http://gusdurian.net/
Majalah Horison, 7/1984
Wawancara Abdurrahman Wahid, sang kiai dari Ciganjur, dengan Hardi, wartawan Majalah Horison. Tulisan ini masih sangat relevan bagi kita, untuk mengkaji gugus pemikiran Gus Dur. Terutama dalam hal dialektika antara Islam sebagai sebuah agama, dengan Islam sebagai sebuah hasil kebudaayaan. Dengan membaca ini, –meski dalam pandangan saya materi wawancara lebih bisa diperdalam,– setidaknya ada pintu masuk bagi kita untuk mempelajari setiap perca pemikiran sang cucu Hadlratusy-Syaikh Hasyim Asy’arie tersebut. (Saiful Amien Sholihin)
Lahir di Denanyar Jombang pada tahun 1941, merasa nggak pernah lama kumpul dengan ayahnya, karena sang ayah jadi menteri agama di Jakarta. Lucunya, bapaknya tak pernah mau sekolahkan di madrasah tetapi di sekolah rakyat, sekolah umum. Dari sekolah dasar ia ke SMEP, baru setelah itu ke pesantren.
Dia kuliah di al-Azhar Mesir. Menurut pengakuannya ia bosan dengan formalisme (sementara itu seorang temannya dengan mudah mengejek dan mengomentari…bosan atau tidak mampu mengikuti kuliah?…) di universitas tersebut dan lari ke Irak di Universitas Baghdad. Di situ ia merasa bahwa agama benar-benar sebagai objek studi, waktu itu ia berumur 26 tahun dan 4 tahun ngendon di sana. Lantas pulang ke tanah air, dan sekarang merintis pesantren Ciganjur. Muridnya datang pergi, belum bisa dikatakan. Sebab bikin pesantren dalam sepuluh tahun pertama jangan mengharap muridnya lebih dari belasan, katanya.
Abdurrahman Wahid orangnya ceria, gemuk tapi kesan lambannya hilang begitu berbicara dengan Jawa medoknya, fasih, lancar, dan tidak formal, tapi bagi yang formal pikirannya, bisa memerahkan telinga.
Tolong deh, pak kiai jelaskan tentang sastra Islam? Misalkan tentang adanya keharusan bersumberkan Al-Qur’an atau Hadis. Tentu saja lebih afdol kalau digambari latar belakang kesejarahan.
Sebelum saya menjelaskan pendirian saya, kita harus melihatnya dari dua jurusan perkembangan studi, sebagai pengertian itu sendiri dan kedua adalah pemahaman kita dari perkembangan selama ini.
Kalau kita lihat perkembangan historis, sebenarnya sastra Islam bagian dari peradaban Islam. Jadi, sastra bagian dari peradaban. Dan peradaban itu adalah benteng yang agung dari kebudayaan. Kalau diikuti ini lantas sebenarnya kita bisa melihat bahwasanya peradaban Islam itu suatu gabungan yang mempunyai dua sikap yang utama, di satu pihak watak eklektik dari peradaban Islam itu, yaitu watak yang mampu menyerap, menyerap dari mana saja! Umpamanya kalau kita baca fabel-fabel dari al-Zais, maka banyak unsur-unsur yang diambilkan dan Yunani, Romawi, India itu dalam karangannya yang berjudul Kitabulhayawan yang terdiri dari empat jilid yang tebal. Itu merupakan kisah binatang yang terlengkap, dan di dalamnya kita bisa melihat dari sudut pengetahuan umum, sastra, juga pengetahuan kejiwaan orang dan sebagainya. Nah….di sinilah al-Zais meramu kebudayaan yang berbagai lalu menjadikannya bagian-bagian dari peradaban Islam.
Lain kita lihat yang namanya Abu Hanifah seorang ahli fikih. Dalam bayangan kita seorang ahli fikih itu mesti seorang yang sarungan, memakai jubah yang tak pernah keluar rumah hanya menekuni soal-soal akhirat dan dunia ini. Tetapi, kenyataannya ia seorang arsitek, yang kebetulan ia memborong pembuatan pagar kota Baghdad. Nah! Di situlah ia ketika membuat lengkung gapura (Arcade) ia mengambil dari daerah Asia Tengah. Bukan dari Arab, mudahnya dari Afganistan, Samarkand Rusia atau daerah yang disebut beyond the river, daerah Iran paling timur. Abu Hanifah mengambil itu dan dia dipuji-puji dalam suatu kronikel sejarah. Ternyata lengkungan gapura Hanifah itu daya tampungnya, bobotnya jauh lebih baik daripada lengkungan Arab. Padahal waktu itu daerah tersebut bukan daerah muslim. jadi mudahnya ia mengambil arsitektur non-Muslim dan memasukannya menjadi arsitektur Islam.
Satu contoh lagi seorang yang bernama Abu Amrin Ibnu Alla’ adalah seorang ulama yang terkenal asketik sekali. Dia salah seorang dari sepuluh pembaca Al-Qur`an yang sah (cara membaca Al-Qur’an itu ada sepuluh gaya, jadi ada majroha ada majrehe…jadi intonasi dan diksinya). Di antara sepuluh itu ada Abu Amrin itu. Lha, Abu Amrin itu salah seorang musikolog yang mengambil musik India. … Kita semua tahu musik India bersumberkan pada agama Hindu yang panteistik nafasnya.
Al Khalil ibnu Ahmad adalah seorang peletak dasar bahasa Arab, karena dia penyusun kamus yang pertama dalam bahasa Arab, kamus Ain dalam dua jilid. Menarik sekali di dalam kamus tersebut ia membagi ilmu dalam sepuluh bagian. Mengikuti pembagian para ilmuwan Yunani, jadi ada fisika, metafisika, estetika, politika…… pokoknya yang bejumlah sepuluh itulah. Padahal al-Khalil itu seorang yang amat streng di dalam masalah Al-Qur`an. Ia streng dalam gramatika, sehingga jangan sampai ada penyelewengan dalam pengertian. Lho, tapi anehnya, kok ia tidak segan-segan mengambil ilmu orang Yunani? Nah, pada waktu yang belakangan pembagian ilmu al-Khalil itu mengalami satu di antara sepuluh tadi hanya menjadi ilmu agama! Kayak fikih misalnya. Tadinya tidak?
Lantas yang bernama al-Farabi seorang Filosof Islam (semua orang Islam yang belajar filsafat Islam pasti tahu itu), juga Ibnu Sina itu ‘kan jagonya filsuf Islam? Lantas kalau ditanya… apa pikiran al-Farabi tentang negara? Maka negara menurut dia adalah “negara Tuhan” jadi negara agama. Dan dia bikin buku, namanya Negara Utama. Apa yang dimaksud dia sebagai negara utama? Ternyata seluruhnya dibangun atas dasar asas-asas pemerintahan Plato. Al-Qur’an sebagai sumber, tapi kerangkanya ‘kan dari Plato?
Berarti tidak harus selalu plek dengan Al-Qur’an atau Hadis?
Nah… persis itu… materi boleh dari situ, tapi kerangka, bebas saja kita ambil. Tadi, ini yang saya katakan peradaban Islam itu yang agung, yang sudah diakui sebagai salah satu di antara peradaban dunia (Oikumene) itu mempunyai watak eklektik, mampu menyerap dan tidak takut-takut. Dengan sendirinya sastra Islam juga demikian. Sastra Islam harus mampu menyerap dan dikembangkan, dimatangkan. Dan kalau perkembangan peradaban Islam seperti itu, tidak bisa dikatakan hanya milik orang Islam saja, tetapi juga milik orang lain yang hidup dalam masyarakat Islam.
Karena itu ketika masa jaya-jayanya peradaban Islam, pendukungnya juga ada yang orang Kristen serta orang Yahudi.
Pada abad berapa itu?
Ya… mulai abad ketujuh hingga abad kedua belas, dan justru ketika Islam itu diartikan sebagai sesuatu yang sempit. Maka menjadi menurun peradaban Islam.
Tapi yang menyempitkan antara lain dari kalangan Islam sendiri?
Lha… itu masalahnya. Tetapi kalau kita lihat dari sejarah, di mana sastra Islam merupakan bagian dari peradaban Islam, maka dengan sendirinya sastra Islam menjadi bagian dari humanisme universal…..
Lho, kok begitu?
Ya… sebab dengan begitu tak bisa di sekat-sekat lagi sebagai ini miliknya orang Islam dan itu miliknya orang yang bukan Islam. Peradaban Islam yang benar-benar Islam adalah suatu peradaban yang mampu mengayomi semua orang dan boleh digunakan oleh semua orang. Dalam hal ini saya mau ambil contoh kasus HB. Yassin…..
Langit makin mendung?
Bukan … itu lho….. Al-Qur’an Bacaan Mulia, terjemahannya HB. Yassin. Nah, di situ ada yang menganggap bahwa Yassin tidak memenuhi persyaratan menerjemahkan, karena dia tidak bisa berbahasa Arab. Kok berani-beraninya dia menerjemahkan Al-Qur’an?…. Di sini saya tidak memihak ke mana-mana, tetapi kalau saya ditanya bagaimana pendapat saya maka saya jawabnya begitu.
Lho, apa benar bahwa sebagai ukuran harus bisa berbahasa Arab, ‘kan Yassin cukup dewasa untuk bisa membaca bermacam-macam terjemahan, mengambil dari sini dan situ. Lagi pula itu juga bukan terjemahan resmi (standard translation). Dia ‘kan sudah bilang bahwa itu ‘bacaan” reading…Noble reading… ya artinya sesuatu bisa dibaca semua orang.
Maka sebagai konsekuensi bahwa sastra Islam bagian dari humanisme universal, pertama dia tidak boleh dibatasi penggunaannya, hanya oleh dan untuk orang Islam saja, atau hanya oleh orang yang telah diberi predikat “memenuhi syarat”. Kedua, dari proyeksi sejarah ini lain kelihatan bahwa yang mengislamkan bukan orangnya dan bukan juga rangkanya, dan bukan pula materinya yaitu Al-Qur’an dan Hadis, sebagai sumber ada dan tentu boleh digunakan. Tetapi, karena ini sastra bukan sesuatu yang sifatnya formal legalistik gitu… sumber lain juga masuk… apa salahnya? Dan tidak selalu bersumber pada Al-Qur’an juga tidak apa-apa. Sebab pengalaman beragama itu tidak mesti berqur’an dan berhadis atau berkitab-kitab. Contohnya, orang kampung agamanya dalam skala nol sampai seratus, dia menjalankan Lima saja sudah bagus. Nol dalam arti praktek keagamaan, tetapi ia merasa sebagai orang Islam, ‘kan dia sudah beragama. Sama punya hak! Begitu. Haknya sama dengan yang seratus. Kalau skalanya memang kecil dan dia dipaksa harus menggunakan sumber resmi sebagai referensi… ya nggak akan jadi.
Menurut saya pengalaman beragama, sebagai orang Islam itu mempunyai keabsahan sendiri yang tidak bersumber dari sumber resmi. Tadi referensinya dengan hidup itu sendiri.
Ini lalu membuka ke masalah yang peka, yang sekarang di Malaysia diperdebatkan lama antara Cikgu Shanon Ahmad dan Cikgu Kasim Ahmad. Menurut Kasim Ahmad definisi sastra Islam adalah, sastra yang mampu melancarkan inti atau nilai Islam, tidak usah formal. Kalau di sini bisa kita contohkan apakah yang dibikin di TVRI setiap malam Jumat itu disebut drama Islam? Di mana masyarakat Islam pemirsa di berondong dengan ayat-ayat Al-Qur’an? Ataukah setiap drama yang di dalamnya memancarkan nilai-nilai Islam itu sudah bisa dikatakan drama Islam! Itu pikiran saya.
Di Malaysia pernah ada suatu simposium tentang itu, dan di sini terjadi perdebatan antara saya dan Shiddiq Baba seorang Sekjen Hakim kuliah Islam di Malaysia. Di situ dia mengatakan bahwa ukuran dari sastra Islam itu adalah aplikasinya, apakah aplikasinya itu Islami menurut dia. Jadi umpama saja, kalau beribadat apakah sastra Islam itu lalu menunjukkan jalan kepada peribadatan yang menuju salatnya. Jadi kalau tidak menunjukkan itu ya tidak Islam. Sehingga dalam sastra Islam, tidak mungkin membicarakan tokoh seorang pelacur.
Saya tidak setuju dengan pandangannya, lantas saya kemukakan bahwa perasaan keagamaan seorang pelacur belum tentu kalah dengan seorang yang bersembahyang di masjid. Sebab, begini, intensitas pengalaman beragama itu ada dua ekspresinya. Ada ekspresi implisit ada ekspresi eksplisit. Yang implisit lebih ke dalam sedangkan yang eksplisit mengikuti ajaran agama secara tuntas. Dua-duanya ini menurut saya punya hak yang sama untuk diekspresikan, dan sama-sama Islam.
Tentu saja dengan catatan bahwa asal ia menggambarkan secara tepat bahwa inilah visi Islam. Sebab begini, Nabi sendiri dalam hadis mengatakan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Dan di dalam Al-Qur’an itu disebutkan bahwa ilmu itu ada dua macam. Yaitu ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Yang tidak bermanfaat harus dijauhi dan dibuang, sedangkan yang bermanfaat yang dipakai. Jadi, dengan ini watak eklektisisme ini tidak terlalu liberal sepenuhnya sehingga menjadi sekular, melainkan ada tolok ukurannya yaitu pada watak normatifnya agama Islam. Tapi tidak berarti harus membelenggu atau tradisionalisme legalistik, bukan begitu…. tapi lebih merupakan tolok ukur yang moral. Dan tolok ukur moral ini antaranya adalah manfaat dan keseimbangan. Sebab sebaik-baiknya perkara, kata Nabi itu, yang berada ditengah.
Moderat…..?
Yaa… Jadi keseimbangan ini menyangkut pada kehidupan kita dalam pola konsumtif dan produktif. Yang komsumtif saja tidak benar, yang produktif saja juga tidak benar. Idealnya adalah adanya keseimbangan keduanya. Ini menurut saya adalah ukurannya. Pengalaman-pengalaman agama dalam norma-normanya yang luas yang membentuk pribadi manusia, yang menurut saya memberi watak Islami kepada penerapan yang dilakukan Islam.
Tolong deh dicontohin pengarang Islam baik yang dalam negeri atau yang luar negeri?
Kita harus bagi dua yaitu yang mementingkan penampilan impuls-impuls Islam, dan kedua yang formal legalistik. Contohnya misalnya karya Jamil Suherman, yang menampilkan kehidupan para santri di pesantren, di mana di situ ada unsur formal legalistiknya, jadi di situ digambarkan kehidupan yang baik menurut pesantren itu begini, tapi yang begini tidak kalah indahnya dengan sastra biasa asal mampu menggarap.
Tetapi religiositas bisa dicari pada hal-hal yang kelihatan bukan agama, misalnya jalan tak ada ujung karya Mochtar Lubis itu. Itu jelas bukan novel agama, itu novel psikologis. Kisah guru Isa yang impoten, dan menemukan kejantanannya lagi setelah hilang ketakutannya. Ini menurut saya tidak kurang religiusitasnya dengan karya Hamka yang bejudul Di bawah Lindungan Ka’bah.
Taufiq al-Hakim seoarang sastrawan besar Arab yang berkali-kali dicalonkan orang Arab untuk menerima Hadiah Nobel, itu menceritakan problem kejiwaan orang muslim pada masa transisi dari tradisional ke masa modernisme.
Sastrawan yang bagus lagi bernama Majid Mahkos, yang mengisahkan orang-orang miskin, di samping itu novelnya ada juga yang sejenis dengan Somerset Maugham itu jadi ada suspense-nya begitu. Novelnya yang mengharukan bagi saya adalah yang berjudul Lorong-lorong Sempit. Nah…. dari judulnya saja sudah tergambar, apa maunya pengarang. Ada erotisme versi orang miskin, mereka tiada pilihan lain menjalani hidup seperti itu. Kesadaran beragama itu muncul… tergambar… dan mengambil bentuknya yang tidak legal formalistik. Tapi, yang formal dan indah ada juga, seperti pengarang yang bemama Mahmod Atas al-Akhad, yang mengisahkan sahabat-sahabat Nabi itu, berserial …. Jelas sekali di situ yang digambarkan perang-perang Islam yang termasyhur, tatanan pemerintahan zaman dulu.
Kalau sastrawan Indonesia yang karyanya bernafaskan Islam baik yang formal atau yang tidak ..
Saya ambil contoh Navis…. Amir Hamzah…
Khairil Anwar?
Semacam Khairil Anwar itu, untuk orang Islam Indonesia yang santri sulit untuk menerima Khairil sebagai sastrawan Islam, tetapi saya sendiri menerimanya ketika ia berbicara tentang Tuhan dan ia beragama Islam ya… itulah ekspresi dari sastra Islam.
Kalau Taufiq Ismail, bukankah ada tanda formalistik dalam karyanya yang muncul akhir ini?
Ya… memang
Tolong deh, diuraikan tentang sufisme…………
Ya sufisme merupakan jembatan, tidak sepenuhnya legal formalistik, justru legal formalistik yang selalu harus-harus… jangan…jangan dicounter dengan pendekatan dengan Tuhan, familiarity, keakraban dengan Tuhan yang bisa menembus benteng harus… jangan-jangan… tadi dengan suatu lompatan. Artinya begini, oleh orang sufi itu inhern dalam pemikiran, bahwa penyelamatan itu letaknya di tangan Tuhan semata. Kita harus mampu memetik rasa cinta kepada Tuhan untuk memahami kapasitas Tuhan sang penyelamat itu. Nah, itu sebenamya ciri-ciri agama yang lahir di Timur Tengah, misalnya Yesus Sang Penyelamat, Abraham penyelamat, Yasep penyelamat, bahkan David yang bisa membunuh Goliat saja dianggap penyelamat. Itu pola Tunur Tengah.
Lain dengan agama Asia timur penyelamat dilakukan oleh subjek itu sendiri bukan Tuhan, misalnya Buddhisme, jadi pada dasarnya agama Asia timur itu tidak butuh Tuhan. Misalnya, Taoisme dan lain-lain. Di Asia Barat itu, Tuhan sebagai penyelamat, karena manusia itu ya objek ya subjek dari kehidupan ini. Nah, sufisme mewarisi tradisi Timur Tengah, dan itu berarti bahwa apa pun yang Anda perbuat, apakah Anda pengikut seratus persen legal formalistik atau pengikut syariah yang paling top, apakah Anda itu orang suci yang paling memelihara kehidupan dan semua kewajiban dalam Islam Anda penuhi dan semua larangan Anda jauhi, belum tentu Anda di terima oleh Tuhan. Sebab penerimaan itu ditentukan oleh Tuhan, bukan oleh Anda. Ini inti dari sufisme….. yang bisa menjembatani manusia dengan Tuhan, hingga Tuhan itu gampangnya mau tergerak untuk menyelamatkan manusia. Itu adalah cinta anda kepada tuhan, karena itu akan membuat Tuhan cinta kepada Anda. Karena itu cinta dan kasih merupakan elemen terpenting dari sufisme, maka di sini saya tekankan tentang kesalehan orang-orang sufi. Kasalehan yang bukan karena legal formalistiknya.
Saya melihat ada kecenderungan bersufi-sufi pads sastrawan kita yang agamanya Islam, akhir-akhir ini.
Kecendrungan tersebut saya pikir suatu kedewasaan, dan ini sesuai dengan kebutuhan hidup modern, bagaimanapun juga dunia modern itu ‘kan menyembunyikan ketegangan antara rasio dengan wahyu. Sebab, ada aspek-aspek kehidupan yang harus diikuti secara rasional sampai tuntas. Umpamanya saja soal biologi, di mana biologi harus mampu sampai ke bioengineering, di mana manusia di kotak-katik padahal itu hak Tuhan, lho….. Nah, dalam hal ini bagaimana tuntutan rasio yang tuntas, kalau perlu arepe reko-reko motret Gusti Allah…. ha haa pada hal itu ‘kan kekurangajaran, kalau ditinjau dari sudut agama…. lha ini bagaimana? Pada hemat saya jembatannya ya sufisme itu.
Dengan sufisme orang kembali kepada kebesaran Tuhan, dan dengan tidak mengingkari kehadiran dunia yang ada sekarang. Orang sufi berkata bahwa ayat Al-Qur’an itu begini “akhirat itu lebih baik dan lebih langsung, bukan berarti dunia tidak baik? Ha ha ha…., mereka selalu begitu. Ukurannya ‘kan jadi jelas…”
Konon penduduk Indonesia 90% beragama Islam, dan hampir setiap kecamatan kalau tak silap pasti ada pesantrennya. Lantas, kenapa kok tidak banyak penyair Islam yang muncul. Lagi pula Al-Qur’an sendiri dalam bentuk syair bukan prosa.
Begini ya.., sebabnya sangat kompleks, di samping menyangkut soal bahasa juga kondisi sosiologis berperanan pula. Tapi, saya melihat dalam perspektif jangka panjang. Kalau kita teliti, ternyata ada penyempitan ilmu. Dimensi ilmu dalam Islam disempitkan. Itu sudah saya jelaskan dengan contoh seorang al-Khalil yang dengan keterbukaannya dengan tanpa kehilangan asas Islamnya menerima ilmu para filsuf Yunani. Semenjak lima atau enam abad yang lalu ilmu Islam itu dipreteli. Sehingga macam musik dan sastra itu tak termasuk. Padahal kalau mau peradaban Islam menjadi bagus, kuat, seharusnya ya ada. Dan pesantren hanya mengajarkan yang itu. Ada contoh sastrawan Islam terkemuka yang bernama al-Ma’ari yang bergelar penyair pahit, dia jenius, pintar dalam membangun sastranya….. peka begitu. Tapi, beliau ini buta sejak kecil karena suatu penyakit. Nah, dalam syairnya ia memaki-maki Allah, dan maki-makian al-Ma’ari tadi tak kalah indahnya dengan syair beliau yang memuji Tuhan.
Dan yang begini ini, kalau masuk pesantren ‘kan kena sensor, tinggal yang ngalem atau memuji-memuji saja yang bebas, seperti syairnya Abu Nuas seorang penyair yang sarkastik, tetapi dipakai di pesantren syairnya yang ini… Aduh Allah, aku sebenarnya bukan orang yang patut jadi ahli surga, tapi aku juga tidak kuat di neraka. Nah… jenis yang gitu yang selamat, lainnya dikena sensor…. haha haha. Sebetulnya sih tidak dilarang atau di sensor, cuma tidak diajarkan, dan bahasa bakunya ‘kan bahasa Arab. Jadi, perlahan-lahan ada penurunan kualitas dan penciutan cakrawala.
Bagaimana pendapat saudara dengan puisi Emha Ainun Nadjib?
Kalau Emha ‘kan jelas Islam dalam arti membicarakan Asmaul Husna, sembilan puluh sembilan. Doa, otomatis itu formal. Padahal yang diperlukan yang tidak formal itu, Sutarji misalnya itu tidak pernah formal, tapi dan dalam syairnya ia menyebut-nyebut Allah, Tuhan, tapi tidak membikin definisi resmi yang mapan. Sebagai ilustrasi, pernah ia bilang kepada saya bahwa ia begitu penuh “Islam” nya sehingga ia melihat sungai pun, ia beranggapan bahwa sungai itu Islam, karena itu ia tidak berani berak di sungai…. ha ha ha. Yaitu, menurut saya, itu ekspresi keagamaan dia, kalau benar, ia memang merasa itu. Dan yang begini ini sebetulnya yang akan bisa berkembang.
Sebab, bagaimanapun juga sastra model Taufiq Ismail atau Emha Ainun Nadjib itu membutuhkan perbendaharaan yang cukup. Tetapi, nanti dengan matangnya kita menyerap informasi dari negara Arab, yang tidak lagi menggunakan bahasa Arab pesantren (..Kan Arab pesantren itu bahasa klasik…. bukan Arab sehari-hari, bukan bahasa Arab pasaran…. sekarang ya Timur Tengah ini merupakan sumber pengiriman mahasiswa kita yang belajar agama itu ‘kan banyak sekali…) baik dari lingkungan pesantren atau tidak dengan sendirinya kalau mereka nanti pulang, akan membawa sesuatu yang baru yang berbeda dengan mbah-mbah nya yang dulu.
Ini saya rasakan sendiri dengan angkatan-angkatan sekarang. Bedanya begini…. angkatan sekarang ini berangkat ke Arab belum “siap” dalam pandangan ilmu agama. Sebab begini… anak-anak ini ada yang nakal, daripada menjadi korban ganja oleh bapaknya dikirimkan ke Mesir, dengan sendirinya masalah bahasa masih belum baik, sehingga belum siap menerima ilmu agama. Saya lain, ketika berangkat saya umur 23 tahun, saya sudah menyelesaikan gramatika bahasa Arab 1000 baris yang saya sudah hafal. Sehingga sampai di sana langsung nggandeng dengan ilmu-ilmu Islam yang ada di sana.
Lha anak sekarang! Karena ilmu agama belum siap, mereka menerima ilmu yang lain, termasuk sastra…baik. sehingga ada keragaman yang besar yang mereka dapat di sana. Angkatan saya yang jelas begitu itu, Kiai Mustafa Bisri yang ikut baca puisi Palestina dulu itu (maksudnya pembacaan puisi Palestina di TIM. red) dia ini yang mengikuti sastra Arab dengan rajin, sedangkan saya sambilan saja. Nah, yang begitu itu nanti akan banyak.
Tapi, jangan lupa nanti suara militan Islam juga akan keluar dengan tolok ukur yang sempit dan akan berhadapan dengan kelompok yang tidak terlalu formal dalam mengembangkan ekspresi Islam. Nanti akan tembak-menembak.
Dan ini kalau tidak dimanage yang baik oleh pemimpin umat, maka ini bisa berakibat fatal bagi kelompok yang mau mencoba mengekspresikan agama secara bebas.
Pasti kalah?
Ya pasti kalah dan dia akan lari dari agama. Dan oleh karena itu, ini merupakan tugas pemimpin agama Islam itu sendiri, harus mampu ngemong mereka.
Termasuk saudara yang aktif di DKJ ini….
Mudah-mudahan bisa berfungsi begitu, selama ini sebagai orang yang berkecimpung dalam ilmu agama dan kebetulan menyinggung bidang lain, bidang pemikiran budaya secara umum, maka tugas saya itu mempertahankan kembelingan dan kebandelan terhadap interogasi dan penghakiman dari establisment agama.
Sumber: http://gusdurian.net/opini/mambaulhikmah/sastra-islam-versus-penyempitan-ilmu-islam/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar