Akhiriyati Sundari
http://sastra-indonesia.com/
15:11 WIB. Kukayuh sepeda kumbangku melintasi Kotabaru. Jalan I Dewa Nyoman Oka. Lalu lurus menyisir ke arah Jalan Cik Di Tiro. Bablas. Sebuah kampus besar arah utara bundaran, kini pintu masuknya telah latah dipasangi portal. Terlihat begitu jelek di mataku. Begitu angkuh (seperti Kampus Oranye, calon almamaterku). Kutembus begitu saja. Rasanya seperti memasuki areal parkir utama waralaba terbesar negeri ini.
Kuhentakkan kaki memacu pedal lebih cepat. Di atas sisi utara kulihat sepasukan mendung memekat menghadangku. Hmm, sudah biasa, gumamku. Tapi diam-diam aku memohon kepada Tuhan, agar menunda muntahkan isi perut maha besar itu sampai aku tiba di tempat yang kumaksud. Masih sekira tiga kilometer lagi. Beberapa gedung fakultas kampus ternama kota ini yang terdapat rimbun pepohon besar masih harus kulewati. Sial, rinai tipis mulai menyerangku. Dan pepohon besar-besar itu seperti raksasa yang akan menelan tubuh mungilku. Hampir saja aku salah, hendak berbelok ke arah Balairung.
Di sekitar Selokan Mataram kuhentikan laju. Beberapa bagian tubuhku telah basah oleh hujan tepat ketika hendak kumasuki kedai itu. Selalu. Aku memilih tempat paling sudut. Kukibas-kibaskan kerudungku, sedikit mengusir basah. Seseorang mendekat lalu menanyakan apa hendak aku pesan. Kopi susu satu. Kujawab mantab. Dia tanya, “lalu apa lagi?” Pertanyaan yang paling tidak kusuka. Bukankah tadi aku sudah bilang kopi susu satu? “Nanti saja, Mas. Saya masih menunggu seseorang. Makasih”, ia pun berlalu dari hadapanku.
Kedai kopi ini baru saja buka. Aku menjadi manusia keempat yang memasukinya. Di dekat pintu masuk, seorang pemuda tampak suntuk dan sesekali tersenyum sendiri menghadap layar monitor buka tutup yang mungil. Sebatang rokok menyala bara terselip di celah jemari kirinya. Secangkir kopi menyanding satu set dengan penganan; kue brownies dan beberapa batang kentang goreng berikut sambal merah lembut, dengan tatakan kecil menyudut di sisi kanan meja. Ketika tadi aku melewati tempat ia duduk, kulihat ia tengah membuka situs jaringan pertemanan massif itu.
Di bagian agak ke tengah ruang kedai ini, sepasang anak muda sedang menitipkan kasmaran mereka di bawah temaram lampu. Si lelaki tampak mengeluarkan kalimat berlembar-lembar dengan sorot mata bahagia. Si gadis terlihat mengerjap-ngerjapkan matanya. Bisa kupastikan mereka sedang jatuh cinta. Terlebih si gadis, matanya begitu berbinar sembari terus memandangi raut wajah di depannya. Bukankah perempuan yang sedang jatuh cinta akan memandang pujaannya dengan sorot mata seperti itu? Berhati-hatilah, wahai Gadis? Dunia ini sangat licin, gumamku sambil menjulurkan lidah satu senti. Hei, ada apa denganku? Kalimat apa yang meluncur barusan? Waduh, aku mulai kacau.
Tak lama berselang, minuman pesananku datang. Kuucap terima kasih. Pembawa minumanku ini kemudian merunduk, memungut sesuatu di bawah kolong meja, “Maaf, ini kunci milik Mbak, bukan?” tanyanya menyorongkan sesuatu. “Oh, ya. Kunci kamar kostku”, kuraih dari tangannya, kusadari keteledoranku dengan cepat. “Terima kasih, Mas”. Ia tersenyum dan berlalu dari hadapanku. Aih, Mas OB yang baik hati….
Kumasukkan kunci itu ke anak tas. Kurogoh telepon genggam kemudian. Sebuah pesan masuk, terkirim 10 menit lalu, “Kira-2 stengah jam lg aku smp.” Kubalas cepat, “Santai ajah, Mas. Hati-2. Jogja gelap. Lg hujan.”
Kukeluarkan sebuah buku yang kubawa. Timbul keinginan untuk membaca. Di halaman pertama kubuka, tertulis nama toko buku dan tanggal kubeli. 3 bulan lalu! Aku menghela napas. Tiba-tiba aku menyesal sekali, kenapa ini bisa sampai terjadi; beli buku tapi tak kunjung kubaca. Menyedihkan! Memang buku ini tak ada hubungannya dengan referensi skripsiku, tapi aku sangat menyukainya. Hasrat membaca yang membara membuatku memaksakan diri membelinya. Dan, skripsi yang acakadut dibombardir oleh pengujiku itulah biangnya. Aku musti berdarah-darah mereparasinya hingga membuatku lupa jika punya buku baru. Ah, skripsi yang memprihatinkan, hanya demi sebuah upacara wisuda yang gamang.
Kuseruput minumanku kemudian. Kubuka-buka buku itu kembali. Pelan-pelan. Pada menit kelima belas, bayanganmu hadir. Sangat pelan. Merasuk ke jajaran hurup yang tengah kusapu. Tersenyum seakan menyapa “Apa kabarmu, Kusuma?”. Lalu wajahmu berpindah ke atas genangan kopi susu yang mengepul di depanku. “Berarti kita sebatas sahabat lagi, seperti dulu?” Mendadak kalimat terakhirmu tempo hari itu nongol di kepalaku. “Ya. Sepakat.” Dua kalimat dekat; satu pertanyaanmu dan satu jawabanku. Memantik nyeri. Seketika batinku meruyak. Kaca mataku ikut pucat. Aku merasa diriku seperti halaman buku yang hilang. Hingga halaman sebelum dan sesudahnya berjarak teramat panjang, memenggal sambungan kemungkinan banyak pengetahuan.
Kututup buku itu kemudian dengan resah. Kuitarkan pandang ke sekeliling. Beberapa pengunjung berdatangan. Hujan lebat di luar menyulap nuansa menjadi sangat nyaman dan romantis di dalam sini (kecuali diriku). Berteman kopi dan musik. Yang khas dari kedai ini adalah musiknya. Hampir selalu koleksi Iwan Fals yang diputar. Wajar saja, karena kedai ini milik paguyuban “Orang Indonesia”, ormas para penggemar Bang Iwan. Entah kebetulan entah tidak, lagu yang tengah mengalun saat ini adalah “Nyanyian Jiwa”. Aku sering ditikam cinta, pernah dilemparkan badai, tapi aku tetap berdiri… Membuatku jadi kian masygul.
Pandanganku jatuh lagi ke pasangan muda yang datang belakangan. Mengambil duduk di sudut ruang seberang. Keduanya sama-sama diam. Si perempuan tampak menjatuhkan kepalanya di pundak si lelaki. Air muka mereka begitu keruh. Pikiran usilku muncul lagi ke si perempuan. Hei, mengapa rapuh? Hati-hati, bisa jadi kau tengah dibohongi! Tiba-tiba kepalaku terasa ada yang memegang dan memutarnya.
“Ndak baik ngliatin orang seperti itu,” kakak laki-lakiku bicara lirih. Tak kusadari kedatangannya. Aku pura-pura malu sebentar. Beberapa saat kemudian terhidang pesanan di meja kami.
“Kau tengah patah hati, Nduk? Nikmati saja. Gitu aja pakai histeris. Minta dikunjungi,” kakakku bicara sambil menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. Tanpa berdosa. Mendadak aku menjadi tidak berselera. Aku memasang muka cemberut.
“Aku punya secangkir kopi panas. Aku beri kesempatan kamu buat menyelesaikan ceritamu hingga kopi ini tandas. Setelah itu, kau harus benar-benar selesai. Larutkan ceritamu di kopiku ini. Aku tak mau melihat adikku yang jelek ini bertambah masai hanya karena soal laki-laki,” lanjutnya. Aku mengunyah makananku seperti sepasang mata hewan kurban. Hampa. Tanpa perasaan. Telapak tangan kakakku lagi-lagi menempel di kepalaku, menggoyang-goyangkannya.
“Telo!” umpatku. Kutarik turun tangannya.
“Lho, yang patah hati kamu kok aku yang telo?” protesnya sambil mencet hidungku. Beginilah rasa sayang kakak kepadaku jika sedang bersama. Aku hapal betul. Kadang ia juga suka menarik-narik kerudungku.
“Semua telah selesai dengan manis dan cepat, Mas. Konsolidasi tahap awal kami sebenarnya telah meloncat drastis ke diskusi serius tentang mahligai dalam tanda kutip. Tapi rupanya platform kami berbeda. Tajam. Sangat tajam malah. Dia tidak sederhana. Aku tertatih-tatih memahaminya. Kami deadlock. Kuputuskan untuk walkout.” Kalimatku meluncur bebas. Ringan. Seakan tengah menggelindingkan bongkahan luka yang memberat ke luar tubuh.
“Kamu stress tenan to, Nduk? Istilahmu kui lho. Mbayani ora eram. Semoga kamu tidak salah mengambil kebijakan. Ha ha ha…” kakakku terbahak. Sialan! Skripsiku ‘kan bicara tentang parlemen. Boleh dong aku hanyut dengan istilah-istilah di skripsi itu. Gantian topi kakakku kutarik paksa ke bawah. Dia meringis minta ampun. Aku kesal. Perasaanku berjumpalitan. Keinginan didengar dengan penuh kesungguhan dijawab dengan guyonan. Hhhh….
Menit demi menit berjalan, kukisahkan seluruhnya dalam bahasa yang sangat verbal. Kakakku tercekat. Menyimpan kerutan di keningnya. Ekspresi wajahnya seolah tak percaya dengan paragraf-paragrafku. Sebatang rokok yang ia sulut kemudian, diketuk-ketukkan di atas asbak meski belum mengabu. Ia serius menyimakku.
“Itu sudah lebih dari cukup, Nduk” ucap kakakku. Lalu sederet kalimat bijak seperti biasa ia perdengarkan kepadaku. Tentang filosofi cinta, hidup, dan bertahan. Sekira enam es ka es, cukup panjang. Aku mengamininya, karena berhasil membuatku jadi lebih tenang. Diam-diam aku bangga dengan kakakku satu ini. Jika tengah berbincang dengannya, aku kerap merasa bahwa inilah yang dimaksud dengan “wong kang sholeh kumpulono”.
“Perasaanmu sendiri sekarang bagaimana?” tanyanya. Pertanyaan yang menusuk sebenarnya.
“Hmm, biasa.” jawabku singkat. Kutelan paksa rasa pahitku.
“Ruang harapan itu kini kembali lengang, Mas. Tapi tidak mengapa. Sesuatu yang pernah singgah sebentar itu toh tidak perlu disesalkan. Ia akan mengikuti rotasi bumi ini. Jika kita tabah mengendarai waktu, maka satu saat ini semua menjadi tidak begitu penting, bukan?” lanjutku kemudian.
“Busyet! Kamu ngomong apa to, Nduk. Itu namanya mementahkan. Artinya kamu membuat oposisi binermu sendiri. Sudahlah. Sebaiknya kamu masuk saja ke sanubarimu dan mempercayainya. Wajilat qulubuhum-wajilat qulubuhum yang lain besok-besok pasti akan ada lagi. Selesai,” kakak menyeruput kopinya hingga nyaris tandas. Aku tahu, kakakku ini sekarang menjadi orang yang tergesa berebut dengan waktu. Kedatangannya dari Semarang kali ini hanyalah untuk melintas, lalu lanjut lagi menuju kota-kota lain di daerah timur.
“Oke. Kopiku sudah habis. Ceritamu juga sudah kuanggap habis. Aku mau cabut. Sudah dikejar Belanda” kakak berkata sambil berkemas. Ia memanggil OB dan membayar. Sejurus kemudian kami beranjak.
“Bulan depan aku wisuda lho, Mas. Kira-kira Bapak-Ibu bisa datang nggak?” tanyaku sembari kami berjalan keluar kedai.
“Nggak usah. Keadaan sedang begini susah. Kasihan orang tua kita. Cukup aku saja. Hilangkan pikiran seremoni itu. Coba kalau kamu putusnya besok saja habis wisuda. Pasti kamu punya PW (Pendamping Wisuda). So, sukurin!” kakak kembali terbahak-bahak. Kutinju lengannya berulang kali. Tak peduli jika hampir semua mata melihat ke arah kami.
Di depan kedai kami berpisah. Kakak melaju pelan dengan gerobak putihnya. Menuju Surabaya, katanya. Aku melangkah lesu menuju sepeda kumbangku. Bunyi pesan dari telepon genggam menghentikan kakiku tiba-tiba. Kubuka sebuah layar. Terpampang nama yang tak asing. Tertulis selarik pesan pendek, “Kusuma, aku kangen.”
“WEDUS !” umpatku.
18:01 WIB. Kukayuh sepeda pelan. Hujan sudah berhenti. Jogja memalam dengan tergesa. Kubelah jalan raya. Kubelah malam. Malam membelah hatiku…
Ngestiharjo – Wates, ujung November ‘09
(Ditemani petik gitar Metallica, “Nothing Else Matters”)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar