AS Sumbawi
Sejujurnya, barangkali kita akan membawa lari ketakukan kita saat mengetahui seseorang berdiri di pinggir jalan dengan membawa senapan yang siap mengambil nyawa manusia. Apalagi dandanan seorang itu begitu menyeramkan. Bermata tajam elang yang memburu mangsa dan bertubuh besar seperti raksasa.
Kemudian setelah berada dalam radius yang aman darinya, barangkali juga sebagian di antara kita ada yang menelepon atau datang langsung ke kantor polisi guna melaporkan bahwa ada seorang gila yang membikin kerusuhan di tempat umum. Melanggar hukum dan meresahkan masyarakat. Lantas buru-buru raungan sirine menembus gendang telinga, mengabarkan bahwa sekompi petugas segera datang demi menenangkan keadaan. Memang, sebagai pelayan masyarakat sudah seharusnya seperti itu.
Akan tetapi, keadaan sebenarnya tidak seperti itu. Orang-orang bersikap biasa saja menanggapi keberadaan raksasa bersenjata senapan yang siap mengambil nyawa manusia itu. Mereka lewat di depannya tanpa terganggu dengan keberadaannya. Mungkin hanya orang-orang yang belum pernah melihatnya saja yang memberikan tatapan dengan tanda tanya. Misalnya, orang-orang yang dalam perjalanan dari luar kota yang tengah menaiki kendaraan pribadi atau kendaraan umum yang melintasi jalanan di depannya, dan menaiki gerbong-gerbong kereta api yang melaju dengan bertumpu pada rel yang terpasang di belakangnya. Hal ini membuktikan bahwa kenyataannya, sekarang ini kehidupan kita telah benar-benar aman, tentram, dan damai. Atau mungkin juga, kehidupan telah membikin kita menjadi acuh tak acuh. Namun yang lebih melegakan hati, adalah seorang yang bersenjata senapan dan bertubuh raksasa itu hanyalah sebuah patung yang berdiri di jantung kota kabupaten ini.
Dulu ketika masih kecil, saya pernah bertanya kepada ayah setelah mengetahui keberadaan patung itu yang berdiri tak jauh dari rumah kami.
“Dia seorang pahlawan. Namanya Surendra. Dia berjuang dengan gagah berani memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini dari penjajah Belanda dan Jepang,” ayah diam sejenak. “Makanya, kita harus menghargai jasa-jasa para pahlawan yang gugur demi bangsa dan negara. Juga berjuang mengisi kemerdekaan dengan sebaik-baiknya. Membangun bangsa dan negara.”
“Bukankah setiap hari senin di sekolah, kamu mengikuti upacara?”
“Iya.”
“Ikutilah dengan sungguh-sungguh. Mengingat perjuangan para pahlawan. Dan mendoakan mereka. Termasuk Surendra.”
*
Setelah lulus sekolah dasar, setiap hari, kecuali hari libur saya selalu mengawasi patung Surendra. Maklumlah, untuk mencapai sekolahan SMP, saya harus menyusuri jalan berkerikil yang ada di sebelah kanan patung tersebut. Di saat seperti itu, pikiran saya mencoba membayangkan begitu besar perjuangannya. Kepahlawanannya. Sehingga di kota ini mesti dibangun patung dirinya. Monumen.
Suatu hari dalam pelajaran sejarah, seorang guru menyuruh saya untuk menyebutkan beberapa nama pahlawan nasional. Kemudian saya menjawabnya dengan lancar. Guru tersebut tersenyum bangga dengan jawaban saya.
“… dan Surendra,” jawab saya.
Tiba-tiba seluruh kelas tersentak memandang saya. Begitu juga guru sejarah itu. Beberapa teman tertawa mendengar saya menyebut nama patung tersebut.
“Mohon tenang,” katanya kemudian menatap saya.
“Dia bukan pahlawan nasional, Nalia. Memang Surendra adalah pejuang bangsa. Akan tetapi, dia bukan termasuk pahlawan nasional.
“Kenapa, Bu Guru? Bukankah dia seorang pahlawan besar?! Karenanya di kota ini didirikan patung dirinya. Dan siapa sebenarnya yang menentukan masuk atau tidaknya seseorang sebagai pahlawan nasional?”
“Nalia. Memang dia seorang pahlawan negeri ini. Pejuang kemerdekaan yang gagah berani. Namun, Surendra hanya dikenal di kota ini saja. Tidak meluas secara nasional. Barangkali karena itu, dia tidak termasuk pahlawan nasional.”
Saya diam. Hanya diam hingga pelajaran sejarah selesai. Namun, dalam hati saya belum sepenuhnya bisa menerima perkataan guru sejarah itu. Sementara beberapa teman laki-laki yang kerap mengganggu saya, menjadikan Surendra sebagai bahan olok-olok.
“Nalia. Apa dia itu kakek-buyutmu?” kata Nurel yang disambut dengan tawa oleh anggota gengnya itu.
Saya mencoba tak menghiraukan mereka.
“Lantas kalau tidak, buat apa kau bela seperti itu?”
Saya hanya diam.
“Ee, teman-teman. Jangan-jangan Nalia nggak naksir sama kita-kita sebab dia mencintai Surendra,” kata Haris yang kembali membikin mereka tertawa.
“Jancuk,” umpat Saya. Mereka terdiam, lantas serentak tertawa kembali. Barangkali karena saya yang tak pernah misuh, sehingga kata yang saya umpatkan terdengar lucu.
Sementara teman-teman yang lain hanya tersenyum kepada saya.
Sebentar terdengar olok-olok dari mereka:
“Nalia misuh, Nalia misuh….Nalia naksir patung…”
Sejak saat itu, perasaan saya tambah dekat dengan Surendra. Meskipun saat itu pula, saya pertama kali mengucapkan kata kotor: jancuk! Saya tak rela pahlawan besar itu dijadikan bahan olok-olok.
Dan diam-diam dalam hati saya berkata, kalau sudah besar nanti, saya ingin mempunyai suami seperti Surendra. Tidak seperti Nurel, Haris, dan anggota gengnya yang suka mengganggu itu.
*
Ketika SMU, perasaan saya masih dekat dengan patung pahlawan besar itu. Setiap hari, kecuali hari libur, saya selalu mengawasinya ketika berangkat sekolah. Yah, sungguh gagahnya. Dengan celana dilipat sebetis, kaos polos, senapan, dan ikat kepala, tegak berdiri dipayungi langit yang cerah, pikir saya.
Dalam keseharian seperti itu, tiba-tiba terbersit di benak saya untuk mengetahui siapa sebenarnya Surendra. Kapan dan di mana dia lahir dan wafat? Bagaimana sejarah hidupnya? Perjuangannya?
Kemudian dalam beberapa kesempatan, saya berkunjung ke perpustakaan kabupaten untuk mencari literatur tentang Surendra setelah di perpustakaan sekolah saya tidak mendapatkannya. Akan tetapi sampai berkali-kali kunjungan, saya tak juga mendapatkannya. –Hingga kini, yang saya tahu tentang dirinya hanyalah seperti kata ayah ketika saya kecil dulu—.
Sore yang cerah itu saya mengawasi patung Surendra sekali lagi. Sementara siang tadi saya menyudahi kunjungan ke perpustakaan kabupaten. Saya putus asa.
Saat mengawasinya itu, dalam benak saya mengatakan bahwa dia tidak hanya gagah, tetapi juga tampan.
Dalam hidupmu, selain berjuang mengusir penjajah, apa kau pernah menikah? Punya keturunan? Kalau saja aku hidup pada saat kau masih hidup, sungguh bahagianya diriku, bila kau menjadikan aku sebagai istrimu, pikir saya kepada patung itu.
“Hei, Nalia…”
Saya tersentak. Saya lihat Lisa tersenyum, mendekat dengan sepeda motornya.
“Jangan-jangan benar apa yang dikatakan Haris waktu SMP dulu, bahwa kamu naksir dia…” katanya melirik ke patung itu.
“Sialan,” kata saya tersenyum. Yah. Dulu, saya dan Lisa teman sekelas di SMP. Namun sekarang, kami beda SMU. Begitu juga dengan Nurel dan Haris.
Kami kemudian bercakap-cakap.
*
Malam itu malam musim penghujan. Di pelataran langit, rembulan disaput awan. Tidak jauh di sebelah timurnya, kilatan petir keperakan membelah awan. Sementara di lokasi patung itu, hanya tiga pasangan muda-mudi duduk di sana.
Memang, sejak beberapa tahun terakhir ini, lokasi patung itu dijadikan sebagai tempat memadu kasih. Saya kerap menemukan mereka ketika pulang dari kegiatan kampus. Apalagi kalau malam minggu, wah, ramai sekali. Para pedagang kaki lima pun tak mau melewatkan kesempatan untuk mengais rejeki di sana. Begitu juga dengan umbul-umbul iklan produk rokok yang terpasang di kanan-kirinya.
Dan malam itu, sungguh saya bahagia. Seorang yang diam-diam saya rindukan beberapa bulan terakhir ini mengungkapkan perasaan cintanya kepada saya.
“Aku juga mencintaimu,” kata saya memberi jawaban.
Kami tersenyum berpegangan tangan.
Sebentar langit meneteskan gerimis. Kami beranjak dan siap-siap pergi. Begitu juga dengan dua pasangan muda-mudi itu. Kemudian dia membawa saya dengan sepeda motornya. Meninggalkan patung itu dengan kesepian sejarahnya. Masa lalu yang senyap.
Aku mengeratkan pelukan ke tubuh Haris ketika angin mendera dan terasa begitu dingin. (*) 2006
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 24 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar