Jusuf An
http://www.kompasiana.com/jusuf_an
Siapapun bisa memulai usaha warung kelontong meski dengan modal sedikit. Sungguh gampang. Kerjanya cuma kulakan ke pasar, menunggu dan melayani pembeli, dan bisa membuka dan menutup warung sesuka hati. Cukup buka warungnya, layani pembeli dengan santun, tetap tersenyum meski dagangan diutang, maka usaha kita akan dapat bertahan lama. Ya, siapa pun bisa melakukannya. Tetapi di kampung kecil macam ini, ada saja yang tega membuka warung baru persis di sebelah warung yang telah sepuluh tahun lamanya berdiri.
“Dasar tidak tahu malu! Harusnya mikir, kalau di sebelahnya sudah ada warung, kenapa harus buka warung juga?!” Istriku seketika menggerutu waktu melihat warung Mujib dibuka untuk pertama kalinya.
“Ssstttt! Tembok rumah kita tipis, tidak enak kalau didengar orang lewat,” kataku dengan suara mendesis.
“Biarkan saja semua orang tahu kalau Mujib memang tidak tahu malu!”
“Sudahlah, sayang! Sabar! Rezeki ‘kan sudah diatur, jadi tak perlu kuatir. Di pasar, bukankah berderet-deret orang jualan pakaian, berderet orang jual buah, jual daging, jual bumbu, jual VCD, tetapi semuanya laku, dan tidak ada yang menggerutu,” kataku mencoba menenangkannya.
“Tapi di sini kampung, Mas. Bukan pasar. Apa begitu cara mencari rezeki di kampung?”
Aku tidak berkomentar lagi setelah sadar kalau mata istriku terlihat merah merangah. Akan sulit rasanya menasehati orang yang sedang dikuasai amarah. Baru ketika maghrib menjelang dan warung kututup (biasanya aku menutup warung pukul sembilan malam), lalu kami duduk bersama di ruang tengah aku mulai kembali mencoba menenangkannya. Pelan dan hati-hati aku bicara, tak ingin menyinggung perasaannya yang lembut.
Aku sangat paham apa yang dirisaukan oleh istriku. Pastilah ia sangat mengkhawatirkan akan kehilangan pelanggan. Kalau warung sepi, sepi pula hatinya. Rencana untuk membeli kalung emas bulan depan akan batal. Aku sendiri mencemaskan biaya sekolah Ratna dan Hilda, yang baru masuk SMP dan SMA belum lama. “Bagaimanapun kita harus optimis, warung kita tetap akan laris,” ucapku dengan tangan mengepal. Sejenak setelah aku mengatakan itu, istriku menarik napas dalam-dalam, menatapku tajam, sembari mengepalkan tangan.
***
Pikiran untuk membuka warung mendadak saja aku temukan, dulu, sepuluh tahun silam, di tengah kebingunganku sebagai kepala keluarga yang baru di PHK dari sebuah perusahaan di Jakarta. Aku bawa istriku, Hilda dan Ratna pulang kampung di pedalaman Tuban. Oleh orang tuaku, kami disuruh menempati sebuah rumah kayu, rumah mendiang kakekku, yang sudah setahun dibiarkan kosong. Rumah itu terletak persis di pertigaan, menghadap ke jalan yang memanjang ke arah utara. Persis di depan rumah itu adalah jalan utama kampung yang berbatu-batu memanjang ke timur dan ke barat.
Pertigaan itu, sungguh merupakan tempat yang strategis untuk membuka warung. Tepat di depan sebelah kiri rumahku terdapat sebuah gardu yang dibangun oleh ABRI tahun 1994. Gardu itu, meskipun kini tidak lagi memiliki daun pintu dan jendela, tetapi lantainya selalu bersih. Di sanalah anak-anak muda sering menghabiskan waktu dengan bermain karambol, kartu, atau duduk-duduk di kursi panjang dari kayu di depan gardu itu. Di sana pula tukang ojeg sering terlihat lesu menunggu penumpang yang dari hari ke hari kian langka, karena kian banyak warga yang membeli sepeda motor. Gardu itu tidak pernah digunakan untuk ronda, kecuali ketika bulan puasa, karena biasanya banyak maling pada saat-saat itu. Dan ketika Lebaran tiba, gardu itu dijadikan tempat jualan bakso dan mie ayam. Aku beruntung karena memiliki kakek yang mewariskan rumah di tempat yang sangat strategis untuk membuka warung.
Warung yang sangat sederhana. Pintu dan dua jendela ruang tamu aku buka, dan dari tiga lubang itulah rezeki keluargaku mengalir. Aliran rezeki itu aku tampung di laci almari, sampai dua tahun kemudian aku dapat merubah rumah kayu peninggalan kakekku dengan rumah berdirinding bata serta membuat sebuah ruangan khusus untuk warung, dapat menyekolahkan anak-anak dan membeli sebuah sepeda motor. Modal awal warungku adalah kalung istriku yang kami beli dengan uang tabungan selama lima tahun. Dengan mata berkaca-kaca, istriku rela menjual kalungnya setelah terlebih dulu aku berjanji akan membelikannya lagi. Begitulah, setelah sepuluh tahun usaha warung kami berjalan istriku menagih janjiku, membelikan kalung. Sungguh, sampai sekarang aku tak tahu, kenapa perempuan begitu mencintai perhiasan.
“Apa kau ingin, istrimu ini diremehkkan setiap kali arisan?” tanya istriku ketika aku bermaksud menunda membelikan kalung karena biaya sekolah Hilda dan Ratna sangat besar. “Bu Elok, Bu Ratih, Mbak Sri, dan hampir semua wanita di kampung ini memakai kalung. Apa kau tega melihat leher istrimu polos seperti laki-laki?”
Aku takut dengan istriku. Aku takut ia tidak bahagia, sedih, kecewa, dan merasa rendah di hadapan orang lain. Maka, aku tegaskan janjiku, bahwa bulan depan, aku akan membelikannya kalung. Tapi rencana itu terancam batal sekarang. Setiap orang memang telah diberi jatah rezeki, tetapi bagaimanapun warung Mujib tetaplah mengancam usaha dagangku. Pikiran itu, membuatku tidak dapat menghitung belanjaan pembeli dengan lancar sehingga memaksaku selalu menggunakan kalkulator.
Mujib telah menyulap ruangan yang sedianya di siapkan sebagai garasi mobil sebagai warung. Sungguh hebat warungnya. Seperti toko. Lebar. Pintunya besi. Lantainya keramik. Tiga lemari kaca berderet di bagian depan. Catnya merah buah saga dengan selingan kuning dan biru muda. Indah. Isinya selengkap warungku dan Haji Tholib, jual pulsa dan bensin segala, dan belakangan juga menerima tambal ban sepeda.
Antara warungku dengan warungnya Mujib hanya berjarak dua meter, dibatasi oleh gang kecil yang memisahkan tembok rumah kami. Warung Mujib persis menghadap gardu di seberang jalan, sedang warungku menghadap jalan yang memanjang ke utara. Ketika pagi masih remang dan orang-orang masih jarang yang keluar dari rumah, aku dan Mujib sering bertatap muka. Ia menyapu jalan di depan warungnya, aku menyapu jalan di depan warungku. Ia selalu menyapaku lebih dulu dengan suara yang mantap. Tak nampak garis-garis malu di wajahnya, seolah ia tidak merasa telah berusaha membunuh mata pencaharianku. Mungkin ia menganggap bahwa keputusannya membuka warung di sebelah warung adalah wajar di jaman yang sulit mencari pekerjaan seperti sekarang, entahlah.
Beberapa Minggu setelah Mujib membuka warungnya, nyaris tidak ada masalah pelik yang aku hadapi, kecuali satu pertanyaan yang tidak juga menemukan jawaban: di mana Mujib menaruh hatinya? Untunglah warungku lebih strategis ketimbang warung Mujib, sehingga warungku masih lebih laris meskipun para pemuda dan tukang ojeg mulai jarang membeli rokok dan minuman suplemen di warungku. Setelah aku perhatikan selama beberapa Minggu ini, ternyata para pembelilah yang justru sering tidak enak hati, sembunyi-sembunyi dari Mujib ketika membeli di warungku dan sembunyi-sembunyi dari aku dan istriku ketika membeli di warung Mujib. Aku merasa kalau larisnya warungku disebabkan karena para pembeli yang datang dari arah utara dan timur akan sungkan ketika melintas di depan warungku tetapi memilih membeli di warung Mujib. Alhasil, rencana membelikan kalung emas untuk istriku dapat terlaksana juga.
Kalung emas 10 gram, dengan liontin merah delima berkilatan di leher istriku. Sudah kusuruh ia agar memakai kalung itu pada acara-acara tertentu saja, tetapi ia menolak. Sejak keluar dari toko emas, kalung itu tak dapat dipisahkan dari leher istriku; menemaninya tidur, mencuci pakaian, arisan, kondangan, ta’ziyah, dan melayani pembeli. Ia bilang, kalung dibeli untuk dipakai bukan disimpan. Setengah berbisik ia juga mengatakan, kalau dirinya sengaja membakar mata Bu Elok, Bu Ratih, Mbak Sri dan ibu-ibu lain yang dulu senang memamerkan perhiasannya. Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar kejujurannya. Sampai tibalah sebuah subuh di mana aku dibangunkan oleh lolongan panjang istriku.
“Kepalaku, kepalaku, sakit sekali kepalaku! Aduuuuh!” Dua tangan istriku mencengkram dan menjambaki rambut kepalanya sendiri. Segera masuk warung melalui pintu dalam, mengambil obat sakit kepala yang biasa ia minum. Begitu saja istriku menelan tablet pahit itu ketika aku sedang menuju ruang belakang mengambilakan segelas air.
Sampai matahari menetas, cengkraman jari-jari tangan istriku masih belum lepas dari tempurung kepalanya. Perempuan dua anak itu menggigil, dibalut selimut tebal ia berbaring tak tentang di atas ranjang. “Rasanya seperti ditusuk-tusuk duri seribu,” desisnya di sela-sela gigil dan rintihan. Matanya yang bengkak memejam-membelalak, bibirnya meringis-ringis, wajahnya pucat, dan leher tempat kalung emasnya melingkar berleleran keringat.
Selama seminggu aku tidak membuka warung. Seluruh waktu aku gunakan untuk menunggui istriku di rumah sakit. Ketika dokter mengijinkan istriku di bawa pulang, dengan berat hati istriku merelakan kalungnya dijual untuk membayar biaya rumah sakit yang tak terkira mahalnya. Setibanya di rumah, sakit kepalanya kambuh lagi. Mulanya aku menduga kalau kambuhnya sakit kepala istriku disebabkan karena ia masih tidak rela dengan dijualnya kalungnya. Tetapi mungkin tidak. Ekspresi wajahnya, erangan, dan rintihannya sama seperti awal mula sakit kepalanya meledak.
Mendadak aku berpikir kalau sakit kepala istriku bukan sakit kepala biasa. Aku teringat dengan Maimun, Kepala Desa yang baru terpilih itu, belum lama ini juga mengalami sakit kepala dengan lolongan, dan ekspresi wajah seperti istriku dan baru sembuh setelah dibawa ke rumah Mbah Welas.
***
Mbah Welas tinggal di kampung sebelah, tetapi semua orang dikampungku sudah mengenalnya. Lelaki tua itu dikenal sanggup mengobati orang kesurupan jin dan terkena tenung. Aku tidak dapat memastikan penyakit apa yang diderita istriku, tetapi pada tengah malam yang berkabut aku memutuskan membawa istriku ke rumah Mbah Welas.
Seperti sudah lama menunggu, Mbah Welas membukakan pintu begitu motorku berhenti di depan rumahnya. Ia tersenyum menyambut kami, dan tanpa banyak kata-kata menyuruhku duduk di kursi tamu, lalu membawa istriku masuk ke sebuah kamar. Sesaat kemudian aku mendengar suara itu; rintihan dan erangan istriku yang panjang, melebihi rintihannya ketika melahirkan Ratna dan Hilda. Aku bangkit dari kursi, mendekati pintu di mana istriku dan Mbah Welas baru memasukinya. Rintihan dan erangan itu kian keras menghujam-hujam gendang telingaku. Aku tidak tega mendengarnya. Aku berjalan menjauh, menyalakan rokok, modar-mandir di ruang tamu, sampai rintihan itu hilang, di susul kemudian istriku dan Mbah Welas keluar dari kamar.
“Dunia memiliki banyak orang dengki dan jahat, karena itu berahati-hatilah,” kata Mbah Welas. Aku sudah tahu apa yang ia maksud. Tapi ketika aku tanyakan siapa orang jahat yang telah tega menyakiti istriku, Mbah Welas tidak mau menyebutkan. Ia hanya menyuruh agar kami, aku dan istriku, tidak lupa membaca Ayat Kursi tiga kali sebelum membuka warung, memakai perhiasan, dan ketika hendak beranjak tidur.
Mendengar kata warung dan perhiasan disebut aku dan istriku sejenak saling pandang. Apa yang terbersit di kepala istriku mungkin sama denganku: sesosok lelaki muda rumahnya bersebelahan denganku. Tetapi mungkin saja istriku membayangkan sosok lain. Mungkin sekali istriku lebih dapat menerka siapa yang tega berbuat jahat kepadanya. Sebab, kalau warung menjadi sebabnya, kenapa orang jahat itu tidak menenung aku saja?
“Buruk sangka hanya akan menjadi sampah pikiran,” kata Mbah Welas, seakan-akan telah dapat membaca isi kepala kami.
“Karena itu, Mbah, agar kami tidak berburuk sangka pada orang yang tidak tepat, alangkah baiknya Mbah katakan siapa orang jahat itu,” desak istriku.
“Lebih baik mengetahui keburukan diri sendiri ketimbang mengetahui borok orang lain,” balas Mbah Welas.
Malam itu kami pulang dengan membawa seribu pertanyaan. Di atas motor yang menembus kabut yang likat istriku mengatakan kalau Mbah Welas telah mencabuti paku-paku berkarat dari batok kepalanya. Aku merinding mendengarnya. Di kepalaku, Mujib muncul dengan wajah seperti monster dengan taring-taring panjang dan tajam. Mungkin istriku membayangkan wajah lain di kepalanya, atau mungkin juga ia sedang membayangkan kalungnya, aku tidak tahu.
25 November 2011
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar