Kamis, 25 Februari 2021

Tentang “Sastra Pedalaman” Itu

Nirwan Dewanto
Kompas, 04 Sep 1994
 
AKHIR-AKHIR ini, dalam khazanah sastra kita, “dominasi pusat” kembali dipersoalkan beberapa sastrawan (di) daerah “angkatan” terbaru. Sejumlah kegiatan sastra yang muncul di beberapa kota di Jawa dan Sumatera — meliputi pembacaan puisi, diskusi sastra, penerbitan buku puisi dan buletin sastra — diwarnai ketidakpuasan terhadap sang pusat yang berlaku sewenang-wenang: meremehkan atau mengabaikan bakat dan kekuatan baru yang muncul di wilayah “pedalaman” itu.
 
Saya nyaris bersorak girang menyambut arus gugatan baru ini. Tapi saya segera tersadar, ini mengulangi lagu lama. Saya teringat kepada Gerakan Puisi Mbeling di majalah Aktuil pimpinan Remy Sylado (1972-1973), Pengadilan Puisi di Bandung (1974), Proklamasi Puisi Bebas oleh Grup Apresiasi Sastra ITB (1979), Emha Ainun Nadjib dengan kumpulan esainya Sastra yang Membebaskan (1982), dan Perdebatan Sastra Kontekstual di Solo (1984): semuanya, dengan pengetahuan yang luas dan argumentasi yang kokoh, tuntas menggugat tatanan sastra yang mapan.
 
Kini para “penggugat” mutakhir itu menamakan sastra mereka “sastra pedalaman”, “sastra arus bawah”, dan “sastra pinggiran”. Dengan ini seakan-akan mereka menegaskan perbedaan dengan “sastra pusat”. Tapi apakah perbedaan itu benar-benar ada?
 
Saya membaca karya-karya mereka, terutama puisi. Ternyatalah, itu merupakan turunan langsung dari tradisi perpuisian Indonesia yang mapan. Mereka bahkan sangat menggandrungi gaya para penyair pendahulu yang “baik dan benar”, dan berusaha menghidupkannya lagi (mungkin tanpa sadar) dalam sajak-sajak mereka. Saya tak berkeberatan dengan reproduksi gaya (apalagi dilakukan sebagai parodi). Namun jika dihubungkan dengan seluruh tindak sastra mereka, hal ini mengandung paradoks. Yakni, mereka mengingkari sumber utama penciptaan mereka — yakni karya-karya sastra Indonesia yang utama – – dan dengan demikian mereka terkurung pemusatan yang justru mereka mau tolak.
 
Maka “perlawanan” yang mereka lontarkan terhadap pusat menjadi semu belaka! Bacalah misalnya sejumlah artikel dalam jurnal Revitalisasi Sastra Pedalaman nomor pertama, yang diterbitkan jaringan bernama sama. Mereka tidaklah mempersoalkan “pusat sastra” secara mendasar. Dengan kemarahan dan kegelisahan yang naif, mereka menyebut “persekongkolan Jakarta” yang sengaja meminggirkan mereka. Dengan begini — dan inilah paradoks kedua — mereka malah mengakui, bahkan memitoskan, “kekuasaan Jakarta”.
 
Bagi saya, kekuatan pusat yang dipersoalkan sepanjang 1972-1984 kini sudah tiada. (Berarti, serangkaian perlawanan pada masa itu membuahkan hasil.) Kehidupan sastra kita kini tak lagi tergantung pada hanya sebuah majalah sastra dan sebuah pusat kesenian. Dalam pada itu, koran-koran pun menyediakan “suaka sastra” dengan baik. Nama cerpenis baru bermunculan di Kompas. Ruang puisi Republika menampung puisi dari pelbagai pelosok secara bergantian. Lembar budaya Jawa Pos tak henti-henti menyulut pelbagai polemik.
 
Bisa disaksikan pula maraknya kegiatan penerbitan swadaya. Yang mengesankan, berkala-berkala seperti Menyimak (oleh Yayasan Membaca di Pekanbaru) dan Surat (Gorong-gorong Budaya di Depok). Sementara itu, terselenggara pula pelbaga diskusi, lomba penulisan, loka karya, apresiasi, di Bali, Padang, Banjarmasin, Jambi, Ujung Pandang, Tegal, Jember, Ngawi, dan sejumlah kota lain.
 
Sungguh geografi sastra yang berwarna-warni! Betapa sayang jika limpahan energi mereka terlalu banyak tercurah untuk membikin-bikin perlawanan semu. Membidik Jakarta-sentrisme, berarti membidik sasaran yang keliru!
***
 
SAYA akan bersemangat lagi seandainya perlawanan mereka tertuju ke sasaran yang tepat. Sasaran itu tidak berada di luar mereka, tetapi dalam tindak sastra mereka sendiri. Dan inilah pusat yang sesungguh-sungguhnya: sejumlah standar dalam (sejarah) sastra Indonsia yang mereka percayai dan mereka anut, di bawah sadar. Mereka terjebak dalam karya-karya “kanonik” Indonesia, tanpa sikap kritis memadai.
 
Sungguh ironis jika para pelaku sastra begitu berwatak “nasionalistik”. Mereka begitu serius dengan, dan terbeban pula, oleh sejarah dan tradisi sastra Indonesia. Tentu saja mereka tak usah merasa demikian gentar dan rendah diri, seandainya mereka mau berdialog dengan khasanah sastra di dunia mana pun. Dengan kata lain, mereka mestinya “melupakan”, atau melampaui sastra Indonesia.
 
Saya bermimpi “sastra pedalaman” itu benar-benar menjadi genre yang hidup, bukan sekadar varian yang rendah diri dari sastra Indonesia yang mapan. Sebagai kekuatan baru — seperti halnya Afrika Utara dan Karibia dalam sastra (berbahasa) Perancis, India dan Nigeria dalam sastra Inggris, Amerika Selatan dalam sastra Spanyol. Saya tahu, mimpi saya tidaklah mustahil karena kenyataan Indonesia yang begitu rumit dan fantastis mestinya tidak cuma “diwakili” hanya satu sastra Indonesia.
***
 
BENO Siang Pamungkas, salah seorang penggerak Revitalisasi Sastra Pedalaman, menyatakan, “Kalau saja jurnalisme seni kita lebih punya kesungguhan untuk memotret… bukan mustahil akan terkuak tambang-tambang emas karya sastra yang sampai saat ini masih terpendam jauh di bawah permukaan bumi.”
 
Idealisme semacam itu tidaklah cukup! Karena jalan dan terowongan menuju “tambang emas” itu harus mereka bikin sendiri. Bukan hanya dengan mobilitas fisik antardaerah untuk menggalang kekuatan, tapi juga mobilitas pikiran dan mental yakni dialog yang aktif dan terus-menerus dengan khasanah seluruh dunia. Usaha macam ini tinggallah diperbesar. Saya senantiasa mengagumi terjemahan puisi dan prosa oleh Hasan Junus yang muncul secara ajeg pada Menyimak. Pada Revitalisasi Sastra Pedalaman nomor pertama terjemahan bebas puisi oleh Tan Lioe Ie jauh lebih berharga ketimbang tulisan-tulisan asli yang lain.
 
Adapun “kebanggaan daerah” itu janganlah diperalat untuk membela karya yang tak bermutu. Ia mestinya benih local- genius yang tumbuh karena menyerap daya dukung lingkungan dan tradisi setempat. Ingat Amir Hamzah tidaklah serta-merta dilahirkan tradisi Melayu. Ia juga buah pergaulan dengan sejumlah khasanah Asia. Memang, sebuah etnosentrisme pada akhirnya hanya membutakan mata terhadap kekayaan pelbagai khasanah tradisi.
 
Dan jika “tambang emas” itu mulai terkuak, tak bisa pula kita meminta-minta perhatian dari jurnalisme dan kritik seni. Seperti Wole Soyinka dan Derek Walcott pun tak bisa meminta-minta untuk diakui sebagai warga sastra Eropa. Penemuan “sastra pinggiran” sedunia adalah juga akibat dinamika yang terjadi di dunia penerbitan dan dunia ilmiah di Eropa dan Amerika.
 
Demikianlah, perjuangan “sastra pinggiran” mestinya juga disertai perjuangan teori (bukan maki-makian!) dan juga perubahan di sektor-sektor kebudayaan yang lain. Teori yang saya maksud bukanlah jungkir balik hapalan rumus filsafat dari buku-buku pintar, tetapi refleksi yang mendalam tentang karya dan kerja kesenian kita sendiri. Sungguh berbahaya, manakala menganggap sastra begitu penting dan suci, dan dengan demikian malah membuatnya miskin.
 
Di tengah banjir informasi sedunia, mestinya “sastra pedalaman” bukanlah sastra yang mengisolasi diri lantaran dihantui trauma sastra nasional. Ketika karya-karya dunia mutakhir bisa dengan mudah didapat, yang diperlukan adalah mengelola aliran penyebarannya dan mencernanya dengan sehat. Sungguh, pelbagai arus perkembangan baru sedunia lalu-lalang di depan hidung kita sementara kita nyinyir menganggap penting sastra sendiri.
 
Setidak-tidaknya ingar-bingar jaringan “sastra pedalaman” akan melangkah ke tahap yang lebih segar jika mereka tak merepotkan diri dengan “pusat sastra nasional”. Menggali tambang emas sastra memerlukan watak kosmopolit sekaligus sikap tahu diri terus- menerus. Bagaimanapun, sastra kita tetaplah sastra yang terbuka, berubah, dan meluas. Ia tidaklah angker, lalim dan maha kuasa, kecuali kita sendiri secara kekanak-kanakan menganggapnya demikian.
***
 
*) Nirwan Dewanto, ketua redaksi jurnal kebudayaan Kalam.
http://sastra-indonesia.com/2011/09/tentang-sastra-pedalaman-itu/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi