Semesta Karatsu
1/
Tak ada kilat atau tanda api
Kecuali hangus pasir
Atau cemas yang lingsir
Saat kutatap prana berayun di dinding
Cawan itu, sebelum percik dingin
Bermain dalam mataku, menduga-duga
Taksa pada rumpun bambu
Atau padang yang jauh, tentu,
Kau tahu, waktu bisa setipis embun
Atau haru yang rimbun, tetapi kita
Tak mampu menolaknya, semesta hadir
Bahkan dalam sebulir pasir, dan semua
Akan berakhir tepat ketika kita membuka mata
2/
Penafsir Tua, dulu kau pernah berkata
Dunia adalah mimpi di kala jaga, dan kami
Hanyalah bagian dari mimpi lainnya
Namun di sini, kami percaya, dunia tak lain fakta
Atau semacam permainan tanda, atau sekadar
Temaram cahaya, jadi siapa sebenarnya
Kami ini, Penafsir Tua? Apa sebenarnya mimpi ini?
3/
Sayang, apa benar kita masih terjaga?
4/
Misalnya cawan ini adalah mimpimu
Misalnya cawan ini adalah hatimu
Siapa yang akan diam-diam menyentuhmu?
Kami akan pergi malam ini, dan kau akan
Kembali ke lubuk mimpimu, gemetar
Menatap serbuk matcha di dasar cawan itu
Misalnya puisi ini tak lain cawanmu
Misalnya puisi ini tak lain hatimu
Siapa yang akan diam-diam menafsirmu?
5/
Sekarang kita tak perlu lagi bermain jigsaw
Atau menduga siklus cemas itu lahir dari
Jejak lampau, meski di bawah kilau parafin
Maut bisa tiba-tiba hadir dan menyentuh
Sepasang ruas bambu pada dinding cawan itu
Hingga kita mendadak yakin di luar sisa haru
Tinggal kirab angin, atau mungkin takdir
Yang lain, tepat saat murai kuning itu hinggap
Di ranting kaliandra, sebelum kita tertawa
Dan mendadak terjaga dalam mimpi lainnya
Pintu
Ada
satu
pintu,
bila dibuka, diriku
akan ikut terbuka.
Ada
satu
pintu,
bila ditutup, diriku
akan tetap terbuka.
Ada
satu
pintu
dalam diriku.
Jalan Lain Musashi
1
Berkerut kening Daruma
Menatap sepasang angsa
Termenung di sisi telaga
2
Patung dewa pedang
Memandang angkasa –
Tersenyum pada musuhnya
3
Buddha tertawa
Menatap pralaya
Dua ayam jantan
4
Burung pingai tertancap pedang
– Sebuah lukisan tinta, tertanda
Fudo Myo-o (dewa pedang) –
5
Ia letakkan pedangnya
Ia raih kertas, kuas, dan tinta –
Pelikan menatap angkasa
Kecambah
Kau
telah tumbuh
di lembah tertinggi,
kau telah luruh
ke puncak terdalam,
kecambah! kecambah!
tumbuhlah, tumbuhlah,
biarkan daunmu
menyentuh tungku matahari,
biarkan kau terbakar,
biarkan kau tinggal abu,
dan dari abumu
tumbuh kembali
kecambah baru,
biarkan
kini
akarmu
menjulur menggali
tanah gembur waktu
l
a
l
u
dari tangkai mungilmu
menyulurlah
semesta baru:
sehelai bulu lenganku.
________
Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandar Lampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi Perawi Tanpa Rumah (2013) dan Sabda Ruang (2015).
https://klipingsastra.com/id/puisi/2017/11/semesta-karatsu-pintu-jalan-lain.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar