Haris del Hakim
Pendahuluan
Tulisan ini hanya sketsa ringan untuk mendekonstruksi wacana kita tentang ambisi kekuasaan yang mengatasnama-kan kebenaran (baca: dogma keagamaan) dan bagaimana mewujudkan dan mempertahankan cita-citanya tersebut. Seperti yang kita saksikan, pada saat ini muncul gerakan-gerakan yang mengatasnamakan kebenaran dan dengan itu merasa berhak melakukan berbagai macam tindakan untuk mewujudkan cita-citanya. Dan ternyata fenomena tersebut bukan hal yang baru di panggung sejarah panjang manusia ini.
Hancurnya Mitos Kekuasaan
Maha sempurna Allah telah menahbiskan Muhammad sebagai nabi dan utusan terakhir
Kalimat tersebut sangat pendek, tetapi mengandung prinsip-prinsip yang luar biasa: Muhammad merupakan uswah hasanah, namun seiring perjalanan waktu penokohan tentang Muhammad pun mengalami pergeseran sehingga perlu verifikasi informasi agar tidak ada klaim yang paling berhak mengatasnamakan kebenaran atau mewakili Islam, hancurnya mistifikasi kekuasaan. Pertama, Nabi Muhammad sebagai uswah hasanah (profil par-excellent) bagi orang-orang muslim dan beriman. Tingkah laku Muhammad dalam pentas sejarah merupakan gambaran penjelmaan firman Tuhan di muka bumi yang mewakili kebenaran. Dengan kata lain, Muhammad dan kebenaran merupakan komponen tunggal.
Kedua, pada zaman sekarang, sekitar 1374 tahun setelah kematian Muhammad, deskripsi mengenai tata laku Muhammad tentu mengalami perubahan-perubahan. Selama kurun waktu itu banyak kepentingan kekuasaan yang mengambil keuntungan lewat karakter Muhammad. Mereka akan mengadakan perubahan pada tataran detail. Sebagai contoh peritiwa Isra Mi’raj yang sebagian golongan percaya bahwa Muhammad melihat Abu Thalib sedang disiksa di neraka dengan kaki dibakar api sedangkan otaknya mendidih. Gambaran itu di kemudian hari ternyata muncul pada zaman Muawiyah yang bermusuhan dengan Ali bin Abi Thalib. Muawiyah menciptakan cerita tentang ayah Ali yang disiksa di neraka untuk melakukan pembunuhan karakter.
Sejarah Khilafah Islam menunjukkan pola perilaku politik yang tidak seideal dibayangkan oleh beberapa kelompok orang. Pasca kematian Muhammad umat Islam hampir pecah. Beberapa suku yang ditaklukkan pada zaman Muhammad menolak membayar zakat dan Khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shidiq, melakukan tindakan militeristik untuk menyelesaikannya, yaitu dengan perang riddah. Perilaku politik itu semakin jauh menyimpang pada Khilafah—Maududi menyebut sebagai kerajaan atau dinasti—Umayyah. Dinasti tersebut dimulai dengan intrik politik Muawiyah terhadap khalifah keempat. Ketika sedang terjadi konflik politik yang memanas hingga menimbulkan perang saudara, perang Shiffin, tentara Muawiyah hampir kalah oleh pasukan Ali bin Abi Thalib. Saat itu muncul ide kotor dari pihak Muawiyah. Mereka mengeluarkan Alquran dan menancapkannya di ujung tombak sebagai tanda bahwa mereka juga muslim yang berhak atas perundingan. Ali tidak percaya dengan intrik tersebut tetapi banyak sahabatnya yang menerima, sehingga diadakanlah perundingan yang berujung pada kekalahan Ali secara politis.
Akibatnya kemudian, mereka yang menggunakan Alquran sebagai alat perdamaian ternyata tidak seideal yang mereka katakan. Selama berkuasa Muawiyah mengubah pola kebijakan-kebijakan bervisi khilafah rasyidah menjadi dinasti yang bertolak belakang dengan Islam itu sendiri. Ciri utama “kebebasan” memilih Amirul Mukminin yang mewarnai sistem khilafah berubah menjadi pola Monarkhi. Istilah Amirul Mukminin sendiri sebenarnya bernuansa ilahiah dan profetis dan secara linguistik berlandaskan pada ayat “Taatilah Allah dan taatilah Rasulullah Saw serta Ulil Amri (orang-orang yang memegang persoalan) kalian”. Artinya, terdapat strata birokratik metafisik untuk ditaati. Ulul Amri yang diartikan secara gegabah dengan pemerintah, satu golongan atau kelas yang berperan untuk memproduksi kebijakan atau perintah-perintah semata, menjadi kabur maknanya. Ulul Amri tidak sekadar pemerintahan, tetapi lebih jauh dari itu adalah orang-orang yang bertanggungjawab, menjamin, menyediakan, melayani, dan mengurus segala persoalan orang-orang mukmin. Kata athi’û dalam ayat tersebut hanya melekat pada Allah dan Rasul-Nya, sedangkan pada kata ulil amri hanya sertaan saja. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya bersifat mutlak, sementara pada ulil amri harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Karena itu, suatu pemerintahan yang meskipun menggunakan label dan formalitas Islam tetapi tidak mempunyai karakter ulil amri menjadi tidak wajib ditaati, bahkan bisa disebut sebagai pemerintahan yang zalim. Dan mendukung pemerintahan seperti itu merupakan dukungan terhadap kezaliman.
Sementara, monarkhi merupakan sistem kekuasaan yang mewariskan kekuasaan hanya pada garis keturunan. Warisan masyarakat yang distratifikasi secara kaku dengan memandang gen, seperti kasta, darah biru, darah putih, dll. yang menjadi identitas pada masa jahiliyah ternyata dihidupkan kembali oleh Dinasti Umayyah. Ajaran pokok Islam berupa tauhid telah berupaya mendekontruksi sistem kekuasaan yang berdasarkan berhala, simbol kekuasaan yang kaku dan tidak menerima kritik, menjadi sistem kekuasaan yang egaliter dan rendah hati bagi pemegang kekuasaan; contoh ideal penguasa Islam ialah Muhammad dan Khalifah Rasyidah karena terlibat langsung dalam persoalan umat daripada kepentingan pejabatnya.
Pada masa dinasti itulah muncul interpretasi baru tentang tauhid yang berperan pula terhadap terjadinya perubahan deskripsi tentang Muhammad. Nabi dan Rasulullah akhir zaman itu pun ternodai oleh kekuasaan. Zaman Dinasti Umayyah inilah muncul pemerintahan yang feodalistik di mana penguasa dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi dan tidak terbantahkan kebijakan-kebijakan-nya. Beberapa orang tokoh yang mencoba kritis tanpa segan-segan disingkirkan oleh dinasti tersebut. Uniknya, korban mereka adalah orang-orang yang dinobatkan nabi sebagai tolok ukur kebenaran setelah kematiannya. Secara kebetulan mereka kalah secara politik, menjadi golongan marjinal yang berafilisiasi dengan Ali bin Abi Thalib. Di antaranya, Abu Dzar al-Ghifari, Khabab (pekerja keras yang tangannya pernah dicium oleh nabi Muhammad), Abdullah bin Mas’ud, Bilal, Salman al-Farisi, dll. Bahkan, dalam sebuah sumber disebutkan bahwa khutbah Jum’at merupakan sarana dialogis antara umat dan ulil amri atau ajang perdebatan atas kebijakan penguasa. Tetapi, pada zaman dinasti Umayyah berubah menjadi sarana indoktrinasi atas legalitas kekuasaan Muawiyah dan pembunuhan karakter Ali bin Abi Thalib. Sejak itu pula khatib menjadi corong penguasa dikawal oleh aparat keamanan dan siapa saja yang menentang isi khutbahnya akan diberi hukuman.
Perlu diperhatikan, Islam saat itu merupakan komoditas politik yang marketable, menarik perhatian, dan simbol single majority. Karena, prestasi-prestasi yang berhasil diraih oleh bangsa Arab yang gilang gemilang sejak kepemimpinan Nabi Muhammad hingga ekspansi wilayah yang luar biasa di masa Umar bin Khattab. Harga diri bangsa Arab sebagai bangsa tiba-tiba naik hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari 50 tahun.
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana menverifikasi data-data mengenai Muhammad sehingga tak ada klaim yang mengangkangi kebenaran dan mewakili Islam. Persoalan ini tidak bisa dianggap sepele mengingat Muhammad adalah ukuran kebenaran, sebagaimana telah dikemukakan. Sehingga ancaman yang tepat bagi orang yang mengatasnamakan sesuatu sebagai perilaku (sunnah) Muhammad padahal bukan darinya neraka. Sebagaimana yang disebutkan: “Barangsiapa secara sengaja mengatasnamakan suatu perbuatan sebagai perbuatanku padahal itu bukan dariku, maka bersiap sedialah untuk mengambil salah satu tempat di neraka.”
Ketiga, pasca kematian Muhammad tidak ada lagi wakil Tuhan, kebenaran, atau pihak yang menjadikan seseorang lebih dari yang lain. Hanya saja nabi pernah mensinyalir bahwa sekelompok orang yang menjadi pewaris nabi adalah ulama (al-ulamâ wartsat al-anbiyâ’). Persoalannya, kategori apa yang dimiliki oleh ulama sehingga berhak menjadi pewaris para nabi (waratsat al-anbiyâ) dan bukan di belakang atau penerima kentut para nabi (wara’ah al-anbiyâ’). Alquran menjelaskan mereka adalah sekelompok orang yang takut kepada Allah (QS. Fathir: 28). Sedangkan para salaf as-shalih memberikan pengertian tambahan bahwa mereka tidak mendatangi penguasa dan lebih memilih hidup bersama orang-orang kecil. Mereka menukil hadis yang berbunyi, ”Takutlah kalian pada orang yang tidak mempunyai perwakilan siapa pun selain Allah.” Dalam peribahasa dinyatakan hanya burung bulbul yang berkumpul dengan bulbul. Hanya ulama sejati yang memilih berkawan karib dengan orang-orang lemah dan tidak berdaya.
Pernyataan tersebut masih bisa dibantah apabila tolok ukur kita bersifat material. Sedangkan dari sudut keimanan, maka kategori manusia paling tinggi derajatnya adalah yang bertakwa dan tidak ada seorang pun yang tahu kedudukan seseorang di sisi Allah, sebab hanya Allah sendiri yang tahu kedudukan hamba-Nya. Sehingga, tidak semua orang yang mengaku atau diakui sebagai ulama bisa disebut ulama, melainkan harus memiliki karakter yang benar-benar menunjukkan dia adalah seorang ulama. Menurut logika sederhana, seorang wakil harus diangkat oleh yang diwakili—dus, ulama harus diangkat oleh Allah dan tidak bisa mengangkat diri sendiri atau bersekutu untuk disebut ulama. Fenomena walisongo di tanah Jawa perlu dikaji ulang. Apakah kemunculan mereka murni sebagai wali Allah yang memegang walayah dan berhak menjadi wakil Tuhan atau pewaris para nabi? Ataukah walisongo tidak lebih dari persekutuan orang-orang tertentu yang menginginkan kekuasaan dan mengatasnama-kan umat Islam? Sebab, banyak hal yang perlu dikoreksi mengenai keberadaan mereka. Para wali berketurunan Arab, kecuali Sunan Kalijaga, dan masih termasuk keluarga besar Sunan Ampel. Mereka bergabung, menghancurkan kerajaan Pajang pimpinan Sultan Hadiwijaya—yang dikenal sebagai murid Sunan Kalijaga—dan Majapahit yang bermusuhan dengan Giri kemudian melahirkan kerajaan Demak Bintoro dikomandoi oleh Raden Patah. Apakah Demak benar-benar representasi dari Islam sebagaimana yang dicita-citakan para walisongo? Pada zaman Sultan Trenggono terjadi pengkhianatan dan membiarkan kolonialisasi Portugis leluasa di Malaka, apabila yang diceritakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Arus Balik-nya itu benar. Berbeda dengan Pati Unus yang gigih menentang kedatangan para petualang itu. Siapakah yang berhak mengklaim sebagai perwakilan dari kebenaran? Samakah kelompok walisongo itu dengan Majelis Ulama’ Indonesia yang tidak memiliki basis umat secara jelas—berbeda dengan NU dan Muhammadiyah—dan hanya berkecimpung dalam barisan kekuasaan?
Muhammad: keagungan yang dikerdilkan
Sosok Muhammad masih menarik untuk dikaji kembali dan semakin menarik karena fenomena karikatur di Denmark beberapa bulan lalu. Mayoritas orang Denmark menganggap kaum muslim di sana hanya sedikit dan tidak berdaya. Akan tetapi, anggapan itu ternyata salah besar. Mereka terhenyak ketika karikatur yang diniati sekadar tingkah iseng seorang kreator tiba-tiba menjadi persoalan internasional yang membahayakan kedudukan Denmark. Muhammad ternyata bukan hanya milik orang Denmark, tetapi milik umat Islam seluruh dunia. Sehingga, menodai kehormatan Muhammad ialah menodai keyakinan umat Islam.
Kreator atau pembuat karikatur “Muhammad Biang Teroris” tidak bisa disalahkan secara mutlak. Sebab, hal itu menyangkut bangunan pemikiran yang mereka terima sejak puluhan dan bahkan ratusan tahun. Citra tentang Muhammad di lingkungan mereka berbeda jauh dengan citra Muhammad di kalangan kaum muslim. Salah satu pencitraan Muhammad tersebut ada dalam karya Dante berjudul The Divine Comedy. Edward Said telah membuat sinopsis yang apik tentang bagaimana Dante menggambar-kan Muhammad: “Maometto” – Muhammad – muncul dalam canto (bagian dari suatu syair) 28 inferno. Muhammad ditempatkan pada lapisan kesembilan dari sepuluh lapisan Bolgias of Malebolge, gugusan parit kelam yang mengelilingi kubu setan di neraka. Demikianlah, sebelum sampai kepada Muhammad, terlebih dahulu Dante melewati lapisan yang berisi orang-orang yang dosanya lebih ringan: si cabul, si tamak, si rakus, si bid’ah, si angkara murka, si pembunuh diri, dan si durhaka (penghina Tuhan). Lapisan setelah Muhammad hanya diisi oleh para pemalsu dan pengkhianat (yang mencakup Judas, Brutus, dan Casius), sebelum orang tiba pada dasar neraka di mana setan sendiri berada. Jadi Muhammad termasuk ke dalam hirarki kejahatan yang ketat, dalam kategori yang dinamakan Dante sebagai semonator di scandalo e di scisma (penyebar skandal dan perpecahan). Hukuman terhadap Muhammad, yang merupakan nasibnya yang abadi, adalah hukuman yang sangat menjijikkan. Tubuhnya terus-menerus dibelah dua dari dagu hingga ke anus bagaikan, kata Dante, tong kayu yang papan-papannya dirobek. Pada bagian ini Dante menguraikan detil-detil eskatologis yang tercakup dalam hukuman tersebut: isi perut dan najis Muhammad digambarkan sejelas-jelasnya. Muhammad menerangkan kepada Dante mengenai hukuman yang menimpanya, sambil menunjuk kepada Ali, yang mendahuluinya dalam barisan para pendosa yang dibelah tubuhnya oleh malaikat penyiksa. Ia meminta pada Dante untuk memperingatkan seorang bernama Fra Dolcino, pendeta murtad yang sektenya menganjurkan komunalitas wanita dan harta benda, yang dituduh memiliki seorang istri, akan siksaan yang menimpanya. Docino sendiri merupakan pemimpin sekte pada masa Dante yang sedang melonjak debut teologinya.” (Said: 88-89).
Padahal, karya Dante tersebut terinspirasi oleh Risalah al-Ghufran karya al-Ma’ari yang menggambarkan bagaimana penulis, bernama Ghufran, masuk surga dan bertemu dengan para penyair di sana. Dia meminta penjelasan tentang makna kata-kata dalam puisi kepada penyairnya langsung. Perbedaannya, karya Dante dianggap sebagai karya abadi dan “menjadi bacaan wajib” bagi generasi Barat, sedangkan karya al-Ma’ari tidak dikenal oleh sembarang orang. Bahkan, bantahan atas karya Dante yang dilakukan oleh Muhammad Iqbal tidak mendapatkan perhatian sama sekali dan asing bagi kaum muslim sendiri. Penyair sekaligus pendiri negara Pakistan itu memberikan gambaran tentang Muhammad dalam Javid Namah. Di buku tersebut dia menjelaskan bahwa dalam lingkup Jupiter tokoh bertemu dengan Hallaj dan menanyakan misteri-misteri Nabi Muhammad yang memberikan jawaban salam dalam bentuk syair yang panjang:
sebab ia itu manusia, sekaligus zat
zatnya bukan Arab, bukan Persia
dia manusia, namun sebelum adam
“Hamba-Nya” penulis nasib
di dalam dirinya ada perbaikan keporak-porandaan
“Hamba-Nya” pemberi ruh, sekaligus pengambil ruh;
“Hamba-Nya” kaca sekaligus batu keras
“Hamba” itu sesuatu, dan “Hamba-Nya”
sesuatu yang lain lagi –
kita semua menanti; dialah yang dinanti-nantikan
“Hamba-Nya”tak berawal, tak berakhir,
“Hamba-Nya” – dimana baginya pagi dan petang?
Tak seorang pun tahu rahasia-rahasia “Hamba-Nya”—
“Hamba-Nya” tak lain adalah rahasia “kecuali Allah”
Bagi dunia Barat, Muhammad tidak lebih seorang psikopat, seperti yang dikemukakan oleh para pemuka kafir Jahiliyah yang menyebut sebagai penyair atau orang gila. Namun, Muhammad Iqbal memberikan bantahan yang brilian: “Kalau seorang psikopat mampu memberikan arah segar kepada jalannya sejarah manusia, ini merupakan satu hal yang sangat menarik minat psikologi untuk menyelidiki pengalamannya yang sebenarnya yang telah mengubah budak-budak menjadi pemimpin-pemimpin manusia dan yang telah mengilhami perilaku dan membentuk perjalanan hidup seluruh ras manusia. Menilai dari berbagai aktivitas yang memancar dari gerakan yang dilancarkan oleh nabi, ketegangan spiritual danperilaku yang muncul darinya tak dapat dipandang sebagai suatu tanggapan terhadap semata-mata fantasi di dalam otaknya. Tak mungkin untuk memahaminya kecuali sebagai tanggapan terhadap situasi obyektif yang melahirkan antusiasme-antusiasme baru, tatanan-tatanan baru, titik-titik tolak baru. Jika kita lihat masalahnya dari sudut pandang antropologi, tampaklah bahwa seorang psikopat merupakan faktor penting dalam ekonomi organisasi manusia.”
Di sini jelas sekali perbedaan cara pandang orang-orang muslim, yang kebetulan tinggal di kawasan Timur, dan orang-orang Barat tentang Muhammad. Bagi orang-orang Timur, Muhammad merupakan harga diri. Di samping sebagai nabi bagi umat Islam dia juga penggerak lahirnya kebesaran Islam yang menguasai dunia selama 700 tahun. Semenjak wafatnya Muhammad pada tahun 632, hegemoni militer yang disusul dengan hegemoni kebudayaan dan keagamaan Islam berkembang sangat pesat. Pada mulanya Persia yang megah itu ditaklukkan, Syria dan Mesir, lalu Turki kemudian Afrika Utara pun jatuh ke tangan orang muslim; pada abad kedelapan dan sembilan Spanyol, Sisylia, dan negara bagian Prancis pun ditaklukkan. Abad ketiga belas dan keempat belas, Islam hampir berkuasa sampai ke India, Indonesia, dan China.
Akan tetapi, ekspansi yang menimbulkan rasa takut dan gentar itu digambarkan dengan sedikit perhatian oleh para penulis barat. Coba perhatikan teks-teks berikut: “sezaman dengan periode sejarah Eropa paling gelap dan lamban” dan koreksi yang bersifat narsis “karena semua ilmu muncul di Barat, ilmu-ilmu Timur tampaknya telah mengendor dan merosot.” Satuhal yang perlu diperhatikan, para penulis Barat selalu memberikan gambaran yang menggeneralisir mengenai Timur, memberikan keterangan yang detail mengenai Barat; salah satu strategi hegemoni. Itulah mengapa kebudayaan Barat selalu terlihat unggul, sebab selalu diberikan penjelasan sangat terperinci yang berbeda dengan Timur yang di-gebyah uyah saja (dalam bahasa Jawa, pokoke sebagai kata yang tak terbantah kebenarannya).
Penutup
Uraian di atas menunjukkan pada kita bagaimana kekuasaan merekonstruksi argumen-argumen agar dapat melanggengkan dirinya. Pertanyaannya kemudian, akankah kita terus mengulang rekonstruksi kebenaran hanya demi menutupi ambisi kekuasaan?
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar