Adhitya Ramadhan, Frans Sartono, Dedi Muhtadi
Kompas, 8 Juni 2008
Aku melukis tubuhmu
Dengan cahaya pagi
Tubuhmu memanjang
Seperti air kali
Itu puisi ”Kenangan” tulisan Acep Zamzam Noor yang dimuat dalam buku kumpulan puisinya, ”Menjadi Penyair Lagi”, terbitan Pustaka Azan, 2007. Dr Mikihiro Moriyama, guru besar Departemen Kajian Asia, di Universitas Nanzan, Nagoya, Jepang, dalam pengantar buku itu menulis. ”Dia tidak hanya melukis di atas kanvas dengan cat minyak, tapi juga melukis dengan kata”.
Itulah Acep Zamzam Noor (48), penyair dan perupa yang menetap di kampung Cipasung, Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Rumahnya berada tak jauh dari kompleks Pondok Pesantren Cipasung, yang didirikan kakeknya, KH Ruhiat, pada tahun 1931.
Di depan rumahnya terhampar sawah yang pada awal Mei lalu tengah dibajak. Di jalan masuk menuju kampung terpasang gapura yang mengingatkan orang pada karya instalasi kontemporer. Mungkin karena salah seorang penghuninya, si Acep, adalah seniman yang pernah kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung.
Dari kampung Cipasung, Singaparna, Acep merespons secara kreatif realitas kehidupan di sekitarnya lewat lukisan, puisi, termasuk ”puisi konkret” berupa spanduk sebagai semacam bentuk counter culture atau perlawanan diam-diam terhadap anomali-anomali di sekiranya termasuk perilaku politisi.
Anda tampaknya kerasan di Cipasung?
Karena kalau saya ke kota, berarti saya harus punya majikan. Ternyata juga seniman yang punya majikan itu hidupnya kerepotan sekali. Ini tidak baik bagi seniman. Selain itu, di daerah hidup akan lebih sederhana.
Demikian Acep yang ketika ditemui mengenakan kaus bertuliskan ”Islam Tapi Mesra”. Tulisan pada kaus dan juga spanduk merupakan bagian dari cara Acep dan komunitasnya merespons realitas di sekitarnya.
Di Singaparna, istri Acep, Hajah Euis Nurhayati, membuka usaha warung kelontong, sementara Acep menjadi ”majikan” bagi energi kreatifnya sendiri. Ia tetap menulis puisi, melukis di studionya yang terletak di lantai dua rumahnya. Di ruang tamu terpajang lukisan bertuliskan Heart of a Horse dengan inisial namanya, AZ, pada kanvasnya.
Acep juga menjadi kawan yang baik bagi peminat seni di Tasikmalaya. Rumah keluarga Acep menjadi semacam titik temu seniman dan peminat seni Tasik.
”Sebenarnya berkarya di daerah berat sekali karena selain berkarya, energi kita juga terkonsentrasi untuk membangun infrastruktur, membangun komunitas juga,” kata Acep yang membentuk Komunitas Azan pada tahun 1996.
”Ini merupakan gerakan apresiasi. Kami menjadikan halaman rumah sebagai tempat pertunjukan. Kalau menggelar kesenian di gedung kesenian itu, kan, mengundang masyarakat untuk datang. Itu sangat sulit di Tasik. Kalau digelar di rumah, masyarakat akan lebih dekat dengan berbagai jenis kesenian dari tradisional sampai kontemporer.”
Tahun 1991-1993 ia mendapat fellowship dari pemerintah Italia untuk tinggal dan berkarya di Perugia, Italia. Tiga tahun kemudian, ia ikut workshop seni grafis di Utrecht, Belanda (1996).
Lingkungan dan dinamika kehidupan masyarakat apakah yang berpengaruh pada karya Anda?
Dari sisi karya, pergerakan estetika saya menjadi lebih komunikatif agar bisa dipahami masyarakat luas. Bukan estetika yang serius. Akhirnya hal-hal sosial masuk dan memengaruhi dalam karya. Seniman, kan, bukan menara gading, tapi bisa melebur dengan masyarakat.
Komunitas Azan bagian dari infrastruktur itu?
Ini komunitas permanen yang terbentuk sepulang saya dari Itali tahun 1996. Ini gerakan apresiasi seni. Anggotanya seniman dan sastrawan di Tasik. Di antaranya ada Saeful Badar dan Nazaruddin Azhar.
Ini merupakan gerakan apresiasi. Ada Sanggar Sastra Tasik yang membina para penulis muda, ada Partai Nurul Sembako dengan gerakan spanduknya. Para anggota komunitas Azan juga banyak yang mengajar kesenian di sekolah dan madrasah di Tasik.
Ini bukan komunitas anti ”rezim sastra” itu, ya?
Bukan. Ini bukan sebagai bentuk perlawanan ke pusat kebudayaan besar. Ini bukan merupakan gerakan politis untuk menentang pusat karena gerakan politis seperti itu akan mati sendiri karena tidak didukung oleh karya.
Kami melihat apresiasi ke masyarakat itu penting. Kami di sini mengapresiasi semua jenis seni, mulai dari teater, musik, hingga tari, bahkan seni tradisional dan kontemporer juga menjadi bahan pementasan. Saya hanya ingin berbagi kegembiraan dengan masyarakat. Bahwa masyarakat juga layak menikmati karya seni. Biasanya, setelah pementasan ada diskusi sampai larut malam dengan masyarakat seputar pementasan.
Acep mendirikan Partai Nurul Sembako (PNS) tahun 1999. Ini merupakan respons Acep pada bermunculannya partai pada awal era reformasi. Partai Nurul Sembako yang memiliki moto ”Melayani Kebutuhan Sehari-hari” menjadi gerakan perlawanan atau respons sekaligus kritik terhadap praktik politik para politisi.
Partai Nurul Sembako ini untuk meledek partai. Gerakan spanduk ini terbukti efektif sebagai bentuk counter culture. Perlawanan terhadap fenomena yang keras pun menjadi cair karenanya.
Tak kalah dengan parpol, Acep dan kawan-kawan pun ikut-ikutan memasang spanduk. Belakangan spanduk menjadi gerakan khas PNS. Inilah bunyi spanduk yang pernah terpasang di seantero Tasikmalaya.
”Anda Ingin Jadi PNS? Siapkan Uang Rp 30 Juta dan Silahkan Hubungi Nomor Telp 0265 311478 dan 0265 330805”, ”Selamatkan Tasik dari Borjuisme dan Kapitalisme”, ”Tasik Kota Santri = Kota Non fitnah. Tunjukkan Logikanya dan Buktikan Secara Empirik, Bukan Lewat Tafsir Gelagat”, ”Dibuka Pendaftaran Imunisasi Dewan Kota dari Wabah Kadeudeuh dan BPR”, ”Dengan Semangat 45, Maju Terus Pantang Malu”, ”Dijual Segera Kota Tasikmalaya Hubungi Telp 0265 311478 dan 0265 330805”, ”Tasikmalaya Kota Puisi”, ”Tasikmalaya Kota Dangdut”, ”Pilkada Buat Rakyat Enggak Penting-penting Amat”.
Pesantren dan politik
Keluarga besar Acep tak hanya mengelola Pondok Pesantren Cipasung, tapi juga lembaga pendidikan dari sekolah menengah hingga perguruan tinggi di Tasik. Acep tumbuh dalam tradisi pesantren yang dikelola keluarga, termasuk oleh ayahnya, KHM Ilyas Ruhiat, kiai berwibawa yang menjadi Rois Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Acep adalah anak pertama dari tiga anak pasangan dari KHM Ilyas Ruhiat dengan Hajah Dedeh Faridah.
Sebagai anak dari tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Acep cukup dekat dengan peristiwa politik di sekitar NU. Asal tahu saja, Pondok Pesantren Cipasung pada tahun 1994 pernah menjadi tuan rumah penyelenggaraan Muktamar Ke-29 NU yang dibuka Presiden Soeharto.
Tak tertarik masuk ke politik?
Untuk saat ini saya tidak tertarik terjun ke politik praktis. Sejak Orde Baru banyak teman yang idealis mau masuk struktur dengan alasan mau mengadakan perubahan dari dalam. Saya tidak pernah percaya itu karena yang hanya akan berubah itu bukan sistemnya, tapi cuma dirinya sendiri.
Saya amati memang banyak politisi yang tak punya integritas. Mereka juga tidak pernah tampil dengan dirinya sendiri. Biasanya mereka menggantungkan diri kepada kiai besar.
Apakah kini ada perbedaan dalam sikap berpolitik?
Dulu ada pengaderan yang berjenjang dalam menempatkan kader ke dalam struktur. Yang berkualitaslah yang tampil. Para anggota pun akhirnya saling mendorong. Sekarang tidak. Yang ada malah saling berebut. Sekarang, semata-mata lebih ke pragmatis saja. Anggota dewan, misalnya, yang dalam waktu singkat menjadi sangat sejahtera. Mereka biasanya memelihara akarnya untuk politik praktis. Jadi kalau kader NU dirontgen cita-citanya sama, yaitu menjadi anggota DPR, ha-ha-ha!
Padahal, politik bagi NU sebenarnya bukan politik praktis. Sikap politik sangat terkait dengan respons terhadap situasi dan keadaan kebangsaan saat itu. Pesantren bukan menjadi bagian dari kekuasaan. Memang ada orang NU yang di kekuasaan, tetapi tetap ada jarak antara pesantren dan kekuasaan.
Kebanyakan orang partai politik saat ini hanya bermain politik bukan berpolitik. Yang jadi tujuan utama adalah uang. Masuk DPR bukan karena mau membela rakyat, tapi karena di situ banyak proyek yang bisa dimainkan.
Apakah para kiai masih menjadi obyek tarik-menarik kepentingan politik?
Kalau mau kalah, minta saja dukungan dari PKB. Mulai dari Jawa Timur sampai Jawa Tengah mayoritas calon yang diusung PKB kalah. Bahkan, di Tasik sendiri yang NU-nya sangat kuat.
Mengapa?
Sebabnya, setelah partai menerima uang mereka tidur dan tidak berjuang karena uang tadi hanya dianggap sumbangan. Di Jawa Barat juga, ini terbukti.
Perilaku seperti ini bukan tradisi di NU, tapi setelah reformasi. Banyak ulama didekati oleh broker politik, diiming-imingi uang. Akhirnya jadi kebiasaan. Ketika ulama yang berpengaruh sudah tidak ada, akhirnya ulama yang seperti itu yang ada. Ketika kiai jadi juru kampanye, masyarakat sudah tidak respek lagi. Kerusakan akan lebih cepat karena pilkada banyak sekali.
Bagaimana Anda melihat fenomena hasil pilkada di Jawa Barat?
Dari kemenangan pasangan Hade (Ahmad Heryawan-Dede Yusuf), saya lihat ada kejenuhan masyarakat. Mereka jenuh dengan sosok yang itu-itu juga yang sudah terbayangkan ke depan. Kemudian ada sosok baru, yang sebelumnya tidak terbayangkan. Kejenuhan itu juga yang menyebabkan angka golput tinggi. Fenomena ini juga bisa diartikan sebagai bentuk perlawanan dari masyarakat.
Anda pernah mengampanyekan golput. Mengapa?
Mengampayekan golput bukan berarti antipemilu. Ini merupakan bagian dari pendidikan politik bagi masyarakat. Ketika kandidat tidak bisa dipercaya, ya, tidak perlu memaksakan diri untuk memilih. Lebih baik tidur di rumah. Karena tidur yang paling enak ialah ketika hari pencoblosan, ha-ha-ha….
Anda juga menggelar kampanye golput ke jalan-jalan?
Saya juga biasa mengadakan karnaval mengampanyekan golput pada masa tenang pemilu. Pesertanya dari komunitas seniman dan belakangan ada masyarakat yang ikut. Karnaval ini juga sekaligus memberi contoh pada partai bagaimana membuat arak-arakan yang menghibur.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/06/persona-dari-cipasung-menatap-indonesia.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar