Nurel Javissyarqi*
Waktu-Waktu Yang Digaris Bawahi
Setelah beberapa waktu perjalankan tubuh serta keliaran imaji menerka kejadian yang lalu di sekitar pengembaraan, sebagai mata uang lain selain membaca buku. Segala persoalan terfokus di satu titik perasaan, dan kejadian obyektif sebagai bahan pengulangan demi meyakinkan observasi dalam mencapai tangga lebih tinggi, yakni lompatan menuju dunia ide.
Waktu-waktu digaris bawahi itu masa-masa bukan berdasarkan luangnya waktu semata, atau menggebunya aktifitas yang terselesaikan lewat tidur. Waktu-waktu merupakan barisan masa teruntuk kedekatan realitas membaca wacana, berupa rindu kenangan silam.
Perolehan gesekan tajam yang bukan berangkat dari hati memendam hasutan subyektif, tetapi kepaduan penyelidikan diri, kesadaran menerima situasi sebagai bahan banding menjadi pelengkap niat menuju keteguhan.
Ketakutan bertindak berjalan kaki melewati tulisan ialah tidak beralasan atas bahayanya jaminan kwalitas, sebab hasil pengembaraan belumlah sampai terjual jikalau durung diperdagangkan sejenis pencerahan.
Kita tidak perlu berhitung matemastis akan gairah kesempatan atas kesepakatan keberanian melangkah. Bukankah tanda-tanda rasa menandaskan perbedaan, jika dimasukkan sebagai jenjang keterjagaan, merawat kesadaran demi selamat denyut gairah waktu digaris bawahi.
Itu momentum ketepatan rasa yang menjelma formula. Bagaimana pun lemahnya yang digaris bawahi tetap terlahirkan, walau persoalan mutu sebuah pengakhiran yang patut diterima, sebagai lantasan demi rangkaian selanjutnya.
Wujud yang dimaknai berasal dari kehalusan pekerti atas bertugasnya kalbu pada denyutan gelombang di pantai. Suatu rana yang dirawat halus, menciptakan bunga-bunga menawan, menggiurkan anak-anak nelayan dengan mata pandang pengetahuan.
Kita kembara, tidak habis selesai terus mengevolusi diri ke wilayah esensial demi perjamuan akhir malam bertautan ruh. Kesadaran melewati batas-batas titian harus diperjalankan untuk mencapai wewarna ganjil tempaan. Tidakkah sesuatu yang miris di hati, juga pernah bersarang dari realitas sosial?
Kalau menilik pada kurun waktu manunggalnya keabadian karya, akan terketahui tidak seberapa kalimat di buku-buku tiada lain jalan-jalan biasa, pengulangan yang hanya memberi secumput sumbangsi. Jika gemuruh dalam dada, tak membuka lebar-lebar kemungkinan lain, dari waktu-waktu yang digaris bawahi.
Saya ajak saudara ke wilayah dipersuntukkan diri, dari beberapa kebersiapan naluri menarik segala pengembaraan empirisme yang didealektik bersama nalar-nalar yang telah ada. Membaca satu-satuan masa, guna mencapai perimbangan antara materialis-eksistensialis, soasialis dan naturalis.
NatURalis ELementer
Sebelumnya biarkan saya tertawa berbahak-bahak, agar segala racun keegoisan menguap, melewati jalan pencernaan jiwa dalam menggagas persoalan ini ke muka. Dengan teknik keberlawanan, berusaha mengikis kebahagaian temuan yang kebablasan, agar nanti tidak mengalirkan racun yang dimulai dari mentahnya perolehan atas masa-masa.
Terus terang saya geli menceritakan pendapatan ini, serupa saat-saat mengintip soal besar lewat beberapa jari tangan menyilang, atau diri ini sedang malu-malu sebagai bahan pokok kalau nantinya bagus dipersoalkan.
Tidaklah gampang meruncingkan keadaan tanpa melewati tahan-tahap tertentu sebagaimana suatu kerja dipaksa tidak mengindahkan kesakitan, wal hasil menjadi bahan tertawaan. Tetapi seberapa lama gegaris tawa menuju keseriusan. Detik-detik kepada persamaan itu, mutu gagasan tidak menjadi guyonan, tetapi menjelma guyuran sejuk atas keringat diperdalam merasakan keseriusan.
Lembaran-lembaran terbangun kali ini, mata rantai yang mudah dijabarkan lewat berlainan warna, ketika kepada naturalis elementer. Memang benar, suatu konsep takkan komplit kalau tidak direalisasikan dengan kerja, maka berangkatlah dengan kaki-kaki kesadaran nyawa.
Manusia dipersipkan sebagai makluk sempurna, bersegala ingatan-kelupaan menuju kesadaran terawat, menjelma terkuat yang menjalani hari-hari terus bertambah. Sejarah berulang dan pengejaran akan bayang tidak pernah sampai kecuali pada titik kulminasi, drajad penyeimbang atas kendali sumbu yang dikeluarkan dari sikap optimis.
Pelajaran terus meningkatkan pendewasaan diri terbuka atas angin selatan-utara, wacana timur barat menjadi zaitun naturalis berkembang, berbunga di taman peradaban, mengambil saripati bedah pihak pun pendapat, atas dialektika positif yang berangkat dari kenegatifan naluri bodoh diawalnya.
Kita ambil unsur-unsur perubahan yang tampak sanggup mengendalikan suatu waktu, sebab telah banyak kecelakaan terjadi atas fanatisme, hati yang tidak membangun rasio pun perasaan. Ini terpetik demi mencapai kedudukan yakin akan naturalis elementer; pembelajaran dari beberapa kasus kegagalan, ditarik ke dalam dada pencerah, bukannya melewati ruang-waktu sama yang tidak patut digaris bawahi.
Sebab suatu proses, bagaimana pun kemiripannya tetap memiliki perbedaan, atau pun persamaan gandanya tetap mempunyai sifat berbeda-beda. Ini patut diselidiki lebih jauh ke dalam, bahan-bahan yang sudah ada kita jadikan penyeimbang, meski membangun kekuatan di garis tengah itu amat miris dan menakutkan.
Batas Genius dan Goblok
“Dunia seperti baru saja terbentuk, sehingga banyak benda belum mempunyai nama dan untuk menyatakan benda-benda itu, kita harus menunjukkannya”(One Hundred Years of Solitude, G.G. Marquez). Kabut mitos itu jawaban tidak mematikan, berada di ruangan tinggi yang diselimuti lamur pegunungan, yang diterangi cahaya imaji menjadikan pelangi pengertian bagi memperhatikan.
Tidakkah kepastian konsep kenyataan kongkrit yang diadakan dari konstruksi pemikiran pun asumsi banyak orang semacam uap terbang menggapai kemungkinan realitas, diterima sebagai kepastian, meski dalam kurungan definisi dari kelompok masyarakat, namun terus bebas mengevolusi diri, mengupas keberadaannya sampai pada kenyataan sungguh tidak terbantah.
Mitos diperankan orang-orang bodoh yang tidak mau menyebut suatu tanda untuk dijadikan nama. Mitos berangkat dari orang gigih mencari kebenaran hakiki, dengan tidak langsung mempercayai meski kebenaran umum. Ia memiliki mata kecurigaaan amat tajam, perasaan sungguh peka oleh bisikan kalbu dikekolah psikis, jiwa kuat lagi tangguh menghadapi terpaan gunjingan.
Penolakan dengan menuntut alasan semula, keyakinan dibalik. Dibalik kemungkinan tersembunyi, ada keharusan kudu ditempatkan, meski dilain masa tersapu mundur keberadaannya, sebab pola-pola yang berada di sekelilingnya mengharuskan satuan sikap berupa konstriktif.
Olehnya, mitos itu musuh dari penampakan rayu sebab pemilik jiwa sanggup memitos, mengetahui permukaan bedak pipi, jika disinari cahaya keremangan senja atau waktu sempit ditentukan malam. Mitos dimaksud semacam post-modern lain, membuang undang-undang kepastian diganti pertimbang elastis berkeadilan, sebuah sinaran imbang yang sanggup mengelupas bedak perayu dengan akalan.
Di bagian terpisah, orang pintar menandatangani penemuanya dengan penghakiman selera, yang tampak kesamarataan sakit, pengkotak wilayah demi kemajuan, yang katanya membawa adil merata, namun yang terjadi, penindasan terus saling bertabrak jungkir balik moralitas. Sebab saling tumbuk atas selera masing-masing di segenap wacana perdagangan, gerakan pencarian prestasi yang berangkat dari gengsi dan habis oleh kesia-siaan.
Benar jika peraturan diberlakukan akan baik, sanggup membebaskan persoalan. Tetapi apakah benar seluruhnya jika salah satu cabang aturan mulai dilenakan? Akan merambat ke puncak hitungan berupa pengelabuhan undang-undang, sejenis menampakkan selera humor, padahal tidak sedang dalam keadaan senang.
Tidakkah ketika bungkus bermain, sugesti berperan aktif, padahal kenyataannya demi merayu para pendengar yang ringan tangan bertepuk tangan, sebab para pesaksi itu, dari lahir otaknya tidak pernah digerakkan untuk bekerja. Lalu saya bertanya pada pembuat aturan seenak udelnya; “Apakah kalian bangga, menjajah masyarakat belia?”
Tetap saja kalian mengekspoitasi anak, meski hati kecil punya rasa malu atas kebodohan yang berpakaian genius. Lagi-lagi saya cuplik kalimat Marquez dari One Hundred Years of Solitude; “Seseorang takkan terikat pada suatu tempat sampai ada yang meninggal dan dikubur di sini, di tanah ini.” Saya jadi teringat kematian Socrates di taman pengetahuan. Kematian yang dipaksaan menancapkan tanda, tanda itu diusung ke mana saja, hingga semua orang dilewati mempercayainya.
Di kedalaman hati saudara, saya ingin bertanya; “Apakah kenyataan sesungguhnya itu di ujung kenyataan badan? dalam kenyataan fikiran?“ Di sini saya tak ingin jawaban secara langsung yang bertubi-tubi atau pun mengendap. Saya ingin pertanyaan itu kau simpan, demi menemukan kepastian. Perubahan yang teralami, akan menuntun pada yang jawaban sebenarnya.
Akan sampai pada puncak keseriusanmu, meski tak di bangku kuliah. Kau selalu merawat rindu demi mencari kepastian diri. Inilah watak seorang genius, para pemitos yang tak sengaja menciptakan, tapi atas pantulan pesona dirinya. Kenyataannya paling esensial ialah perubahan, mengedepankan perasaan naluri menjelajahi fikirannya secara sehat, lagi jernih tanpa polusi.
Saat-saat kau menerima mendekati ambang kegilaan, telah kenyang bacaan sewaktu jemari tangan mulai kelelahan menulis persoalan, saat itulah memahami batas nalar serta pekabutan mitologi. Rasa kelelahan, bosan, suntuk dan segala macam itu, struktur dari rumah atas bangunan rasio. Dan saya menghindari persoalan itu dengan berbagai pola, cara kerja berfariasi untuk mengurangi, menahan jangan sampai gejalah tubuh psikis menggerogoti hati, meski sehalus perembesan air.
Ada memang saatnya istirahat atas lelah, namun tidak harus demikian di dalam menyikapi lingkungan kejiwaan. Sering kali orang takut akan hal kematian, di kala itulah sebenarnya takut akan hidup, atau hakekat jiwanya telah mati. Sebab ketakutan itu serupa malaikat yang mengundat-undat pencabutan nyawa. Tatkala itu, kau tengah di puncak kenyataan, antara hayal dan logika merupakan melodi terkuat dalam menempuh tangga kesejatian. Kepastian terhadapi, daerah yang tidak memerlukan tumbal, tapi sanggup membuat keyakinan akan hidup dan penghidupan.
Atau kalian orang-orang rasional yang berada di tengah perjalanan, yang masih bimbang meneruskan dan tergiur pulang, lantas mengambil kesimpulan di tengah jalan sebagai jawaban. Sebuah sikap pengecut, tidak mau membentur-lawan perasaan, yang membuat berkecamuknya fikiran. Persimpangan yang mencekit tenggorokan, tidak memiliki keyakinan akan datangnya setetes air hujan. Sebab itukah kalian menganggapnya tidak logis (?).
Meski seringkali orang-orang genius itu melewati hari-harinya menemukan keajaiban, tetapi tidak memandangnya sebagai keajaiban mistis. Katanya itu hal lumrah, namun kenapa tidak sanggup melogikakan secara berani dan seksama. Apakah takut dibilang tidak konsisten atas gagasan semua, dari daya fikir kelewat matematis?
Saya sebagian orang-orang bodoh yang menerangkan kepadamu. Apakah itu kepintaranmu, dan kau tak mampu berbicara jauh tentang aku, sebab kau telah dibatasi kecerdikanmu. Seperti hakim mempelajari kasus, tetapi tak berada di dalam persoalannya. Kau sejenis orang menghitung hujan, namun tak mau kehujanan. Sedangkan aku bersama yang lain kehujanan, menghitung kalian yang kedinginan, berselimutkan ketakutan di rumah-rumah keangkuhan.
Keangkuhanmu tidak menerima bahwa kau adalah dungu, yang membuatmu lebih dungu. Hanya sekali ini, saya memasuki urusanmu atas balasanmu yang terlalu jauh, telah lama mencampuri persoalan kesunyianku. “Orang-orang baik berangkat dari kedunguan, orang-orang jahat berangkat dari kepintaran.” Itulah kalimat yang kuberikan kepadamu, wahai yang pintar di tengah-tengah bangsaku, yang kau anggap tidak memiliki keyakinan atas ilmu pengetahuan.
Inilah batasan timur-barat, namun saya tak berada di dalam satu sisi. Kami berada di tengah-tengah kalian, setelah mengetahui pemikiran barat, perasaan timur. Saya yang kau anggap tidak memiliki pendirian, padahal terus teguh di tengah-tengah kalian. Lalau kau bertanya: “Kenapa kau geser tempat dudukmu di tengah-tengah, sedangkan kau sejatinya berada di timur?.” Saya jawab: “Itulah yang kau lihat atas jarak kepintaranmu, begitu pun orang timur melihatku, menganggap saya kanginan atau kebarat-baratan.”
Saya berusaha sepohon zaitun, jasadku dari timur atau mungkin pemikiranku dari barat, tetapi hatiku di tengah-tengah kalian yang selalu berseteru. Saya harum kembangkan ini agar kalian berdamai, meski kata kalian tidak mungkin. Itulah yang kalian lakukan selama ini, membuang kemungkian di sekitarnya demi keuntungan diri atas menggencet pihak lain, sehingga hatimu tidak berada di tengah-tengah sebagai nilai-nilai kemanusiaan nan damai.
Untuk sampai di batas ini, kalian kudu berani menanggalkan keinginan meminum untuk menghilangkan kelelahan, sebab perjalanan masih jauh. Dan dayadinaya mengusir haus, sanggup melupakan rindumu sampai menemukan ambang keadilan. Tidakkah ketika beban bertambah, kalian bertambah pula kekuatan?
---
*)Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Jawa Timur.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar