Hudan Hidayat
http://karyahudan.wordpress.com/
Di penghujung tahun lalu, seakan gemas menyimak arah politik dan polemik sastra yang mengeras, seorang penyair dalam esainya meminta agar kembali kepada teks. Kembali kepada teks, artinya bukanlah menunjukkan ke depan publik “inilah saya”, seperti anggapan orang dengan polemik brutal Saut-Wowok dan Goenawan-TUK. Tetapi “inilah karya saya,” seperti yang terlihat dalam tanggapan balik terhadap Taufiq Ismail cs dalam “polemik sastra pornografi”.
Harapan penyair ini, sepintas mengandung kebenaran yang tegas. Tapi kalau kita simak lebih jauh, “inilah saya,” dan “inilah karya saya”, adalah sesuatu yang berimpit dan niscaya. Karena, “saya” berada di dalam “karya saya”. Dan saya yang sedang melakukan politik sastra atau politik tekstual sastra, bisa terjadi, atau tak bisa dilepaskan, dari “inilah karya saya”. Atau “inilah karya saya” bisa terjadi, atau tak bisa dipisahkan, dari “inilah saya”.
Kenyataan seperti itu, dimaknai Fadlillah Malin Sutan Kayo sebagai “pengarang atau kritikus yang tidak rela melepaskan kekuasaan atas makna karya sastra kepada pembaca”. Padahal masyarakat sudah bergerak ke arah multikultur. Karena itu, menurutnya, telah terjadi perebutan, bahkan tabrakan, kekuasaan atas makna karya sastra.
Darimanakah model pertama, dari cara menampilkan diri “inilah saya?” Tuhan bisa langsung menciptakan manusia tanpa harus mengatakannya. Tetapi toh Dia mengatakannya. “Akan Kuciptakan manusia ke dunia”, kata-Nya. Kata-kata Tuhan ini, adalah model pertama “inilah saya” itu, yang mewujud ke dalam bentuk dialog. Dan respon iblis itu model “konflik pertama”. Maka dialog dan konflik, menjadi paket niscaya dari pihak-pihak yang berkomunikasi.
Karena itu, mengharapkan dunia sepi dari konflik, nyaris mustahil. Sama mustahilnya meminta dunia tanpa dialog. Mematikan dialog terasa tak menghormati ajaran Tuhan, atau menantang Tuhan. Dan kemanakah kita kalau berpaling dari Tuhan? Tak akan kemana, karena kemana pun kau menghadap di sana wajah-Nya juga. “Inilah saya”, oleh Tuhan mewujud ke dalam inilah “karya Saya”, yakni dunia dan isinya. Kau boleh menggunakannya sesuai ajaran Saya. Tetapi ingat, karena “Saya” ada di sana, maka kau harus mengingat Saya dengan menyebut nama Saya. Banyak memuji dan memuliakan diri Saya. Segera terlihat Dia yang ingin “diakui”. Dan Dia yang murka bila “eksistensi-Nya” tak diakui.
Maka Tuhan tak cukup hadir beserta karya-Nya, tapi hadir juga beserta diri-Nya.
Dengan landasan seperti itu, maka saya berpendapat bahwa seni bukan hanya terdedah dalam “kata”. Tapi juga dalam manusia. Sehingga dia menjadi “seni fiksi” dan “seni fakta”. Sehingga sebuah novel bukan hanya mengeram dalam aksara tapi juga mengeram dalam (diri dan ucapan) manusia. Maka novel menjadi manusia yang berjalan. Persambungan semacam ini mengisyaratkan sebuah dialektik: keindahan yang berjalan bolak-balik, antara novel dan pengarangnya.
Dialog dan konflik dalam sastra Indonesia (kini), bisa dipandang sebagai jejak dari seni fiksi dan seni fakta yang sedang memainkan perjalanan bolak-baliknya. Pada titik tertentu, seni fakta itu menjadi seni fiksi. Ia menjadi fiksi yang enak dinikmati (umpama gerak mata Saut dan Wowok yang seolah mengedip nakal, atau senyum Goenawan yang nampak misteri dan intelektual) . Selalu kita bisa mencari atau menemukan sisi-sisi humor dari dunia yang berkonflik. Saya telah menjelaskan filsafat “saya” dan “mengada” dari sumbernya. Tempat saya mengembalikan segala dialog dan konflik.
Karena itu, saya bisa mengerti bila Sutardji Calzoum Bachri tak cukup menuliskan O Amuk Kapak, tapi juga menulis esai. Bisa dikatakan seluruh buku Isyarat adalah manifestasi dari “inilah saya” dalam perspektif “inilah karya saya”. Itu adalah upaya yang wajar. Karena politik tekstual semacam itu, bukan saja dibutuhkan untuk mengawal “saya-nya” Sutardji yang telah terrepsentasi dalam “karya Sutardji”. Tapi ia adalah perwujudan dari seni fakta yang kini menemukan dirinya ke dalam seni esai. Bahkan seni dalam tubuh Sutardji sendiri (seni fakta – tindakannya, ucapannya).
Angkatan 70-an, yang menurutnya telah menyelesaikan Barat dan Timur dalam sastra, tak jemu-jemu disuarakan Sutardji hampir pada seluruh esainya. Tardji seolah hendak menegaskan keberadaan dirinya di dalam tahun-tahun yang memang penuh hingar-bingar pencarian kreatif. Tapi Tadji lupa, di seberang sana ada Ayip Rosidi dan Ramadhan KH, yang juga menggenggam tradisi. Lagi pula bukan hanya angkatan 70-an yang melakukan eksplorasi habis-habisan dalam kesusastraan Indonesia modern, seperti yang hendak diyakinkan Sutardji.
Begitu juga saya memaknai, bila seorang Budi Darma menulis Para Pencipta Tradisi. “Marilah kita bayangkan ada seorang pengarang terkemuka bernama Nirdawat”, katanya.
Siapakah Nirdawat? Tidak lain adalah Budi Darma sendiri. Mengapa Budi Darma mengambil ekspose semacam itu? Apakah ia enggan, karena akan menunjukkan Rendra yang dikatakannya sebagai “Pak turut para teater terkemuka di New York?” - “Bangsat! Sesuai dengan dugaan saya, orang yang dianggap dramawan itu menjiplak dari sini”, kata Nirdawat.
Atau saat ia mengatakan ketidakberdayaan Goenawan Mohamad atas tulisan “Portrait of an Artist as a Doddering Man”, yang diejeknya sebagai “Potret Seorang Seniman Sebagai Orang Buyetan”. Dimana “Pintalan kata-kata dan pikiran orang yang dianggap umum sebagai esais di Indonesia itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah bias buku ini”. Tetapi tebaran-tebaran esai Goenawan kemudian toh menunjukkan pencapaian-epncapai annya sendiri.
Dan apakah kata Budi Darma terhadap dirinya sendiri? “Sebagai seorang pengarang terkemuka, tentu saja Nirdawat sendiri sudah membentuk sebuah tradisi. Dia tahu benar betapa banyak orang yang telah meniru-nirukan tulisannya”. Jadi Budi Darma, melalui metapor Nirdawat ini, telah menunjukkan “inilah saya”, yang sumbernya tidak lain dan tidak bukan, “inilah karya saya”.
Saya menunjukkan penggalan sejarah itu, untuk membuka kedok mereka (tua dan muda) yang seolah bersuara arif, atau meledek, “Menulis sajalah. Biarkan orang lain yang akan menilai karyamu.” Atau yang sering dikatakan mereka dengan (seolah) elegan: setelah karya lahir, maka sang pengarang pun meninggal. Karena, mereka yang berkata seperti itu, ternyata menyelundupkan juga “inilah diri saya” ke dalam esai-esainya.
Karena itu, saya ingin mengajak berhentilah menjadi “narsiskus malu-malu”.
Membicarakan “inilah saya” bukanlah narsis. Tapi menjadi kelanjutan dari “inilah karya saya” yang sering menjadi deadlock di dalam dunia kritik sastra, karena belum hidupnya tradisi dialog, atau karena macam-macam ambisi di dalamnya “yang tak ada hubungan sama sekali dengan klaim pemikiran: upaya untuk mencari atau menemukan kebenaran. Dan dengan perspektif inilah saya membaca peluncuran buku puisi Nirwan Dewanto baru-baru ini, yang lengkap dengan sebuah pernyataan bolak-balik antara “inilah karya saya” dengan “inilah saya”, seperti terbaca di dalam “buku kecil” sebagai properti dalam acara peluncuran buku puisi itu.
Saya mengatakan itu, tidak dalam perspektif yang dipakai Kayo (pengarang dan kritikus yang tidak rela melepas kekuasaan atas makna sastra), tapi sebagai “mengawal makna sastra”, yang menjadi implikasi logis dari seseorang yang sedang menunjukkan dirinya secara eksistensial: mereka yang berada dalam dunia, dan mereka yang menafsirkan dunia yang menghidupi mereka.
Tapi makna sastra, meski sang pengarang atau kritikus “mengawalnya”, telah diambil alih oleh pembaca, sebagaimana dikatakan Kayo. Dan pembaca sastra Indonesia, bisalah dikatakan sebagai cermin aliran-aliran politik di Indonesia yang terkenal itu.
Karena itu bisa dijelaskan, setelah periode ledakan “Saman” dan “Supernova”, dunia sastra kini sedang diserang wabah “Laskar Pelangi” dan “Ayat-Ayat Cinta”. Sebuah wabah yang, mungkin, telah mencengkam benak seorang Sutardji dengan kata-kata: sehebat-hebat karya sastra, dia tak akan punya arti kalau tidak hebat pula dalam pencapaian pada pembaca. Tapi, siapa pembaca yang dimaksud Sutardji itu? Orang banyak yang selama ini terasing dari sastra, atau orang banyak yang mengerti sastra tapi bersepakat terhadap suatu pencapaian karya sastra?
Kayo menghendaki masyarakat sastra multikultural yang santun, saling menghargai pendapat orang lain. Hemat saya, tulisan dengan semangat membela Taufiq Ismail itu, adalah tulisan yang bersiasat dalam logikanya: di satu pihak ia meneriakkan kata santun, menerima dan membenarkan kenyataan aliran kesusastraan, bahwa kebenaran juga adalah milik orang lain, bukan milik kita sendiri. Tapi bersamaan itu, cara ia mengungkap data jelas mengarah atau menunjuk kepada sebuah aliran – aliran “sastra pornografi”.
Dengan “melupakan” Taufiq Ismail yang melansir istilah Gerakan Syahwat Merdeka, Fiksi alat Kelamin, maka “santun” yang dimaksud Kayo adalah kekasaran metodologi dalam penyajian data. Santun di sana seolah sebuah kehendak untuk mengesankan pembaca tulisannya, bahwa sang sastrawan, atau aliran yang sedang jadi objek tulisannya, ditempatkan dalam keadaan “bersalah atau tertuduh”. Ketidakimbangan data dari kedua belah pihak yang berpolemik (Taufiq menyebutnya “polemik-polemikan”, tapi masyarakat menyambutnya antusias, bahkan di dunia maya ada yang menyebutnya sebagai hidupnya kembali pertarungan “sekularisme Nurcholis Madjid” tahun 70-an lapangan sastra) telah menggugurkan “santun” yang dikehendaki Kayo, ke dalam suatu ketimpangan arus data yang tidak “santun”.
Bagi saya tak mengapa. Tapi, Sutan Kayo sebagai warga dari sebuah komunitas akademis (dosen sastra Andalas), yang tak juga beranjak dari penanggap polemik sastra pornografi sebelumnya (berpendapat ada “sastra seks”), tanpa pembuktian akademis, telah melakukan pembalikan spirit dunia ilmu. Sikap ini, bagi saya telah ikut mematikan ilmu itu sendiri.
Tetapi perspektif “inilah saya” dan “inilah karya saya” ada batasnya. Meskipun ia bagian dari cara mengada yang mendapatkan pembenaran sebagai sesuatu niscaya, seperti di dunia politik orang bertarung untuk memperebutkan kekuasaan politik, atau di dunia lain melakukan rekayasa untuk menguakkan konvensi alam, sehingga menjadi sebuah teori yang bisa menjinakkan alam, maka saat batas itu dilanggar, alam yang sudah berhasil dijinakkan itu justru menjadi bumerang. Kalau sudah begitu, bukan kemudahan yang didapat manusia saat batas dilanggar tapi bencana alam. Kerusakan seperti yang terus menerus kita saksikan selama ini, adalah contoh nyata dari pelanggaran batas itu.
Agaknya batas-batas itu, baru-baru ini telah dilanggar di bidang sastra. Adalah penghargaan Mastera kepada Ayu Utami, menunjukkan pelanggaran batas itu. Sudah menjadi rahasia umum di publik sastra, bahwa kedua orang juri di dalam penghargaan Mastera (Sapardi Djoko Damano dan Putu Wijaya), dekat atau dalam lingkaran ide dan kekuasaan dengan Goenawan Mohamad. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Ayu Utami dengan Saman-nya adalah sebuah karya “kolaborasi” TUK yang dikomandani Goenawan Mohamad. Dan sudah menjadi rahasia umum pula, bahwa Taufiq Ismail, adalah orang yang sangat berperan dan berpengaruh di lingkaran Mastera sebagai wakil dari Indonesia.
Pelanggaran ini, bagi saya memperlihatkan sebuah fenomena yang menarik. Seolah saya melihat di sini pertarungan atau perdamaian dua aliran sastra. Yakni sastra yang berkiblat kepada moral yang datang dari agama yang diwakili oleh Taufiq Ismal di satu pihak, dan sastra yang diwakili oleh kebebasan ekspresi tanpa harus dikekang oleh moral agama di pihak lainnya, yang dalam ajang penghargaan Mastera ini diwakili oleh Ayu Utami dengan Saman-nya.
Taufiq Ismail, sebagai orang yang sangat berperanan di dalam Mastera, tentulah secara ideologis tidak akan membiarkan Ayu Utami yang, sepanjang tahun 2007, bersama pengarang-pengarang lain, telah diklaimnya sebagai pembawa sastra dengan semangat “Fiksi Alat Kelamin”.
Bagaimana mungkin “Fiksi Alat Kelamin” bisa menang di dalam ajang penghargaan Mastera ini? Pertanyaan ini, tentulah membawa kita pada sebuah pertanyaan lain: apakah peran Sapardi Djoko Damono dan Putu Wijaya dalam penghargaan itu?
Kalau peranan Sapardi dan Putu Wijaya berjalan normal di dalam ajang penghargaan ini, maka sebuah kesimpulan yang paradoks harus kita terima sebagai sebuah kenyataan, yakni bahwa ajang penghargaan Mastera itu, adalah sebuah ajang yang sangat toleran kepada segenap aliran-aliran sastra, termasuk sasta dengan pendekatan “fiksi alat kelamin” seperti yang diintrodusir oleh Taufiq Ismail. Kesimpulan ini nampaknya dikuatkan oleh fakta di lapangan, yakni saat Pusat Bahasa memberikan penghargaan pula kepada novel Ayat-Ayat Cinta sebagai sebuah novel yang telah berhasil menggugah masyarakat untuk membaca karya sastra.
Tetapi kalau peranan Sapardi dan Putu Wijaya berjalan dengan tidak normal, sudah cukup alasankah bagi kita untuk sampai kepada suatu kesimpulan, bahwa telah terjadi pelanggaran batas terhadap filsafat “inilah saya” dan “inilah karya saya” yang sesungguhnya amatlah manusiawi itu? Pelanggaran yang menyempit pada satu arah: novel Saman. Dan mengapa harus novel Saman? Bagaimana mengujinya dari perspektif kritik sastra, dalam deretan novel atau pengarang yang lain?
Jakarta, 4/1-22/4 2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar