Rabu, 06 Juni 2012

Kemameleda, Karya Wahyu Wiji Astuti

Mihar Harahap
http://www.analisadaily.com/

Terus terang, saya mengenal karya Wahyu Wiji Astuti (disingkat WWA) baru ini. Tatkala, komunitas Omong-Omong Sastra membuat Buku Puisi (antologi bersama) dan Buku Cerpen (antologi bersama). Kebetulan saya dipercaya menjadi editor khusus menulis Kata Pengantar kedua buku itu. Dari puluhan pemuisi, pecerpen serta karyanya, terbacalah nama WWA yang mengirimkan puisi dan cerpennya. Dalam Kata Pengantar itu, saya katakan, WWA adalah penyair dan cerpenis masa depan Indonesia.
Tak lama berselang-dari saya menyelesaikan Kata Pengantar kedua buku Omong-Omong Sastra itu- bahkan tak ada selang, tiba-tiba WWA menghubungi saya, meminta dan lalu menyerahkan bukunya untuk dibicarakan. Sebuah buku antologi cerpen berjudul “Ketika Malam Merayap Lebih Dalam” (disingkat Kemameleda). Cetak perdana tahun 2012 oleh penerbit Tiga Maha Subang Jawa barat. Sayang, tak ada kata pengantar dari penerbit apalagi editor, kecuali Sekapur Sirih dari pengarang sendiri.

Menurut pengarang (dalam sekapur sirih), Kemameleda ini, berfungsi 1). sebagai ‘saksi sejarah’ perjalanan hidup pribadi dan 2). merupakan ‘saksi perjuangan’ dalam meniti karir kepenulisan. Sungguh, saya merasa bangga karena penyair sekaligus cerpenis masa depan Indonesia ini, telah berani bersaksi. Saya sedikit kecewa karena sekapur sirih kurang merahnya atau tak menjelaskan proses kreatif, konsep kepengarangan dan unsur lain yang mendudukkan eksistensinya.

Cinta Dalam Bayang Kematian

Kemameleda, memuat 23 cerpen yang ditulis dalam 3 tahun (2009-2011). Tahun 2009 ada 8 cerpen, Ketika Malam Merayap Lebih Dalam, Cinta dan Persabatan, Lara, Pesan Tengah Malam, Rindu, Ruwet, Sehelai Saputangan Hitam dan Untaian Mutiara Yang Lepas.

Tahun 2010 ada 8 cerpen, Membaca Buku Kemameleda Karya Wahyu Wiji Astuti, Jejak Sahabat yang Berkarat, Ketika Fajar Beringsut Malu, Ketukan Ujung Malam, Malam di Penghujung Senja, Qiyamul-lail, Rahasia Hujan, Rumah Awan dan Sepeda Motor vs Teddy Bear.

Tahun 2011 termassuk tahun 2010-2011 ada 7 cerpen, Difined, Helena, Humai rah, Merakit Seperangkat Cinta, Kado Untuk Lelakiku, Karya Kematian dan Pesan Diantara Gerbong Kereta. Melihat fakta ini saya menduga, kalau WWA telah memiliki disiplin menulis/mengarang antara 1-2 bulan sekali menghasilkan 1 cerpen. Hemat saya, cepat atau lambat menghasilkan cerpen tak masalah, yang penting disiplin menulis telah dimiliki dan itu merupakan permulaan yang baik dalam mempertahankan eksistensi.

Dari 23 cerpen, terhimpun 11 cerpen yang bertema, subtema atau curahan perasaan tentang cinta; Cinta dan Persahabatan, Lara, Pesan Tengah Malam, Rindu, Sehelai SaputanganHitam, Untaian Mutiara yang Lepas, Defined, Merakit Seperangkat Cinta, Helena, Kado Untuk Lelakiku dan Pesan Di Antara Gerbong Kereta. Sebelas cerpen ditulis tahun 2009 dan 2011, tidak termasuk tahun 2010. Mengapa? Hanya pengaranglah yang tahu. Begitupun terkadang inspirasi, intuisi dan sensitiviti datangnya tak terduga.

Bolehkah kita menulis cinta? Masihkah disebut karya sastra? Kenapa tidak! Sebab cinta antar manusia pun adalah wilayah kepengarangan, malah justru paling sensitif. Lagi pula keberhasilan cerpen, bukan tergantung berat-ringan atau apakah tema/subtema itu, melainkan sangat tergantung pada ada dan bagaimana cinta itu diungkapkan. Jadi, meski 50 persen buku ini berisi cinta dengan segala persoalan dan akibatnya, akan tetapi tetap merupakan karya sastra. Apakah karya sastra pop (umum, mudah dan ringan)?

Memang, cinta yang ditampilkan melulu keluhan jiwa. Betapa tidak, hanya cerpen Cinta dan Persahabatan, Rindu, Helena dan Kado Untuk Lelakiku, tokohnya masih kelihatan stabil. Setelah itu, cinta (kontra dijodohkan bahkan lebih dominan diputuskan) membuat tokoh tidak stabil lagi. Jiwanya terguncang, lalu jatuh sakit, lalu mati. Pasrah. Atau tokohnya menjadi sakit hati, lalu marah, lalu dendam, lalu terbunuh, lalu mati. Bukan pasrah, melainkan perlawanan pasif, tetapi itupun juga tak berarti.

Contoh cerpen cinta yang dianggap berhasil (dan menunjukkan ketakberdayaan bahkan kematian) adalah Lara (berangka tahun 2009). Kekuatan cerpen ini terletak pada plot, narasi pelukisan watak pelaku dan bahasa yang digunakan. Perasaan memilukan terekspresi di hadapan pembaca. Kelemahannya, terletak pada detil cerita (alasan putus cinta, jenis penyakit dan akibat yang ditimbulkan), terlebih-lebih pemasungan karakter pelaku serta pemakaian akhiran ‘nya’ yang berlebihan.

Menurut catatan, ada 7 cerpen yang mengekploitir ketakberdayaan dan 6 cerpen yang menjemput kematian. Ada apa dengan ketakberdayaan dan kematian dalam cerpen WWA? Apakah karena konsekuensi logis dari kualitas cinta yang mendasar di luluk hati? Ataukah karena ingin menampilkan sosok manusia, terutama perempuan, yang pesimistis dalam kehidupan bercinta? Atau karena pengarang secara pribadi pernah gagal hingga merasa sakit hati pada setiap laki-laki? Pasti WWA yang bisa menjawab ini.

Kemanusiaan Dalam Desing Peluru

Selain menguak cinta, 12 cerpen lagi bertema, subtema atau curahan pikiran campur sari, persoalan keluarga dan kehidupan sosial. Meminati kerumahtanggaan, ada 9 cerpen yang disajikan pengarang, antara lain terkait kemiskinan; Ketika Malam Merayap Lebih Dalam, Ketika Fajar Beringsut Malu, Rumah Awan. Lagi-lagi tentang kematian; Jejak Sabahat yang Berkarat, Karya Kematian serta hal kesabaran, anak, hutang dan penipuan Ruwet, Qiyamullail, Rahasia Hujan dan Sepeda Motor vs Teddy Bear.

Menyoroti kehidupan sosial, disajikan pengarang 3 cerpen yakni Ketukan Ujung Malam, Malam di Penghujung Senja dan Humairah. Berbicara kemiskinan, ada ‘aku’, seorang ‘mama’ (manusia malam) yang mampu menghidupi diri dan 5 bintang kejora walau bukan anaknya. Bagi-‘ku’ ‘mama’ bukan pekerjaan haram, apalagi bak sampah, melainkan pahlawan karena berjuang menghidupi bintang. Jadilah, bintang kejora sebagai alasan pembenaran untuk menghalalkan yang haram bahkan disebut pahlawan.

Tampaknya, tidak hanya cerita Ketika Malam Merayap Lebih Dalam di atas saja pengarang menafikan logika dan etika dalam menyelesaikan persoalan cinta, kemiskinan, juga persoalan lain seperti kematian yang banyak diceritakan. Bahkan dalam cerpen Karya Kematian, tiba-tiba pelakunya mengalami kehilangan dan kematian. Satu hal, meski cerita mengalir terus dan mungkin tak dapat dibendung, namun keseimbangan logika dan etika diperlukan agar kesan cerpen lebih realistik dan moralistik.

Sungguhpun begitu, cerpen Ketika Fajar Beringsut Malu, (berangka tahun 2010) dianggap berhasil, walau tak menjadi judul antologi ini. Kekuatannya (untuk unsur plot, pelukisan watak pelaku dan bahasa) menunjukkan peningkatan, bila dibandingkan dengan cerpen Lara. Begitu pula dengan kelemahannya (untuk unsur detil cerita, pemasungan karakter dan pemakaian akhiran ‘nya’) mulai diperhalus/hilang. Perwatakan tiap pelaku (Suci, ibu Ali, Ali) mulai kelihatan berdiri sendiri tanpa harus dipicu pengarang.

Dalam kajian saya, aspek penokohan ini mengalami perkembangan. Kalau pada cerpen Lara (dan kebanyakan cerpen lainnya) tokoh cerita masih seputar diri dan jajaran, maka pada cerpen Ketika Fajar Beringsut Malu, tokoh cerita berkembang kepada orang di luar diri dan jajaran. Karena itu, aspek penceritaan pun makin meluas. Tidak lagi soal percintaan dan kematian, tetapi sudah meluas kepada soal kemiskinan dan sentuhan kemanusiaan, walaupun masih dalam lingkungan sosial kehidupan pengarang.

Bagaimana soalan logika dan etika? Pada cerpen Ketika Fajar Beringsut Malu terasa mulai tertib. Kegigihan pengarang memperjuangkan sub estetika demi kepentingan cerita, rupanya mendapat perimbangan juga dengan masuknya persoalan logika dan etika. Tuntutan realistik dan moralistik dalam cerpen tetap menjadi perhatian. Jelaslah kehadiran Suci, ibu Ali dan Ali dalam cerpen itu tidak dipaksakan, melainkan utuh sebagai tokoh (antara mengasihi dan dikasihi) dalam lingkungan sosialnya.

Pada cerpen Humairah (berangka tahun 2011) unsur kemanusiaan justru mengalahkan ancaman keselamatan diri. Memang, terkadang profesi menantang sikap dan keberanian seseorang. Tokoh ‘aku’dalam cerpen itu telah membuktikannya. Dia berani ada di tengah-tengah konflik senjata (Israel-Palestina), beri perlindungan sekaligus membawa pulang Ummu Hanie ke Indonesia, menikahinya, lahirlah Humairah (kini berusia 4 tahun) dan dia berani kembali ke pergolakan Palestina-Israel dalan tugas yang sama.

Harus diakui, kelihatan dalam cerpen Humairah ini, kekuatan itu semakin lama semakin meningkat. Termasuk ide penceritaan pun semakin meluas dan malah amat spesifik.Bayangkan, di tengah-tengah gejolak perang, antara hidup (membunuh) dan mati (dibunuh), tokoh aku sebagai reporter tidak hanya melakukan tugas meliput berita, tapi dapat menyempatkan diri untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Pengarang menghendaki, kemanusiaan itu merupakan panggilan hati nurani.

Terlepas dari relung kemanusiaan, ada hal yang menjadi perhatian saya. Pertama, ketika Humairah tertidur, ayahnya masuk ke kamar. Setelah bangun, terjadi dialog. Kata Humairah:”Ayah, Ira sudah pandai menulis…” Seakan Ira baru saja bertemu ayahnya dan memberitahukan kepandaiannya. Padahal mereka bertemu sejak 4 tahun lalu. Kedua, pada dialog-dialog berikutnya, kelihatan Ira (Humairah) seperti orang dewasa kecil. Dialog orang dewasa yang cerdas dan komitmen. Padahal Ira baru berusia 4 tahun.

Kesimpulan saya, satu, buku Kemameleda, merupakan saksi sejarah/saksi perjuangan WWA sebagai cerpenis masa depan Indonesia. Dua, banyak cerpen tentang cinta manusia, di samping masalah keluarga dan lingkungan sosial. Semuanya menjurus pada kegagalan cinta, kematian, kemiskinan dan kemanusiaan. Tiga, tiap cerpen memiliki kekuatan (plot, narasi pelaku, bahasa) dan kelemahan (detil, pemasungan tokoh, pemakaian kata). Kekuatan estetika harus diimbangi unsur logika, etika, hukum, agama, dan sebagainya. Empat, saya bangga kalau WWA punya antologi. Apalagi kalau isinya bermutu. Saya suka baca cerpen Lara, Ketika Fajar Beringsut Malu dan Humairah.

__________15 Apr 2012
*) Mihar Harahap, Kritikus Sastra dan Dekan FKIP-UISU Medan.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

siiiiiippp...

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi