Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Hamparan semangat menggelegak. Manakala ia tak dapat ditahan dan pecah, seketika itu pula ekspresinya muncrat berhamburan, bercipratan, menerabas apa pun. Lalu hinggap di berbagai tempat yang dijawilnya sesuka hati. Mungkin sama sekali ia tak bermaksud melakukan tegur-sapa, say hello, atau bahkan juga gugatan. Ia sekadar hendak merepresentasikan gumpalan kegelisahan yang lama bersemayam dan mengeram dalam kerajaan gagasannya. Boleh jadi ia lahir atas kesadaran, bahwa gagasan yang sekian lama dipenjara, bakal berakibat buruk pada denyar pikiran dan denyut batinnya. Mungkin juga ada kesadaran lain, bahwa tuhan tidak melarang makhluknya berkisah tentang apa pun. Bukankah tidak ada undang-undangnya yang menyatakan bahwa tuhan kelak akan menghukum manusia yang mengumbar imajinasinya bergentayangan ke berbagai wilayah imajinasi yang lain? Bahkan, sebaliknya, tuhan menempatkan manusia sebagai makhluk yang berada lebih tinggi derajatnya dari makhluk lain, justru lantaran faktor imajinasi itu.
Dalam konteks itu, Nurel Javissyarqi dalam antologi puisinya, Kitab Para Malaikat seperti merepresentasikan kesadarannya tentang wilayah imajinasi. Cermati saja segenap larik yang dibangunnya dalam antologi puisinya ini. Ia begitu deras menghamburkan gelegak semangatnya. Ia laksana sengaja menikmati betul kebebasannya berekspresi. Maka, yang dapat kita tangkap dari larik-larik puisinya itu adalah kebebasan menguak serangkaian perkara (: tema) sesuka—semau nalarnya mengatakan itu. Ia bagai tak peduli konvensi. Yang dilakukannya adalah pembebasan imajinasi dari kerangkeng yang dianggapnya membelenggu. Maka, berhamburanlah model reduplikasi yang terasa lebih segar. Selain itu, muncul keriuhan atas sejumlah gagasan yang melompat-lompat, nemplok di sana-sini, dan bergentayangan ke belahan dunia lain yang tak terbayangkan. Itulah gerakan pembebasan imajinatif, kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi yang sudah punya sejarahnya sendiri yang begitu panjang dan melelahkan.
***
Masih ingatkah Socrates yang memilih minum racun ketimbang mengkhianati keyakinannya berekspresi? Plato, Aristoteles dan sederet panjang pemikir masa lalu adalah manusia yang telah menyemarakkan sejarah panjang kebebasan berpikir, berekspresi, berimajinasi. Dari sanalah kebudayaan dan peradaban manusia menggelinding deras tak terbendung. Ingat pula Giordano Bruno yang dibakar hidup-hidup lantaran perjuangannya mengusung kebebasan berpikir. Galileo Galelei, Rene Descartes, Copernicus, dan sejumlah nama lain dalam deretan pemikir Barat adalah tokoh-tokoh yang bergerak dalam perjuangan pemikiran. Dari sanalah kemudian ilmu pengetahuan berkembang semarak hingga manusia mempunyai kemampuan mengejawantahkan jati dirinya secara paripurna. Hingga kini nama-nama itu terus bergentayangan, meskipun sejumlah tokoh lain, macam Ferdinand de Saussure, Roland Barthes, Derrida, hingga para penganjur postmodernisme –poststrukturalisme— telah bertengger kokoh menggantikannya.
Dalam dunia Timur, deretan nama-nama itu tidak kalah panjangnya. Ibn Thufail, Ibn Arabi, Ibn Sina, Al-Hallaj, Al Ghazali, Muhammad Iqbal sampai ke belahan bumi kita –Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar— adalah tokoh-tokoh yang langsung atau tidak, telah ikut mengubah dan menanamkan tonggak pemikirannya dalam kebudayaan—peradaban dan kesusastraan Indonesia. Jadi, keliaran dan kehendak mengusung kebebasan kreasi sungguh bukan hal yang baru. Persoalannya tinggal, apakah ia hendak menghancurkan paradigma lama –menurut gagasan Thomas Khun—dan memancangkan paradigma baru atau sekadar melakukan pemberontakan.
Dalam dunia sastra, siklus empiris atau lingkaran paradigma itu dihembuskan dalam konsep ketegangan antara konvensi dan inovasi. Tarik-menarik antara konvensi dan inovasi sesungguhnya bersumber pada kehendak mengekspresikan kebebasan kreasi, melakukan eksplorasi kreatif, dan mengeksploitasi berbagai kemungkinan estetik. Dalam hal ini, licentia poetica didasarkan pada semangat menawarkan bentuk baru, kreativitas baru, dan memojokkan konvensi sebelumnya menjadi sesuatu yang dipandang sudah out of date, usang, kadaluwarsa. Maka, yang muncul kemudian adalah kebaruan yang dalam karya sastra (teks) diselusupkan pada sejumlah unsur intrinsiknya, meski dengan tidak menutup rapat-rapat pada aspek ekstrinsikalitasnya. Itulah dunia sastra, sebuah dunia yang di sana berbagai macam peristiwa kreatif dihadirkan dengan kesadaran estetik yang erat kaitannya dengan kegelisahan kultural.
Dalam peta perjalanan kepenyairan Indonesia, deretan nama penyair garda depan, seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna dan nama-nama lain yang bertaburan dalam peta perpuisian Indonesia, pada hakikatnya juga bergulat dalam tarik-menarik antara konvensi dan inovasi.
Meski begitu, kita juga tidak menutup mata pada bermunculannya para penyair kontemporer kita yang juga mencoba melakukan pembelotan, pemberontakan atas nama inovasi, atas nama kreativitas, atas nama pembaruan. Kadangkala, ia mengusung semangat sekadar beda dan eksperimental. Tidak apa-apa. Tokh, tuhan pun tidak melarang umat manusia melakukan itu. Jadi, sah-sah saja jika kemudian muncul penyair Indonesia yang juga hendak melakukan gerakan kebebasan kreatif. Boleh jadi, ia tidak puas atas model-model estetika sebelumnya. Boleh jadi juga ia punya kesadaran estetik melakukan gugatan. Sangat mungkin pula ia mengusung semangat sekadar beda, seperti halnya juga kemungkinan ia tidak dapat menahan gelegak gagasannya yang bertumpuk-tumpuk.
Dengan kesadaran dan pemahaman itu, maka jika kini kita menghadapi antologi puisi Nurel Javissyarqi yang mengesankan muncratnya berbagai gagasan, berhamburannya ide-ide liar, dan rumitnya kita menemukan bentuk konvensional aturan berbahasa yang lazim, segalanya dibolehkan dan sah. Ia tidak melanggar hukum tuhan. Ia sekadar memberontak pada konvensi puitik, pada ekspresi berbahasa yang dalam sejarahnya memang senantiasa diserang pemberontakan. Lalu, bagaimana hasilnya? Bagaimana Nurel menggerakkan kreativitasnya.
***
Sebagai sebuah puisi yang sarat gagasan dan liar imajinasinya, kita memang seperti berhadapan dengan lorong panjang yang di sana bertebaran pula lorong lainnya yang bercabang-cabang. Berbeda dengan Sutardji Calzoum Bachri yang menghancurkan konvensi dan menawarkan estetika mantra atau Afrizal Malna yang mengusung keterpecahan, fragmen-fragmen, dan semangat menawarkan inkoherensi, Nurel Javissyarqi lebih menyerupai bentuk ekspresi atas hamparan semangat yang menggelegak. Ia seperti telah sekian lama menyimpan sejumlah kegelisahan dan gagal menjumpai katup pembukanya. Maka, yang muncul kemudian adalah penghancuran struktur kalimat, pemorakporadaan imaji-imaji, dan penciptaan bentuk-bentuk metafora yang sempoyongan, berantakan dalam gerakan dewa mabuk. Yang juga menarik dilakukan Nurel adalah penciptaan bentuk-bentuk reduplikasi yang terasa segar, meski juga bukan hal yang baru. Sebutlah kata wewangi, pepintu, wewaktu, pepohon, bebayang, gegunung dan seterusnya untuk menunjukkan bentuk jamak sejumlah kata-kata itu.
Pencarian makna memang kadangkala menghadapi kegagalan. Tetapi, justru di situlah tantangannya. Ada semacam teror, tetapi tidak sampai pada tingkatan menciptakan huru-hara dalam pikiran kita. Bahkan, dalam beberapa hal, kita masih dapat menangkap model Khahlil Gibran atau Muhammad Iqbal. Periksa misalnya, beberapa larik berikut ini ketika Nurel berbicara tentang dunia perempuan:
Perempuan itu kembang di petamanan mimpi
.... (I: X).
dikaulah perempuan dari kerajaan-kerajaan misteri
(I: XIX).
Bukankah style itu mengingatkan kita pada model refleksi Khahlil Gibran? Dalam beberapa hal, kesan itu kadangkala menyentuh rasa estetik kita (aesthetic contaxt). Dan selepas itu, kita tiba-tiba saja disergap gagasan lainnya yang liar, tak terkendali, sehingga cenderung terasa menjadi teror. Perhatikan lagi larik berikut yang menggambarkan keindahan wajah perempuan:
Alis kerudung kedua bagimu, bilamana alis dicukur habis
hilanglah bulan sabit menggantung anggun di tengah malam,
sementara lampu-lampu kota hanyalah hiasan (I: XXXVII).
Dua larik pertama menunjukkan, betapa alis bagi wanita adalah asesoris penting yang menjadi bagian dari keindahan, bahkan juga sensualitas perempuan. Tetapi, bagaimana hubungannya dengan lampu-lampu kota yang ditempatkannya sebagai hiasan? Di sinilah, cantelan sensualitas perempuan –alis lentik yang bagai bulan sabit itu— tiba-tiba diteror lampu-lampu kota. Bagaimana hubungannya, asosiasinya, dan cantelan imajinasinya? Itulah teror yang sepertinya memang sengaja dibangun untuk menghancurkan imaji itu sendiri.
Dalam kasus lain, Nurel bertindak bagai sosok pertapa yang dalam hal tertentu, terkadang menyulap dirinya menjadi sosok Sisifus. Ia sekadar berkehendak, berbuat, dan bergerak membawa imajinasinya yang liar ke dalam lorong-lorong. Periksa lagi larik berikut ini:
Marilah hadir bersama keindahan, bimbing kesadaran alam terdalam
sia-sia dipenuhi hikmah, malapetaka jikalau ajaran berharga dibuat bangga (I: LX).
Saya membayangkan sosok Iqbal atau Gibran menyampaikan fatwanya tentang keindahan, tentang alam yang memercikkan keindahan (tuhan). Lalu, mengapa pula orang yang memperoleh hikmah, dianggap sia-sia. Lalu apa pula maknanya dengan malapetaka jikalau ajaran berharga dibuat bangga? Boleh jadi, doktrin, ajaran, atau hikmah, cukup sebagai pemberi cahaya pada hati, dan tidak perlu membuat seseorang jadi takabur, lupa diri. Apakah nur ilahi atau percik cahaya tuhan itu sebagai representasi dari hikmah, dari sebuah ajaran yang memberi pencerahan?
Model-model berfatwa itu, di sana-sini memang tampaknya sengaja dihadirkan sebagai pengejawantahan sosok aku liris yang memposisikan dirinya sebagai resi atau pertapa yang berkhotbah dari atas gunung. Sejumlah fatwanya terasa asyik, meskipun tidak jarang membawa kita pada lorong gelap atau gagasan yang berkeliaran di tengah hutan belantara.
Kunang-kunang terbang malam, berikan cahayanya kepada kalian/ Sebuah fatwa yang mengingatkan saya pada ajaran Konfusianisme. Tetapi apa yang terjadi pada larik berikutnya: kumpulan tersebut terselimuti kegelapan terjaga (IV: XCVIII) // Dalam konteks itu, tampak, ada semangat membangun paradoks. Lalu, apa maknanya fatwa itu jika kehendak memberi pencerahan, memasuki selimut kegelapan?
***
Secara keseluruhan, Nurel Javissyarqi dalam antologi puisinya, Kitab Para Malaikat mengusung banyak hal, menyodorkan berbagai pemikiran filsolofis dan menyerap pengaruh dari begitu banyak filsuf. Tetapi, mengingat begitu saratnya gagasan menggayuti isi kepalanya, ia seperti ingin segera melakukan pembebasan. Ia hendak memuncratkan semuanya dalam sebuah tarikan nafas. Itulah problemnya. Sebuah hasrat membuncah, mengeram sekian lama, tiba-tiba membobol tanggul penghalangnya, maka muncratlah hasrat itu menerabasi apa pun, menggilas-melindas segala yang berada di hadapannya. Dengan begitu, kesan yang seketika muncul adalah serangkaian keasyikmasyukan, keterlenaan, dan ekstase yang memabukkan dirinya sendiri. Maka, gagasan-gagasan yang terlontar adalah suara pemikirannya sendiri yang seperti peluru mitraliur yang justru dapat mencederai banyak pesan yang hendak ditawarkannya.
Antologi Kitab Para Malaikat ini disusun ke dalam dua puluh bagian (ditambah Muqaddimah). Bagian terakhir seperti mewartakan serangkaian kesaksian atas berbagai pengalaman yang diperlakukannya sebagai pengayaan batin dan pemikiran sosok seorang Nurel Javissyarqi. Ia menikmati kegelandangannya sebagai perburuan gagasan. Oleh karena itu, dapat dipahami jika Nurel seperti tak kuasa menahan beban gagasannya sendiri yang bertumpuk-tumpuk.
Terlepas dari berbagai persoalan itu, saya menikmati antologi puisi ini sebagai sosok pengelana yang tersesat di belantara rimba raya. Ada hasrat untuk segera keluar dari ketersesatan itu, tetapi tokh asyik juga menikmati ketersesatannya. Seperti sosok Sisifus. Nikmati sajalah, maka kelak kita akan sampai juga di jalan yang benar!
Bojonggede, 30 April 2006
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar