Sebuah Catatan Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer
Haris del Hakim
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Kertarajasa, pada masa muda dikenal sebagai Ken Arok, tergeragap dari tidurnya. Ujung keris telah menempel di ulu hatinya. Kesadaran yang baru saja diperolehnya hilang sesaat kemudian kembali dan digenggamnya erat-erat. Dalam keadaan apa pun ia tetap seorang raja, berandal yang digelari Arok, dan panglima pasukan yang pernah menikamkan kerisnya ke jantung Tunggul Ametung.
Cahaya lampu minyak jarak di sudut ruangan membantu pandangan matanya yang sudah tua untuk mengenali anak muda yang sedang menghunuskan keris ke ulu hatinya. Ia ingat puluhan tahun lalu saat ia berbuat sama terhadap ayah pemuda itu. Kini ia harus berganti peran. Dia terbaring tak berdaya sebagaimana ayahnya, Tunggul Ametung. Anak tiri yang dibesarkan oleh kasih sayangnya itu sedang memerankan dirinya. Bukankah dulu dia juga mencecap kasih sayang yang dilimpahkan oleh Tunggul Ametung, meskipun atas saran dari Mpu Lohgawe? Sekarang, ia memetik karma dari pohon yang ditanamnya puluhan tahun lalu.
Ia masih terbaring. Tangannya meraba ke samping kanan dan tidak mendapati siapa-siapa. Ia tersenyum dan bertanya. “Ke mana, ibumu?”
Anak muda itu merunduk. Lengan kirinya menempel di leher ayah tirinya. Bibirnya berbisik dengan perlahan sambil mengucapkan kata-kata yang perih. “Mengapa kautanyakan perempuan yang kaupaksa menyintaimu kemudian kausakiti hatinya?”
Lelaki tua di atas ranjang pualam itu masih bisa menunjukkan wajah bersinar, meskipun tekanan lengan anak muda itu perlahan mulai menyesakkan nafasnya, dan ujung keris semakin menyarangkan mata tajamnya. Usia yang dijalaninya telah mengajarkan segala macam jenis kematian manusia. Bahkan, beberapa kali ia membantu malaikat maut mencabut nyawa manusia dan tidak bisa lagi menghitung berapa jumlahnya. Ia juga tahu suatu saat akan menghadapi kematian dengan cara yang tidak pernah terbayangkan olehnya. Dan, kematian di ujung keris yang pernah ditikamkan pada akuwu itu pula yang akan mengakhiri hidupnya.
“Aku tidak pernah menyakitinya,” kata Lelaki itu. “Akulah yang membebaskannya dari belenggu tulang rapuh bapakmu dan mengangkat derajatnya sejajar dengan para permaisuri raja. Bukankah ia ceritakan semua kepadamu dan menjelaskan dosa-dosa bapakmu, seperti yang selalu dikeluhkannya kepadaku di setiap malam?”
Anak muda itu geram. Ia semakin menindih tubuh tua yang tidak berdaya. Bibirnya mencibir, “Aku adalah samudera tumpahan jeritan luka hatinya. Sejak dalam buaian kudengar lagu-lagu perih wanita yang dikhianati orang yang pernah dianggap menyintainya. Ia tanamkan pula benih dendam kematian ayahku dan setia menyiraminya sepanjang umurku. Apakah wanita seperti itu kaukatakan terbebas dari belenggu dan menepuk dada di atas singgasana permaisuri?”
“Anusapati!” kata sang raja gusar. “Katakan padaku dosa apa yang kulakukan terhadap dirinya? Luka hati seperti apa yang menuntun seorang istri meninggalkan ranjang tidur suaminya?”
“Kertarajasa! Seperti inikah pertanyaan ayahku, Tunggul Ametung, sebelum kautikamkan kerismu ke jantungnya?” tanya Anusapati.
Lelaki tua itu tertawa. Anusapati buru-buru menggeser lengan kirinya ke pangkal leher raja yang tinggal beberapa saat lagi umurnya. Ia kuatir ada prajurit yang mendengarnya dan menimbulkan kecurigaan. Sementara lelaki tua itu tersengal-sengal. Kedua tangannya yang bebas sengaja tidak digunakan untuk melakukan perlawanan. Dia belum tentu kalah menghadapi anak kemarin sore yang sedang terbakar oleh dendam, tapi ia merasa sudah tua untuk selalu mengelak dari karma-karma yang pernah dilakukannya di waktu muda. Ia sudah mendapatkan semua warna hidup seorang manusia. Ia pernah menjadi berandal yang malang melintang di tengah kegelapan hutan, juga pernah menjadi pimpinan prajurit yang disanjung-sanjung kedatangannya. Ia telah merasakan sebagai anak terbuang dan terlantar, juga merasakan sebagai raja yang sabdanya dinantikan setiap orang. Ia pun telah mendapatkan Ken Dedes yang diperebutkan oleh para Adipati hingga Raja Kediri, bahkan sebagai lelaki telah mendapatkan semua wanita yang diinginkannya. Ia sudah mengalami nelangsa dihinakan sebagai gelandangan tanpa kampung halaman, juga mengalami puja sanjung sebagai raja Singasari. Kehidupannya tinggal disempurnakan oleh kematian.
“Anusapati!” kata Kertarajasa dengan tenang. “Tunggul Ametung mati di tangan Kebo Ijo dan bukan tanganku. Takdir telah menentukan seperti itu dan takdir pula yang mengangkatku sebagai pengganti Tunggul Ametung.”
Kini Anusapati yang tersenyum. “Aku percaya pada bibir wanita yang rahimnya melahirkanku daripada mulutmu. Seperti yang pernah kaukatakan, tidak ada yang lebih jujur dari perempuan yang sakit hati.”
Anusapati belum menikamkan kerisnya. Ia ingin membuat ayah tirinya itu menghiba untuk selembar nyawanya. Ia ingin menyaksikan bagaimana seorang raja yang selalu dimintai segala sesuatu, seperti dewa, memohon-mohon padanya.
“Rupanya ia sudah menceritakan semuanya kepadamu,” kata Kertarajasa. “Apakah ia juga menceritakan ke mana perginya saat ayahmu tewas di ujung keris?”
“Aku tidak pernah menanyakannya, tapi aku berjanji memberitahu jawabannya padamu saat kau sudah menjadi abu.”
Kertarajasa tersenyum tipis. Ia ingat pada saat remaja sering bertindak gegabah. Ia tertawa.
“Sekarang ceritakan sakit hati seperti apa yang membesarkanmu?” tanya Kertarajasa.
“Kertarajasa! Begitu berartikah sakit hati yang dipendam perempuan itu hingga lebih kaupentingkan dari nyawamu sendiri?”
Ayam jantan berkokok. Dinding-dinding kraton masih tetap beku dalam dingin. Tidak ada seorang prajurit pun yang memberikan tanda kehadirannya melalui suara langkah kaki. Anusapati telah mengatur semuanya. Ia belajar dari ibunya bagaimana Ken Arok menyusun rencananya selama berbulan-bulan demi menghunuskan keris ke jantung ayahnya. “Bahkan, ia juga merencanakan berapa orang yang harus menangis atas meninggalnya ayahmu,” begitu kata ibunya ketika itu.
Kertarajasa tersenyum mendapat tanggapan seperti itu. “Ya,” jawab Kertarajasa dengan nada bicara masih tenang dan berwibawa. “Sakit hati itu tentu sangat perih dan meremukredamkan hatinya, hingga waktu puluhan tahun tidak sanggup menghapuskan atau mengutuhkannya kembali. Aku bisa merasakan senggukan tangisnya melalui bibirmu. Tetapi, aku ingin sebelum berakhir hidupku kuketahui semua dosa yang pernah kulakukan. Biarlah aku tahu siapa diriku pada saat-saat menjelang sekaratku.”
“Apakah semua itu lebih berarti dari kerajaan yang kaubangun dengan darah ribuan orang ini?”
Kertarajasa tidak menyalahkan atau membenarkan. Dia memberikan nasehat, “Anusapati, kekuasaan tidak pernah abadi di tangan seseorang. Kekuasaan direbut, dipertahankan, diwariskan, atau diberikan secara paksa kepada orang lain. Kita tidak bisa memaksa diri untuk selalu menggenggamnya. Manusia semakin tua sementara orang-orang muda terus lahir ke dunia. Yang tua harus merelakan diri digantikan yang lebih muda. Pada akhirnya, manusia baru sadar bila menghadapi maut sendirian.”
Anusapati menyimak ungkapan ayah tirinya itu. Ia tidak memungkiri kewibawaan dan kebijaksanaannya. Hanya bayang-bayang ayahnya yang ia gambarkan di kepalanya yang selalu mengatakan bahwa ia tidak dapat berdusta bila lelaki itu adalah pembunuh ayahnya. Setiap kali bertemu dengannya, ia merasa seperti arang yang dilemparkan ke dalam tungku. Semakin bertambah umurnya semakin membara keinginan untuk membalaskan sakit hati ayah dan ibunya.
Kertarajasa seorang raja yang tidak mengenal gentar. Dalam keadaan leher tertekan lengan dan ujung keris yang sewaktu-waktu menusuk ke ulu hatinya, ia dapat berbicara lancar tanpa gagap sedikit pun. “Anusapati! Sebentar lagi matahari akan terbit. Lekas katakan sebelum tindakanmu ini diketahui oleh orang lain dan kau tidak dapat membalaskan dendam ayahmu. Bahkan, kamu sendiri yang akan dipancung di alun-alun kota dan tidak ada lagi yang kalian andalkan untuk membalas dendam kepadaku.”
Anusapati tertawa tanpa menggerakkan gerahamnya. “Inikah kekuatanmu terakhir sebagai seorang raja, Kertarajasa? Kau andalkan sisa-sisa kepercayaan dirimu dengan mengancamku. Kamu boleh memilih, kukatakan sendiri atau perempuan itu yang akan mengatakannya kepadamu?”
“Anakku Anusapati,” kata Kertarajasa dengan nada kebapakan. “Waspadalah terhadap dirimu sendiri. Jangan sekali-kali kemenangan membuatmu lupa diri dan sewenang-wenang, apalagi belum berada dalam genggaman tanganmu. Kamu pemuda tangguh yang sering bertindak sembrono. Jangan sia-siakan kesempatan yang diberikan kepadamu. Hunjamkan keris itu segera sebelum matahari terbit. Apakah kamu tidak mendengar talu lesung para petani di kejauhan?”
Pemuda itu melepaskan tekanan lengan kirinya. Ia memandangi wajah yang selalu dipanggilnya sebagai ayah. Ia tidak pernah merasa terbedakan dari Tohjaya. Batinnya berbisik, “Mengapa orang tua adalah yang meneteskan darahnya di tubuhku dan bukan yang memberikan kebaikan-kebaikan?” Barangkali benar kata ayah tirinya itu. Ia juga menjalani garis takdir untuk membunuhnya.
“Kau telah menikahi Uma dan seperti ini takdir yang harus kujalani,” jawab Anusapati. “Perempuan itu sering menerawang ke langit dan menyebut nama ayahku bila perih pengkhianatanmu melintas di batinnya. Ia bisa memaafkanmu saat kaubunuh Tunggul Ametung, tapi ia terlalu sakit dan menderita ketika mendengar Tohjaya menangis. Tidakkah kau perhatikan tubuhnya yang makin kurus dan kecantikannya yang berubah menjadi dongeng?”
Anusapati menitikkan air mata. Begitu pun lelaki yang berbaring di hadapannya. Tangan yang dulu kekar itu mengusap air bening di sudut matanya dengan jari telunjuk. Ia memandang anak tirinya yang memegang keris terhunus. “Katakan kepadanya bahwa Ken Arok minta maaf,” katanya penuh penyesalan.
Anusapati mengangguk. Ia melihat wajah ayah tirinya yang pasrah, menunggu ujung keris di tangannya yang akan menikam ulu hatinya. Dengan tangan gemetar Anusapati menikamkan keris pusaka pemberian ibunya itu. Ia pejamkan mata menyaksikan sang raja yang tersenyum menyambut maut.
“Anakku,” kata Kertarajasa. “Kuwariskan kerajaan ini tanpa dendam.”
Anusapati mengangguk. Ia tidak bisa berkata apa-apa hingga tidak terdengar lagi suara nafas. Perlahan ia membuka kedua matanya. Setetes air mata mengalir bersamaan hulu keris yang ditarik keluar dari dada pembunuh ayahnya. Darah menyembur dari lubang tikaman.
“Ayah, maafkan aku,” kata Anusapati menyarungkan kerisnya yang masih berlumuran darah.
Lelaki itu mengangguk sangat pelan sambil memejamkan mata. Kepalanya terkulai.***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar