Fathan Mubarak *
Radar Cirebon, 19 Sep 2017
KERAJAAN-kerajaan di dunia lahir dan dibesarkan oleh sastra. Bentangan sejarah politik dari jaman Mesir Kuno di Afrika hingga Mataram di Solo dan Jogja, senantiasa mempertontonkan silang sengkarut suksesi dan legitimasi. Di sana, kekuasaan seperti sebuah kubah yang berdiri di puncak bangunan sistem kepercayaan setiap masyarakatnya. Dan perjumpaan teks-teks kekuasaan dengan mereka yang dikuasai, hingga bagaimana teks masuk dan memengaruhi, semua ”diurus” oleh sastra.
Ada banyak sekali teori legitimasi. Di zaman feodal, kekuasaan pertama-tama bersandar pada yang di luar sejarah: Tuhan, dewa-dewa, benda pusaka, lelembut dan segala yang bersifat supra materi. Seorang raja harus yang bukan ”manusia biasa”. Penguasaan militer hanyalah hardware yang membutuhkan perangkat lunak berupa penaklukan kesadaran publik agar tercipta kepatuhrelaan.
Di pedalaman hutan Amerika Tengah, suku Maya dipimpin seorang kepala yang terkoneksi dengan roh-roh yang bergentayangan dalam sastra lisan para tetua. Di Mesir, unit-unit politik kecil semacam itu dilebur dalam sistem monarki Menes yang merupakan titisan Dewa Osiris. Kekuasaan Firaun bertumpu pada sebuah legenda tentang kematian Osiris oleh Set, dan Horus sebagai anak Osiris membalaskan dendamnya.
Dalam egyptology, Firaun adalah Horus, Tuhan bagi bangsa Mesir. Tidak hanya sastra lisan, legenda Horus terdokumentasi dengan baik dalam tembikar dan dinding-dinding piramid. Akar sejarah kekuasaan di Yunani klasik juga dibentuk oleh legenda dan mitologi-mitologi. Keduanya menjadi tema dari sastra lisan yang berkembang dan banyak dituliskan dalam syair-syair kepahlawanan.
Maka, jagat nusantara mengenal legenda, cerita rakyat, babad, hikayat, kronik, dan sederet karya sastra di mana para penguasa menumpukan kekuasaannya pada itu. CC Berg, seorang profesor kenamaan dari Universitas Leiden, menggarisbawahi beberapa hal yang menjadi karakteristik pokok dari karya-karya sastra kuno yang belakangan oleh sebagian kalangan disebut sebagai historiografi tradisional.
Dalam karya-karya sastra kuno, kesaktian ditempatkan sebagai titik sentral di mana berbagai peristiwa alam termasuk yang menyangkut kehidupan manusia berpangkal. Penjelasan-penjelasannya juga beranjak dari kepercayaan akan klasifikasi magis yang memengaruhi segala sesuatu. Bisa mahluk hidup, benda mati, baik bagi pengertian-pengertian yang dibentuk dalam akal manusia maupun sifat-sifat yang terdapat dalam materi.
Dengan begitu, penghubungan antarsesuatu yang sebetulnya nonsense, dapat ditarik dengan gampang. Hal lainnya adalah bahwa kebanyakan tokoh dalam historiografi tradisional tidak lain para pelaku magisme itu sendiri.
Para pujangga keraton sebagai kaum cerdik pandai, kreator ulung, dikenai tanggung jawab itu. Ia ditugasi membuat komunikasi politik dengan publik lewat karya tulis yang berideologi istana-sentris dan bergenre religiomagis.
Keagungan dan kesakralan raja menjadi tema yang terus dikonstruksi dalam dunia kreatif para pujangga. Mitologisasi pun terjadi. Dan, sejarah membuktikan betapa cara tersebut cukup mangkus menanamkan kepatuhan massa.
Misalnya kitab Arjunawiwaha yang ditulis Mpu Kanwa atas titah raja Erlangga. Kitab ini menjadi satu dari sederet panjang di mana seorang raja melegitimasi kekuasaannya melalui penulisan karya sastra. Lewat kitab Arjunawiwaha, orang jadi ”tahu” bahwa Erlangga adalah raja digdaya—bak Arjuna, ia tak terkalahkan oleh musuh-musuhnya.
Kita juga bisa menyebut Babad Sultan Agung. Babad ini diawali dengan pengetengahan kehebatan Sultan Agung dalam penaklukan Palembang.
Tersebutlah bahwa Sultan Agung memiliki segudang kesaktian yang salah satunya dalam sekejap bisa pergi ke mana suka. Sultan Agung juga bisa melangsungkan pertemuan bahkan dengan tokoh-tokoh pewayangan seperti Semar dan Arjuna. Sultan Agung sendiri mewarisi kerajaan yang sejak awal pembentukannya, pertama-tama dikukuhkan oleh sebuah fiksi yang masih populer hingga hari ini.
Pada awal paruh kedua abad enam belas, Mitos Ratu Kidul yang sudah dikenal lama oleh masyarakat Jawa dan Sunda dimanfaatkan Panembahan Senopati untuk melegitimasi kerajaannya. Kitab Babad Tanah Jawi dan serat Wedotomo menyebutkan, penguasa laut selatan, Kanjeng Ratu Kidul, menjadi istri dan sekutu pendiri Mataram juga generasi-generasi penerusnya. Hal tersebut mengingatkan kita pada Babad Lombok di mana raja Khmer dan raja Bima mengawini putri naga demi kesuburan negerinya.
Kekuasaan raja-raja juga dikukuhkan karya-karya sastra yang mengisahkan asal-usul dan genealogi penguasa. Contoh bagus dalam hal ini kita dapati pada Babad Tanah Jawi. Babad yang ditulis Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III tersebut mengisahkan garis keturunan raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram. Melintasi nenek moyang Mataram Islam, raja-raja Hindu Jawa, para nabi, hingga ke Adam yang pernah bermukim di surga.
Menaut-nautkan diri dengan para pembesar dan orang-orang suci tentu suatu ideologi. Perpaduan keduaanya sangat efektif melahirkan pengakuan massa: nasab para pembesar terjelaskan dalam teori politik ingatan, sedang nasab para nabi, mengingat Islam sudah menjadi mayoritas, terjelaskan dalam teori politik identitas.
Dalam hal ini, periodesasi-periodesasi tidak berlaku. Di Cirebon sendiri yang notabene dipimpin seorang wali, karya sastra tak lepas dari misi mitologisasi. Dalam babad Tanah Sunda dan Babad Cirebon, tokoh Sunan Gunung Jati digambarkan sebagai wali yang sakti mandraguna.
Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan Mesir-Jawa yang hanya ditempuh dengan berjalan kaki di atas air laut. Ia juga bisa mengubah pohon menjadi emas. Bisa mengubah bokor menjadi bayi. Dan Sunan Gunung Jati yang luar biasa sakti itu konon pernah mikraj bersama nabi Khidir menembus tujuh lapis langit.
Jika Pakubuwono III mendaraskan nasabnya pada para nabi, Sunan Gunung Jati justru meet up dan menerima wasiat langsung dari mereka. Ia bertemu dengan Nabi Isa, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Adam dan empat malaikat yang masing-masing memberinya nama.
Di langit lapis tujuh, sang Sunan bertemu dengan nabi Muhammad lalu dihadiahi sebuah jubah. Sampai saat mikraj Sunan Gunung Jati berakhir di puncak Masjid Sungsang dan ia kembali ke Cirebon dengan mengenakan cincin pemberian Nabi Sulaiman
Namun, tidak ada bukti bahwa Sunan Gunung Jati memerintahkan para pujangga untuk membuat puja sastra tentang dirinya. Karya-karya sastra yang mendewa-dewakan Sunan Gunung Jati justru ditulis para penerusnya seabad lebih setelah kematiannya.
Kepentingan legitimasi semacam ini bisa kita lihat juga dari selisih isi antara naskah Pararaton dan Negarakertagama saat keduanya membicarakan Ken Arok. Dalam kitab Pararaton, Ken Arok disebutkan lahir di desa Pangkur, dari pasangan Ken Endok dan Gajah Para.
Mereka seorang petani. Ketika Gajah Para tengah di sawah, di semak belukar sebuah kebun, Ken Endok ditemui Dewa Brahma. Peristiwa tersebut membuat Ken Endok tiba-tiba mengandung dan Gajah Para meninggal dunia.
Ken Arok pun lahir dan tumbuh sebagai bocah yang dikenal nakal. Ia kerap mencuri dan berjudi sabung ayam. Bahkan saat dewasa, tidak hanya mencuri, tapi juga sampai membunuh, merampok dan memperkosa—Ken Arok seorang gali.
Namun dalam teks Negarakertagama, teks yang ditulis oleh penguasa Majapahit yang mengklaim sebagai keturunan dari wangsa Rajasa, Ken Arok dikisahkan agung tanpa cela. Ken Arok disebut-sebut sebagai Raja Perwira Yudha Putra Girinatha yang lahir di dunia tanpa bunda.
Semua orang bersujud di kakinya sebagai tanda bukti akan ketaatan dan kepatuhan serta kebesaran raja. Ken Arok yang sejak memerdekakan Tumapel dari Panjalu bergelar Ranggah Rajasa itu, dilukiskan sebagai seorang penggempur musuh dan pahlawan bijaksana.
Legitimasi yang sudah diberikan sastra tidak hanya berlaku di jamannya. Sebab karya-karya sastra kuno, memungkinkan kita yang hidup di hari ini bersentuhan dengan banyak sekali simbol keagungan dan kebesaran para raja di masa lalu.
Terlepas dari apakah informasi-informasi tersebut kandas di tengah rasionalitas jaman atau terus memanjang dalam waktu—sebagaimaan dapat kita temui dengan mudah di pelosok-pelosok kota di republik ini, namun jelas bahwa keraton-keraton se-nusantara telah berhutang banyak pada sastra. Dalam perspektif inilah saya melihat Festival Keraton Nusantara 2017 yang hari ini masih berlangsung.
FKN secara resmi berlangsung lima hari dengan dihadiri 50 keraton peserta, 100 keraton peninjau dan sekitar 10 ribu kepala sebagai penggembira. Keraton Kasepuhan sebagai tuan rumah sendiri konon menyediakan 5 ribu kamar selama 1 minggu untuk menampung para tamu.
Berbagai macam event dan acara digelar. Mulai dari pameran pusaka, musyawarah raja-raja, arak-arakan, hingga lomba senam. Namun dalam lima hari yang padat acara tersebut, 5 hari yang penuh euforia dan gegap gempita tersebut, saya tidak melihat sastra meski cuma batang hidungnya. Ini menarik. Bukan karena saya pegiat sastra, namun karena saya tahu, keraton-keraton se-nusantara memang telah berhutang banyak pada sastra.
Alhasil, FKN tampak seperti parade lupa. Sebuah parade tanpa percakapan yang intim, dalam, bermartabat, dan menyehatkan pikiran. Bagaimana mungkin kekuasaan-kekuasaan yang lahir dan dibesarkan oleh sastra, dalam resepsi akbarnya justru mengabaikan sastra. Tanpa bermaksud apa-apa, namun FKN kali ini memang tampak seperti potongan puisi Lupa yang ditulis penyair Joko Pinurbo di Jogja sana:
Musuh utama lupa ialah kapan.
Teman terbaik lupa ialah kapan-kapan.
Kapan dan kapan-kapan ternyata sering kompak juga.
Namun saya percaya, lupa pun ada batasnya. Pada suatu ketika di suatu masa, sebuah jaman yang limbung, zaman yang chaos nilai dan mangmung, akan mengangkat tangan dan memohon sedekah agem-agem dari sastra—sebagaimana sebagian masyarakat Surakarta pernah merasa terselamatkan oleh petatah-petitih pujangga Ronggowarsito. Sebab lupa, mengutip baris terakhir puisi di atas, hanyalah mata waktu yang tidur sementara.
*) Fathan Mubarak, hamba Allah, tinggal di Rumah Kertas
http://www.radarcirebon.com/sastra-dan-biografi-kekuasaan-raja-raja-nusantara.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar