Sabtu, 10 Desember 2011

Orang Gila

Muhammad Ali Fakih
__Republika, 19 Juni 2011

SUDAH sekitar tiga bulan orang gila itu tinggal di kampung kami. Tidak ada yang tahu asal usulnya, seperti juga tidak ada yang tahu mengapa dia menjadi gila. Orang-orang hanya merasa kasihan dan bertanya-tanya, mengapa sanak keluarganya tidak mencarinya? Apakah dia tidak punya keluarga? Mengapa dia begitu betahnya di kampung kami?

Tak seorang pun yang peduli padanya. Barangkali pikir orang-orang, siapa pula yang mau peduli sama orang gila. Paling-paling kalau diajak bicara dia hanya ketawa-ketawa atau nyerocos tidak jelas. Tidak nyambung. Mending kalau tidak ngamuk, tapi kalau ngamuk? Tambah rumit urusannya.

Kerjaannya tiap hari hanya duduk-duduk di bawah pohon asam tua dekat pasar. Pagi-pagi ketika aku mengantar ibu ke pasar, pasti aku melihat dia duduk bersila menghadap ke barat, memejamkan mata sambil memutar-mutar tasbih dan mulutnya berkomat-kamit. Entah apa yang dibacanya, aku tidak tahu. Pikirku, mungkin dia baca mantra atau semacam zikiran yang dia sendiri tidak paham.

Biasanya aku ikut masuk ke dalam pasar bersama ibu. Tetapi, semenjak orang gila itu datang, aku kerap menunggu ibu di luar, di parkiran, kecuali jika ibu membutuhkan tenagaku. Hanya satu alasanku: ingin tahu lebih jauh tentang orang gila itu. Sebab, dia tampak lain dari orang gila lainnya. Dia pendiam, tidak nyerocos yang tidak jelas, dan tidak ngamuk-ngamuk seperti yang dipikirkan orang-orang.

Awalnya aku dimarahi oleh ibu karena alasan itu sehingga aku tidak mau ikut masuk ke pasar. Tetapi, aku ngeyel dan sedikit memaksa. Akhirnya, ibu mengerti. Malah beliau tersenyum tipis, menggeleng-gelengkan kepala, seperti menganggapku anak yang aneh. Kerap ketika sudah sampai di parkiran pasar, ibu menggodaku, “Sana tuh temenin pacarmu,” sambil menunjuk orang gila itu. Ah, ibu!

Tentu, aku memperhatikan orang gila itu dari jauh, berusaha mengalihkan pandangan ketika dilihat oleh orang. Aku takut digojlokin macam-macam. Dan, aku tidak menceritakan apa pun kepada siapa pun tentang sesuatu yang kutangkap dari orang gila itu, bahkan kepada ibu. Kalau ibuku bertanya, aku berusaha tidak menjawab yang semestinya, lalu cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. Dan, ibu—sekali lagi—hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Orang gila itu betul-betul aneh.

Pakaiannya serba hitam, kotor, dan kumal. Rambutnya panjang tak keruan. Tetapi, dia pakai songkok haji sehingga kelihatan agak rapi. Aku pikir dia tidak pernah mandi dan itu jelas dari wajahnya yang belepotan tanah. Yang bikin aku heran, dia itu tidak bau. Sama sekali tidak. Awalnya aku menduga mungkin hidungku tidak normal. Tetapi, setelah berkali-kali aku mendekatinya—tentu dengan cara yang sekiranya tidak norak—aku kemudian menjadi maklum.

Aku semakin bergairah ketika orang-orang bercerita bahwa dia sering wudhu ke kolam depan masjid selatan pasar, lalu kembali ke pohon asam yang sudah seperti rumahnya itu, dan shalat. Alih-alih shalat fardhu, dia shalat tak putus-putusnya. Selagi di “rumahnya” itu, dia shalat terus-menerus, seperti tidak kenal lelah. Atau kalau tidak, dia berkomat-kamit dan memutar-mutar tasbihnya, mungkin berzikir.

Yang membuatnya dianggap gila oleh orang-orang adalah bahwa dia tiap hari berjalan memutari desa dan memungut sampah-sampah di jalanan untuk hiasan di baju, celana, kaki, dan tangannya. Kadang juga sampah-sampah itu diwadahi plastik, dijinjing, dan dibawanya ke “rumahnya” itu. Sehingga pohon asam tua dekat pasar itu jadi seperti tempat penampungan sampah. Dan, gubuk kecil di dekatnya dibuat dari rakitan-rakitan sampah pula. Di jalan-jalan dia tersenyum-senyum dan kerap pula menangis tanpa ada sebab musababnya.

Kalau sedang lewat di rumah warga, orang-orang sering mencegahnya. Menjadikannya tontonan. Mengolok-oloknya. Mempermainkannya. Pernah suatu kali dia disekap oleh sekelompok pemuda dan kedua tangan dan kakinya diikatkan pada sebatang pohon. Lalu, mereka memanggil orang-orang. Bersama-sama dia digelitik, dipecut, dikasih makan sepat kelapa. Pokoknya diperlakukan tidak manusiawi.

Aku yang kebetulan lewat tempat itu, menyaksikan penyiksaan itu menjadi marah luar biasa. Darahku panas. Aku marahi mereka semua, tak pandang bulu, bahkan pun bapak-bapak dan ibu-ibu. Setiap yang mencegahku atau mengataiku yang tidak-tidak, aku tantang dia berkelahi.

“Dasar manusia-manusia bejat. Kalian lebih rendah dari anjing. Harusnya menolong, malah memperlakukannya begini. Sungguh kalian ini manusia-manusia busuk,” kataku keras-keras sambil kupendeliki mereka. Lalu, mereka pergi satu per satu sambil mengataiku macam-macam. Ada juga yang menggerutu, tetapi aku biarkan.

Orang gila itu hanya diam ketika kulepaskan ikatan tampar di tangan dan kakinya. Matanya yang sayu meneteskan air mata. Rupanya dia tidak beringas seperti yang kukira. Kutuntun dia dan kubawa ke rumah. Ibu kaget melihat aku membawa dia. Beliau memarahiku. Aku meminta maaf. Kuceritakan kejadian tadi. Aku berkata pada ibu, barangkali dia lapar. Kasihan. Ibu pun akhirnya memaklumi.

Kusuguhi dia makanan. Tetapi, dia menolak. Katanya, dia sedang puasa. Mendengar jawaban itu aku dan ibu terperangah. Dia pasti bukan orang sembarangan, pikirku.

“Asal bapak mana?” tanya ibu.

“Asal saya dari langit dan mau kembali ke langit,” jawabnya serius.

Ibu menoleh kepadaku. Aku mengerutkan dahi.

“Maksud bapak?” timpalku.

“Kita sebenarnya lahir dari tanah yang sama, yaitu keabadian. Cuma karena dibutakan oleh kehidupan dunia, kita menjadi tidak saling kenal. Bahkan, banyak orang lupa asal-usulnya.”

Kami kian tidak mengerti maksud orang gila ini. Sekali lagi ibu menoleh kepadaku.

“Mengapa bapak sampai gila begini?”

“Aku tidak gila. Kalianlah yang sesungguhnya gila.”

“Tapi, mengapa bapak bertingkah seperti orang gila, memungut sampah dan menempelkannya pada baju dan tubuh bapak? Bapak juga sering tersenyum dan menangis tidak jelas.”

“Sekarang saya balik tanya, tidakkah lebih gila orang yang sedih kehilangan barangnya ketimbang shalatnya? Tidakkah lebih gila orang yang membicarakan kejelekan tetangganya dari pada tingkahku itu?”

Aku dan ibu terdiam. Ibu, seperti juga aku, mengerutkan dahi, seperti tidak percaya pada kata-kata yang keluar dari mulut si bapak ini.

“Orang-orang sibuk dengan dunianya sendiri. Bekerja terus-menerus, tidak pernah ingat pada tujuannya hidup di dunia. Katanya mereka memburu kebahagiaan, padahal sesungguhnya kesenangan. Tahukah kalian bahwa kesenangan dan kebahagiaan itu beda? Kesenangan muncul dari nafsu, sementara kebahagiaan dari hati. Kesenangan tidak pernah membuat kita puas, sementara kebahagian sebaliknya.”

“Menurut bapak, apa tujuan kita hidup di dunia?”

Belum sempat menjawab pertanyaanku, si bapak oleng. Tiba-tiba dia kejang-kejang. Aku dan ibu kaget bukan main. Kami sama-sama berteriak memanggil para tetangga. Tak berapa lama kemudian orang-orang berdatangan ke rumah, menanyakan ihwal kami memanggil-manggil mereka. Tetapi, tanpa kami jawab mereka pun paham. Lalu, mereka berusaha dengan berbagai cara menyadarkan si bapak. Tetapi si bapak tetap kejang-kejang. Akhirnya kuambil secebok air dan kusiramkan ke muka dan tubuh si bapak. Barulah si bapak sadar. Badannya terlihat lemas. Matanya setengah terbuka, setengah tertutup. Sayu. Dengus napasnya sedikit demi sedikit normal.

“Tujuan kita hidup di dunia adalah menjadi sufi. Seorang sufi itu membiarkan tangannya sibuk dengan tugas-tugas dunianya dan membiarkan hatinya sibuk dengan Tuhannya. Seorang sufi itu hanya tahu tentang kewajiban, dan tidak tentang hak. Berbuat baiklah, atau paling tidak jangan berbuat jahat. Niatilah segala perbuatan kalian atas nama Tuhan,” katanya dengan suara yang sudah sangat lemah.

Lambat laun mata si bapak mengatup. Napasnya tinggal sepenggal-sepenggal. Malaikat maut menemuinya—aku rasa—dengan mesra dan penuh cinta. Titik demi titik air mataku menetes. Ibu pun demikian. Kami merasa kehilangan. Kehilangan orang gila yang tidak kami kenal.

Yogyakarta, 1 Januari 2010

*) Muhammad Ali Fakih lahir di Kerta Timur Dasuk, Sumenep, Madura, 8 Maret 1988. Kini, penulis sedang belajar di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta. Selain cerpen, penulis juga menulis esai dan puisi.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi