Muhammad Ali Fakih
__Republika, 19 Juni 2011
SUDAH sekitar tiga bulan orang gila itu tinggal di kampung kami. Tidak ada yang tahu asal usulnya, seperti juga tidak ada yang tahu mengapa dia menjadi gila. Orang-orang hanya merasa kasihan dan bertanya-tanya, mengapa sanak keluarganya tidak mencarinya? Apakah dia tidak punya keluarga? Mengapa dia begitu betahnya di kampung kami?
Tak seorang pun yang peduli padanya. Barangkali pikir orang-orang, siapa pula yang mau peduli sama orang gila. Paling-paling kalau diajak bicara dia hanya ketawa-ketawa atau nyerocos tidak jelas. Tidak nyambung. Mending kalau tidak ngamuk, tapi kalau ngamuk? Tambah rumit urusannya.
Kerjaannya tiap hari hanya duduk-duduk di bawah pohon asam tua dekat pasar. Pagi-pagi ketika aku mengantar ibu ke pasar, pasti aku melihat dia duduk bersila menghadap ke barat, memejamkan mata sambil memutar-mutar tasbih dan mulutnya berkomat-kamit. Entah apa yang dibacanya, aku tidak tahu. Pikirku, mungkin dia baca mantra atau semacam zikiran yang dia sendiri tidak paham.
Biasanya aku ikut masuk ke dalam pasar bersama ibu. Tetapi, semenjak orang gila itu datang, aku kerap menunggu ibu di luar, di parkiran, kecuali jika ibu membutuhkan tenagaku. Hanya satu alasanku: ingin tahu lebih jauh tentang orang gila itu. Sebab, dia tampak lain dari orang gila lainnya. Dia pendiam, tidak nyerocos yang tidak jelas, dan tidak ngamuk-ngamuk seperti yang dipikirkan orang-orang.
Awalnya aku dimarahi oleh ibu karena alasan itu sehingga aku tidak mau ikut masuk ke pasar. Tetapi, aku ngeyel dan sedikit memaksa. Akhirnya, ibu mengerti. Malah beliau tersenyum tipis, menggeleng-gelengkan kepala, seperti menganggapku anak yang aneh. Kerap ketika sudah sampai di parkiran pasar, ibu menggodaku, “Sana tuh temenin pacarmu,” sambil menunjuk orang gila itu. Ah, ibu!
Tentu, aku memperhatikan orang gila itu dari jauh, berusaha mengalihkan pandangan ketika dilihat oleh orang. Aku takut digojlokin macam-macam. Dan, aku tidak menceritakan apa pun kepada siapa pun tentang sesuatu yang kutangkap dari orang gila itu, bahkan kepada ibu. Kalau ibuku bertanya, aku berusaha tidak menjawab yang semestinya, lalu cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. Dan, ibu—sekali lagi—hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Orang gila itu betul-betul aneh.
Pakaiannya serba hitam, kotor, dan kumal. Rambutnya panjang tak keruan. Tetapi, dia pakai songkok haji sehingga kelihatan agak rapi. Aku pikir dia tidak pernah mandi dan itu jelas dari wajahnya yang belepotan tanah. Yang bikin aku heran, dia itu tidak bau. Sama sekali tidak. Awalnya aku menduga mungkin hidungku tidak normal. Tetapi, setelah berkali-kali aku mendekatinya—tentu dengan cara yang sekiranya tidak norak—aku kemudian menjadi maklum.
Aku semakin bergairah ketika orang-orang bercerita bahwa dia sering wudhu ke kolam depan masjid selatan pasar, lalu kembali ke pohon asam yang sudah seperti rumahnya itu, dan shalat. Alih-alih shalat fardhu, dia shalat tak putus-putusnya. Selagi di “rumahnya” itu, dia shalat terus-menerus, seperti tidak kenal lelah. Atau kalau tidak, dia berkomat-kamit dan memutar-mutar tasbihnya, mungkin berzikir.
Yang membuatnya dianggap gila oleh orang-orang adalah bahwa dia tiap hari berjalan memutari desa dan memungut sampah-sampah di jalanan untuk hiasan di baju, celana, kaki, dan tangannya. Kadang juga sampah-sampah itu diwadahi plastik, dijinjing, dan dibawanya ke “rumahnya” itu. Sehingga pohon asam tua dekat pasar itu jadi seperti tempat penampungan sampah. Dan, gubuk kecil di dekatnya dibuat dari rakitan-rakitan sampah pula. Di jalan-jalan dia tersenyum-senyum dan kerap pula menangis tanpa ada sebab musababnya.
Kalau sedang lewat di rumah warga, orang-orang sering mencegahnya. Menjadikannya tontonan. Mengolok-oloknya. Mempermainkannya. Pernah suatu kali dia disekap oleh sekelompok pemuda dan kedua tangan dan kakinya diikatkan pada sebatang pohon. Lalu, mereka memanggil orang-orang. Bersama-sama dia digelitik, dipecut, dikasih makan sepat kelapa. Pokoknya diperlakukan tidak manusiawi.
Aku yang kebetulan lewat tempat itu, menyaksikan penyiksaan itu menjadi marah luar biasa. Darahku panas. Aku marahi mereka semua, tak pandang bulu, bahkan pun bapak-bapak dan ibu-ibu. Setiap yang mencegahku atau mengataiku yang tidak-tidak, aku tantang dia berkelahi.
“Dasar manusia-manusia bejat. Kalian lebih rendah dari anjing. Harusnya menolong, malah memperlakukannya begini. Sungguh kalian ini manusia-manusia busuk,” kataku keras-keras sambil kupendeliki mereka. Lalu, mereka pergi satu per satu sambil mengataiku macam-macam. Ada juga yang menggerutu, tetapi aku biarkan.
Orang gila itu hanya diam ketika kulepaskan ikatan tampar di tangan dan kakinya. Matanya yang sayu meneteskan air mata. Rupanya dia tidak beringas seperti yang kukira. Kutuntun dia dan kubawa ke rumah. Ibu kaget melihat aku membawa dia. Beliau memarahiku. Aku meminta maaf. Kuceritakan kejadian tadi. Aku berkata pada ibu, barangkali dia lapar. Kasihan. Ibu pun akhirnya memaklumi.
Kusuguhi dia makanan. Tetapi, dia menolak. Katanya, dia sedang puasa. Mendengar jawaban itu aku dan ibu terperangah. Dia pasti bukan orang sembarangan, pikirku.
“Asal bapak mana?” tanya ibu.
“Asal saya dari langit dan mau kembali ke langit,” jawabnya serius.
Ibu menoleh kepadaku. Aku mengerutkan dahi.
“Maksud bapak?” timpalku.
“Kita sebenarnya lahir dari tanah yang sama, yaitu keabadian. Cuma karena dibutakan oleh kehidupan dunia, kita menjadi tidak saling kenal. Bahkan, banyak orang lupa asal-usulnya.”
Kami kian tidak mengerti maksud orang gila ini. Sekali lagi ibu menoleh kepadaku.
“Mengapa bapak sampai gila begini?”
“Aku tidak gila. Kalianlah yang sesungguhnya gila.”
“Tapi, mengapa bapak bertingkah seperti orang gila, memungut sampah dan menempelkannya pada baju dan tubuh bapak? Bapak juga sering tersenyum dan menangis tidak jelas.”
“Sekarang saya balik tanya, tidakkah lebih gila orang yang sedih kehilangan barangnya ketimbang shalatnya? Tidakkah lebih gila orang yang membicarakan kejelekan tetangganya dari pada tingkahku itu?”
Aku dan ibu terdiam. Ibu, seperti juga aku, mengerutkan dahi, seperti tidak percaya pada kata-kata yang keluar dari mulut si bapak ini.
“Orang-orang sibuk dengan dunianya sendiri. Bekerja terus-menerus, tidak pernah ingat pada tujuannya hidup di dunia. Katanya mereka memburu kebahagiaan, padahal sesungguhnya kesenangan. Tahukah kalian bahwa kesenangan dan kebahagiaan itu beda? Kesenangan muncul dari nafsu, sementara kebahagiaan dari hati. Kesenangan tidak pernah membuat kita puas, sementara kebahagian sebaliknya.”
“Menurut bapak, apa tujuan kita hidup di dunia?”
Belum sempat menjawab pertanyaanku, si bapak oleng. Tiba-tiba dia kejang-kejang. Aku dan ibu kaget bukan main. Kami sama-sama berteriak memanggil para tetangga. Tak berapa lama kemudian orang-orang berdatangan ke rumah, menanyakan ihwal kami memanggil-manggil mereka. Tetapi, tanpa kami jawab mereka pun paham. Lalu, mereka berusaha dengan berbagai cara menyadarkan si bapak. Tetapi si bapak tetap kejang-kejang. Akhirnya kuambil secebok air dan kusiramkan ke muka dan tubuh si bapak. Barulah si bapak sadar. Badannya terlihat lemas. Matanya setengah terbuka, setengah tertutup. Sayu. Dengus napasnya sedikit demi sedikit normal.
“Tujuan kita hidup di dunia adalah menjadi sufi. Seorang sufi itu membiarkan tangannya sibuk dengan tugas-tugas dunianya dan membiarkan hatinya sibuk dengan Tuhannya. Seorang sufi itu hanya tahu tentang kewajiban, dan tidak tentang hak. Berbuat baiklah, atau paling tidak jangan berbuat jahat. Niatilah segala perbuatan kalian atas nama Tuhan,” katanya dengan suara yang sudah sangat lemah.
Lambat laun mata si bapak mengatup. Napasnya tinggal sepenggal-sepenggal. Malaikat maut menemuinya—aku rasa—dengan mesra dan penuh cinta. Titik demi titik air mataku menetes. Ibu pun demikian. Kami merasa kehilangan. Kehilangan orang gila yang tidak kami kenal.
Yogyakarta, 1 Januari 2010
*) Muhammad Ali Fakih lahir di Kerta Timur Dasuk, Sumenep, Madura, 8 Maret 1988. Kini, penulis sedang belajar di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta. Selain cerpen, penulis juga menulis esai dan puisi.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 10 Desember 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar