I. Membayangkan Bedah Buku MMKI di PDS H.B. Jassin
Nurel Javissyarqi (i)
Saya tak menyangka kalau buku “Membongkar Mitos
Kesusastraan Indonesia” bakal dibedah di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Jangan-jangan ini lamunan saja, karena kebetulan tengah baca ulang buku susunannya
Paus Sastra Indonesia tersebut yang bertitel “Kontroversi Al-Qur’an Berwajah
Puisi” (Grafiti, 1995), tentunya lagi berseberangan.
Bayangan ini menjulur pada
peristiwa lampau “Ketika Jogja Menghakimi Jakarta,” karena lupa tanggal bulan
tahun kejadiannya, saya telusuri di google, dimulai Jam 20.00 tanggal 28 Mei
2003 di Auditorium IAIN SuKa (UIN Sunan Kalijaga) Yogyakarta. Sebenarnya
acara malam itu menggelar diskusi dua buku puisi terbitan Jendela dan Bentang
Budaya, “Suatu Cerita dari Negeri Angin” karya Agus R. Sarjono, “Reruntuhan
Cahaya” karya Jamal D. Rahman, yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian
Kebudayaan Akar Indonesia, moderatornya cerpenis Joni Ariadinata. Tapi sayang,
titel tema yang menyimpang itu terkena hukum bandul menurut saya, yakni malahan
“Jogja yang dihakimi Jakarta,” lantaran mental minder tua rumah yang masih
terkungkung watak kedaerahan, kala melihat orang-orang dari pusat, letak
pemerintahan RI, pintu gerbang NKRI, punjer-nya
media-media massa Nasional beserta ornamen-ornamennya.
Sidang acara 15 tahun silam itu entah kenapa saya
mengikuti, padahal sudah balik kampung ke Lamongan sejak awal 2002, mungkin ada
jadwal lain yang patut dikunjungi. Dalam acara KJMJ, saya hanya datang seperti
hadirin lain, atau bisalah disematkan sebagai pengamat sastra amatiran abadi.
Mungkin bayangan ini kurang layak, sebab tidak lagi tinggal di Jogja, pun bukan
roda penggerak kesusastraan di Ngayogyakarta secara umum. Dan seumpama “Buku
Pertama MMKI: Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia”
dibahas di PDS, ini hanyalah mimpi, impian pun tak sampai ke situ, maka jadilah
‘ngimpi’ nun jauh di sebrang angan, ataukah inilah takdirnya, selepas berlarut-larut
mengerjakan tulisannya, tiada jemu membenahi berulang-ulang, mengekalkan
kekisaran sekeliling pula menembus bebatas perkiraan, sambil ditemani berbatang
rokok di sebelah wedang kopi pengusir penat. Dan firasat ke PDS, serupa berkah
kemurahan hati cerpenis Siwi Dwi Saputro, sang ketua proyek penulisan buku
“Pada Detik Terakhir, Antologi Cerpen Duet” terbitan Bajawa Press 2017, serta
komentar dari Tengsoe Tjahjono di facebook mengenai MMKI, sedang diri ini
lunglai tiada mampu berbuat lebih, selaksa terlanjur syukur teramat jujur matur suwon yang terdalam
sebaik-baiknya.
Kenapa bayangan bedah buku tak sampai ke PDS? Sebab tetap
merasa cuma pengelana yang kebetulan suka baca, atau ada segarit pesimis kalau
pandangan saya diuji sebegitu dekat dalam kehidupan, karena tidak mungkin di-gubris (ditanggapi) pendapat saya di masa-masa masih bernafas, olehnya diri selalu
terbiasa menempatkan perihal yang tertulis baru diserap para pembaca setelah
tiada, ketika sudah nyaman memandangi gemintang beredar di tengah malam tanpa
kebisingan dunia, seperti ramalan menyerupakan ‘bom waktu’ yang dikhawatirkan
penyair Mardi Luhung dalam beberapa kali obrolan. Namun demi menggenapi,
buku-buku yang tidak dilirik itu, rencananya dipersiapkan di hadapan sidang
susastra, barangkali di depan para guru besar dan sebangsanya. Lalu mendadak disergap
hembusan angin tiba-tiba, suasananya nanti sunyi pengunjung, atau energi
terterima belum mencapai kebulatan, ataukah ini harapan manis demi tegap
melanjutkan, melancarkan serangan sekaligus menggali benteng parit-parit
jebakan bagi perdebatan harmonis tentunya.
Mendung hitam ramalan Mardi kian menebal kental, saat menawarkan
MMKI agar dibedah di STKIP PGRI Ponorogo kepada Doktor Sutejo, dengan nada
bercanda dia berkomentar; “Tulisane wong edan!” Dilanjutkan jalan sambil
tertawa renyah memandang saya yang pernah melakoni perjalanan hayat serupa
“Wayang kelangan gapite” istilahnya, sewaktu bermukin di kantornya SSC. Tapi
diselang masa setelah baca buku itu, dia menanggapi kalau tulisan saya teramat
serius penggarapannya, dan barangkali penulis asli Kota Warok merasa kurang
nyaman jika MMKI didiskusikan di kampusnya, dikhawatirkan membikin
persinggungan paham terhadap kritikus Maman S. Mahayana pun Aming Aminoedhin,
yang otobiografinya Presiden Penyair Jawa Timur akan diterbitkan SSC, dan kabar
lain saat bertemu pemilik Pustaka Ilalang, Alang Khoiruddin berkomentar bahwa
bukunya Aming itu sempat terbit secara terbatas. Lalu pikiran ini menerawangi
sikap motivator ulung Sutejo seolah berucap; “Kau kan sudah sering mengisi
acara di sini, maka cukupkanlah, dan saatnya ke tempat-tempat yang belum
terjajaki bukumu sekaligus menjelajah.”
***
***
Sedikitnya tiga kali saya ke PDS H.B. Jassin, dua kali
tak sempat mampir; Pertama membeli buku di dekatnya bersama cerpenis Teguh
Winarsho AS, setelah dari kantor surat kabar Suara Pembaruan untuk mengantarkan
sebendel karya novelnya, yang kemudian terbit di koran itu secara bersambung
“Di Bawah Hujan” edisi 10 April 2000 – 7 Juni 2000. Kini penulis novel
“Kantring Genjer-genjer, dari Kitab Kuning sampai Komunis” (PuJa, Februari 2007),
menjadi bos penerbitan buku di Jogja dengan bendera Lafal Indonesia, Araska,
Parasmu, Pinang Merah, dan diantara teman-teman yang karyanya diterbitkan ialah
Sri Wintala Achmad, Abidah El Khalieqy, Otto Sukatno Cr, Mahmud Jauhari Ali.
Saya berjalan-jalan ringan sekitar PDS waktu itu, sambil mengepul-kepulkan
debunya sekalian mambayang suatu hari menggelar acara di situ (kalau tak keliru
seturut kabar terdengar lamat-lamat, Paus Sastra Indonesia sedang dirawat di
Rumah Sakit, tapi tak terjenguk lantaran saya bukan siapa-siapa, kejadian ini persis
semasa saya dan rombongan Sanggar Alam asuhan pelukis Tarmuzie, mengunjungi
museum Affandi tahun 1990, tatkala beliau dirawat di RS). Dan keinginan
menggelar kegiatan di PDS perlahan surut melarut pudar, bersamaan kesuntukan
diri memasuki alam teks tanpa pedulikan sekitar, ataukah dengan gerak menjauh,
Gusti Maha Welas Asih mendekatkan batin Siwi, demi menyadarkan saya pada
lamunan sempat buyar tenggelam di kesendirian. Hukum tarik-ulur inilah sandaran
sekaligus motivasi di dalam gua kesunyian, yakni tentu berjumpa orang-orang sepadan
suntuk pula peroleh lebih dari perkiraan biasa.
Sekitar pertengahan September 2005 kembali ke Jakarta,
ini dirunut tanggal 5 Oktober memasuki bulan Ramadhan, dan di buku “Trilogi
Kesadaran” h. 331, adanya esai bertitel “Revolusi dan Sakit Gigi,” sungguhlah
teringat penulisannya di kantor Serikat Petani Lampung, tempat adiknya kawan Y.
Wibowo yakni Sigit, jaraknya berkisar 2 KM dari UNILA ke selatan, dan beberapa
kali ke BaLam, bertemu para penulis, Udo Z Karzi, Asarpin, Oky Sanjaya, SW.
Teofani &ll. Sebelum ke Bandar Lampung, di Ibukota menemui Teguh yang kali
itu sudah bermukim di Jakarta, tidak seperti paragraf di atas masih tinggal di
Yogyakarta, lalu janjian dengan Binhad Nurrohmat bertemu di Taman Ismail
Marzuki, ngobrol sana-sini, jalan-jalan di PDS tidak lupa mencari buku-buku
lawas, dan setelah dirasai cukup, kami saling berpisah. Sebelum itu, saya titip
kepada Teguh untuk mengurusi ISBN, sebab dimulai tahun 2004, saya telah menerbitkan
beberapa buku stensilan; cover sablonan, dalamnya fotokopian (ii). Saya meminta
tolong ke Teguh, selain mengusahakan ISBN PUstaka puJAngga, juga penerbit teman
Lamongan, Alang Khoiruddin dengan Pustaka Ilalang, dan segeralah penulis
kumpulan cerpen “Tato Naga” (Grasindo 2005), berhasrat membikin penerbitan juga
berlabel Lafal Indonesia, kemudian ketiganya menemui takdirnya masing-masing.
Di sebelah PDS itulah, saya masih mengidam rasa tidak ingin bedah buku, namun
membaca puisi dengan rambut gondrong ikal memanjang seperti para pujangga tempo
dulu.
Kedatangan ketiga di Ibukota untuk membedah buku “Trilogi
Kesadaran; Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran, dan Ras Pemberontak” PuJa
(PUstaka puJAngga, Okrober 2006), di toko kitab dekat kampus Universitas
Indonesia. Dalam kesempatan itu, saya berkenalan dengan Donny Gahral Adian yang
termasuk pembedahnya, di sana dia banyak mendukung pandangan buku tersebut,
tidak lebih berpaham kalau filsuf Timur sebagaimana diri ini (saya hanya
tersenyum, lalu berpendapat bahwa kampus-kampus besar di Indonesia, semisal UI,
UGM, dll, sudah sepantasnya memiliki Mazhab Sastra, Mazhab Filsafat).
Sebenarnya, acaranya tidak hanya mendiskusikan “Trilogi Kesadaran,” juga novel
berjudul “Dazedlove; Reportoar Mahasiswi Demonstran” (Pustaka Ilalang, 2006),
karya Rodli Tl, tetapi penulisnya tidak hadir. Serampungnya acara, meluncur ke
kontrakannya Teguh, di sana dikenalkan cerpenis Damhuri Muhammad yang tidak
jauh dari tempatnya, lalu menuju kediaman kritikus MSM, atau kali kedua ke
rumahnya di daerah Bojonggede; pertama selorong paragraf di atas, dan jalan
sendiri mengantarkan bendelan puisi yang akan terbit “Kitab Para Malaikat” (PuJa,
Desember 2007). Di padeponkannya, saya banyak menyerap pelbagai pengetahuan
kepenulisan, menggali sungguh cerita para penyair di Jakarta, pula apa saja,
sebab dia termasuk loman tidak pelit
dalam membagi-bagikan keilmuannya. Jadi teringat ungkapannya terhadap para
penyair yang sok bergaya dengan kata-kata; penyair udik!
Barangkali decak gelombang laut tak pernah sama, dan saya
bersyukur sempat berjumpa orang-orang penting dalam peta sastra Indonesia walau
setengah tidak sengaja, atau kesengajaan selepas bersesuaian ombaknya. Sebelum mendapati
undangan baca puisi pada acara Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Abdul Hadi WM di
Paramadina 9-11 Juni 2008, saya tengah mendalami buku disertasinya “Tasawuf
yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri” (Paramadina,
Mei 2001). Undangannya dari Maman, sayangnya di baliho, di koran-koran
pemberitaannya tiada nama Nurel, itu bisa dimaklumi, sebab saya bukan siapa-siapa,
atau bisa jadi lembar undangannya tersebut inisiatif dari kritikus, dan malam
itu pembawa acaranya Acep Zamzam Noor, saya termasuk paling muda dari para
pembaca puisi, ditutup Sutardji Calzoum Bachri. Selepas acara, kritikus
produktif MSM berkata kalau diri saya dinaungi dewi fortuna, barangkali sebab
sikap saya membaca puisi tanpa mau diiringi musik, yang diakhirnya SCB berkata
bahwa puisi yang baik, tanpa musik sudah baik. Dalam kesempatan berkumpul
dengan para penyair, saya serap aura-auranya, dan diselang waktu berbeda,
bertemu kembali beberapa dari mereka dalam suatu acara di TIM, sehingga ada
kesempatan lagi menjajakinya, disaat itu berjumpa penyair seangkatan di Jogja,
Akhmad Sekhu. Sebelum menghadiri acara di Paramadina, beberapa tamu luar kota
berkumpul di rumah kritikus yang nantinya menerbitkan buku “Pengarang Tidak
Mati, Peranan dan Kiprah Pengarang Indonesia” (Nuansa Cendekia, Juli 2012), di
situlah awal kali mengenal Sutejo bersama Kasnadi dari bumi Batoro Katong,
keduanya mengidam rasa penasaran atas keberadaan PUstaka puJAngga, karena
sebelumnya melihat buku PuJa di Gramedia, dan lain kesempatan menuju Lamongan,
yang membuat jiwanya terbakar hingga menerbitkan karya-karyanya lebih jauh.
(iii)
Ke lima menghisap udara Jakarta, menghadiri undangan
sebagai peserta JILFest pertama di Kota Tua, 11-14 Desember 2008, ini pun atas
rekomendasi kritikus MSM. Saya jadi kelingan,
suatu hari Afrizal Malna sms, meminta beberapa puisi untuk dimasukkan ke
program kegiatannya yang bertaraf Internasional juga, dan saya tak masuk
seleksi, entah tahun berapa, yang jelas ketika almarhum Fahrudin Nasrulloh
masih sehat. Dalam acara Jakarta International Literary Festival, saya berkenalan
dengan sastrawan Putu Wijaya, dan memberanikan diri meminta tulisannya di blog
pribadinya guna diusung ke beberapa website yang saya kelola, syukurlah diberikan
izin seluas-luasnya. Dan ingat betul pendapatnya soal posisi kesusastraan
Indonesia dalam kancah pergaulan susastra dunia ialah belum apa-apa. Dari situ,
saya meloncat turun menggali banyak informasi melalui buku-buku lama, meneliti
tanggal usia waktu kejadiannya, ketika W.S. Rendra, Budi Darma, &st di luar
negeri, dan nyatanya suara terbanyak membesarkan kabar berita di dalam negeri
semata. Lain itu, mempelajari kegiatan berkelas Nasional pula Internasional,
tidaklah berpengaruh ke pribadi pengarang, atau karyalah yang lebih bisa
berbicara. Sehingga, melihat politik sastra kian semrawut, saya tak heran atau
keheranan pun tidak menyentuh pengelana. Di JILFest itu juga, bertemu Sihar
Ramses Simatupang yang nantinya akan membongkar buku MMKI, dan semoga berjumpa
penulis kelahiran Ngimbang yang saya penasarani, Eka Budianta.
***
***
Setelah mengenang yang pernah terjadi, kini menyentuh
judul bakal mengalami, atau bisa juga batal menjadi, lantaran manusia hanyalah
wayang yang dimainkan Sang Dalang, mudahnya hati berbolak-balik, kelahiran
serta ketiadaan dalam genggaman Tuhan Semesta Alam, atau saya kerap menikmati
sesuatu itu berawal dari panggung belum digelar, pentas teater dimainkan,
sampai berkemas-kemas menyudahi, semuanya pelajaran demi ke depan. Kekecewaan
juga kegembiraan dunia perangainya sementara, tinggal rupa-rupa di linggiran pantai tepian jurang menawan,
berharap bisa mengambil hikmah sebelum surutnya tembang. Jika bedah buku Edisi
Revolusi dalam Kritik Sastra, MMKI di PDS H.B. Jassin terlaksana, rencananya
hari Senin 9 April 2018, Jam 15.00-18.00. Siwi beserta para panitia (Komunitas Penulis
Katolik Deo Gratias), saya dudukkan di batin ini sebagaimana guru melukis
Tarmuzie, almarhum KH. Abdul Aziz Masyhuri, almarhum guru menulis KRT. Suryanto
Sastroatmodjo. Almarhum Gus Zainal Arifin Thoha, kritikus Maman S. Mahayana,
pula Sutejo, dst, atau orang-orang baik yang secara tidak sengaja mengantarkan
saya menapaskan harapan hampir punah. Atau barangkali, sudah tak mengharapkan
selain bernikmat-nikmat berkarya, bersunyi-sepi menghisap madu kesendirian
dalam ruang-ruang kata, ataukah telah sangat lama, atau apakah baru memulai
rasa yang dirasakan Albert Camus, “…aku menjadi
seorang seniman, tanpa penolakan, tanpa persetujuan.” (iv)
Bisa jadi, inilah selayang wewarna selendang absurdisme;
“tanpa penolakan tanpa persetujuan,” sejenis berkeinginan menghapus kemapanan
yang diterimanya, atau dia tak mau kalah pamor dengan eksistensialisme Jean
Paul Sartre, sang penolak Nobel Sastra, dapat terjadi juga serupa olok-olok,
pula jauh keduanya lebih mempercayakan hakim penentu, yakni waktu bersegenap
perangainya, dan saya sebagai pembaca seperti selampiran masa yang tertunda,
nafas-nafas dipompa jantung berguna pula bisa peroleh sia-sibe menemui
masa-masa kadaluarsa. Ingatlah pandangan Putu Wijaya, maka biasa sajalah, bro!
Lewat ini, lebih mudah melalui tanpa dihantui apa saja selain dosa, dan tiada
menemukan raut kewibawaan putus asa di atas panggung sandiwara, sebab semuanya
sudah diserahkan disaat melangkah. Karena sudah memasuki paragraf sebelas,
cukuplah! Lalu mari berdiskusi tanpa membawa rasa takut melebihi orang gila
yang duduk di bawah gelantungan kabel listrik tegangan tinggi, atau bayi yang
ditinggalkan orang tuanya di pinggir jalan, makna kata; marilah belajar sambil
menghajar, dihajar demi terus belajar sampai ke liang lahat. Ah, jadi
terngiang, ‘kata’ penutup pada kuliah umum yang tidak diperbolehkan saya
mengikutinya di STKIP Ponorogo, dari almarhum Prof. Dr. Ayu Sutarto; “Prek!”
II. Kenyataan Bedah Buku MMKI di PDS H.B. Jassin
Lalu datanglah
semboyan;
“Akulah Jala Suta,
memberontak
adalah siasatku
menghormati nenek moyang.” (v)
Mungkin sebaiknya pada pembukaan buku MMKI saya cuplik
selarik syair dari “Balada Jala Suta” di bagian paling ujung bait terakhirnya,
agar tidak dikira tak menghargai para senior, lebih jauh kaum pendahulu
susastra, khususnya di bumi Nusantara. Ini saya ungkap sebab di hadapan hadirin
bedah buku 9 April 2018 di PDS H.B. Jassin kemarin, seolah saya tak memiliki
rasa hormat sama sekali bagi mereka. Atau dari awal tidak menyangka sebegitu
cepat reaksi kata-kata, ketika usia penulis telah menginjak kepala empat, saya
jadi terbayang awal perjalanan dahulu; kata-kata yang keluar dari tubuh ini
masih saja mendekam di rak-rak buku, menanti panggilan waktu entah. Barangkali
ungkapan ini muncul, lantaran melihat timbulnya reaksi kekhawatiran begitu
hebat di hadapan hadirin, kalau-kalau sejarah susastra Indonesia bakal runtuh
oleh kedatangan tamu bersendalkan jepit dari desa, sehingga terlontarlah
kalimat dari mulut ini secara spontan hendak mendinginkan suasana, “Saya tak ada urusan dengan sastra, pun
sejarah kesusastraan Indonesia,…” Atau dari itu, malah menguatkan gambaran
ketakutan mereka yang tampak jelas, sedangkan yang memiliki mental tangguh
tenang-tenang saja seperti Arie M.P. Tamba memantau dari jauh, seolah sudah
khatam makna suatu perjalanan.
Hasan Aspahani datang mengikuti acara dan saya baru mengenalnya
langsung selepas bedah buku, tepatnya mendatangi kami berempat; saya, Sofyan,
Sihar dan Shiny, kala duduk santai ngobrol sambil menghisap rokok pelahan,
menantikan waktu agak sepinya para penumpang kereta api menuju Bojong Gede ke
kediaman Maman S. Mahayana. HA lantas balik menemui penulis kumpulan cerita
“Memorabilia & Melankolia,” Agus Noor (Gambang Buku Budaya, 2016), AN tidak
tampak, mungkin serupa Asrizal Nur yang tidak mengikuti lajunya acara, hanya
nongkrong di kursi luar entah apa dibenaknya, dan atau diri ini sudah tanak
jenis-jenis diskusi beserta perangainya, dikarena pernah tinggal lama di Jogja.
Kembali ke dalam gedung; bayang-bayang paragraf awal itu muncul setelah saya
berdiri tegas di depan mikrofon menghadapi para hadirin, guna menjawab komentar
Sihar Ramses Simatupan dengan agak emosi, lantaran tidak mengupas pokok-pokok
soal buku, tapi malahan merambahi lanturan pikirannya terhadap posisi dirinya di
dalam peta susastra, ini mungkin sebab makalahnya belum rampung dibuatnya, ditambah
para pengunjung belum baca, jadi pertanyaan serta pernyataannya, seolah saya sedang
memberedeli pamor keseluruhan tradisi susastra di Indonesia atas giringan bola
Sihar, makanya saya katakan, “Saya hanya membelejeti
hal-hal yang keterlaluan saja,…” sebab di antara berjejernya realitas, pun
betebaran bumbu-bumbu sedap malam yang bisa menimbulkan tingkah tergelincir
sekaligus sanggup menggelincirkan pembaca.
Adalah ada selayang lubang-lubang di buku itu seakan
menanti tanggapan para penyimak guna menuliskan lebih, lantaran penglihatannya
dirasai ngambang, atau sebelumnya saya sangat berharap Sihar membuat benturan
kuat antar teks, sehingga diskusinya mencapai ujung-pangkal temuan yang
diharapkan, namun sayangnya itu tidak terjadi. Oleh karenanya dengan tegas saya
katakan, demi sampai pada titik kejelasan, “esainya
Ignas Kleden itu sekadar jalan, sketsa, jalur rel kereta api yang nantinya
menjalar menerus…” dan yang jelas saya sangat berterimakasih atas masukan
Sunu Wasono, tanggapan Maman S. Mahayana, Remi Novaris, pandangan Eka Budianta,
tidak lupa kritikan membangun dari Siwi Dwi Saputro dan Iskandar Noe atas
tulisannya, semuanya ditampung lantaran segala di alam dunia ini tidak lebih
ladang belajar, selaras agama mengajarkannya. Bisa jadi, reaksi saya berdiri
sambil melihat keseluruhan hadirin, dikarena pengantar Eka serta perkataan
Sihar, ditambah mimik mereka yang melihatnya seperti memojokkan buku saya
seolah hasil dari mengada kedatangannya, maka bacalah, dan padahal sudah saya tebarkan
di fb, blog, website, sebagaimana saya memantau tulisan-tulisan mereka yang beredar
di koran-koran, website dan buku-buku, atau memang watak insan kerap lalai
sekaligus melenakan, hingga tidak mengira tenaga alam yang melimpah kerap tidak
disadarinya, atau sikap meremehkan sering memperdaya sampai palingling melihat realitas, serupa
kelembutan bulir-bulir air hujan selalu mendatangkan bahaya banjir besar di
Ibukota.
Barangkali, bukan sejenis batu-batu kali atau kerikil di
dasar sungai, ketika saya berkata-kata dengan suara meninggi, “Hantam saja buku ini, bongkar buku ini, hancurkan buku ini, bakar habis buku ini, atau kritik sampai
tuntas,…” biar bayang-bayang gelapnya awan menghitam di udaranya lekas
sirna menuju tepi-tepi cakrawala ke dada, agar tidak menjelma hantu dalam kekisaran
kepala, tetapi rasanya saya selalu tetap menjelma momok rindu, selantunan kata
almarhum guru saya, KRT. Suryanto Sastroatmodjo, “Beri aku sepantun hening, Wahai semua yang jauh.” Dan pastikan,
saya tidak akan melupakan kawan-kawan di Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias;
Gengsi Sutjahjo, Arie Yani, Tantri, &st, tidak lupa Tengsoe Tjahjono yang
memperkenalkan MMKI sampai di kedalaman jantung kota Jakarta, meski tak sempat
hadir di tengah-tengahnya seturut menyaksikannya. Lalu mengenai laku “Kun
Fayakun” di sebalik buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia,” Insyaallah ditulis dilain waktu, “Kun
Fayakun” senada lempengan kesaksian Siwi, “Istilah
ini mengingatkan saya pada salah satu ayat Kitab Suci yaitu Kitab Kejadian 1:3
yang menyebutkan Berfirmanlah Allah: “Jadilah terang.” Lalu terang itu jadi.”
(vi) Maka, ketika masih ada menganggap “Kun” bermakna “Jadi,” mengira MMKI
ngawur, tulis saja tanggapannya, sebab obrolan sebentar-sebentar menguap ke
udara, tersapu angin jalanan membentuk gosip buatan lekas sirna, maka bukalah
kembali kitab saudara, beritahu manusia dari desa ini, seorang yang tak terpelajar
di bangku-bangku kuliah, agar mendapatkan hardikan sepadan imbang dari masa ke
masa.
Teringatlah keberangkatan menuju PDS H.B. Jassin sedari
rumah menuju stasiun Babat diantarkan adik Arif Setiawan, tentu selepas sungkem
kepada kedua orang tua, dan dalam perjalanan mengingat beberapa tahun lamanya,
mungkin telah menempuh waktu sepuluh tahun tidak ke Jakarta, lalu rasanya akan
sering ke Ibukota, ini sekadar membaca kebiasaan alam yang pernah terlaksana.
Sebab keadaan di stasiun masihlah sepi, kami ngopi dulu di warung emperan jalan
raya menuju Jombang, tepatnya di depan toko yang malamnya pada ditutup, lalu ke
stasiun sambil melihat waktu menunjukkan jam keberangkatan masih lama juga,
sampai diri ini diseret oleh lamuan panjang teringat buku-buku pernah singgah;
Sam Ratulangi, Soekarno, Hatta, H.B. Jassin, tak lupa ‘si binatang jalan’
Chairil, dan kata-kata atas lelembaran makna berkisaran sejarah mendekam purba
di tubuh ini, telah lama membuyar serasa datang kembali dengan paras ayu rupawan
menyambangi saya yang tengah duduk menanti kedatangan kereta. Kota Babat saya
pilih permulaannya, karena riwayatnya lebih tua dari Kota Lamongan, pun kata
Babat mengingatkan kitab-kitab lama semisal Babad Singosari, Babad Kediri,
Babad Diponegoro (meski ini lain), pula istilah Babat Alas, hal itu memasukkan ke
alam bawah sadar, hingga ketika di depan hadirin, saya sering melontarkan kata-kata
Babat, tentunya bukan Soto Babat, bro!
***
Saya berangkat Jam 22.06 WIB, 6 April 2018 dihari Jum’at
malam Sabtu, sampai stasiun Pasar Senin Jam 10.40 pagi, terus meluncur ke jalan
Cikini Raya No: 73 Taman Ismail Marzuki, menemui Siwi, Endang, dan entah berapa
lama hampir sebungkus rokok habis, datanglah Arie Yani, disusul Tantri, tatkala
namanya disebut, ini mengingatkan saya pada penulis novel sejarah “Revolusi di
Nusa Damai” K’tut Tantri, perempuan asal Skotlandia yang keranjingan bela tanah
air tumpah darah kita bersama Bung Tomo, Soekarno, hingga menembus pengakuan
Kemerdekaan RI ke jantung negeri Paman Sam, lalu dilanjutkan Agus Sulton asal
Jombang mampir sedari kampus UI, dan kami ngobrol bersama lagi, sampai waktu
menunjukkan agar AS segera balik ke tanah Kota Santri, demi menyesuaikan tiket
jadwal penerbangan ke Kota Pahlawan, tak lupa berpamitan, sebab tidak bisa
mengikuti acara dihari lusanya, sorenya kami berputar-putar sekitar PDS mencari
inapan, mungkin sebab malam minggu, banyaklah kamar pada penuh, dan sampailah
di tempat yang teduh. Lantaran cukuplah lelah saya nyenyak istirah, ketika Jam
03:46 WIB terjaga, ditanggal 8 April 2018 pagi mendapatkan inbox sedari
Iskandar Noe berupa resensi buku, rasanya ini menyambut acara bedah buku MMKI,
dan siang harinya saya menuliskan tanggapan, ah, kalimat panjang ini
mengingatkan seorang yang menyarankan agar tidak digunakan, demi mudah dimengerti,
namun pikiran ini terus membantah, ‘Lawong
kata-kata dalam puisi yang tiada juntrungnya entah dari bahasa jin atau demit,
di hadapan para kritikus banyak yang memahaminya. Hingga detik-detik masa ke
tempat acara, belumlah kelar merampungkan, yang sengaja saya masukkan dalam
catatan menjawab tulisan Siwi sebelumnya, maka terpaksa berangkat sambil meninggalkan
tanda, lalu di parkiran PDS berjumpa pertama kali dengan Gengsi Sutjahjo,
melihat Sihar dan Sofyan lewat, tidak lama kami menyusul lalu bersalaman, Sihar
ternyata lupa karena potongan rambut saya cepak, Sofyan tak mengira di
hadapannya ialah Nurel, dan sambil merokok kami berbagi cerita, tidak lama
kemudian masuklah ke ruangan no smoking, no seks, no drugs (tertawa).
Saat mencatatkan ini, terdengarlah kabar dari kritikus
Maman S. Mahayan, bahwa Danarto telah berpulang menghadap kepada-Nya; Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Tidak begitu lama, MSM duduk menghadap laptop menuliskan kenangan atas
kepergian “Makhluk Tawaduk Danarto” (Judul tulisannya), dan serampungnya
ditulis, saya diminta membacakan untuk disimaknya, oleh sebab kondisi badannya lelah,
karena semalamnya juga menulis, ini mengingatkan kepada almarhum Kiai saya, K.H.
Aziz Masyhuri, yang sempat meminta merevisi bahan-bahan bukunya yang hendak
cetak ulang, “Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf,” Pengantar: Habib
Muhammad Lutfie bin Ali bin Yahya, Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj MA., serta
Martin van Bruinessen. Lalu saya melanjutkan pelacakan ke beberapa foto acara di
PDS, menyusuri beberapa fb kawan sembari memostingnya di blog, lantas lapar pun
mengajak makan, tentu masih di kediaman MSM, diteruskan membersihan piring, ini
pula mengingatkan kepada kyai saya, sewaktu menuntun beliau ke tempat seminar di
Universitas Muhammadiyah Malang, atau hal itu sejenis lelaku mencari berkah
meskipun tanpa diperintah, karena keduanya saya anggap guru, walau berbeda
pemikiran, berseberangan paham, berlainan pandangan, misalkan. Kini masuki
paragraf tujuh, maka cukuplah, yang menurut hitungan Jawa ini bermakna
Pitulungan (Pertolongan), dan seirama waktu semoga almarhum penulis kumpulan
cerita pendek “Godlob,” mendapatkan pertolongan-Nya, memperoleh ampunan
sekaligus menerima pahala yang terindah, ganjaran selayaknya kaum berilmu
semestinya, maka hambur-hamburkanlah surah pembuka, al fatihah kepadanya...
***
Sepertinya catatan ini minta diteruskan, saya balik ke
Lamongan sedari rumahnya MSM sekitar Jam 9 pagi, jalan bersama terlebih dulu ke
Bogor sekadar di stasiun untuk memudahkan tidak naik ojek atau tidak turun lagi
nantinya kala balik ke stasiun Senin, namun nyata kereta dari Kota Hujan tidak
berhenti di Pasar Senin, tetapi pada stasiun sebelum serta sesudahnya, sedang
saya pilih melampaui stasiun bernama Hari itu terlebih dulu, lalu ke asal
tujuan Pasar Senin. Dalam perjalanan pun saya tak jenak duduk lama-lama,
apalagi melihat seorang ibu yang berdiri di samping, makanya mempersilahkan
duduk di kursi yang saya tempati, meski jaraknya berkisar dua jam. Oya, di stasiun
Bogor berjumpa kembali dengan Sofyan, sepertinya tengah ada kegiatan bersama
kritikus, lantas berpisahlah saya dengan keduanya, kala kereta ke Senin sudah
datang. Dan titik lawatan kata-kata ini saya utarakan kepadanya berucap, “Semua
yang terlewat akan saya catat bagi bahan pelajaran,” MSM menimpali dengan
ungkapan “Waduh, nama saya akan masuk dalam buku yang buruk.” Maka sebelum
berlanjut, mohon maaf sungguh karena suara-suara untuk menuliskan ini seolah tidak
terbendung, sekaligus menyesal sangat di atas kecerobohan saya, sehingga sang
kritikus harus menginstal ulang laptopnya, dan sampai kini mungkin selamanya,
menyesalkan lelangkah meminjam barang-barang orang lain meski seizin
pemiliknya.
Terus terang saya sadar betul tulisan pengelana ini dalam
tahap proses, seibarat burung masih belajar mengepakkan sayap-sayapnya, serta
belum tahu cara mengapung di udara bebas pun tak paham sebaik-baiknya
memanfaatkan tekanan angin padat suhu udara di ketinggian, semisal bentuk kecurigaan
mereka terhadap penelusuran di buku MMKI yang diragukan kebenarannya, di sini
pun saya mengalami keraguan hebat pada beberapa cara yang sudah menjadi bahan
pelajaran di sekolah, seperti kecurigaan atas pembaca yang jarang mendapati
titik-titik hening selarik-larik alam pedesaan tanpa kepentingan lain tiada
hasrat lebih, namun larut mengutarakan paham kebeningan itu sendiri. Atau
bagaimana lekas-lekas menganggap jelek pun keliru, kalaulah belum mendialogkan
badan kata-kata seimbang di meja bedah misalnya, di sini seyogyanya saling
menyadari bahwa kata-kata terbangun sekaligus membangun dunia sunyinya
sendiri-sendiri, dan ‘rayuannya’ ada yang memakai dalil (teori) dari pelbagai
pelajari yang pernah dikenyam pula lewat cara lain, dan atau makna keberhasilan
menimbulkan nilai bagi masing-masing karya, semisal saya tak bisa jenak di
tengah keramaian berdesak-desakan kepentingan. Adalah sosok buku tidak lebih
ladang kesunyian, sampai sebagian orangnya mengira sudah bertuah lalu berhasrat
menempati ruangan mitos atau mereka telah mengolah tujuannya, dan saya tak
lebih mengikuti air mengalir, kadang hanyut memusar pun naik-turun mengiyakan
tekstur takdir atas jalan yang dilalui.
Secara jelas, ada yang melewati jalur ‘rayuan’ metodologi
pun jangan salah ada memanfaatkan teknik bercerita, saya jadi teringat ungkapan
Junaid al Baghdadi yang disampaikan oleh Awalludin GD Mualif, bahwa “cerita
adalah tentara Allah.” Dan kalaulah muncul (membedah) lewat beberapa gaya,
bisalah sedikit-sedikit saya belajar darinya. Balik pada perjalanan pulang kampong
ke desa; secara ‘kebetulan,’ meski teori ini sudah kerap terpatahkan di
beberapa tempat. Saya menaiki kereta api kelas ekonomi Kertajaya dari Pasar
Senen ke Kota Lamongan, kode bookingnya UYSV57, gerbong nomor 8 di kursi 8C,
jam keberangkatannya 14.00 WIB. Di beberapa pemberhentikan, saya dan beberapa
orang keluar demi memanfaatkan betul masa singkat menghisap rokok ke luar
gerbong, sebelum di stasiun Cirebon, saya melihat Sihar keluar untuk menikmati
rokok; meski kerap tak sampai sebatang, kereta mulai berangkat, ini serupa seni
berkejaran dengan waktu, SRS tidak mengira serasa saya pun tak menyangka
berjumpa kembali sebegitu cepat, katanya ia hendak ke Surabaya atas tuntutan
pekerjaan demi membiayai atau rampungnya gelar S2. Dan bisa dipastikan, setiap
berhenti di stasiun saling menyapa, bercerita ulang bedah buku kemarin serta
soal lain. Mungkin di benak pembaca menganggap lagu tulisan ini tiada nilainya,
tapi cobalah terka, kalau melampuai usia beberapa tahun, tentu bisa dipahami
dengan kadar berbeda, bagi yang pernah merasakan peristiwa kehilangan. Sewaktu
saya hendak turun di stasiun Lamongan, mencari-cari SRS ke beberapa gerbong tidak
ketemu, yang sebelumnya dalam gerbong 9, (“Jangan-jangan hendak membuat mitos,”
ini teringat perkataan Sofyan kepada Remi Novaris, sewaktu tak sengaja bertemu
kembali dalam kereta api menuju Bojonggede selepas acara bedah buku MMKI), semoga
Sihar tidak menghindari pertemuan terakhir itu, lantas batin ini tertawa ngakak.
Perlu pembaca ketahui, kepulangan saya tidak lagi
bersendal jepil, tapi sudah bersepatu plus kaos kaki baru atas pemberian
kritikus MSM, Alhamdulillah bisa
dipakai untuk bedah buku tanggal 3 Mei 2018 nanti di kampus UI, dan karena saya
biasa membaca tanda, meski tanda-tandanya ada yang tak berkenan menyapa
(membaca), diri ini memaknai pemberian tersebut seakan-akan menghadiahi
lelangkah saya berikutnya memasuki kampus-kampus lainnya di Indonesia, atau
tengah mewariskan tapak-tapak kritikus tanpa disadarinya, walaupun di hadapan
MSM peristiwa itu tampak profan semata. Menyoal sendal jepit, memang kerap jadi
perhatian publik di bawah kaki saya, tidak hanya di PDS H.B. Jassin, sewaktu
mengikuti ujian terbukanya doktor Sutejo di Universitas Negeri Surabaya pun
terjadi dan tempat lain. Ini tidaklah fatal dibandingkan saya menghadap para
kyai sepuh NU dengan tidak memakai songkok, bercelana jeans berkaos lengan
pendek, mungkin saat-saat itu kesopanan, ketawadhuan terhadap bentuk lahirian,
diri tempatkan dalam hati, dan untung tidak bercelana pendek seperti kebiasaan
almarhum Bob Sadino, coba bayangkan. Dan sebab mencapai paragraf sebelas di bagian
ini sudahlah, seturut angka Jawa bermakna ‘Sakwelase : Menanti datangnya kasih
sayang.’ Bagi yang penasaran kodebooking keberangkatan saya menaiki kereta kelas
ekonomi dari stasiun Babat inilah: WPNZXS, pada gerbong ke 2, tempat duduknya
di kursi 9C. Lagi-lagi masih C, mungkin MMKI senilai C di hadapan mereka yang
belum menerbitkan buku secara utuh, meski ada lanturan panjang, setidaknya
bukan dari kumpulan esai-esai terpilih yang terpisah lantas sengaja
disatukannya, salam dari saya: 86, Wassalam…
5 Maret 2018 LA
Bojong Gede, Paseban, Depok
– Pilang, Laren, Lamongan, 14 April 2018.
_________________________________
(i) Pengelana yang kebetulan suka baca…
(ii) Jejak ini terekam di bukunya Maman S. Mahayana
“Bermain dengan Cerpen, Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia” (Gramedia, Juni
2006), pada catatan kaki di h. 56; “Sebuah fenomena menarik… Hak Cipta
dilindungi Akal Budhi, ISBN: Insyaallah diridhoi allah SuBhaNahuwata’ala,…”
(iii) Baca esainya Sutejo, “Berkaca Menulis dari Nurel”
dalam bukunya “Inspiring Writer” (SSC dan Pustaka Felicha, 2010).
(iv) Pengantar bukunya “L’Envers et l’Endroit” 1935-1936,
diterbitan awal 1937 pada usianya yang ke 22 tahun, pengakuannya itu merujuk
pada tahun 1935. Kalimat tersebut terdapat dalam terbitan ulangnya tahun 1958,
dalam usianya yang ke 45, atau dua tahun sebelum dia mangkat.
(v) (3 Oktober 2000, Kadipaten Kulon 49C Yogya) dari
antologi puisi “Balada-balada Takdir Terlalu Dini” (Cetakan I, FKKH Yogyakarta,
Mei 2001, Cetakan II, Lintang Sastra dan PuJa, Januari 2006).
(vi) “Membaca Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia:
Membaca Subyektivitas (Nurel) atas Subyektivitas (Ignas Kleden dan Sutardji
Calzoum Bachri),” 31.3.2018, 2 April 2018 sastra-indonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar