Senin, 07 Oktober 2019

Menimbang Nurel yang Menimbang Sutardji Calzoum Bachri

Dwi Pranoto *

Pertama-tama, tentu, tumbuh campuran perasaan gentar dan antusias saat berhadapan dengan Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra; Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia (MMKI); Buku Pertama: Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia, karya Nurel Javissyarqi. Bagaimana tak tumbuh adukan perasaan gentar dan antusias, MMKI punya ketebalan xii + 570 halaman. Sangat tebal! Setidaknya bagi saya. Ketebalan buku yang luar biasa itu ditambah lagi dengan judul yang sangat panjang; 5 kata untuk judul “atas” atau “pengantar” + 4 kata untuk judul “tengah” atau “utama” + 8 kata untuk judul “bawah” atau “penutup”, total 17 kata untuk judul. Bukan saja panjangnya, judul itu, seperti juga diterangkan dalam 11 saf kata-kata – terdiri dari 3 kalimat – di bawah judul, punya pretensi heroik. Ketebalan dan judul buku itu baru kesan pada pandangan pertama, nah, begitu saya membaca paragraf pembuka yang tercetak miring pada Bagian I, saya disergap oleh struktur kalimat dan pilihan diksi yang yang tak biasa. Saya juga terperangah oleh argumentasi yang disusun secara analogis (justifikasi metaforal) yang memparalelkan norma pernikahan dengan etika kritik. Lalu, semakin saya memasuki halaman-halaman berikutnya dengan tertatih dan sempoyongan, saya seperti dilemparkan ke dalam tumpukan sekam yang tebal untuk mencari sebuah jarum. Menyasar Sutardji Calzoum Bachri melalui esai pidato Ignas Kleden, MMKI disesaki argumentasi-argumentasi analogistis yang membentuk bingkai-bingkai pemapaparan yang bersifat paralel dari pemikiran para cerdik pandai dari Nusantara, Eropa, Asia, dan Timur Tengah – baik masa klasik, modern, pun post-modern.

Nurel menilai SCB gagal sebagai sastrawan, sementara para kritikus sastra tidak ada yang menilaianya sebagai kegagalan. Para kritikus justru menilai SCB, puisi-puisi SCB, sebagai suatu pencapaian estetik yang tinggi. Lantas, atas dasar apa Nurel menilai SCB gagal sebagai sastrawan? Kegagalan SCB bagi Nurel tidak berasal dari tak mewujudnya atau tak terlaksananya janji-janji puitik, yang dimaklumatkan dalam konsepsi-konsepsi puitik SCB, seperti dalam Kredo Puisi – yang dianggap Ignas sebagai rencana kerja seorang penyair – dan esai-esai SCB yang terkait, di dalam puisi-puisi SCB. Nurel juga tak mengukur kegagalan SCB sebagai sastrawan dengan memeriksa puisi-puisi SCB melalui ukuran-ukuran artistik tertentu. Namun, Nurel menilai kegagalan SCB sebagai sastrawan melalui konsep bahasa atau kata-kata sebagai representasi. Dalam ulasan-ulasannya, Nurel selanjutnya mengadili SCB secara etik daripada mengadilinya secara estetik; seperti misalnya menganggap SCB sembrono atau serampangan menafsir dan menggunakan istilah “Kun Fayakun” yang ilahiah untuk melandasi pandangan puitiknya.

Hal pertama yang segera tampak dari penilaian bahwa SCB gagal sebagai sastrawan adalah alat ukur yang tak sesuai dan menjadi problem yang tak terselesaikan – karena telah sejak mula telah selesai dalam dirinya sendiri –. Nurel menggunakan konsep bahasa atau kata-kata sebagai representasi untuk mengevaluasi kerja kesusastraan SCB. Bagaimana mungkin Nurel akan menghasilkan penilaian yang sebaliknya: berhasil, bila ia menggunakan alat ukur yang secara gamblang ditolak oleh SCB sebagai konsep yang melandasi kerja puitiknya? Ini seperti hendak menjahit baju bayi dengan menggunakan ukuran baju orang dewasa atau sebaliknya. Ini seharusnya sudah selesai di sini; Nurel tidak membuktikan apa-apa, tidak membongkar apa-apa. Namun, baiklah, kita akan memeriksa landasan pengukuran Nurel: bahasa/kata-kata sebagai representasi.

Kita akan kesulitan untuk menemukan definisi yang jelas berkait bahasa/kata-kata sebagai representasi di MMKI. Namun demikian kita dapat berupaya memahaminya dari pernyataan-pernyataan Nurel dalam MMKI:

“Dalam beberapa hal, memang bahasa pun kata-kata itu ‘bebas’ dipergunakan demi satu nilai tertentu tafsirannya di bidang masing-masing, kalau berpatokan dasar standarisasi karya atas bentuknya. Tapi usaha ini menerobos inti dari partikel terkecil untuk mengetahui sejauh mana kata-kata sebagai wakil suara terdalam atas sikap, watak penulisnya di dalam menentukan nilai yang disuguhkan, demi menjawab perihal apa saja kemungkinan di balik yang terucap , terkatakan (teks)”. – MMKI hal. 10.

“Pena yang terlihat bengkok sebagaimana teks yang hadir melambung, mengendap pun jatuh tergantung daya penulisnya menyatakan kenyataan . . .”. – MMKI hal. 27.

“Saya kira lebih tepatnya bahwa penyair menggunakan kata-kata dalam kerja kepenyairannya. Mereka meraciknya tidak saja indah juga menyembulkan makna di kedalaman syair-syairnya dan bukan sosok penguasa kata-kata”. – MMKI hal. 50.

“Kata (sebutan, titel, namanya) beserta bendanya; apakah pisau, kursi, batu, tidak berpengertian, jika tidak punya kenangan pada benda itu bersama namanya”. – MMKI hal. 57.

Apa yang konsisten terus ada dalam empat kutipan yang menyatakan teks/kata-kata/bahasa mempunyai makna, dengan demikian representasional, adalah kehadiran subyek pembicara: penulisnya dalam kutipan pertama, penulisnya dalam kutipan kedua, dan mereka (para penyair) dalam kutipan ketiga. Dalam kutipan keempat subyek terkandung dalam kenangan, kenangan tidak mungkin menjadi yang dikenang tanpa subyek yang mengenang, yakni subyek empunya kenangan. Pada konteks bahasa sebagai representasi, yang mempunyai makna atau medium bagi makna, kehadiran subyek pembicara menjadi penting untuk menjamin kehadiran makna. Subyek pembicara itu disebut Logos, pusat dari teks. Jika Logos terguling dari pusatnya, teks kehilangan jangkar untuk pemaknaannya. Dalam tulisan (sebenarnya, menurut Derrida, ini juga mencakup lisan), subyek atau Logos tidak hadir secara fisik, tapi ia residu kehadiran subyek dalam komunikasi lisan yang mengendap dalam tulisan. Logos bisa dikatakan sebentuk kenangan atau hantu yang mempunyai fungsi menjamin kehadiran makna. Agar lebih mudah kita ambil saja contoh perkataan Tuhan “Kun Fayakun”, pada saat ini Tuhan tidak lagi berkata atau menulis “Kun Fayakun”, tapi saya yang menuliskannya. Saya bukan Tuhan, ucapan “Kun Fayakun” hanya mungkin dimaknai sebagai perintah penciptaan dunia bila Tuhan dianggap tetap semayam dalam ucapan/tulisan saya itu.

Lantas, apa maksudnya Nurel memanggil Derrida yang menggulingkan Logos dari pusat teks untuk proyek representasinya? Di sini, saya kira, Nurel memanggil Derrida untuk mengadili SCB secara etik. “ . . . tetapi tepat bagi Derrida dalam membongkar Marx lewat ini (apa yang Nurel sebut sebagai pembalikan ‘Kun Fayakun’ dalam drama Hamlet), yang condong tidak mempercayai tuhan, atau imajinasi mengenai tuhan adalah bikinan manusia. . . . Dan ketidakmasuk-akalan Sutardji dikarena juga tidak ilahiah, . . .”. Bagaimanapun, kita dapat membayangan dua pasang penjajaran simetris yang saling berhadapan: Derrida dan Nurel berhadapan dengan Marx dan Sutardji; Derrida membongkar Marx, Nurel membongkar Sutardji. Terus terang, saya kesulitan memahami apa yang Nurel pahami dari pemikiran Derrida, khususnya Specters of Marx yang ia sebut dan kutip bagiannya. Namun dari kutipan perihal pembongkaran Marx yang ‘kafir’ oleh Derrida di atas, saya menduga pemikiran Derrida dianggap merepresentasikan spirit ketuhanan oleh Nurel. Dalam Specters of Marx, Derrida berbicara tentang hantu-hantu Marx, menyingkap elemen metafisik karya-karya Marx. Spectres of Marx barangkali semirip S/Z, pembacaan novel Sarrasine karya Balzac oleh Roland Barthes. Sebagaimana S/Z yang menolak status novel realistis yang dilekatkan pada Sarrasine dengan menyingkapkan kekaburan-kekaburan dan misteri untuk membuyarkan kesatuan penggambaran yang utuh, begitu juga dengan Specters of Marx yang menolak status rasional-empiris yang dilekatkan pada karya-karya Marx dengan menyingkapkan elemen-elemen metafisik di dalamnya. Sebagai misal, Derrida menyingkapkan elemen metafisik karya Marx dengan mengutip benda/komoditas yang berbicara dalam Capital, Vol.I, “Bila komoditas-komoditas dapat berbicara, mereka akan mengatakan begini: ‘Nilai-guna kita bisa jadi menarik bagi manusia, tapi itu bukan kepunyaan kita sebagai obyek. Apa yang menjadi milik kita sebagai obyek, bagaimanapun, adalah nilai kita.  Persetubuhan antara kami sendiri sebagai komoditas membuktikannya. Kami saling berhubungan sebagai nilai-tukar”’. (Specters of Marx, hal 197). Secara ringkas Derrida menyatakan melalui kutipan itu bahwa apa yang berlaku dalam perdagangan (interaksi komunikatif) adalah nilai-tukar. Komoditas saling tukar ucapan “Aku komoditas yang berbicara”. Tapi, kita tak akan membahas lebih lanjut tentang ‘karakter metafisik’ dari komoditas yang merupakan hantu dari ruang dan waktu kerja yang semayam dalam benda.

Baiklah, sekarang kita membahas gagasan representasi sebagai mimesis. Nurel membandingkan ‘alibi’ SCB (“Puisi adalah alibi kata-kata”) dengan mimesis. Pada halaman 42 Nurel menulis, “Alibi, bukan sosok gagasan atau bayangannya pun bukan anak kembaran, tapi duplikat, palsu, plagiat”. Lalu pada halaman 43 Nurel menulis, “Saya cari padanan sesuai untuk mengetahui seluk-beluk maksud SCB yang dilontarkan Dr. Ignas Kleden lewat menyusuri jejekan lama. Setelah menampilkan kata “imitasi” melalui rerongga lain, guna membuka kemungkinan penghampiran kata duplikat, palsu, plastik”. Terus terang, saya sulit mengerti kenapa Nurel membandingkan kata ‘alibi’ dengan ‘mimesis’. Ada jurang lebar yang membentang antara ‘alibi’ ( tempat lain) dan ‘mimesis’ (imitasi, tiruan, representasi). Kita abaikan saja jurang itu, kita akan menggunakan jembatan yang sudah disediakan Nurel yang menyatakan alibi adalah duplikat. Namun kita tak akan menggunakan jembatan yang sudah dibangun Nurel untuk menghubungkan ‘alibi’ dengan ‘mimesis’. Kita menggunakan jembatan itu untuk memahami untuk apa Nurel membangun jembatan yang menghubungkan ‘alibi’ dengan ‘mimesis’. Saya kira Nurel menjembatani ‘alibi’ dengan ‘mimesis’ itu guna menghubungkan antara SCB dengan Plato dan Aristoteles. Melalui terhubungnya Plato dengan SCB, Nurel dapat mengadili SCB secara etik. Mari kita baca tulisan Nurel pada halaman 44 – 45, “Umpama bercermin pada terbunuhnya Socrates yang menenggak racun abadi, serta dihadapkan pada paham Plato dalam kitabnya Republic . . . Lalu berbalik pada suguhan tahapan mimesis Aristoteles, maka terlihat SCB ingin lepas (melepas) dari kebenaran Socrates. Atau tidak menenggak racun kebajikan, tapi dengan membuat alibi sebagai dasar kepenyairannya, sebentuk melarikan diri dalam berpuisi (berproses kreatif)”. SCB distigma ‘tidak menenggak racun kebajikan’ dan ‘melarikan diri’, atau ‘tidak bertanggungjawab’ (baca halaman 44, paragaraf 1) karena alibi dalam “puisi adalah alibi kata-kata” bertentangan dengan mimesis, dengan kata lain anti-representatif.

Masalahnya adalah apakah Plato (Aristoteles nggak ikut-ikutan) mengutuk para penyair karena mereka dianggap Plato sebagai anti-representatif atau tidak melandaskan kerja artistiknya pada mimesis? Sebaliknya, Plato mengutuk dan mengusir para penyair dari proyek negaranya karena para penyair melandaskan kerja artistiknya pada mimesis.”Maka haruskah kita tak menyimpulkan individu-individu puitis tersebut, semulai dengan Homer, adalah belaka para peniru; mereka menyalin citraan kebajikan dan sejenisnya, tapi kebenaran tak pernah mereka raih? Penyair seperti pelukis yang, sebagaimana kita telah amati, akan menyerupa seorang tukang sepatu meski ia tak tahu apapun tentang memperbaiki sepatu . . .” (Republic; Book X).  Plato memang memilah dua produk imitasi atau tiruan; mimesis yang didasarkan pada pengetahuan yang meniru suatu model dengan tepat dan yang didasarkan pada simulakra artistik yang meniru kenampakan belaka. Lebih mudahnya, pemilahan ini seperti memilah penyair dan tukang sepatu berdasarkan hasil akhirnya atau kegunaannya; penyair menghasilkan deskripsi sepatu sedangkan tukang sepatu menghasilkan sepatu. Jadi tidak ada urusan dengan ‘alibi’.

“Pengusiran platonik terhadap penyair didasarkan pada ketakmungkinan melakukan dua hal sekaligus yang didasarkan pada isi immoral fabel. Masalah fiksi yang utama adalah masalah yang berkaitan dengan distribusi ruang. Dari sudut pandang platonik, panggung, yang secara simultan adalah lokus kegiatan publik dan ruang-pamer untuk ‘fantasi-fantasi’, mengganggu sekat tegas identitas-identitas, kegiatan-kegiatan, dan ruang-ruang. Sama halnya dengan tulisan. Dengan menyelinap keluyuran tanpa mengetahui siapa yang yang berbicara dan siapa yang tak berbicara, menulis menghancurkan setiap pondasi legitimasi untuk sirkulasi kata-kata, untuk hubungan antara efek-efek bahasa dan tubuh-tubuh di ruang umum”. (Distribution of the Sensible; hal. 13,  Jacques Ranciere).

Penyair dalam negara platonik bukanlah jenis okupasi, penyair tidak memiliki ruang dan waktu tertentu berdasarkan cara melakukan dan membuat dalam praktik artistik. Penyair bukan sebagaimana pengrajin atau tukang yang karena jenis okupasinya tidak bertanggungjawab terhadap elemen-elemen umum dari komunitas karena tidak punya waktu untuk membaktikan dirinya untuk hal lain selain kerja dan tidak dapat berada di ruang lain sebab kerja tidak dapat menunggu. Dengan demikian pengusiran penyair adalah masalah struktur sosial yang di dalamnya peran dan fungsi tiap individu serta hubungan antar individu ditentukan secara politis.

Sampai sejauh ini kita bisa mengetahui, Nurel bukan saja keliru memilih ukuran untuk mengevaluasi SCB, Nurel bahkan tak memahami ukuran yang digunakannya itu. Tentu saja, dalam buku setebal xii + 570 halaman itu ada beberapa kasus di mana evaluasi terhadap SCB, sebagai misal, berkait dengan gugatan terhadap ketidakkonsistenan SCB untuk memegang prinsip artistik yang dinyatakan dalam Kredo Puisinya. Namun kasus semacam itu dalam tulisan ini kita sisihkan, bukan tidak penting, semata-mata karena ketersediaan waktu dan kesanggupan tubuh yang terbatas.

Bila Derrida menutup bahasan tentang ideologi dalam Specters of Marx dengan mengutip ucapan Marcellus kepada Horatio pada malam penampakan hantu semirip raja yang sudah mati dalam drama Hamlet: “Kau seorang sarjana; bicaralah padanya, Horatio”. Saya menutup tulisan ini juga dengan mengutip dari drama Hamlet, dialog Polonius dan Hamlet.

Polonius:
Apa yang Anda baca, Tuanku?

Hamlet:
Kata-kata, kata-kata, kata-kata
*****
*) Dwi Pranoto, sastrawan dan penerjemah. Tinggal di Jember, Jawa Timur. 

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi