Jawa Pos, 20 Maret 2016
Sunyi Ini Terlalu Gaduh
sunyi ini terlalu gaduh
mengumpati rindu
tambah malam
melempar wajah dingin perempuan.
debu menebal di ruang tamu
tinggal jejak kaki sendiri
hilir-mudik dalam masa lalu.
o, kemarau panjang
puji-pujian yang memanggil hujan di surau
tanah-tanah retak di dalam waktu yang retak
hutan-hutan di bakar di dalam hati yang terbakar
kabut asap menutup matamu!
kabut asap menutup matamu!
dan orang-orang pergi ke luar negeri
untuk mencuci tangan dan berdagang.
penyair-penyair membaca puisi
lalu meninggalkannya di meja makan
untuk menciptakan puisi baru
sambil membayangkan dirinya raja.
sunyi ini terlalu gaduh
ada semut mencari gula
tak sengaja terinjak kaki
apa itu takdir?
dan di tv berita-berita mengabarkan perang
orang-orang membicarakannya dengan
mengacungkan lengan
namun tak pernah bisa menghentikannya.
apa itu takdir?
sunyi ini terlalu gaduh
sebab kamu-Kamu
tak lengkap di sisiku.
Tembi, 2015
Disebabkan Kata
kita tanam waktu di tubuh kata
ladang nasib kemarau
hujan banjir air matamu.
kata, kendaraan hati dan kepala
yang ditanam dengan cuaca.
diusap-usap, dielus-elus, dan dikabarkan
untuk ditanam di tubuh kata lain.
kata, jamur kefanaan waktu
dijilati hujan, digempur udara, dan panas waktu.
kata = kita
pengemis murahan
minta jalan tuhan
sambil berkacak pinggang.
kita membenam-dibenamkan kata
diulang-alik angin barat
disungsangkan makna.
kata, bunga kertas untuk si pacar
dan fitnah terperdaya.
kata, anak kandung puisi
seumpama qabil-habil dibisiki
burung-burung neraka.
puisi, adalah ismail
yang menyerahkan kepalanya kepada tuhan
Jogja, 2015
Puisi Duka Lara dari Penyair yang Sedang Putus Asa
sebab puisiku gentayangan di langit-langit malam
maka bukalah pintumu duhai kekasih
bukalah, untukku yang sedang putus asa.
betapa dunia berulangkali
membuatku patah hati.
jika aku menjauh
ia merayu seperti mata kekasih.
ketika aku jatuh hati
ia meludahiku berkati-kati.
duh, cinta yang pincang
aku melihat kaki-kaki tuhan dilumpuhkan
oleh tangan-tangan senapan
dan orang-orang bunuh diri di depan cermin.
duh, kekasih
timur tengah dilantakkan oleh fitnah.
“Jika al-aqsa tak mau runtuh
tegakkan jamaah!” ujarmu.
tapi salatku tak pernah-penuh
bebalku tak sudah-sudah
tak sampai kungsiya pucuke panah.
ya, rabbi
peluklah negeri para kekasih ini!
jangan lagi raden patah menangis untuk
kedua kali
seusai janji pada gurunya diingkari.
wahai rindu yang disulut cemburu
di tanah ini
asap menusuk mata dan paru kami
hutan dibakar
rumah tuhan dibakar
hati kami dibakar
usia kami ditukar kelapa sawit dan diimpor.
happy birthday to you
happy birthday to you
happy birthday to you
mereka merayakannya setiap tahun
dengan menyalakan lilin
sampai mati nyala kami
sampai lumer hidup kami.
kau tahu betapa lelucon ini
membunuh kami perlahan-lahan.
duh, kekasihku
apa yang tak bisa dijual dari negeri kami
fitnah pun bisa dijual dengan harga tinggi.
kekasihku, jangan kau palingkan wajahmu
tataplah si nestapa ini
raihlah tangan yang lemah ini
usaplah kepala si bandel jahanam ini.
duh, pujaanku
aku menunggu doa yang diam-diam tumbuh
dan dimatangkan cahayamu.
ketika pohon dalam diri meranggas
menghadapi hidup yang kian getas.
duhai cintaku
aku cemburu pada para kekasih
aku cemburu karena kebodohanku.
duhai pujaanku, muhammadku
kudekati engkau
kudekati kecemburuanku
semata-mata ingin mendapat dua cinta
yang satu
dalam diriku yang papa.
Jogja, 2015
Kepada Angkatanku
siapa yang kupilih dari yang banyak
di luar nasib merentang jarak.
di mana ada asap
di situ maling bersembunyi.
aja mangan barang menteh
sekali makan lupa ingatan.
sebab kawan-lawan
hanya beda huruf depan
macam yusuf diramalkan mimpinya.
kita ditimang-ayun jabatan
dininabobokkan dongeng negeri seberang
sebelum burung-burung migran pulang.
ada yang senang
ada yang bimbang
ada yang menolak tapi keranjingan.
kita berdiri menentang
sekali tetak tumbang.
bumi tak dipijak
langit tak dijunjung.
kita terhuyung
di bawah langit murung
mencari jalan, nasib yang hilang.
tuhan kausimpan di mana?
dalam lubuk atau kepala?
yang diri tuhan
yang tak tuhan
sama meludah ke arah terik matahari
sambil memaki-maki.
“Ini muka siapa punya!”
bentuk chairil tak mati-mati
yang mati yang hilang diri.
kita angkatan gundah
kanan-kiri diembargo kepentingan.
yang kepo, cuma merah di bibir
perutnya di kantong bankir.
kau pura-pura buta
ketika bertemu si tuli.
dan pura-pura tuli
ketika bertemu si buta.
tapi kau tak menyadari
bahwa jalan-jalan telah menutup matamu
dan suara-suara pergi dari hatimu
seperti burung-burung merpati yang bermigrasi.
lalu kita berjalan sendiri
kita pisah
nasib yang dipilih
nasib yang memilih
Jogja, 2015
Yen sembahyang kungsiya pucuke panah artinya kalau salat seperti berada pada ujung panah (khusyuk). (Gugon Tuwon karya Sunan Gunung Jati)
Kedung Darma Romansha, lahir pada tanggal 25 Februari 1984 di Indramayu, Jawa Barat. Alumni jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY, 2009) serta pascasarjana Ilmu Sastra di Universitas Gajah Mada (UGM, 2017). Sebagai sastrawan, karya-karyanya dipublikasikan di pelbagai media massa, baik lokal maupun nasional serta antologi bersama. Ia juga aktif dalam seni peran, teater dan film. Pada Agustus 2018, bersama Saturday Acting Club diundang oleh Asia Theatre Directors Festival TOGA, Toyama, Jepang, membawakan “The Decision” karya Bertold Brecht. Novelnya “Kelir Slindet” merupakan buku pertama dari dwilogi Slindet/Telembuk (2014), dinobatkan karya terbaik Tabloid Nyata. Novel keduanya “Telembuk, Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat,” masuk short list Kusala Sastra Khatulistiwa 2017, serta menjadi buku yang direkomendasikan majalah Tempo kategori prosa, 2017. Novel itu juga salah satu yang terpilih dalam Market Focus, London Book Fair (Komite Buku Nasional, 2019). Dua buku puisinya, “Uterus” (2015), dan “masa lalu terjatuh ke dalam senyumanmu” (Rumah Buku, 2018). Yang segera terbit, buku kumcer perdananya “Rab(b)i”, dikonsep tidak seperti kumcer pada umumnya. Ia mengelola gerakan literasi di Indramayu, Jamiyah Telembukiyah, yang beberapa anggotanya terlibat dalam gerakan literasi jalanan, penyuluhan, dan pendataan terhadap Pekerja Seks Komersial di Indramayu. Anggota yang lain terlibat dalam gerakan sastra dan budaya di Indramayu. Program ini atas kerjasama dengan Universitas Wiralodra, telah mengundang beberapa sastrawan dalam negeri dan luar negeri, di antaranya Joko Pinurbo, Katrin Bandel, Afrizal Malna, Sosiawan Leak, dan Mubalmaddin Shaiddin dari Malaysia. Ia juga mengelola komunitas Rumah Kami/Rumah Buku di Yogyakarta.
https://klipingsastra.com/id/puisi/2016/03/sunyi-ini-terlalu-gaduh-disebabkan-kata.html
Sunyi Ini Terlalu Gaduh
sunyi ini terlalu gaduh
mengumpati rindu
tambah malam
melempar wajah dingin perempuan.
debu menebal di ruang tamu
tinggal jejak kaki sendiri
hilir-mudik dalam masa lalu.
o, kemarau panjang
puji-pujian yang memanggil hujan di surau
tanah-tanah retak di dalam waktu yang retak
hutan-hutan di bakar di dalam hati yang terbakar
kabut asap menutup matamu!
kabut asap menutup matamu!
dan orang-orang pergi ke luar negeri
untuk mencuci tangan dan berdagang.
penyair-penyair membaca puisi
lalu meninggalkannya di meja makan
untuk menciptakan puisi baru
sambil membayangkan dirinya raja.
sunyi ini terlalu gaduh
ada semut mencari gula
tak sengaja terinjak kaki
apa itu takdir?
dan di tv berita-berita mengabarkan perang
orang-orang membicarakannya dengan
mengacungkan lengan
namun tak pernah bisa menghentikannya.
apa itu takdir?
sunyi ini terlalu gaduh
sebab kamu-Kamu
tak lengkap di sisiku.
Tembi, 2015
Disebabkan Kata
kita tanam waktu di tubuh kata
ladang nasib kemarau
hujan banjir air matamu.
kata, kendaraan hati dan kepala
yang ditanam dengan cuaca.
diusap-usap, dielus-elus, dan dikabarkan
untuk ditanam di tubuh kata lain.
kata, jamur kefanaan waktu
dijilati hujan, digempur udara, dan panas waktu.
kata = kita
pengemis murahan
minta jalan tuhan
sambil berkacak pinggang.
kita membenam-dibenamkan kata
diulang-alik angin barat
disungsangkan makna.
kata, bunga kertas untuk si pacar
dan fitnah terperdaya.
kata, anak kandung puisi
seumpama qabil-habil dibisiki
burung-burung neraka.
puisi, adalah ismail
yang menyerahkan kepalanya kepada tuhan
Jogja, 2015
Puisi Duka Lara dari Penyair yang Sedang Putus Asa
sebab puisiku gentayangan di langit-langit malam
maka bukalah pintumu duhai kekasih
bukalah, untukku yang sedang putus asa.
betapa dunia berulangkali
membuatku patah hati.
jika aku menjauh
ia merayu seperti mata kekasih.
ketika aku jatuh hati
ia meludahiku berkati-kati.
duh, cinta yang pincang
aku melihat kaki-kaki tuhan dilumpuhkan
oleh tangan-tangan senapan
dan orang-orang bunuh diri di depan cermin.
duh, kekasih
timur tengah dilantakkan oleh fitnah.
“Jika al-aqsa tak mau runtuh
tegakkan jamaah!” ujarmu.
tapi salatku tak pernah-penuh
bebalku tak sudah-sudah
tak sampai kungsiya pucuke panah.
ya, rabbi
peluklah negeri para kekasih ini!
jangan lagi raden patah menangis untuk
kedua kali
seusai janji pada gurunya diingkari.
wahai rindu yang disulut cemburu
di tanah ini
asap menusuk mata dan paru kami
hutan dibakar
rumah tuhan dibakar
hati kami dibakar
usia kami ditukar kelapa sawit dan diimpor.
happy birthday to you
happy birthday to you
happy birthday to you
mereka merayakannya setiap tahun
dengan menyalakan lilin
sampai mati nyala kami
sampai lumer hidup kami.
kau tahu betapa lelucon ini
membunuh kami perlahan-lahan.
duh, kekasihku
apa yang tak bisa dijual dari negeri kami
fitnah pun bisa dijual dengan harga tinggi.
kekasihku, jangan kau palingkan wajahmu
tataplah si nestapa ini
raihlah tangan yang lemah ini
usaplah kepala si bandel jahanam ini.
duh, pujaanku
aku menunggu doa yang diam-diam tumbuh
dan dimatangkan cahayamu.
ketika pohon dalam diri meranggas
menghadapi hidup yang kian getas.
duhai cintaku
aku cemburu pada para kekasih
aku cemburu karena kebodohanku.
duhai pujaanku, muhammadku
kudekati engkau
kudekati kecemburuanku
semata-mata ingin mendapat dua cinta
yang satu
dalam diriku yang papa.
Jogja, 2015
Kepada Angkatanku
siapa yang kupilih dari yang banyak
di luar nasib merentang jarak.
di mana ada asap
di situ maling bersembunyi.
aja mangan barang menteh
sekali makan lupa ingatan.
sebab kawan-lawan
hanya beda huruf depan
macam yusuf diramalkan mimpinya.
kita ditimang-ayun jabatan
dininabobokkan dongeng negeri seberang
sebelum burung-burung migran pulang.
ada yang senang
ada yang bimbang
ada yang menolak tapi keranjingan.
kita berdiri menentang
sekali tetak tumbang.
bumi tak dipijak
langit tak dijunjung.
kita terhuyung
di bawah langit murung
mencari jalan, nasib yang hilang.
tuhan kausimpan di mana?
dalam lubuk atau kepala?
yang diri tuhan
yang tak tuhan
sama meludah ke arah terik matahari
sambil memaki-maki.
“Ini muka siapa punya!”
bentuk chairil tak mati-mati
yang mati yang hilang diri.
kita angkatan gundah
kanan-kiri diembargo kepentingan.
yang kepo, cuma merah di bibir
perutnya di kantong bankir.
kau pura-pura buta
ketika bertemu si tuli.
dan pura-pura tuli
ketika bertemu si buta.
tapi kau tak menyadari
bahwa jalan-jalan telah menutup matamu
dan suara-suara pergi dari hatimu
seperti burung-burung merpati yang bermigrasi.
lalu kita berjalan sendiri
kita pisah
nasib yang dipilih
nasib yang memilih
Jogja, 2015
Yen sembahyang kungsiya pucuke panah artinya kalau salat seperti berada pada ujung panah (khusyuk). (Gugon Tuwon karya Sunan Gunung Jati)
Kedung Darma Romansha, lahir pada tanggal 25 Februari 1984 di Indramayu, Jawa Barat. Alumni jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY, 2009) serta pascasarjana Ilmu Sastra di Universitas Gajah Mada (UGM, 2017). Sebagai sastrawan, karya-karyanya dipublikasikan di pelbagai media massa, baik lokal maupun nasional serta antologi bersama. Ia juga aktif dalam seni peran, teater dan film. Pada Agustus 2018, bersama Saturday Acting Club diundang oleh Asia Theatre Directors Festival TOGA, Toyama, Jepang, membawakan “The Decision” karya Bertold Brecht. Novelnya “Kelir Slindet” merupakan buku pertama dari dwilogi Slindet/Telembuk (2014), dinobatkan karya terbaik Tabloid Nyata. Novel keduanya “Telembuk, Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat,” masuk short list Kusala Sastra Khatulistiwa 2017, serta menjadi buku yang direkomendasikan majalah Tempo kategori prosa, 2017. Novel itu juga salah satu yang terpilih dalam Market Focus, London Book Fair (Komite Buku Nasional, 2019). Dua buku puisinya, “Uterus” (2015), dan “masa lalu terjatuh ke dalam senyumanmu” (Rumah Buku, 2018). Yang segera terbit, buku kumcer perdananya “Rab(b)i”, dikonsep tidak seperti kumcer pada umumnya. Ia mengelola gerakan literasi di Indramayu, Jamiyah Telembukiyah, yang beberapa anggotanya terlibat dalam gerakan literasi jalanan, penyuluhan, dan pendataan terhadap Pekerja Seks Komersial di Indramayu. Anggota yang lain terlibat dalam gerakan sastra dan budaya di Indramayu. Program ini atas kerjasama dengan Universitas Wiralodra, telah mengundang beberapa sastrawan dalam negeri dan luar negeri, di antaranya Joko Pinurbo, Katrin Bandel, Afrizal Malna, Sosiawan Leak, dan Mubalmaddin Shaiddin dari Malaysia. Ia juga mengelola komunitas Rumah Kami/Rumah Buku di Yogyakarta.
https://klipingsastra.com/id/puisi/2016/03/sunyi-ini-terlalu-gaduh-disebabkan-kata.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar