan sifatnya yang “rule-governed” dan “rule-changing“. Konsep tersebut diterapkan di sini untuk semantik. Lebih lengkap lihat paul Ricourer, The Rule of Metaphor (London: Routledge & Kegan Paul, 1978) hal. 110-111.
4. Diadaptasi dari naskah “Puisi, Penyair, dan Intelektual Publik; Untuk Goenawan Muhammad 60 Tahun” (Pidato Ignas Kleden dalam Rangka 60 Tahun Gunawan Muhammad)
5. Perbandingan ini dipinjam dari penyair Amerika, Gregory Corso, dalam karangannya yang terdapat dalam Howard Nemerov, hal. 220. (Chicago, 1967).

Benny Arnas, lahir di Lubuklinggau. Puisi-prosaiknya Perempuan yang Dihamili oleh Angin menjadi salah satu pemenang Krakatau Award 2009. Buku kumpulan cerpen pertamanya Bulan Celurit Api (Koekoesan, 2010). Tinggal dan berkarya di Lubuklinggau (Sumatera Selatan)

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/01/hati-adalah-lubuk-merah-membaca.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi