Abdurrahman Wahid
Majalah Tempo, 10/3/1984
TENGAH malam di Jalan
Raya Rangkayo Rasuna Said, Jakarta, yang dikenal dengan "nama
tradisional"Jalan Kuningan. Cuaca gerimis. Tak ada orang tampak berjalan
kaki, apalagi yang menyeberangi jalan selebar itu. Namun mobil Toyota Corolla
DX warna putih itu berhenti, ketika lampu merah untuk penyeberangan menyala.
Mobil menunggu dengan sabar, hingga lampu hijau. Mobil-mobil lain, yang juga
hanya satu dua, tak mengindahkan lampu merah dan terus berlari.
Tiga penumpang Toyota
Corolla itu segera masuk ke dalam percakapan ramal tentang sikap pengemudinya,
seorang dokter muda ahli kesehatan masyarakat. "Di sinilah bedanya yang
berbudaya dari yang tidak," kata si dokter. "Peraturan telah dibuat.
Harus dilaksanakan. Kalau tidak ada yang mau melaksanakan, ia akan mati dengan
sendirinya, alias tidak dapat ditegakkan."
Temannya semobil justru
beranggapan sebaliknya. Peraturan dibuat untuk tujuan tertentu. Tujuan
pemasangan lampu adalah mengatur orang yang akan menyeberang. "Di tengah
malam begini mana ada yang akan menyeberang?" tanyanya. Bukankah sia-sia
saja ada aturan tanpa tujuan?
Ada situasi pilihan
"mengikuti atau melanggar aturan" – yang mewarnai kehidupan bangsa,
baik secara keseluruhan maupun perorangan. Kalau untuk kasus yang jelas
parameternya seperti itu saja sudah tidak dapat dicapai kesamaan pendapat,
apalagi kalau permasalahannya sendiri justru tidak jelas.
Masalah utamanya adalah
antara pencapaian tujuan dan metode yang digunakan. Kalau metodenya langsung, dan
segera dapat dilihat hasilnya, mudah sekali diikuti "aturan
permainan" yang sudah disepakati. Orang mau mengikuti aturan berjalan di
jalur yang diperuntukkan, di negeri ini di sebelah kiri jalan, karena dengan
itu ia cepat sampai di tujuan. Mengikuti jalur orang lain hanya akan membuat
jalan macet, karena semua kendaraan akan saling berhadapan.
Itu selama dapat dijamin
kelancaran lalu lintas, dan ada rasa terjamin. Sekali jaminan itu gagal
dilaksanakan, lalu ada kemacetan, semua orang akan berusaha mencari "jalur
tembus". Berarti semua memasuki jalur orang lain, dan semakin menambah
kemacetan.
Aturan hukum akan
dipenuhi kalau dengan itu dapat dijamin tercapainya tujuan; minimal yang paling
dasar, seperti mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari bagi "orang
kecil". Tetapi kalau mencapai tujuan minimal itu pun tidak dapat dijamin,
sudah tentu orang mencari "jalan pintas": korupsi, manipulasi,
pelanggaran.
Masalahnya menjadi lebih
tidak terkendali manakala hasil yang diinginkan untuk dicapai dengan sebuah metode
boleh dikata hanya dapat diraih secara tidak langsung. Penegakan wewenang hukum
dan kedaulatannya oleh sistem peradilan, sebagai misal. Tegaknya hukum idak
dengan sendirinya menghentikan tindak kejahatan, seperti halnya sengatan lebah
akan menghentikan keinginan orang mengusik sarangnya.
Fungsi hukum adalah
menciptakan rasa takut akan hukuman jika kejahatan dilakukan - fungsi
psikologis yang berwatak preventif. Lex talionis, hukum berbalasan, bukanlah
jiwa pelaksanaan hukum pada masa modern ini. Tidak seperti zaman pemerintahan
imperial Romawi atau sistem hukum pramodern lainnya.
Hukum zaman ini
sebenarnya lebih berfungsi simbolis daripada fungsi membalaskan penderitaan
atau kemalangan orang. Karenanya, fungsi penegakannya lebih mengandung arti
edukatif daripada sanksional. Kalau ketentuan hukum dilakukan dengan tuntas,
demikian diharapkan oleh aliran hukum ini, kecenderungan orang melakukan tindak
kejahatan tentu akan diperkecil, kalau tidak dihilangkan sama sekali.
Kesulitannya terjadi
ketika cara tidak langsung membalas seperti itu gagal mencegah semakin
meluasnya tindak kejahatan. Apalagi kalau hambatannya datang tidak dari bunyi
undang-undang atau aturan, melainkan dari "kemacetan fungsional":
aparat penegakan hukum sendiri yang tidak mampu. Orang tidak melihat sebab
kemacetan - dari kebalauan internal kalangan penegak hukum sendiri ataukah
karena ada faktor luar yang melakukan tekanan. Yang penting hukum tidak dapat
ditegakkan, titik.
Dalam keadaan demikian,
beberapa sektor masyarakat dengan mudah akan tergoda oleh "penyelesaian lebih langsung".
Melakukan jalanpintas. Aturan permainan untuk sementara dikesampingkan karena
hanya akan memperlambat proses.
Untuk memberantas korupsi
lalu dibentuk sekian tim dan kelompok. Untuk membenahi kebalauan dalam disiplin
hidup dan disiplin kerja, dibentuk pula tim atau kelompok lain. Untuk mencegah
kapal penyelundup dibebaskan oleh pengadilan, diberlakukan tindakan sanksional
di luar jalur pengadilan. Dan semuamemerlukan dukungan kewibawaan di luar jalur
sistem peradilan.
Situasi demikian semakin
menambah parahnya penyakit yang diderita sistem peradilan itu sendiri. Scmakin
tampak, ia tidak bertenaga sama sekali untuk melakukan fungsi preventif.
Berarti semakin hilang kewibawaannya, dan semakin hilang kegunaan hidupnya.
Tidak mcngherankan kalau
ia dikesampingkan untuk beberapa "hal mendesak", seperti semakin
mendekatnya "era kejahatan terorganisasi secara luas". Bagai meteor
yang pasti akan jatuh ke bumi, entah darat entah laut, "era baru kejahatan"
itu akibat perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan modern. "Teknologi
kejahatan" berjalan sangat pesat, aparat penegakan hukum
berjalan sempoyongan,
tanpa kejelasan dapatkah berfungsi secara minimal.
Tidak mengherankan kalau
kemudian muncul "tindakan sektoral" - penembakan misterius. Entah
oleh siapa, tidak begitu penting. Yang jelas, ia ada, dan ia berfungsi langsung
membasmi kejahatan.
Dan dengan wajah cerah,
sebagian petugas penegakan hukum mencatat hasil-hasil yang telah terapai. Angka
kejahatan menurun drastis.
Soal yang masih tinggal
ialah: bagaimana mengatasi krisis wibawa penegak hukum, undang-undang, dan
pengadilan.
Mungkin karena itu teman
dalam sedan Toyota Corolla tadi berpendapat, lebih baik tetap ada banyak orang
yang sabar menunggu lampu merah, biarpun sedang tergopoh-gopoh. Artinya, mereka
ikut menjasa supaya aturan yang "normal" tidak jebol sama sekali.
Biarpun harus tahan hati.
Anggap saja menunggu setan lewat.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar