Alunk S Tohank (Nurul Anam) *
Minggu Pagi, Desember 2016
Jangan buang waktu menulis buku! Andaikan bertubuh tinggi
dan kekar, lagi pula rupawan lebih baik jadi pemain drama! (Bjornstjerne
Bjornson).
Pernyataan Bjornson di atas bukan tanpa alasan, karya
sastra dan seni tidak bisa membuat kita kenyang dan tidak cukup untuk membuat
kita kaya raya. Karya sastra dan seni seakan-akan hanya ditakdirkan kepada
orang-orang yang sabar akan berbagai macam cobaan dan penderitaan, maka tidak
salah jika membaca buku-buku sastra yang paling menggugah adalah karya-karya
yang isinya menceritakan berbagai maca penderitaan.
Semua ini telah menjadi rahasia umum dalam dunia sastra,
bahwa karya sastra tidak akan membuat penulisnya menjadi kaya raya dan hidup
serba berkecukupan. Namun anehnya, meskipun telah jelas-jelas bahwa karya
sastra tidak akan mengantarkan kita pada kehidupan yang dicita-citakan semua
orang dimuka bumi ini, toh masih banyak orang yang
bercita-cita ingin menjadi seorang sastrawan atau seniman, terutama pada
kalangan anak muda.
Ini kemudian yang menjadi nilai plus dari karya sastra
dan seni, meskipun sudah jelas akan mengantarkan siapa saja yang mempunyai
keinginan menjadi sastrawan atau seniman pada jalan yang begitu menyakitkan
namun orang-orang itu tetap bertahan dan terus melawan segala macam cobaan,
meskipun tidak sedikit orang yang tersesat dalam dunia sastra kemuadian dia
berpaling dan mengalihkan jalur hidupnya pada jalan yang agak terang yaitu jalan
bisnis.
Banyak para penulis sastra yang kemudian untuk menyambung
hidup sehari-hari, mereka menjadi seorang bisnismen dengan tidak meninggalkan
karya sastranya. Sebut saja Ahmad Muchlis Amrin, seorang cerpenis dan juga
sastrawan muda asal Madura ini telah begitu lama menulis puisi dan cerpen namun
kemudian disamping menulis, beliau juga menjalankan bisnisnya sebagai juragan
kerupuk “Bakti Rentani”. Menurut beliau karya sastra tidak akan cukup menafkahi
hidupnya dan keluarganya.
Dari itu jelas sudah bahwa karya sastra akan membuat
hidup serba kekurangan namun akan membuat hati kita serba berkelebihan. Hal ini
sama dengan yang dialami oleh anak-anak komunitas KUTUB Yogyakarta, yang
belakangan sangat getol muncul di media-media lokal dan nasional, baik koran dan
majalah.
Mereka paham kalau karya sastra tidak akan mengantarkan
mereka pada hidup yang serba berkecukupan, tapi tekad yang kuad tidak membuat
mereka gentar dengan berbagai macam cobaan. Mereka rela menjadi penjual koran
di lampu-lampu merah hanya untuk menyambung hidupnya, bahkan ada sebagian dari
mereka yang hanya menyambung hidup dari warung kopi ke warung kopi lainnya,
semua itu mereka perjuangkan hanya demi sebuah karya sastra.
Tidak cukup sampai di situ saja, anak-anak muda di
komunitas KUTUB bahkan bisa di sejajarkan dengan perjuangan Knut Hamsun dalam
novel “Lapar”, kalau Hamsun bilang: “aku adalah pujangga! Sekali kelak orang
akan menyanjungku di Norwegia! Dan hanya ingin hidup sebagai pengarang. Biar
harus menahan lapar, sampai rambutnya rontok dan pusarnya berdarah; biar harus
mengunyah keping-keping kayu dan mengemis tulang dari tukang daging “untuk
anjingku”. Biar harga diri gugur satu demi satu. Anak-anak di komunitas KUTUB
pun demikian “meskipun aku terasing di kota yang penuh dengan keramaian dan
hidup indah anak muda, bagiku semua itu bukan alasan untuk tidak belajar
menulis karya sastra.
Bisa dibilang, mereka (komunitas KUTUB) tiada hari tanpa
menulis dan tiada hari tanpa membaca. Hidup yang menoton ini mereka jalani
dengan penuh kebahagiaan, meskipun seperti yang telah saya sebutkan di atas,
mereka harus menahan lapar yang terlalu, namun demi sastra mereka tak
memperdulikan semua itu. Bahkan kebanyakan dari mereka yang notabenenya adalah
anak-anak muda harus rela menjomblo dan di olok-olok oleh teman-teman
sekampusnya karena setiap malam minggu mereka tidak pernah malam mingguan,
sebab pada setiap malam minggu mereka harus diskusi bedah karya baik cerpen mau
pun puisi, laiknya pengadilan puisi yang biasa komunitas-komunitas besar
lakukan.
Sungguh tak bisa dipercaya, karya sastra bisa membuat
penulisnya menjadi sangat menderita, namun inilah yang terjadi dan dialami oleh
seorang penulis muda asal Ingris Thomas Chatterton, pujangga muda Ingris abad
ke-18 yang bunuh diri pada usia 19 tahun karena sadar bahwa sastra dan seni
takkan sanggup menafkahinya.
Thomas Chatterton telah menyadari dari awal kalau sastra
dan seni tidak akan sanggup menafkahinya, maka dia memilih untuk bunuh diri
ketimbang hidup menderita. Sayang beribu sayang Thomas Chatterton tidak
mempunyai kesabaran seperti anak-anak di komunitas KUTUB, karena Thomas
Chatterton tidak memiliki paham dari ajaran Gus Zainal Arifin Thoha “aku
menulis maka aku ada”.
Kemudian, disadari atau tidak, menjadi seorang penulis
terutama penulis sastra, harus siap menderita jika tidak, lebih baik dari
sekarang berhentilah bercita-cita menjadi penulis atau menjadi sastrawan sebab
sudah sangat jelas bahwa karya sastra dan seni tidak akan membuat anda kaya
raya tapi cukup membuat anda bahagia.
*) Alunk S Tohank (Nurul Anam), Esais tinggal di
Yogyakarta. Sekarang aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar