dijumput dari Jawa Pos, 21 Sep 2008
Putu Wijaya
Seorang tamu datang ke rumah saya. Tanpa mengenalkan diri, dia menyatakan keinginannya untuk menyuap. Dia minta agar di dalam lomba lukis internasional, peserta yang mewakili daerahnya, dimenangkan.
''Seniman yang mewakili kawasan kami itu sangat berbakat,'' katanya memuji, ''keluarganya turun-temurun adalah pelukis kebanggaan wilayah kami. Kakeknya dulu pelukis kerajaan yang melukis semua anggota keluarga raja. Sekarang dia bekerja sebagai opas di kantor gubernuran, tetapi pekerjaan utamanya melukis. Kalau dia menang, seluruh dunia akan menolehkan matanya ke tempat kami yang sedang mengalami musibah kelaparan dan kemiskinan, karena pusat lebih sibuk mengurus soal-soal politik daripada soal-soal kesejahteraan. Dua juta orang yang terancam kebutaan, TBC, mati muda, akan terselamatkan. Saya harap Anda sebagai manusia yang masih memiliki rasa belas kasihan kepada sesama, memahami amanat ini. Ini adalah perjuangan hak azasi yang suci.''
Saya langsung pasang kuda-kuda.
''Maaf, tidak bisa. Tidak mungkin sama sekali. Juri tidak akan menjatuhkan pilihan berdasarkan kemanusiaan, tetapi berdasarkan apakah sebuah karya seni itu bagus atau tidak.''
''Tapi, bukankah karya yang bagus itu adalah karya yang membela kemanusiaan dan bermanfaat bagi manusia?''
''Betul. Tapi, meskipun membela kemanusiaan, kalau tidak dipersembahkan dengan bagus atau ada yang lebih bagus, di dalam sebuah kompetisi yang adil, yang kurang bagus tetap tidak akan bisa menang.''
Orang yang mau menyuap itu tersenyum.
''Bapak mengatakan itu, sebab kami tidak menjanjikan apa-apa?''
''Sama sekali tidak!''
''Ya!''
Lalu dia mengulurkan sebuah cek kosong yang sudah ditandatangani. Saya langsung merasa tertantang dan terhina. Tetapi entah kenapa saya diam saja. Kilatan cek itu membuat darah saya beku.
''Kalau wakil kami menang, Bapak boleh menuliskan angka berapa pun di atas cek kontan ini dan langsung menguangkannya kapan saja di bank yang terpercaya ini.''
Saya bergetar. Itu sebuah tawaran yang membuat syok.
''Kalau ragu-ragu silakan menelepon ke bank bersangkutan, tanyakan apakah ada dana di belakang rekening ini, kalau Anda masih was-was. Kami mengerti kalau Anda tidak percaya kepada kami. Zaman sekarang memang banyak penipuan bank.''
Saya memang tidak percaya. Tapi saya tidak ingin memperlihatkannya.
''Anda tidak percaya kepada kami?''
''Bukan begitu.''
''Jadi bagaimana? Apa Anda lebih suka kami datang dengan uang tunai? Boleh. Begitu? Berapa yang Anda mau?''
Saya tak menjawab.
''Satu miliar? Dua miliar? Lima miliar?''
Saya terkejut. Bangsat. Dia seperti sudah menebak pikiran saya.
''Kita transparan saja.''
Saya gelagapan. Apalagi kemudian dia mengeluarkan sebuah amplop. Nampak besar dan padat.
''Kami tidak siap dengan uang tunai sebanyak itu. Tapi kebetulan kami membawa sejumlah uang kecil yang akan kami pakai sebagai uang muka pembelian mobil. Silakan ambil ini sebagai tanda jadi, untuk menunjukkan bahwa kami serius memperjuangkan kemanusiaan.''
Dia mengulurkan uang itu. Kalau pada waktu itu ada wartawan yang menjepret, saya sudah pasti akan diseret oleh KPK, lalu diberi seragam koruptor. Saya tak berani bergerak, walaupun perasaan ingin tahu saya menggebu-gebu, berapa kira-kira uang di dalam amplop itu.
''Silakan.''
Tiba-tiba saya batuk. Itu reaksi yang paling gampang kalau sedang kebingungan. Tetapi batuk saya yang tak sengaja itu sudah berarti lain pada tamu itu. Dia merasa itu sebagai semacam penolakan. Dia merogoh lagi tasnya, lalu mengeluarkan sebuah amplop yang lain.
''Maaf, bukan saya tidak menghargai Anda, tapi kami memang tidak biasa membawa uang tunai. Kalau ini kurang, sore ini juga kami akan datang lagi. Asal saya mendapat satu tanda tangan saja sebagai bukti untuk saya laporkan. Atau Anda lebih suka menelepon, saya hubungkan sekarang.''
Cepat sekali dia mengeluarkan HP dan menekan nomor-nomor sebelum saya sempat mencegah.
''Hallo, hallo ......''
Saya memberi isyarat untuk menolak. Tapi orang itu terlalu sibuk, mungkin sengaja tidak mau memberi saya kesempatan. Waktu itu anak saya yang baru berusia 4 tahun berlari dari dalam. Dia memeluk saya. Saya cepat menangkapnya. Tapi, sebelum tertangkap, anak itu mengubah tujuannya. Dia mengelak dan kemudian mengambil kedua amplop yang menggeletak di atas meja.
''Ade, jangan...!''
Tapi amplop itu sudah dilarikan keluar.
''Adeee, jangan!''
Saya bangkit lalu mengejar anak saya yang ngibrit ke halaman membawa umpan sogokan itu. Merasa dikejar, anak saya berlari menyelamatkan diri.
''Ade, jangan...!''
Anak saya terus kabur melewati rumah tetangga. Para tetangga ketawa melihat saya kejar-kejaran dengan anak. Mereka mungkin menyangka itu permainan biasa.
''Ade jangan, itu punya Oom!''
Terlambat. Anak saya melemparkan kedua amplop itu ke dalam kolam. Kedua-duanya. Ketika saya tangkap, dia diam saja. Matanya melotot menentang mata saya. Seakan-akan dia marah, karena bapaknya sudah mengkhianati hati nurani. Padahal saya sama sekali tidak bermaksud menerima suapan itu. Saya hanya memerlukan waktu dalam menolak. Saya kan belum berpengalaman disuap. Apalagi menolak suap. Itu memerlukan keberanian mental. Baik menerima maupun menolaknya.
Kedua amplop itu langsung tenggelam. Sudah jelas sekali bagaimana beratnya. Perasaan saya rontok. Dengan menghilangkan akal sehat saya lepaskan anak saya, lalu terjun ke kolam. Dengan kalap saya gapai-gapai. Tapi kedua amplop itu tak terjamah.
Para tetangga muncul dan bertanya-tanya. Heran melihat saya yang biasa jijik pada kolam yang sering dipakai tempat buang hajat besar itu, sekarang justru menjadi tempat saya berenang. Bukan hanya berenang, saya juga menyelam untuk menggapai-gapai. Tidak peduli ada bangkai ayam dan kotoran manusia, amplop itu harus ditemukan.
Dengan berapi-api saya terus mencari. Kalau kedua amplop itu lenyap, berarti saya sudah makan suap. Hampir setengah jam saya menggapai-gapai menyelusuri setiap lekuk dasar kolam. Tak seorang pun yang menolong. Semua hanya memperhatikan kelakuan saya. Saya juga tidak bisa menjelaskan: bahaya. Hari gini, siapa yang tidak perlu uang?
Ketika istri saya muncul dan berteriak memanggil baru saya berhenti.
''Bang! Tamunya mau pulang!''
Cemas, gemas, dan kecewa saya keluar dari kolam. Badan saya penuh lumpur. Di kepala saya ada tahi. Orang-orang melihat kepada saya dengan jijiiiiiiiik bercampur geli. Istri saya bengong. Tapi saya tidak peduli. Anak saya hanya ketawa melihat bapaknya begitu konyol.
''Eling Dik, eling,'' kata seorang tetangga tua menyangka saya kemasukan setan.
''Abang kenapa sih?'' tanya istri saya galak dan penuh malu.
Saya tidak berani menjawab terus-terang. Kalau saya katakan anak saya melemparkan dua amplop uang, semuanya akan terjun seperti saya tadi untuk mencari. Ya kalau dikembalikan. Kalau tidak? Mereka yang akan kaya dan saya yang masuk penjara.
Untuk menghindarkan kemalangan yang lain, saya hanya menggeleng.
Diinjak pikiran kacau saya pulang. Tapi tamu itu sudah kabur. Tak ada bekasnya sama sekali. Seakan-akan ia memang tidak pernah datang. Sampai sekarang pun ia tidak pernah muncul lagi.
Saya termenung. Apa pun yang saya lakukan sekarang, saya sudah basah. Tak menolak dengan tegas, berarti saya sudah menerima. Ketidakmampuan saya untuk tidak segera menolak karena kurang pengalaman, tak akan dipercaya. Siapa yang akan peduli. Masyarakat sedang senang-senangnya melihat pemakan suap digebuk. Kalau bisa mereka mau langsung ditembak mati tanpa diadili lagi.
Dan, kenapa saya terlalu lama bego. Melongo adalah pertanda bahwa saya diam-diam punya keinginan menerima. Aduh, malunya. Tapi coba, siapa yang tidak ingin ketimpa rezeki nomplok. Orang kecil memang selalu tidak beruntung. Sedekah ikhlas pun sering difitnah sebagai suap. Seakan-akan orang kecil memang paling tidak mampu melawan nasibnya. Sementara pada orang gedean sudah jelas sogokan masih diposisikan semacam tanda kasih.
''Sudah, jangan kayak orang bego, cepetan mandi dulu, bau!'' bentak istri saya.
Saya terpaksa cepat-cepat masuk ke kamar mandi. Setelah telanjang dan mengguyur badan, baru saya sadari betapa kotor dan busuknya saya. Berkali-kali saya keramas dan membarut tubuh dengan sabun, tapi bau kotoran itu seperti sudah masuk ke dalam daging.
''Cepat mandinya, bungkusannya sudah ketemu!'' teriak istri saya sambil menggedor pintu.
Darah saya tersirap. Hanya dengan menyelempangkan handuk menutupi aurat, saya keluar.
''Mana?''
Seorang anak tetangga, teman main anak saya mengacungkan kedua amplop itu. Badannya kuyup penuh kotoran. Rupanya dia nekat terjun meneruskan misi saya yang gagal karena dia tidak rela Ade saya strap.
''Terima kasih!'' kata saya menyambut kedua amplop itu, sambil kemudian memberikan uang untuk persen.
''Lima puluh ribu?'' teriak istri saya memprotes.
Lalu ia mengganti uang itu dan menggantikannya dengan tiga lembar uang ribuan.
''Masak ngasih anak lima puluh ribu, yang bener aja!''
''Tapi ....''
''Ah sudah! Tidak mendidik!''
Saya tidak berdebat lagi, karena anak itu sudah cukup senang dengan tiga ribu. Lalu ia melonjak dan berlari keluar seperti kapal terbang, langsung ke warung. Pasti membeli makanan chiki-chiki sampah yang membuat usus bolong.
Kedua amplop uang itu saya bawa ke kamar mandi. Dengan hati-hati saya bersihkan tanah dan kotorannya. Untung amplopnya kuat terbuat dari semacam kertas plastik, jadi tahan air. Uang tidak akan turun harganya hanya karena belepotan kotoran.
''Apa itu?'' sodok istri saya ingin tahu.
Saya cepat-cepat menghindar sambil menyembunyikan amplop itu dalam handuk. Kalau dia tahu itu uang, ide-ide busuknya akan muncul. Kalau itu dibiarkan berkembang, akhirnya saya akan masuk penjara. Saya tidak percaya bahwa hanya wanita yang lemah pada uang. Laki-laki sama saja. Tetapi saya kenal betul dengan ibu si Ade. Dia sudah terlalu capek hidup di kampung kumuh. Sudah lama dia menginginkan masa depan yang lebih baik terutama setelah Ade lahir, yang belum mampu bahkan mungkin tak akan bisa saya berikan. Baginya pasti tidak ada masalah suaminya masuk penjara, asal masa depan anaknya cerah.
Saya naik ke atap rumah untuk menjemur amplop itu supaya benar-benar kering. Saya tunggu di sana dengan menahan panas matahari, takut kalau ada tangan jahil mengambilnya. Keputusan sudah diambil, saya tidak akan menerimanya. Saya akan mengembalikan, kalau orang itu datang lagi. Dia pasti sengaja pergi untuk menjebloskan saya terpaksa menerima. Tidak, saya tidak pernah mimpi akan menjadi pelaku suap.
Tapi sepuluh hari berlalu. Orang itu tidak muncul-muncul juga. Lomba pun memasuki saat penentuan. Melalui perdebatan yang sangat sengit, akhirnya dicapai kata sepakat. Dengan sangat mengejutkan pemenangnya adalah calon yang dimintakan dukungan oleh penyuap daerah itu.
Terus-terang saya termasuk yang ikut memberikan suara pada kemenangan tersebut. Bukan karena suap. Jagoan daerah itu memang berhak mendapatkannya. Bahkan juara kedua, apalagi ketiga, masih jauh di bawahnya. Kemenangan itu dinilai wajar oleh semua orang. Diterima baik oleh masyarakat. Sama sekali tidak ada suara-suara kontra.
Satu bulan berlalu. Lomba itu sudah menjadi lampau. Saya pun memperoleh jarak yang cukup untuk menyiapkan perasaan menghadapi kedua amplop itu. Meski sudah saya sembunyikan dengan begitu rapi, tapi kalau lagi sepi, kadang-kadang amplop itu saya bawa ke tempat sunyi di depan rumah dan menimang-timangnya. Rasanya aneh, kunci untuk mengubah masa depan ada di tangan, tapi saya cukup hanya memandanginya. Kemiskinan terasa tidak begitu menggasak lagi, di dekat senjata yang bisa membalikkan semuanya setiap saat. Mau tak mau saya terpaksa mengakui, betapa dahsyatnya arti uang. Suka tidak suka ternyata harus diakui memang uang mampu menenteramkan. Namun saya sudah bersikap menolak.
Sayang sekali roda kehidupan yang membenam saya di bawah terus, akhirnya mulai menang. Memasuki bulan kedua, ketika pemilik amplop itu tidak muncul-muncul juga, pikiran saya bergeser. Suap adalah dorongan yang membuat kita terpaksa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani dan merugikan orang banyak. Saya tidak melakukan itu. Orang juga tidak memprotes keputusan yang diambil juri. Apa perlu saya cek, adakah semua juri juga sudah disodori amplop seperti saya? Saya kira itu berlebihan. Keputusan kami yang diterima baik adalah bukti bahwa kemenangan itu tepat. Orang tidak berhak menuduh saya atau kami disuap hanya karena kebetulan kemenangannya sama dengan yang dikehendaki penyuap itu. Maksud saya orang yang mencoba menyuap itu.
Pada bulan ketiga, saya capek menunggu. Lelah juga dipermainkan oleh ketegangan. Kenapa saya mesti menolak nasib baik yang sudah di tangan. Istri saya sudah tidak mau lagi tidur dengan saya. Anak saya kontet karena gizinya kurang. Utang di warung sudah tak terbayar sehingga lewat saja sudah rasa dihimpit oleh hina dan malu.
Akhirnya, setelah berdoa berkali-kali dan meminta ampun kepada Tuhan, saya memutuskan nekat. Apa boleh buat biarlah saya masuk penjara kalau saya memang terbukti nanti makan suap. Tapi, sedikitnya saya sudah sudah bisa membahagiakan keluarga dengan memperbaiki rumah dan membeli motor seperti tetangga saya. Kenapa orang lain boleh bahagia dan saya hanya kelelap kemiskinan karena membela kesucian. Jauh lebih baik makan suap meskipun dihukum daripada dihukum karena kena suap tanpa sempat tanpa selembat pun menikmati manis suapnya.
''Baiklah, hari ini kita memasuki sesuatu yang baru,'' kata saya pada anak-istri malam itu sambil menunjukkan kedua amplop uang itu. ''Aku sudah mengambil keputusan bahwa ini adalah hak kita, karena sudah 3 bulan 10 hari pemiliknya tidak kembali. Bukan salah kita. Masak hanya tetangga yang berhak betulin rumah dan beli motor, kita sendiri makan tahi sampai mati. Ini!''
Saya terimakan kedua amplop itu ke tangan istri saya. Istri saya diam saja. Anak saya nampak menahan diri. Dia tidak berani menyambar lagi seperti dulu.
''Ayo, dibuka saja!''
Istri saya tiba-tiba menunduk dan menangis.
''Lho kok malah nangis.''
''Abang jangan salah sangka begitu.''
''Salah sangka bagaimana?''
''Jangan menyangka yang tidak-tidak.''
''Yang tidak-tidak apa?''
''Aku tidak capek karena kita miskin, tapi karena aku sakit. Aku juga sudah mulai tua sekarang, Bang. Aku diam karena tidak mau memberati perasaan Abang. Bukan apa-apa. Aku tidak mau Abang memaksa diri menerima suap hanya untuk menyenangkan hatiku. Jangan. Aku masih kuat menderita kok. Masih banyak orang lain yang lebih jelek nasibnya dari kita.''
Dia berdiri dan meletakkan kedua amplop itu di depan saya.
''Jangan memaksakan sesuatu yang tidak baik, nanti tidak akan pernah baik.''
Dia menggayut tangan Ade, lalu membawanya ke dapur. Anak saya menurut tapi dia melirik kepada saya lalu menatap ke kedua amplop itu. Kemudian diam-diam menunjuk dengan telunjuknya.
Saya menghela napas dalam. Disikapi oleh istri seperti itu, kenekatan saya justru bertambah. Memang anak dan istri saya tidak usah ikut bertanggung jawab. Biar saya sendiri nanti yang masuk neraka, asal mereka tidak. Dari jendela saya lihat perbaikan rumah tetangga menjadi dua lantai sudah hampir rampung. Suara motornya kedengaran nyaring melengking menusuk malam, membuat saya panas.
Tiba-tiba terpikir sesuatu. Kenapa anak saya tadi menunjuk ke amplop. Apa maksudnya? Apa itu sebuah peringatan? Saya menatap amplop yang menjadi bersih karena sering saya belai itu. Tiba-tiba saya terperanjat. Di satu sisinya ternyata ada belahan. Dari situ nampak terbayang isinya.
Tangan saya gemetar. Saya sambar amplop itu dan intip isinya. Kemudian dengan bernafsu, barang yang sempat saya berhalakan itu saya kupas. Darah saya seperti muncrat keluar semua ketika menemukan di dalamnya bukan uang tetapi hanya tumpukan kertas-kertas putih.
Dengan kalap saya terkam bungkusan kedua dan preteli. Sama saja. Isinya juga hanya kertas. Di situ mata saya mulai gelap. Ini pasti perbuatan tetangga jahanam itu. Dia temukan amplop itu, lalu gantikan isinya, baru dia suruh anaknya supaya menyerahkan kepada saya. Bangsat. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia bisa meningkatduakan rumahnya dan membeli motor? Saya S2, dia SMP saja tidak tamat.
Dengan gelap jelalatan karena geram saya keluar rumah. Jelas sekali sekarang. Mungkin ketika anak saya lari-lari berkejar-kejaran dengan Ade, kedua amplop itu sudah direbut oleh tetangga. Setelah tahu isinya, mereka langsung ganti. Dan ketika saya mencebur ke dalam kolam mereka punya kesempatan untuk memeriksa isinya dan menggantinya. Itu kejahatan. Manusia sekarang sudah rusak moralnya karena uang. Tidak ada lagi perasaan persaudaraan, menjarah, merampok uang orang lain sudah jadi semacam kiat dan keberanian.
Dengan kalap saya sambar batu-batu. Tak peduli apa kata orang, lalu saya lempari rumah tetangga bajingan itu. Kaca-kaca pintu yang baru dipasang saya hancurkan. Motornya juga saya hajar.
''Bangsat! Aku yang disuap! Aku yang dijebloskan ke bui dan neraka, kamu yang enak-enak menikmati! Bajingan!''
Hampir saja rumah barunya saya bakar, kalau saja para tetangga tidak keburu menyerbu dan kemudian menghajar saya habis-habisan. Mata saya bengkak, tak mampu melihat apa-apa. Hanya telinga saya masih bisa menangkap isak tangis istri dan jerit histeris anak saya. ***
Jakarta 12 Septemner 08
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 21 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar