KRT. Suryanto Sastroatmodjo
Paduka Ibunda Kanjeng Ratu Sepuh!
Ternyata, dorongan terbesar dari setiap anak untuk sanggup berbicara adalah merdekanya lahir dan batin, dan merdekanya nilai-nilai yang dapat digunakan selaras kehendak hati. Kita mustahil dapat melihat sangkar nan gumantung di pepohonan johar, serta tak mengetahui kapan diturunkan; dan isinya diberi kesempatan menjenguk dunia bebas. Kita takkan tahu, apakah sarang-sarang peksi ‘abur-gumelur’ yang tanpa kendali itu hadir kembali sebagai wadah dari sang pemilik kelanggengan, karena nyanyian-nyanyiannya. Manakala terdapat rasa sarujuk buat menegurnya, mereka bisa dipersilakan. Fitrah yang dihadapkan ke tengah tawar-menawar.
Paduka Ibu Ratu Sepuh!
Kiranya puteranda ini teramat lancang, bila menyampaikan atur-utama dalam warkah yang kusut-masai. Beribu-ribu ampun puteranda haturkan jika keberanian ini sampai membuat kemasygulan di hati Ibunda. Segalanya tiada lain untuk menguatkan andaran, bahwasanya Hidup teramat musykil untuk dinilai dengan tilik-sebelah. Lebih nihil lagi, jikalau Hidup dianggap menjadi reruntuk di bawah tebing berwarna kelam, karena para-kawula nan menyongsongnya telah khilaf. Puteranda beranggapan, musim gugur bukanlah sesuatu yang memedihkan, jikalau musim-musim selebihnya telah memberkahi diri kita dengan lindungan sayap malaikat. Kalau belum merasakannya dengan hati dan jantung, mungkin kita sanggup merekamnya dengan tali-tali sukmawi. Itu adalah lebih baik, katimbang kita menutup mata dan telinga selamanya.
Paduka Kanjeng Ibu Ratu Sepuh!
Sepekan silam, adinda bungsu, Raden Ajeng Retno Sumekar telah memberanikan diri untuk sowan-menghadap kepada duli Ibunda. Mungkin sekali, batinnya terkoyak. Saya belum tahu benar, apakah pengalaman tahun yang lalu membuatnya tabah, ataukah malahan lebih perih lagi. Akan halnya sekarang, jikalau koyaknya karena harus mempersembahkan ucapan yang lantang, yang tentunya bakal membuat murkanya Paduka Ayahanda dan Ibunda. Padahal, kami sekali-kali tak menghendaki hal itu terjadi. Dalam kesinambungan generasi terdapat beberapa perwajahan.
Kami sungguh tak ingin, bahwa dinasti dan rumpun keluarga kita menjadi bahan pembicaraan sana-sini, yang menyakitkan. Tatkala Paduka Kanjeng Ibu tak merestui hubung-jalinan kasih antara Diajeng Retno Sumekar dengan seorang pria dari kalangan rakyat-jelata, yakni Bagus Jumawal, dapat kita gambarkan sendiri, betapa jeritan batin Diajeng itu. Karena, mereka selama ini telah begitu karib, akrab dan seperti sudah sulit dipisahkan. Kendatipun, Bagus Jumawal hanyalah anak-angkat dari Mantri Kolektur Suwiryo Mangunpuspito di Kalijambe, dan banyak orang mengatakan, bahwa Bagus Jumawal adalah anak desa yang dipungutnya sedari umur tujuh tahun.
Tetapi, bakat dan kemampuan Bagus dapat diandalkan, bukan? Kanjeng Ibu tentunya pernah mendengar, bahwasanya ia lulus MULO dengan nilai-nilai bagus, dan masuk HIS Bangil dengan mudah, tanpa diuji lebih dahulu. Hanya anak-anak priyayi kota ini saja yang diterima. Kalau Bagus bisa, lantaran dia disebut sebagai “puteranya” Pakdhe Mantri Kolektur Mangunpuspito. Yang kami tekankan, kemampuan berjuang dan tekadnya untuk maju, sungguh luarbiasa, lebih daripada anak-anak priyayi sebaya. Apakah Kanjeng Ibu masih merasa malu bila bermenantukan Si Bagus?
Hamba lihat, wajahnya cukup tampan, tatakramanya memikat, penampilan bagus – sepadan bila bergandengan dengan Diajeng Retno Sumekar.
Sudah genap seribu hari yang silam atau tiga setengah tahun, semenjak Retno Sumekar menghentikan sekolahnya di kelas terakhir HIS, karena Paduka Kanjeng Ibu memerintahkan supaya dia dipingit. Pemberontakan pun terjadi, sengit dan mengecambah. Kami, putera kakung yang berjumlah empat orang, dan semua telah duduk di MULO, AMS, dan HBS, segera melakukan pemberontakan. Kanjeng Romo Adipati yang semula teguh pada pendiriannya, toh kemudian melunakkan kehendaknya sendiri. Beliau mengadakan pembicaraan empat mata dengan putra pambarep alias si sulung, Kangmas Raden Mas Hadikusumo, yang lulusan Bestuur Academie, dan kini menjabat Wedono Semugih, dan sedang dipromosikan sebagai Patih di Lumajang Tengah. Dia mati-matian menentang sikap Ibunda: “Jaman sudah banyak berubah, Kanjeng Romo dan Kanjeng Ibu,” tatkala dia sowan di Dalem Ageng. “Kini tahun 1933 – tiga puluh tahun sesudah zaman Raden Ajeng Kartini, putri Adipati Jepara; dan Ibu mesti menengok masa! Kasihan sekali Diajeng Retno. Ia cerdas dan progresif. Biarlah sekolahnya diteruskan ke MULO – dan karena itu bisa diasah buat menghadapi tantangan adat!”
“Akan tetapi, Buyung,” potong Ibunda. “Sekolah itu bebas sekali. Masakan putri-putri Jawa yang lembut harus berkawan-sekelas dengan para Sinyo Totok yang begitu keras. Tak bisa kubayangkan, adikmu itu …”
“Toh, bukan itu yang utama,” potong Kangmas Hadikusumo pula, lebih sengit. “Jikalau Ibunda berkeberatan, lebih baik Diajeng Retno masuk MULO partikelir, yang sore hari. Misalnya, milik Muhammadiyah, yang khusus untuk wanita dan kaum Pribumi Jawa. Yang wigati, sekolahnya lancar!”
Romo terdiam, dan manggut-manggut. Romo mengisap serutu, seraya sesekali meneguk unjukan anggurnya. Dari arah pringgitan, saya menatap lampu robyong yang nampak menyilaukan, karena sedompol melati wangi nan di-gerba dalam wujud kristal cilik-cilik itu seperti membuat kita saling kaku dan asing, satu sama lain. Mengapa Ibunda berpikiran yang terbelakang? Dan tatkala Diajeng sudah duduk di MULO, dan giat berlatih serimpi di Kepatihan – lantaran koordinasi tari ke-upacara-an diserahkan kepada Pamanda Patih – Ibunda cemas, kalau-kalau ada jejaka luar ‘nimbrung’ di kesempatan tersebut. Maka, Ibunda memerintahkan Bagus Jumawal untuk mengawal puteri ini, setiap Sabtu petang Diajeng berkereta bendi ke Dalem Kepatihan. Soalnya, menurut Ibunda, lelaki itu polos dan tak banyak tingkah. Lagipula, ayahnya – ayah angkatnya, maksud saya – adalah orang kepercayaan Romo. Apa boleh buat, bila sesuatu yang tanpa kita duga sebelumnya, terjadi kala itu. Witing tresno saka kulina, kasih nan terjalin dan terkembang, karena terbiasa bergaul.
Sayang seribu sayang, Kanjeng Ibu amat menentang. “Aku justru menugaskan Si Bagus sebagai pengawal Dhenok, bukan sebagai calon suami, tahu?! Kenapa lalu dipaksakan seperti itu?” Ibunda kemudian memerintahkan, agar supaya hubungan persahabatan nan meningkat jadi kasih sejati itu terputus. Sebagai hukumannya, Bagus dilarang berkunjung ke Kabupaten. Malahan Kanjeng Ibu bersikap lain terhadap keluarga Pakdhe Mantri Kolektur Mangunpuspito sekarang. Aneh, aneh!
Paduka Ibunda Kanjeng Ratu Sepuh!
Prahara nan dahsyat, bagaimana pun juga sanggup diredakan dari gempung-gempungan samudera, asalkan kita mampu menyimak jalannya iklim serta arah angin. Gelombang nan menghempas dapat ditaklukkan, tanpa menyebabkan anak-anak manusia gugur di kaki langit. Adab, susila, tatacara, kesemuanya merupakan pranata nan sengaja diciptakan oleh suatu generasi dan lembaga tertentu, untuk membangun jarak antara pribadi satu dengan yang lain. Apalagi bila sebuah dinasti menjadi kiblat dari pranata nan kokoh-kekar serta tak-tergulirkan, seraya menjadi jalanan berkerakal, berkerikil tajam. Mengapa putra-wayah mesti rela berkorban buat memuliakan nilai-nilai nan musykil ini? Kenapa jaman tak diakrabkan dengan siklus budaya nan ginelar, sehingga cara gaul dan tata rengkuh yang dijalinkan terasa tak sehat; bahkan kaku, getir, menimbulkan gerah, lalu menyebalkan!
Patut ditulis, Ibunda, bahwasanya Diajeng Retno keras hati. Kini dia telah duduk di kelas tiga MULO, dan kendati pun keluarga Kabupaten melarangnya bertemu dengan bagus Jumawal, toh mereka secara sembunyi-sembunyi melakukannya. Saya heran bercampur takut, karena Kanjeng Ibu memerintahkan diriku sebagai pengawal Diajeng, dan memata-matainya selalu. Sekali duakali saya sanggup melakukannya. Tetapi untuk seterusnya saya angkat tangan. Hatiku terharu, dan takkan tega menempuh cara ini. Terkadang, pertemuan diatur secara rempit dan njlimet, misalnya, bahwa pura-pura berbelanja, lantas ketemu di pusat perbelanjaan, seperti tanpa sengaja. Atau, justru Diajeng sowan ke Pakdhe Kolektur dan di sana mereka bisa bicara bebas. Tapi, ini, kuakui, teramat besar resikonya. Yang menegangkan, bila Diajeng kangen sekali pada kekasihnya, maka saya pun mencoba mengajaknya ke tebing Kali Cemara, di sebuah tempat tamasya umum yang indah, bernama Taman Windu Sari. Nah, ternyata jejaka itu sudah berada di situ, dan menunggunya dengan setia. Kudengar percakapan mereka, karena kuberi kebebasan buat bincang-bincang ini. Dengarlah, Ibunda…!
“Bahaya itu sudah kusadari, pasti ada, dan besar, Mas Bagus,” ujar Retno Sumekar dengan hati-hati. “Kangmas tahu, kalau aku berani melanggar larangan ini, maka aku seterusnya akan dilarang bergaul dengan siapapun. Dipingit keras! Kau tahu artinya itu? Aku terpenjara.”
“Mengapa tidak; aku sudah lama menginsyafi bahaya ini menghalangi kita. Tetapi, apakah kita menyerah begitu saja, Ndoro Ajeng?”
“Maksudmu bagaimana, Mas? Hendak menerjang arus?”
“Kalau perlu. Tahun ini sengit-sengitnya perjuangan para pemuda untuk merebut kemerdekaan dalam politik, perekonomian, kebudayaan. Mereka semakin terpacu, semakin menggebu. Masakan diriku terpenggal oleh peristiwa yang begini kecil dan nyaris tertindih ini. Harus dihentak. Sedayung Kasih, tonjolan sikap mandireng pribadi.”
“Kangmas berusaha merebut dan memenangkan juang ini? Tidak bersedia untuk berada dalam ketergantungan memedihkan ini?”
“Tentu saja, Ndoro Ajeng. Nyawaku pun kupertaruhkan, demi satu kemenangan. Kendati baru selangkah, dalam kehidupan muda ini. Tegasnya, baru dalam masalah perkawinan yang bebas, dan tiada campurtangan lain.” Keduanya nampak bersemangat ketika mengucapkan prasetya batin ini. Air kolam nan bening menjadi saksi. Perjalanan nan pendek-sejenak itu telah menegaskan, aku harus merestui mereka. Mereka adalah anak-anak Zamannya! Sanggup menjalin-anyam berbagai wawasan.
Ramanda Kanjeng Adipati Condrodiningrat di Besuki nampaknya bisa memahami wawasan-wawasan yang baru, yang bergelora dalam kalbu para muda. Tetapi beliau tetaplah seorang abdi tradisi, yang berpegang pada tatanilai klasika, katimbang denyutan kalam nan mengusik ketenangan pemerintahannya. Persoalan Diajeng Retno Sumekar tak bisa hanya disepelekan. Koran Muhammadiyah bahkan pekan ini menurunkan sebuah tulisan yang menyerang kebijaksanaan Paduka Kanjeng Ibu, karena melarang puterinda melanjutkan sekolah ke HBS, gara-gara “kekhawatiran akan adanya pergaulan bebas antara puterinya dengan anak-anak rakyat kecil.” Di bawah artikel berjudul “Menghadapi Semangat Masa Dinamis” yang ditulis oleh Rangkayo Ratna Sari Mantari, seorang guru Muhammadiyah di kota kita, persoalan Diajeng Retno dibawa ke permukaan. Dia seorang wanita Pariaman, yang sangat menentang tradisi Timur yang membatasi gerak-bebas kaumnya. “Kalau seorang puteri bangsawan melakukan tindakan yang kurang beralasan, dengan memandang anaknya sendiri sebagai Puteri Raja, sedangkan anak-anak lainnya sebagai kaum miskin nan hina-dina, kurasa Zaman akan menertawakannya. Apalagi, jika persoalan perjodohan dihubungkan dengan watas-watas nan dianggap tak sebanding atau njomplang ini.” Ah, ah, ah. Pena itu teramat tajam, dan ujungnya tertuju ke alamat Paduka Ibunda.
Tangis Diajeng pada tahun 1937 ini terasa menyesakkan jantungku, Ibunda. Jika perjuangan pertama dulu, hampir limatahun sebelumnya berhasil mematahkan belenggu, mendobrak Tradisi Pingitan yang menyedihkan kaum wanita remaja, maka kini pun juang hendak didentumkan lebih sengit. Diajeng akan memilih jalan lebih keras lagi. Bagaimana kalau sampai dia lari dari Dalem Kadipaten? Dewasa ini, Bagus Jumawal telah meneruskan studinya ke Bestuur Academie di Batavia. Dalam hal jarak, dia tak lagi dapat berhubungan dengan Diajeng. Tapi surat-surat terus mengalir, melalui orang-orang yang mereka percayai dapat menyimpan rahasia ini. Saya pun cemas, jangan-jangan Diajeng menyusul kekasihnya ke Batavia. Semua serba mungkin. Apalagi, Romo sudah memutuskan, agar puteri bungsunya ini tiada lagi bersekolah. Kalau demikian halnya, maka bahaya akan datang menyerbu keluarga kita. Saya mengajukan saran, agar Diajeng dikirimkan saja ke sebuah klooster, di mana dia dapat dididik di sebuah wadah calon bidan atau calon guru keputrian, agar dengan demikian batinnya tenang, tanpa tergoncangkan oleh peristiwa ini. Kepergian Bagus Jumawal teramat memukulnya. Dia jatuh sakit dan demamnya mengkhawatirkan kami semua. Obat mujarabnya tentu berasal dari Kanjeng Ibu, karena di situlah awal-muawal duka ini. Biarlah dia melanjutkan sekolah, dengan pengawasan lebih ketat. Atau, bagaimana kalau dia kita perbolehkan menikah dengan pria pilihan hati, yang dalam hal ini adalah Bagus Jumawal itu? Tolonglah, Ibu, tolonglah. Cobalah Paduka mempertimbangkan: mana lebih membahagiakan hati Retno? Terlebih sikap bersejarah yang menyelamatkan dunia ini.
Kemarin pagi, selepas sarapan, tatkala siap berangkat ke kantornya, kanjeng Romo Adipati memanggilku. Wajahnya diliputi awan kesedihan, dan katanya agak gemetar: “Anakku Wiryokusumo, kaulah satu-satunya yang kupercaya dapat menciptakan ketenangan dalam keluarga kita, yang selama ini kita anggap sepi. Bagaimana wawasan-wawasanmu, dapat kita jadikan bahan pertimbangan, Nak.” Maka, begitulah kanjeng Ibu – saya segera bertemu dengan Bibi Mujirah, selir ayahanda, yang adalah ibu-kandungku. Aku mencoba mencari titik-terang. Kumohonkan, kiranya Paduka Ibunda kanjeng Ratu Sepuh sebagai permaisuri tidak menganggap enteng persoalan ini. Biarlah semua pihak urun rembug dalam mencari kesetimbangan mantap, sehingga kesiur angin akan lebih menyejukkan sukma.
Janganlah Paduka Kanjeng Ibu menaruh prasangka kurang baik terhadap ibu kandungku, yang hanya seorang anak rakyat jelata ini. Bagaimana pun, dia dinikahi oleh Ramanda, jauh sebelum Paduka Kanjeng Ibu memasuki Dalem Kadipaten. Ia telah mendampingi Ayahanda, sedari tatkala Ayahanda menjabat Bupati Anom di Randukumala. Ia memang hanya seorang klangenan dalem, selir Ramanda Adipati yang kurang diperhitungkan. Tetapi Paduka Kanjeng Ibu ratu Sepuh, kendati Paduka memiliki kekuasaan sebagai pendamping utama Ramanda, Paduka belum sanggup memberikan asuhan dan kekuatan pada diri kami, terutama dalam tahun-tahun di mana kami teramat dahaga akan kasihsayang setulusnya. Kami mencoba, agar Diajeng Retno bisa kembali memperoleh kepercayaan diri. Izinkanlah pekan depan ini Ibuku: Bibi Mujirah, sowan dan merawat adikku tercinta di Keputren, untuk sementara waktu, hingga kesehatannya pulih seperti sediakala. Izinkanlah, wahai, Paduka Kanjeng Ratu Sepuh! Kepercayaan yang sejumput kiranya akan sanggup mengobati luka-luka berdarah, yang belum dibalut. Siapa tahu, dia akan menemukan sikap terbaik di jalan simpang meletihkan!
Paduka Ibu Kanjeng Ratu Sepuh Yang Mulia.
Pada ujung pertemuan kami dengan ibu-kandung, yang begitu berprihatin dalam ugahari hidupnya, kami bertiga meneteskan airmata haru. Bibi Mujirah berbisik seraya menundukkan kepala, dekat pembaringan Diajeng Sumekar, dan memandang tenang-tenang padaku. “Ndoro Mas, Biyung teramat sedih, bahwa agak terlambat menunggui sakitnya Ndoro Ajeng Retno. Biyung mendengar, Ndoro Ajeng mengalami goncangan batin teramat besar. Biyung begitu perih, andaikata Ndoro Ajeng harus dibawa ke pesanggrahan luar kota, untuk tetirah.” Maka aku tegakkan kepala, bersuara: “Biyung, Diajeng tidak sakit. Ia hanya terlampau letih. Perjuangannya masih panjang. Lautan menghadang di depan, dan gunung menjulang. Ia melawan tradisi pingitan, hampir berhasil gemilang. Ia berjalan seorang diri, selaku pejuang tunggal.” Lalu Bibi Mujirah bergumam: “Jikalau Raden Ajeng Kartini tiga dasawarsa silam gugur dalam pergulatan melawan istiadat priyayi yang membelenggu, janganlah kiranya puteri yang pernah kukandung dan kulahirkan ini mengalami bencana serupa. O, Ndoro Mas Wiryokusumo, biarkan dia babar-layar menuju Pulau Cita.”
---
*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 10 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar