Nurel Javissyarqi
*
KH. Zainal Arifin Thoha (5 Agustus 1972 –
14 Maret 2007)
KRT. RPA. Suryanto Sastroatmodjo (22
Pebruari 1957 – 17 Juli 2007)
Fahrudin Nasrulloh (16 Agustus 1976 – 30
Mei 2013)
KH. A. Aziz Masyhuri (17 Juli 1942 – 15
April 2017).
Ada nama-nama yang lewat (mangkat, almarhum), yang dari awal ingin
menuliskannya semacam mengenang, tapi hawatir dikira mendompleng ketenaran,
jadi wewaktu tersebut saya diamkan di kedalaman batin sambil merasa, menyimpannya
dengan nafas-nafas berat kala ditariknya ulang; dimana diri ini melanjutkan
perjalanan tanpa kehadirannya di sisi badan, atau ada masanya mereka berkunjung
dan kita terpaku membisu. Mungkin kini saatnya tepat meziarahi mereka lewat
kata-kata walau keterlaluan telat, namun tiada istilah terlambat, karena yang
hidup pun yang wafat sama-sama menunggu, dan semoga kunjungan sekarang terasa
lebih istimewa.
I
Gus Zainal, yang bernama lengkap Zainal
Arifin Thoha (ZAT). Saya mengenalnya sebelum masa reformasi, entah acara sastra
atau barangkali teater, ataukah sewaktu silaturahmi di kontrakannya Teguh
Winarsho AS, Amien Wangsitalaja, Abdul Wachid BS (sempat bertemu D. Zawawi
Imron), tapi sepertinya tidak. Sangat mungkin saat nongkrong di IAIN SuKa Yogyakarta,
kala ngobrol dengan Hamdi Salad, Mathori A Elwa, Otto Sukatno CR. Jelas seingat
saya bukan di kontrakan Joni Ariadinata, Kuswaidi
Syafi’ie (nama-nama di depan, saya menyapanya Pak atau Mas), Marhalim Zaini,
Raudal Tanjung Banua dan Satmoko Budi Santoso. Ada tiga sapaan yang biasa
meluncur dari mulut ini ketika berbincang akrab dengannya, tergantung yang dibicarakan
dalam suasana bagaimana, dalam aura biokimiawi serupa apa, saya memanggilnya
Mas, Pak, Gus, setindak menyapa almarhum
guru nulis saya KRT. Suryanto Sastroatmodjo dengan pelbagai sebutan. Suatu kali
(setelah beliau merintis pesantren) saya tidak memanggil seperti biasanya Mas.
Gus Zainal bertanya, “Kenapa kau mengganti panggilan untukku dengan sebutan Pak,
Nurel?” “Tidak apa Pak” jawab saya sambil tersenyum.
Sebelum mendirikan Pesantren
Mahasiswa Hasyim Asy’ari yang kondang disebut-sebut Pesantren Kutub, saya
sering diajak ke kantong-kantong belajar (komunitas) di bawah naungan kampus
UNY, untuk ngaji kitab seperti kebiasaan pesantren pada umumnya di Jawa Timur (mungkin
saat itu ada Muhidin M. Dahlan, tapi saya
belum tahu dan baru mengenalnya langsung tahun 2008 di Surabaya di Rumah Buku-nya Diana AV Sasa). Barangkali
dari kegelisahannya atas jalan-jalan malam itu, awal gagasannya membabar pesantren dekat Krapyak (meski
masih rumah kontrakan) di depan ndalem-nya,
atau jauh sebelum itu sudah ada bibit meneruskan ruhaniah leluhurnya di Kediri.
Darinya, saya banyak baca buku-buku khasana timur, para pemikir muslim di
perpustakaan pribadinya, disamping berbincang soal pesantren semisal kangen suasananya.
Penulis buku “Runtuhnya Singgasana Kiai NU,
Pesantren, dan Kekuasaan: Pencarian tak kunjung usai” (Penerbit Kutub 2003) tersebut, tutup umur dalam usia sangat muda, tapi
segenap pemikirannya telah terwariskan kepada para santrinya, tidak terkecuali
kebiasaannya menulis sudah ditularkannya.
Saya belajar darinya mengenai kerendahan
hati. Terus terang saat itu saya sangat congkak, mungkin lantaran proses
kreatif dalam menulis dari autodidak nekat atau demikian watak ini idealis kebacut, kadang itu saya nikmati, sebab
dunia tulis di Jogjakarta pada khususnya menyerupai sekumpulan preman, maka
mentalitas tangguh kudu ditunjukkan,
meski tetap bersikap unggah-ungguh Jogjaan.
Saya belajar keikhlasan darinya juga, pun bersamanya batin ini disegarkan oleh kebiasaan
berziarah kembali terawat, yang dulu hanya saya lakukan saat singgah di Jombang
saja. Beliau tidak pelit ilmu, demikian bersahaja berbagi ihwal pengetahuan
hingga nalar ini tercerahkan; ada kesungguhan dalam ketaatan, kesantunan arif,
keluwesan bercengkerama, kehangatan sahabat dan saya menerima dengan ketelitian
seirama menyimak buku-buku, atau teringat bulir-bulir pengetahuan dari kitab-kitab
yang terpantul betapa indah kepadanya.
Sosoknya Gus, budi pekertinya Kyai,
tapi dibalut persahabatan guyub, percandaan teman, kedekatan kawan
seperjuangan, maka jarak sungkan melebur,
tinggallah senyum manfaat tertoreh di kedalaman lubuk terdalam. Adalah benar ungkapan,
orang-orang yang dicintai sejatinya tidak meninggalkan kita, jasadnya sekadar
istirah dalam keharuman tanah mewangi, dan ketika kerinduan saling bicara;
apakah kangennya menghampiri atau kayungyung
kita menjenguknya. Daya tarik itu bertambah seiring waktu senantiasa menuju
pengertian lebih, ke-anteng-an jiwa
tampan; para pembaca tentu mengetahui betapa suksesnya ia, karena para muridnya
banyak yang berhasil di bidang masing-masing terutama karya tulis, harapannya
seakan terkabul semua. Yang pasti, jarang sekali pesantren ditinggalkan Kyainya,
tapi tetap makmur dan dampaknya terus terasa di jiwa para santrinya, sampai
yang tidak sempat mengenal beliau dalam kehidupannya, dan betapa langgeng
pengaruh karya-karya anak didiknya menyebarkan pengetahuan yang sungguh melimpah
bagi para pembacanya.
Ada ungkapan menawan yang keluar
darinya sekaligus dipraktekkan dalam perjalanan hayatnya, “Orang sukses adalah yang
bisa mensukseskan orang lain.” Kata mutiara tersebut umum, makolah lumrah yang biasa
hadir di tengah perjalanan, tapi yang membuatnya merinding, beliau menerapkan
dengan sangat ikhlas, tidak pernah sekalipun mengundat-undat atau bercerita
semacamnya. Sekadar menyebut sebagian nama para santrinya, Gugun El Guyani,
Lukman Santoso Az, Bernando J. Sujibto, A Yusrianto Elga, Muhammadun AS, Mahwi Air Tawar, Salman Rusydi Anwar, Achmad
Mufid AR, Ahmad Muchlish Amrin, Muhammad Ali Fakih, dst. Ibarat kembang tertanam
merekah di hati, tak akan layu terus semerbak harum mewangi, demikian lelaku tanpa
pamrih bersama mengikuti jalur keridhoan-Nya. Sosoknya pengasuh, jadi bisa
menampung aliran apa saja apapun bentuknya, itu membentuk pribadinya tidak
terkurangi malah bertambah, seperti bengawan menerima aliran dari mana saja, lalu
dialirkan kepada siapapun yang menghendakinya.
Saya terima kabar duka meninggalnya
beliau dari salah satu santrinya tertanggal 14 Maret 2007. Saya tidak ke Jogjakarta,
namun langsung ke tanah kelahirannya bersama teman mondok saya sewaktu di
Denanyar, Yunus Efendi yang juga asli Kediri. Gus Zainal dimakamkan di tanah
lahirnya, desa Tiru Kidul, kecamatan Gurah, Kediri, Jawa Timur. Tahun 2009,
terbitlah buku “Kesaksian Para Sahabat” beliau dengan judul “Mata Air
Inspirasi, Mengenang Pemikiran dan Tindakan KH. Zainal Arifin Thoha, Pendiri
dan Pelopor Pesantren Mandiri” Penerbit Kutub, Catatan Redaksi: Bernando J.
Sujibto, Kata Sambutan: KH. Asyhari Abta. Tahun 2010, PUstaka puJAngga
menerbitkan antologi puisi karya para santrinya bertitel “Antologi Puisi Mazhab
Kutub” dipengantari Fahrudin Nasrulloh dengan label “Puisi dan Anak-anak
Sejarah Zainal Arifin Thoha.” Akhirnya, Haul beliau terus berkumandang setiap
tahun dan kembang di atas makomnya senantiasa harum; menyapa kabar para
peziarah!
II
Guru tulis saya Suryanto Sastroatmodjo,
ia banyak memberikan pengetahuan mengenai dasar-dasar menulis atau diri ini diharuskan
memulai proses kreatif dari awal lagi, meski bacaan serta tulisan saya telah
bertumpuk catatannya. Saya sudah banyak baca karya-karya besar kelas dunia (dari
terjemahan) masa itu, tapi diwajibkan membaca karya-karya puisi anak sekolah di
majalah, misalnya. Perkenalan dengannya sekitar akhir tahun reformasi, ketika kontrak
rumah bersama tiga teman kampus UWMY di Nagan Lor, di depan persis beliau
bermukim. Sebelah tempat tinggalnya, ada warung yang biasa kami bertatap muka
dengannya sekadar bersapa, tak ada perbincangan, apalagi dialog sastra dalam
tempo setengah tahun lebih sebelum dekat, karena masa itu gairah muda saya
membara, tidak mau tunduk kepada siapa pun jua.
Mungkin sudah kehendak langit
suratan takdir, waktu betapa ajaib seolah beliau dewa penolong jiwa ini yang
tengah ditempa kegelisahan sangat. Kejadiannya berawal dari penolakan sebuah
penerbit atas karya saya, dan sebendel catatan itu hampir terbakar semua, jika
tidak diamankan teman kontrakan; karya yang terhimpun sejak sekolah Aliyah,
saya bakar dengan isi kepala suntuk menghampiri putusasa. Dan teman saya Meindarto,
Gandung, Suratman, menyelamatkan lewat melarikan karya saya ke hadapan beliau. Kebetulan
Mas Sur tengah duduk di teras rumah seperti hari biasanya, dan buku itu sampai
di tangannya. Dengan hati gelisah pun masih cinta buku tersebut, saya menyusul
menghadap beliau. Dalam kondisi sedih memberat, pelahan saya diberi wejangan,
namun telinga ini rasanya buntu, bunga-bunga segar harum sulit terhirup,
gula-gula manis terasa ampang.
Waktu berganti, awan berarak
tersibak bayu hadirkan langit membiru, saya seolah dihipnosis setelah kejadian
di atas, lalu kerap berbincang akrab menimba pengetahuan darinya. Ada beberapa
panggilan akrab kepadanya, tergantung aura biokimiawi suasana yang tengah
dibicarakan beliau, Mas, Pak, Kak. Yang mengejutkan, beliau pun memanggil saya
dengan sebutan berbeda-beda, Dimas, Adik, Mas, dan Nak. Sedang mereka yang
bertamu kerap memanggil beliau Eyang, Romo, Kanjeng, Pak, Kiyai (versi Jawa).
Ia dikenal di Jogjakarta sebagai ‘Ensiklopedi yang Berjalan’ dan saya tidak
memungkiri, sebab kerap para tamu menanyakan sejarah-kebudayaan, diterangkan
dengan sangat hapal seakan melihat siaran televisi langsung, lantas menceritakan
ulang dengan detail. Namun tidak ke sembarang orang mau bicara lebih, yang
sering terjadi berlaku seperti orang bodoh atau pura-pura tidak tahu. Sehingga
banyak tamu kecelik mengira bukan
beliau, lalu pulang dengan tangan hampa. Ini lantaran pakaian yang dikenakan setiap
hari seoleh gembel, dengan sarung diselempang seperti tokoh boneka si uncil.
Kebiasaannya baca buku di teras
rumah dengan pakaian seadannya itu, kadang tidak memakai baju, membuat para
tamu kebingungan, apalagi tindak-tanduknya lugu. Semisal ada tamu ingin
mendekat bertanya, “Sedang membaca buku apa Pak?” enteng saja dijawab, “Ini
gambar-gambarnya bagus” dsb. Tidak jarang tamu itu dibiarkan menunggu sampai
bosan lantas pergi. Namun ketika orang-orang dekat beliau membawa teman dengan kata
pengantar, beliau biasanya ringan bercengkerama, jika tanpa prolog rasanya
sulit mau berbicara lebih. Jika diamati, para tamu yang kecelik kebanyakan berpakaian necis membawa mobil; mungkin dari
awal perjalanan telah membayangkan beliau tidak seperti pemulung perangainya
atau memang sudah membaca, dan memilih jalan sikap orang yang tak paham apa-apa
di depan mereka.
Saya belajar kerendahan hati
darinya pula, menjadi gembel bukan siapa-siapa. Kebiasaan lainnya menyayangi kucing,
kadang ada sepuluhan ekor yang diberinya makan setiap hari, semuannya liar tanpa
tuan, dan seakan kucing-kucing tersebut tahu di jam berapa Pak Sur pulang dari
kantor. Beliau termasuk redaktur senior koran Bernas (tempo itu), bolak-balik
kantor ke Nagar Lor mengayu sepeda ontel berpakaian seadanya, tulisan-tulisannya
berangkat dari tulisan tangan (dengan spidol biru atau pena), ini membuat repot
para juniornya ketika hendak diterbitkan di koran harian, dan kertas-kertas
yang dipakai sembarangan kertas bekas yang di baliknya masih kosong untuk
ditulis. Ada memang beberapa karyanya diketik komputer, hal itu melalui jasa
rental, dan ia seakan abai mendokumentasi lelembaran penghargaan yang pernah
diberikan kepadanya, kebanyakan lecek
hampir termakan rayap.
Perlu diketahui, beliau bermukim
di Nagan Lor 21 bukanlah tempat tinggal pribadinya, tapi diminta temannya
sewaktu kuliah di UGM untuk menempati, dan ia tidak milih kamar yang nyaman dalam
rumah meski disediakan untuknya; malah tinggal di gudang belakang dengan
berserakan buku-buku, dan saya tak pernah diperkenankan masuk di dalamnya,
barangkali hawatir menghisap auranya. Saya bercerita demikian, karena suatukali
sengaja mengikuti dan tahu itu sekejap saja, tatkala berbincang dengannya, lantas
lekas ditutup pintunya. Sebenarnya bisa saja masuk tanpa sepengetahuan beliau, sebab
kuncinya hanya dengan gagang sikat gigi dan itu tidak saya lakukan.
Suatu hari ngobrol dengan Mas Sur
di teras rumah di bawah rimbunnya pohon sawo, ada seorang tamu dan tidak lama
kemudian saya mengetahui kalau beliau penulis senior juga, Iman Budhi Santosa.
Perlu pembaca tahu, sebutan saya kepada orang-orang biasanya tergantung selera
kenyamanan, semisal menyapa Teguh Winarsho AS dengan Pak, sebab sejak kenal sudah
berkeluarga (kini sebutannya bertambah, Pak Bos Araska), dan kepada Iman Budhi
Santosa menyebutnya Mas, karena kedekatan semata. Lain hari saat duduk santai, kenal
sastrawan Sri Wintala Achmad serta para penulis (dari wartawan) Bernas. Dan salah
satu kawan pergerakan yang pernah saya ajak menemui beliau, Y. Wibowo (ini tidak
saya tulis lebih, sebab bisa merantak
pada kejadian tahun 1997-1998, yang di masa reformasi malah duduk-duduk di
kosan Kadipaten Kulon 49 C). Sedangkan kenal penyair Akhmad Sekhu dan penulis Tulus
S., semasa di Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM). Mengenal sastrawan sekaligus
kritikus Prof. Dr. Suminto A Sayuti, lewat pintu
penyair Asa Jatmiko. Penyair asal Jombang yang bareng saya, Ahmad Muhaimin
Azzet ketika membentuk Komunitas Sastrawan Tugu Indonesia (KSTI) tahun 2000,
bersama penyair asal Lampung Y. Wibowo dan Si Thenk, mahasiswi ISI sang penggerak
dunia teater atau pertunjukan di kota pelajar Yogyakarta sampai sekarang.
Kebiasaan Pak Sur yang lain, tak
pernah berpakaian baru, andai ada yang menghadiahkannya, biasanya disimpan
sampai usang, barulah kemudian dikenakan. Bersamanya, saya sering diajak
keluyuran mengunjungi candi-candi sekitar Jogjakarta yang belum dikenal luas
masyarakat luar, kebanyakan warga kampung pun belum tahu, semisal Candi Ijo;
kami sempat menyaksikan para arkeolog membangun ulang pelahan, bertahun-tahun terbentuk
kembali meski tak sempurna. Jalan tersebut biasanya berkait bacaan yang tengah
saya pelajari, sambil memahami pepohonan serta daun-daunnya, menyapa alam mengajaknya
bicara, mencari informasi dari burung-burung, pun betapa intim dengan bebatuan
sampai paham jenjang usianya, ini sebab belajar mengakrabi, dipadu bacaan yang
terpegang.
Beberapa bulan sebelum beliau mangkat, ada yang ganjil; banyak kucing
liar di rumah saya di Lamongan, sampai sekarang ada saja kucing-kucing itu, seakan
dipaksa merawat sambil mengingat beliau (sekitar tiga harian ini, kucing itu
melahirkan tujuh anak). Kejadian tersebut saya ceritakan dan ia tersenyum saja,
atau mungkin ‘merasa waktunya telah dekat,’ hampir semua karya beliau diberikan
kepada saya kebanyakan belum tercetak, dan sampai kini tidak banyak yang
terbit, sebab saya belum mampu menerbitkan, yang terbit barulah “Balada-balada
Serasi Denyutan Puri” (2006, beliau masih sempat menyaksikannya), dan kumpulan
prosa “Sahibul Hikayat al-Hayat” (2009, beliau telah wafat). Waktu ‘itu’ saya
bengong tiada firasat atau lekas-lekas menghapus lintasan tidak menyenangkan,
dan sekitar empat puluh harian saya berada di Lamongan, dada ini tersentak hebat,
secara reflek teringat Mas Sur “Apakah Mas Sur sedang sakit?” (batin ini
bertanya dalam diam). Dan setengah jam berlalu, Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun, ada kabar dari Jogja, Mas Sur
telah berpulang kepada-Nya, saat itu juga saya berangkat ke Jogjakarta.
Teman-teman seperjuangan ingin beliau
dimakamkan di Taman Makam Seniman Budayawan Giri Sapto, yang terletak di Bukit
Gajah, Girirejo, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Namun keluarga besarnya berharap
beliau dimakamkan di daerah yang dekat para kerabatnya yang masih hidup, desa
Papahan, Tasikmadu, Karanganyar, Jawa Tengah. Lalu kami meluncur dari Nagan Lor
21 ke Papahan, diangkut bus yang dikomandani salah satu murid pengguritnya, Koh
Hwat. Mas Sur, saya masih menulis!
III
Fahrudin Nasrulloh, lahir di dusun
Mojokuripan desa Jogoloyo, kecamatan Sumobito, Jombang. Sejak di Denanyar pun
semasa di Jogja dapat dibilang seangkatan, namun baru kenal akrab setelah balik
kampung ke Jombang, dan saya kembali ke tanah kelahiran Lamongan; pertama kali
mengenalnya, kalau tidak salah sewaktu saya bedah buku di Mojokerto terus
berlanjut. Di Denanyar ia masuk sekolah MANPK, saya di MAN, andai saat itu berpapasan,
paling banter ketika ngaji pagi di depan asrama Al-Aziziyah atau teras ndalem pengasuh KH A. Aziz Masyhuri.
Meski seatap asuhan, bukan satu kelompok belajar, yang PK lebih ketat
aturannya, yang bukan Program Khusus bisa keluyuran atau santri-santri mbeling,
dengan leluasa nongkrong di warung kopi atau jalan-jalan ke kota, tentu
beresiko di hari jum’at membersihkan kamar mandi atau semacamnya jikalau
ketahuan.
Semasa di Jogja seingat saya
pernah melihatnya, sore hari berpapasan di pinggir jalan raya di pagar kampus
gedung IAIN Sunan Kalijaga sebelah timur (batin ini menerka; sepertinya ia anak
lulusan MAN PK), di malam harinya, saya membaca puisi di gedung sebelah
Sekretariat Teater ESKA. Ketidakbertemuan satu melodi ini mengingatkan kawan
Haris del Hakim dan A. Syauqi Sumbawi (keduanya sastrawan asli Lamongan juga
seangkatan, tetapi baru akrab sesudah balik di kampung halaman), Haris, Syauqi dan
Fahrudin, sewaku akrab bercerita kalau pernah melihat saya di Teater Eska. Haris
dan Syauqi kuliah di IAIN, namun bergabung di Sanggar Nuun, jadi praktis tidak pernah
berjumpa pada tongkrongan ESKA. Memang saya bukan mahasiswa IAIN, tapi sering
keluyuran ke beberapa kampus di Jogja yang ada sanggar teaternya, maka sangat jarang
di kosan atau kontrakan (malah di Sanggar Eska, saya punya kamar tersendiri di
atas plafonnya, 1999-2000).
Fahrudin, setahu saya namanya belum
nongol di koran harian kala itu, semisal Kedaulatan Rakyat, Bernas pun Solo
Pos, kemungkinan ia mulai menyebarkan karyanya sesudah balik di Jombang, dan
awal melihat tulisannya di JawaPos berjudul “Pengarang dan Proses Kreatif” 6
Agustus 2006, sempat pengupas perjalanan saya dan PUstaka puJAngga dengan titel
“Gerilya Penulis Pemberontak” di JP dan Pontianak Pos. Sekitar akhir tahun 2007,
Fahrudin mendirikan komunitas Lembah Pring bersama para penulis Jombang, dengan
jadwal rutinnya mengadakan acara sastra yang dinamakan ‘Geladak Sastra’ hingga 2011.
Yang menggetarkan jiwa, sebelum meninggal ia mengirimkan puisi ke JP yang
diberitahukan kepada saya, dikarena salah satunya dipersembahkan untuk saya. Ketika
terbit di Jawa Pos 2 Juni 2013, beliau telah berpulang kepada-Nya, sungguh ini
teror sangat luar biasa!
Rel, Masihkah Takdir Terlalu Dini
Fahrudin Nasrulloh
Rel, tanganku tak bisa jauh
menuliskanmu. Kepingan-kepingan dunia berderak di mata kita. Apa kita sudah
kalah. Apa kita sudah takluk pada nasib. Pada takdir. Kau pernah bilang, “di
mana pun kita berpijak, di situlah tanah air kita.” Aku sendiri tak bisa
mengendalikan nasib. Sebab aku lama terlempar di sumurnya. Sedang kau
diombang-ambingkan nasib. Diombang-ambingkan takdir. Sementara dulu kau bilang,
“Takdir harus kita tuliskan sendiri dengan pena dan puisi.” Tapi puisi, adalah
kuda terbang bersayap gagak hitam, adalah penghancuran dari segala, adalah
pembunuhan berkali-kali menikam. Kita musti kuat, Rel. Tak cukup kita
menuliskan kekalahan-kekalahan cemerlang yang terlanjur mendekap erat ini.
Kita dikatai sudah mampus
berkali-kali
Di padang suket teki ini
Kita harus bangkit, Rel
Tak ada jalan lain, tak ada jalan
pintas
Dowong, 10 Maret 2013.
Dowong, yang berarti ditulis di
rumahnya Sabrank. Saya jadi teringat, Sabrank pernah bercerita, kalau Fahrudin menuliskan
puisi untuk saya di belakang rumahnya, di bawah rimbunnya pepohonan bambu
dengan tiupan angin dingin. Jika ditelusuri, judul puisinya terambil dari
kumpulan puisi Balada-balada Takdir Terlalu Dini, yang salah satu puisinya
berjudul Takdir Terlalu Dini, karya saya terbitan FKKH (Forum Kajian Kebudayaan
Hindis) 2001, terbit ulang 2006 oleh penerbit PUstaka puJAngga dan Lintang
Sastra. Cetakan FKKH itu pernah saya hadiahkan bagi calon istri saya yang
pertama, dan karena takdir terpisah, bercerailah ibundanya anak saya Ahmad
Syauqillah dengan saya 2011. Dan atas puisi pula saya menikah lagi tanggal 5
Januari 2015, dengan maskawin sebuah puisi bertitel “Sajak Maskawinku Demi
Lathifa Akmaliyah.”
Membaca puisi Fahrudin di atas jadi
merinding hebat; “Rel, tanganku tak bisa jauh menuliskanmu…” Saya dilempar hempasan
badai nasib besar, demi menjalani hidup berkelana ke bumi yang dulu saya
singgahi, tanah Kyai Ageng Hasan Besari tahun 2001. Dan pengembaraan kedua di
bumi Reyog 2011 akhir sampai pertengahan 2014, tinggal di Sutejo Spectrum
Center (SSC) dan Pesantren Darul Hikam, sebelum-sesudah Fahrudin meninggalkan
kita semua. Ia dengan saya setelah pertemuan di Mojokerto, terus berkelana
bareng, bedah buku saya di Malang tepatnya IAIN, berkali-kali mengisi acara di
kota Apel, menggerakkan komunitas sastra yang bertebaran di beberapa kota Jawa
Timur, khususnya Jombang, Mojokerto, Surabaya dan Malang, sebelum adanya
Pelangi Sastra Malang (bedah buku “Trilogi Kesadaran” generasinya A. Qorib
Hidayatullah, bedah “Kitab Para Malaikat” generasinya Liza Wahyuninto bersama
Fahrudin, bedah buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan SCB” generasinya
Denny Mizhar (Pelangi Sastra Malang), lalu ke Trenggalek mengenal esais
Misbahus Surur. Lama sebelum itu bedah buku stensilan “Kajian Budaya Semi” di
UNTAG, jauh sebelum generasinya EsoK (Emperan Sastra COK) Surabaya, buku KBS
pun sempat dibedah di Jogja, pembedahnya RPA. Suryanto Sastroatmodjo dan Amien
Wangsitalaja di IAIN Jogjakarta.
Jalan gerilya ke Pulau Garam
Madura lewat pintu Gresik melalui penyair Mardi Luhung kepada penyair R. Timur
Budi Raja, kepada penyair M. Fauzi di STKIP PGRI Bangkalan, menuju penyair M.
Faizi di Pesantren An-Nuqayah Guluk-Guluk, Sumenep; menebarkan benih-benih kepenulisan
di alam susastra, searah harapan kota lain seperti Yogyakarta dalam geliatnya
bersastra. Waktu itu Fahrudin dan saya sependapat kalau Jombang ialah kuburan, tersebab
para tokohnya kebanyakan ke luar kota, Jogja, Jakarta, dsb. Buku Fahrudin yang pernah
diterbitkan PUstaka puJAngga “Syekh Bejirum dan Rajah Mantra” pengantarnya
Afrizal Malna, 2011. Ketika ia sudah menikah dan berpindah tempat tinggal di
Surabaya, saya agak jarang berjumpa kecuali ianya berkabar sedang di Jombang
atau ada kegiatan sastra di tanah kelahirannya. Dalam kesempatan itu, saya sering
menginap di tetangga desa Fahrudin yakni rumahnya penulis Sabrank, dusun Dowong (Dawung), desa Plosokerep,
kecamatan Sumobito. Kabar mangkat-nya
Fahrudin ketika saya di Ponorogo, dan lantas ke tanah kelahirannya mengikuti prosesi
pemakamannya, lalu ke Lamongan. Di lain waktu balik ke Ponorogo. Di bawah ini puisi
saya yang sempat memberikan inspirasi Fahrudin dalam menuliskan puisi kepada
saya seperti di atas. Karena terlalu panjang, maka diambil bagian akhir saja:
(XXXIII)
Ku dengar satu bintang di langit
berkata padaku; “Bukankah aku
lebih bangkrut?
Manusia bebas berkeliaran sedang
nasibku menunggu?
Energi yang diberikan habis, aku
tak dapat berbuat lebih
sebagaimana orang-orang impikan.
Maka ikhlaslah terima
selagi dirimu masih bernafas.”
Setelahnya, bintang itu redup
dan tiada pernah terlihat kembali
pada malam-malam serupa.
30 September 2000, Gedong Kuning,
Yogyakarta.
IV
KH. A. Aziz Masyhuri, lahiyo semua para santrinya memanggil
beliau, ayah! Saya mengawali belajar menulis secara autodidak tepatnya di asrama
Al-Aziziyah, Denanyar, Jombang, sewaktu kelas dua Aliyah tahun pelajaran
1993-1994, sejak itu mulai sadar pentingnya membaca dan keranjingan baca buku
apa saja, ini lantaran tak mungkin membawa bentangan kanvas demi menyalurkan
kebiasaan melukis di pesantren, ditambah setiap hari menyaksikan ketekukan ayah
dalam membaca, menulis, bersuntuk buku-buku pun keluar kota menghadiri
undangan, sepertinya hanya tersisa tiga jam istirahat setiap seharinya, atau di
antara kesibukannya, beliau manfaatkan istirah barang sejenak. Itu saya ketahui
karena rajin mengamati beliau semasa nyantri, dan sebab penasaran serta
didorong jiwa muda, ikut-ikutan mencoba bersibuk ria, tapi hanya banyak baca
sedikit menulis dengan tempo istirah sekadarnya, dalam waktu tiga hari rasanya
tak mampu, di hari ketiga beliau menyindir, “Belajar ya belajar, tapi jangan
sampai mabuk belajar.” Dan karena tahu pengetahuan umum beliau juga banyak, dalam
suatu kesempatan acara, barangkali Isra’ Mi’raj atau mungkin sambutan ketua
asrama (saat itu Al-Aziziyah masih di bawah naungan pesantren induk Mamba’ul
Ma’arif), saya tidak mengutip hadits pun ayat-ayat dari kitab suci al-Qur’an,
tapi mengambil kata-kata mutiara sedari pemikir Barat sebagai pembuka, hasilnya
beliau melihat dengan tersenyum tanpa teguran setelahnya.
Setelah lolos dari kampus UWMY, menggelar
pentas musikalisasi puisi berkolaborasi gamelan dan tari atas letupan buku
Takdir Terlalu Dini, bersama penyair Evi Idawati di TBS dibantu komunitas Lapen
151, lalu balik mondok di Pesantren Darussalam WTC (Watucongol) Muntilan,
Magelang. Ngincipi sebentar di Tegalsari (Pesantren Kyai Ageng Mohamad Besari)
Ponorogo, berkeluarga, setahunan di Gunung Kidul, lalu pulang ke Lamongan
mendirikan penerbit PuJa tahun 2004; saya membuat banyak buku-buku stensilan
garapan sendiri, itu tidak lebih mengikuti kebiasaan beliau, yang awal karya-karyanya
difotokopi serta dijilid sendiri untuk disebarkan kepara para santrinya sebagai
salah satu kitab pelajaran. Buku stensilan saya pernah menemani Gus Zainal mengisi
di Tambakberas, Tebuireng, Langitan, MA Matholi’ul Anwar, dan di Pesantren
Sunan Drajat ketika Harlah PuJa. Buku stensilan masuk Jember lewat teaterawan
Rodli TL dan mengenal pelaku teater Tomtom, yang selanjutnya menyutradari
naskah saya “Zaitun; Cahaya di atas Cahaya” (dari buku TTD, bukan stensilan) di
kampus UNEJ dan IAIN Surabaya, garapan Teater Tiang bulan Juli 2007.
Buku-buku stensilan saya (hak cipta
dilindungi akal budhi) setiap kali lahir biasanya saya showankan kepada ayah, sejak
itu kian dekat seolah beliau tidak menganggap diri ini santrinya semata juga teman
menulis yang sama merasa getir pahit senang membikin buku-buku sendiri, dan
semakin akrab ketika keadaan saya tengah berkelana kedua kalinya di Kota Warok.
Saya kerap ditelepon diajak mengikuti acara beliau, seperti ke pesantrennya KH.
Hasyim Muzadi PonPes Al-Hikam, menghadiri undangan semisal di Universitas
Muhammadiyah Malang, dan yang sungguh berkesan menghibur batin tengah menduda,
diajak menjumpai KH. Marzuki Mustamar di kampus UIN Malang, dan buku MTJK SCB
dicium beliau di hadapan saya serta ayah, setelah mendiskusikan buku Aswaja yang
penulisnya meminta ayah mengantarinya, Alhamdulillah
pendapat saya diterima beliau berdua, yakni tidak memberikan pengantar buku
tersebut, karena belum matang saat itu.
Sewaktu mukim di Ponorogo (kediamannya
dosen STKIP PGRI Ponorogo, Bapak Sutejo di SSC), saya banyak bersentuhan karya-karya
ayah, sebab diminta mengeditnya, salah satunya yang hendak cetak ulang “Ensiklopedi
22 Aliran Tarekat Dalam Tasawuf” yang dipengantari Habib Muhammad Lutfie bin
Ali bin Yahya, Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj MA., serta Martin van
Bruinessen. Saya tidak tahu berapa banyak para santri beliau yang terjun ke
dunia tulis, saya tahu yang membuat ayah kebingungan ialah Moammar Emka, ketika
Jakarta Undercover terbit awal 2000an, ayah kerap diteror pertanyaan oleh para
sahabatnya sewaktu di Jakarta. Moammar kakak angkatan, ianya kelas tiga saya di
kelas satu Aliyah, namun satu asrama Al-Aziziyah kala itu. Kedua Edi AH Iyubenu
(bos Penerbit DIVA Press), kalau tidak keliru saya pernah berpapasan dengannya
ketika mengambil honor di kantor Kedautan Rakyat semasa mahasiswa. Dan sebelum
ayah meninggal, Edi menerbitkan salah satu karya beliau, yang pada acara Reuni
Akbar Al-Aziziyah, buku tersebut dibagikan untuk para santrinya. Ketiga Fahrudin
seperti Edi lulusan MANPK. Lalu, salah satu santri beliau yang kerap showan
meski jaraknya jauh ialah Ahmad Syauqi, ia perintis Pesantren An Nawawi di bumi
Tanara, Banten, seorang menerus perjuangan Syekh Nawawi al-Bantani. Syauqi
merupakan putra KH. Ma’ruf Amin, yang kini menjabat Ra’is ‘Aam PBNU (2015-2020)
dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (2015-2020).
Pada suatu kesempatan di Pesantren
Al-Aziziyah diadakan Temu Wicara Penulis Muslim Nusantara, sempat bertemu sastrawan
Kyai M. Faizi dari Pondok Pesantren An-Nuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, Madura, yang
sudah banyak melahirkan penyair, dan pesantrennya kerap dijadikan bahan
penelitian. Saya mengajak Sabrank menghadiri pertemuan tersebut, ia memang sering
saya ajak showan kepada beliau, berikut ini catatannya yang saya ambil dari
status facebooknya; Dari Ponorogo bersama Nurel Javissyarqi, mampir Kediri.
Maghrib baru menginjakkan kaki di rumah KH. A. Aziz Masyhuri, Denanyar, dalam
niatan membagi buku Senarai Pemikiran Sutejo setebal 922 halaman. Satu jam
lebih ngobrol dengan Beliau, ganti kami diberi buku karya-karyanya, salah
satunya berjudul “Karya Intelektual Rais Akbar dan Rais ‘Aam Al Marhumin PB NU”
yang dipengantari Dr. Andrée Feillard. “Buku saya yang diterbitkan penerbit
sekitar 25 judul, yang saya terbitkan sendiri sekitar 60 judul. Ada juga buku
yang dipengantari Martin van Bruinessen. Saya kalau ngetik di kantor, jam
8.00-12.00. Kadang kalau sedang asyik menulis hingga larut malam.” “Kiai masih
aktif membaca?” “Iya, sepanjang masa.” (Sabrank Suparno, Catatan Perjalanan 11
Pebruari, 2013).
Sekitar setengah bulan sebelum mangkat, ayah memimpin doa dalam Haulnya
Kyai Haji Bisri Syansuri (salah satu pendiri NU, yang lahir
di desa Tayu, Pati, Jawa Tengah 18 September 1886 - meninggal di Jombang 25
April 1980) yang ke 38, serta Harlah Pesantren Mamba’ul Ma’arif, Denanyar, Jombang
ke 102. Setelah acara, saya menyerahkan lukisan potret KH. A. Aziz Masyhuri, hasil
sapuan kuasnya pelukis Madiun, Rengga AP kepada Gus Muiz (Abdul Muiz Aziz Masyhuri), yang disaksikan Ibu
Nyai. Kabar wafatnya ayah, saya ketahui lewat telepon dari saudara Ahmad Yani,
santri induk seangkatan Ahmad Syauqi. A. Yani berasal dari Gebang Kulon,
Babakan, Cirebon. Tidak lama kemudian saya meluncur sambil mengajak bareng Hamdan
Jazila dengan janji bertemu di Kota Babat, Alhamdulillah
masih diberi kesempatan mengangkat keranda beliau bersama berjubelnya para
santri serta para warga masyarakat. Alfatikah…
***
*) Pengelana asal Lamongan, 4 September 2017. Dusun Pilang, desa
Tejoasri, Laren, Lamongan, daerah yang dikelilingi Bengawan Solo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar