Rabu, 06 Juni 2012

Dari Cipasung Menatap Indonesia

Adhitya Ramadhan, Frans Sartono, Dedi Muhtadi
Kompas, 8 Juni 2008

Aku melukis tubuhmu
Dengan cahaya pagi
Tubuhmu memanjang
Seperti air kali

Itu puisi ”Kenangan” tulisan Acep Zamzam Noor yang dimuat dalam buku kumpulan puisinya, ”Menjadi Penyair Lagi”, terbitan Pustaka Azan, 2007. Dr Mikihiro Moriyama, guru besar Departemen Kajian Asia, di Universitas Nanzan, Nagoya, Jepang, dalam pengantar buku itu menulis. ”Dia tidak hanya melukis di atas kanvas dengan cat minyak, tapi juga melukis dengan kata”.
Itulah Acep Zamzam Noor (48), penyair dan perupa yang menetap di kampung Cipasung, Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Rumahnya berada tak jauh dari kompleks Pondok Pesantren Cipasung, yang didirikan kakeknya, KH Ruhiat, pada tahun 1931.

Di depan rumahnya terhampar sawah yang pada awal Mei lalu tengah dibajak. Di jalan masuk menuju kampung terpasang gapura yang mengingatkan orang pada karya instalasi kontemporer. Mungkin karena salah seorang penghuninya, si Acep, adalah seniman yang pernah kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung.

Dari kampung Cipasung, Singaparna, Acep merespons secara kreatif realitas kehidupan di sekitarnya lewat lukisan, puisi, termasuk ”puisi konkret” berupa spanduk sebagai semacam bentuk counter culture atau perlawanan diam-diam terhadap anomali-anomali di sekiranya termasuk perilaku politisi.

Anda tampaknya kerasan di Cipasung?

Karena kalau saya ke kota, berarti saya harus punya majikan. Ternyata juga seniman yang punya majikan itu hidupnya kerepotan sekali. Ini tidak baik bagi seniman. Selain itu, di daerah hidup akan lebih sederhana.

Demikian Acep yang ketika ditemui mengenakan kaus bertuliskan ”Islam Tapi Mesra”. Tulisan pada kaus dan juga spanduk merupakan bagian dari cara Acep dan komunitasnya merespons realitas di sekitarnya.

Di Singaparna, istri Acep, Hajah Euis Nurhayati, membuka usaha warung kelontong, sementara Acep menjadi ”majikan” bagi energi kreatifnya sendiri. Ia tetap menulis puisi, melukis di studionya yang terletak di lantai dua rumahnya. Di ruang tamu terpajang lukisan bertuliskan Heart of a Horse dengan inisial namanya, AZ, pada kanvasnya.

Acep juga menjadi kawan yang baik bagi peminat seni di Tasikmalaya. Rumah keluarga Acep menjadi semacam titik temu seniman dan peminat seni Tasik.

”Sebenarnya berkarya di daerah berat sekali karena selain berkarya, energi kita juga terkonsentrasi untuk membangun infrastruktur, membangun komunitas juga,” kata Acep yang membentuk Komunitas Azan pada tahun 1996.

”Ini merupakan gerakan apresiasi. Kami menjadikan halaman rumah sebagai tempat pertunjukan. Kalau menggelar kesenian di gedung kesenian itu, kan, mengundang masyarakat untuk datang. Itu sangat sulit di Tasik. Kalau digelar di rumah, masyarakat akan lebih dekat dengan berbagai jenis kesenian dari tradisional sampai kontemporer.”

Tahun 1991-1993 ia mendapat fellowship dari pemerintah Italia untuk tinggal dan berkarya di Perugia, Italia. Tiga tahun kemudian, ia ikut workshop seni grafis di Utrecht, Belanda (1996).

Lingkungan dan dinamika kehidupan masyarakat apakah yang berpengaruh pada karya Anda?

Dari sisi karya, pergerakan estetika saya menjadi lebih komunikatif agar bisa dipahami masyarakat luas. Bukan estetika yang serius. Akhirnya hal-hal sosial masuk dan memengaruhi dalam karya. Seniman, kan, bukan menara gading, tapi bisa melebur dengan masyarakat.

Komunitas Azan bagian dari infrastruktur itu?

Ini komunitas permanen yang terbentuk sepulang saya dari Itali tahun 1996. Ini gerakan apresiasi seni. Anggotanya seniman dan sastrawan di Tasik. Di antaranya ada Saeful Badar dan Nazaruddin Azhar.

Ini merupakan gerakan apresiasi. Ada Sanggar Sastra Tasik yang membina para penulis muda, ada Partai Nurul Sembako dengan gerakan spanduknya. Para anggota komunitas Azan juga banyak yang mengajar kesenian di sekolah dan madrasah di Tasik.

Ini bukan komunitas anti ”rezim sastra” itu, ya?

Bukan. Ini bukan sebagai bentuk perlawanan ke pusat kebudayaan besar. Ini bukan merupakan gerakan politis untuk menentang pusat karena gerakan politis seperti itu akan mati sendiri karena tidak didukung oleh karya.

Kami melihat apresiasi ke masyarakat itu penting. Kami di sini mengapresiasi semua jenis seni, mulai dari teater, musik, hingga tari, bahkan seni tradisional dan kontemporer juga menjadi bahan pementasan. Saya hanya ingin berbagi kegembiraan dengan masyarakat. Bahwa masyarakat juga layak menikmati karya seni. Biasanya, setelah pementasan ada diskusi sampai larut malam dengan masyarakat seputar pementasan.

Acep mendirikan Partai Nurul Sembako (PNS) tahun 1999. Ini merupakan respons Acep pada bermunculannya partai pada awal era reformasi. Partai Nurul Sembako yang memiliki moto ”Melayani Kebutuhan Sehari-hari” menjadi gerakan perlawanan atau respons sekaligus kritik terhadap praktik politik para politisi.

Partai Nurul Sembako ini untuk meledek partai. Gerakan spanduk ini terbukti efektif sebagai bentuk counter culture. Perlawanan terhadap fenomena yang keras pun menjadi cair karenanya.

Tak kalah dengan parpol, Acep dan kawan-kawan pun ikut-ikutan memasang spanduk. Belakangan spanduk menjadi gerakan khas PNS. Inilah bunyi spanduk yang pernah terpasang di seantero Tasikmalaya.

”Anda Ingin Jadi PNS? Siapkan Uang Rp 30 Juta dan Silahkan Hubungi Nomor Telp 0265 311478 dan 0265 330805”, ”Selamatkan Tasik dari Borjuisme dan Kapitalisme”, ”Tasik Kota Santri = Kota Non fitnah. Tunjukkan Logikanya dan Buktikan Secara Empirik, Bukan Lewat Tafsir Gelagat”, ”Dibuka Pendaftaran Imunisasi Dewan Kota dari Wabah Kadeudeuh dan BPR”, ”Dengan Semangat 45, Maju Terus Pantang Malu”, ”Dijual Segera Kota Tasikmalaya Hubungi Telp 0265 311478 dan 0265 330805”, ”Tasikmalaya Kota Puisi”, ”Tasikmalaya Kota Dangdut”, ”Pilkada Buat Rakyat Enggak Penting-penting Amat”.

Pesantren dan politik

Keluarga besar Acep tak hanya mengelola Pondok Pesantren Cipasung, tapi juga lembaga pendidikan dari sekolah menengah hingga perguruan tinggi di Tasik. Acep tumbuh dalam tradisi pesantren yang dikelola keluarga, termasuk oleh ayahnya, KHM Ilyas Ruhiat, kiai berwibawa yang menjadi Rois Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Acep adalah anak pertama dari tiga anak pasangan dari KHM Ilyas Ruhiat dengan Hajah Dedeh Faridah.

Sebagai anak dari tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Acep cukup dekat dengan peristiwa politik di sekitar NU. Asal tahu saja, Pondok Pesantren Cipasung pada tahun 1994 pernah menjadi tuan rumah penyelenggaraan Muktamar Ke-29 NU yang dibuka Presiden Soeharto.

Tak tertarik masuk ke politik?

Untuk saat ini saya tidak tertarik terjun ke politik praktis. Sejak Orde Baru banyak teman yang idealis mau masuk struktur dengan alasan mau mengadakan perubahan dari dalam. Saya tidak pernah percaya itu karena yang hanya akan berubah itu bukan sistemnya, tapi cuma dirinya sendiri.

Saya amati memang banyak politisi yang tak punya integritas. Mereka juga tidak pernah tampil dengan dirinya sendiri. Biasanya mereka menggantungkan diri kepada kiai besar.

Apakah kini ada perbedaan dalam sikap berpolitik?

Dulu ada pengaderan yang berjenjang dalam menempatkan kader ke dalam struktur. Yang berkualitaslah yang tampil. Para anggota pun akhirnya saling mendorong. Sekarang tidak. Yang ada malah saling berebut. Sekarang, semata-mata lebih ke pragmatis saja. Anggota dewan, misalnya, yang dalam waktu singkat menjadi sangat sejahtera. Mereka biasanya memelihara akarnya untuk politik praktis. Jadi kalau kader NU dirontgen cita-citanya sama, yaitu menjadi anggota DPR, ha-ha-ha!

Padahal, politik bagi NU sebenarnya bukan politik praktis. Sikap politik sangat terkait dengan respons terhadap situasi dan keadaan kebangsaan saat itu. Pesantren bukan menjadi bagian dari kekuasaan. Memang ada orang NU yang di kekuasaan, tetapi tetap ada jarak antara pesantren dan kekuasaan.

Kebanyakan orang partai politik saat ini hanya bermain politik bukan berpolitik. Yang jadi tujuan utama adalah uang. Masuk DPR bukan karena mau membela rakyat, tapi karena di situ banyak proyek yang bisa dimainkan.

Apakah para kiai masih menjadi obyek tarik-menarik kepentingan politik?

Kalau mau kalah, minta saja dukungan dari PKB. Mulai dari Jawa Timur sampai Jawa Tengah mayoritas calon yang diusung PKB kalah. Bahkan, di Tasik sendiri yang NU-nya sangat kuat.

Mengapa?

Sebabnya, setelah partai menerima uang mereka tidur dan tidak berjuang karena uang tadi hanya dianggap sumbangan. Di Jawa Barat juga, ini terbukti.

Perilaku seperti ini bukan tradisi di NU, tapi setelah reformasi. Banyak ulama didekati oleh broker politik, diiming-imingi uang. Akhirnya jadi kebiasaan. Ketika ulama yang berpengaruh sudah tidak ada, akhirnya ulama yang seperti itu yang ada. Ketika kiai jadi juru kampanye, masyarakat sudah tidak respek lagi. Kerusakan akan lebih cepat karena pilkada banyak sekali.

Bagaimana Anda melihat fenomena hasil pilkada di Jawa Barat?

Dari kemenangan pasangan Hade (Ahmad Heryawan-Dede Yusuf), saya lihat ada kejenuhan masyarakat. Mereka jenuh dengan sosok yang itu-itu juga yang sudah terbayangkan ke depan. Kemudian ada sosok baru, yang sebelumnya tidak terbayangkan. Kejenuhan itu juga yang menyebabkan angka golput tinggi. Fenomena ini juga bisa diartikan sebagai bentuk perlawanan dari masyarakat.

Anda pernah mengampanyekan golput. Mengapa?

Mengampayekan golput bukan berarti antipemilu. Ini merupakan bagian dari pendidikan politik bagi masyarakat. Ketika kandidat tidak bisa dipercaya, ya, tidak perlu memaksakan diri untuk memilih. Lebih baik tidur di rumah. Karena tidur yang paling enak ialah ketika hari pencoblosan, ha-ha-ha….

Anda juga menggelar kampanye golput ke jalan-jalan?

Saya juga biasa mengadakan karnaval mengampanyekan golput pada masa tenang pemilu. Pesertanya dari komunitas seniman dan belakangan ada masyarakat yang ikut. Karnaval ini juga sekaligus memberi contoh pada partai bagaimana membuat arak-arakan yang menghibur.

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/06/persona-dari-cipasung-menatap-indonesia.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi