Mihar Harahap
http://www.analisadaily.com/
Terus terang, saya mengenal karya Wahyu Wiji Astuti (disingkat WWA) baru ini. Tatkala, komunitas Omong-Omong Sastra membuat Buku Puisi (antologi bersama) dan Buku Cerpen (antologi bersama). Kebetulan saya dipercaya menjadi editor khusus menulis Kata Pengantar kedua buku itu. Dari puluhan pemuisi, pecerpen serta karyanya, terbacalah nama WWA yang mengirimkan puisi dan cerpennya. Dalam Kata Pengantar itu, saya katakan, WWA adalah penyair dan cerpenis masa depan Indonesia.
Tak lama berselang-dari saya menyelesaikan Kata Pengantar kedua buku Omong-Omong Sastra itu- bahkan tak ada selang, tiba-tiba WWA menghubungi saya, meminta dan lalu menyerahkan bukunya untuk dibicarakan. Sebuah buku antologi cerpen berjudul “Ketika Malam Merayap Lebih Dalam” (disingkat Kemameleda). Cetak perdana tahun 2012 oleh penerbit Tiga Maha Subang Jawa barat. Sayang, tak ada kata pengantar dari penerbit apalagi editor, kecuali Sekapur Sirih dari pengarang sendiri.
Menurut pengarang (dalam sekapur sirih), Kemameleda ini, berfungsi 1). sebagai ‘saksi sejarah’ perjalanan hidup pribadi dan 2). merupakan ‘saksi perjuangan’ dalam meniti karir kepenulisan. Sungguh, saya merasa bangga karena penyair sekaligus cerpenis masa depan Indonesia ini, telah berani bersaksi. Saya sedikit kecewa karena sekapur sirih kurang merahnya atau tak menjelaskan proses kreatif, konsep kepengarangan dan unsur lain yang mendudukkan eksistensinya.
Cinta Dalam Bayang Kematian
Kemameleda, memuat 23 cerpen yang ditulis dalam 3 tahun (2009-2011). Tahun 2009 ada 8 cerpen, Ketika Malam Merayap Lebih Dalam, Cinta dan Persabatan, Lara, Pesan Tengah Malam, Rindu, Ruwet, Sehelai Saputangan Hitam dan Untaian Mutiara Yang Lepas.
Tahun 2010 ada 8 cerpen, Membaca Buku Kemameleda Karya Wahyu Wiji Astuti, Jejak Sahabat yang Berkarat, Ketika Fajar Beringsut Malu, Ketukan Ujung Malam, Malam di Penghujung Senja, Qiyamul-lail, Rahasia Hujan, Rumah Awan dan Sepeda Motor vs Teddy Bear.
Tahun 2011 termassuk tahun 2010-2011 ada 7 cerpen, Difined, Helena, Humai rah, Merakit Seperangkat Cinta, Kado Untuk Lelakiku, Karya Kematian dan Pesan Diantara Gerbong Kereta. Melihat fakta ini saya menduga, kalau WWA telah memiliki disiplin menulis/mengarang antara 1-2 bulan sekali menghasilkan 1 cerpen. Hemat saya, cepat atau lambat menghasilkan cerpen tak masalah, yang penting disiplin menulis telah dimiliki dan itu merupakan permulaan yang baik dalam mempertahankan eksistensi.
Dari 23 cerpen, terhimpun 11 cerpen yang bertema, subtema atau curahan perasaan tentang cinta; Cinta dan Persahabatan, Lara, Pesan Tengah Malam, Rindu, Sehelai SaputanganHitam, Untaian Mutiara yang Lepas, Defined, Merakit Seperangkat Cinta, Helena, Kado Untuk Lelakiku dan Pesan Di Antara Gerbong Kereta. Sebelas cerpen ditulis tahun 2009 dan 2011, tidak termasuk tahun 2010. Mengapa? Hanya pengaranglah yang tahu. Begitupun terkadang inspirasi, intuisi dan sensitiviti datangnya tak terduga.
Bolehkah kita menulis cinta? Masihkah disebut karya sastra? Kenapa tidak! Sebab cinta antar manusia pun adalah wilayah kepengarangan, malah justru paling sensitif. Lagi pula keberhasilan cerpen, bukan tergantung berat-ringan atau apakah tema/subtema itu, melainkan sangat tergantung pada ada dan bagaimana cinta itu diungkapkan. Jadi, meski 50 persen buku ini berisi cinta dengan segala persoalan dan akibatnya, akan tetapi tetap merupakan karya sastra. Apakah karya sastra pop (umum, mudah dan ringan)?
Memang, cinta yang ditampilkan melulu keluhan jiwa. Betapa tidak, hanya cerpen Cinta dan Persahabatan, Rindu, Helena dan Kado Untuk Lelakiku, tokohnya masih kelihatan stabil. Setelah itu, cinta (kontra dijodohkan bahkan lebih dominan diputuskan) membuat tokoh tidak stabil lagi. Jiwanya terguncang, lalu jatuh sakit, lalu mati. Pasrah. Atau tokohnya menjadi sakit hati, lalu marah, lalu dendam, lalu terbunuh, lalu mati. Bukan pasrah, melainkan perlawanan pasif, tetapi itupun juga tak berarti.
Contoh cerpen cinta yang dianggap berhasil (dan menunjukkan ketakberdayaan bahkan kematian) adalah Lara (berangka tahun 2009). Kekuatan cerpen ini terletak pada plot, narasi pelukisan watak pelaku dan bahasa yang digunakan. Perasaan memilukan terekspresi di hadapan pembaca. Kelemahannya, terletak pada detil cerita (alasan putus cinta, jenis penyakit dan akibat yang ditimbulkan), terlebih-lebih pemasungan karakter pelaku serta pemakaian akhiran ‘nya’ yang berlebihan.
Menurut catatan, ada 7 cerpen yang mengekploitir ketakberdayaan dan 6 cerpen yang menjemput kematian. Ada apa dengan ketakberdayaan dan kematian dalam cerpen WWA? Apakah karena konsekuensi logis dari kualitas cinta yang mendasar di luluk hati? Ataukah karena ingin menampilkan sosok manusia, terutama perempuan, yang pesimistis dalam kehidupan bercinta? Atau karena pengarang secara pribadi pernah gagal hingga merasa sakit hati pada setiap laki-laki? Pasti WWA yang bisa menjawab ini.
Kemanusiaan Dalam Desing Peluru
Selain menguak cinta, 12 cerpen lagi bertema, subtema atau curahan pikiran campur sari, persoalan keluarga dan kehidupan sosial. Meminati kerumahtanggaan, ada 9 cerpen yang disajikan pengarang, antara lain terkait kemiskinan; Ketika Malam Merayap Lebih Dalam, Ketika Fajar Beringsut Malu, Rumah Awan. Lagi-lagi tentang kematian; Jejak Sabahat yang Berkarat, Karya Kematian serta hal kesabaran, anak, hutang dan penipuan Ruwet, Qiyamullail, Rahasia Hujan dan Sepeda Motor vs Teddy Bear.
Menyoroti kehidupan sosial, disajikan pengarang 3 cerpen yakni Ketukan Ujung Malam, Malam di Penghujung Senja dan Humairah. Berbicara kemiskinan, ada ‘aku’, seorang ‘mama’ (manusia malam) yang mampu menghidupi diri dan 5 bintang kejora walau bukan anaknya. Bagi-‘ku’ ‘mama’ bukan pekerjaan haram, apalagi bak sampah, melainkan pahlawan karena berjuang menghidupi bintang. Jadilah, bintang kejora sebagai alasan pembenaran untuk menghalalkan yang haram bahkan disebut pahlawan.
Tampaknya, tidak hanya cerita Ketika Malam Merayap Lebih Dalam di atas saja pengarang menafikan logika dan etika dalam menyelesaikan persoalan cinta, kemiskinan, juga persoalan lain seperti kematian yang banyak diceritakan. Bahkan dalam cerpen Karya Kematian, tiba-tiba pelakunya mengalami kehilangan dan kematian. Satu hal, meski cerita mengalir terus dan mungkin tak dapat dibendung, namun keseimbangan logika dan etika diperlukan agar kesan cerpen lebih realistik dan moralistik.
Sungguhpun begitu, cerpen Ketika Fajar Beringsut Malu, (berangka tahun 2010) dianggap berhasil, walau tak menjadi judul antologi ini. Kekuatannya (untuk unsur plot, pelukisan watak pelaku dan bahasa) menunjukkan peningkatan, bila dibandingkan dengan cerpen Lara. Begitu pula dengan kelemahannya (untuk unsur detil cerita, pemasungan karakter dan pemakaian akhiran ‘nya’) mulai diperhalus/hilang. Perwatakan tiap pelaku (Suci, ibu Ali, Ali) mulai kelihatan berdiri sendiri tanpa harus dipicu pengarang.
Dalam kajian saya, aspek penokohan ini mengalami perkembangan. Kalau pada cerpen Lara (dan kebanyakan cerpen lainnya) tokoh cerita masih seputar diri dan jajaran, maka pada cerpen Ketika Fajar Beringsut Malu, tokoh cerita berkembang kepada orang di luar diri dan jajaran. Karena itu, aspek penceritaan pun makin meluas. Tidak lagi soal percintaan dan kematian, tetapi sudah meluas kepada soal kemiskinan dan sentuhan kemanusiaan, walaupun masih dalam lingkungan sosial kehidupan pengarang.
Bagaimana soalan logika dan etika? Pada cerpen Ketika Fajar Beringsut Malu terasa mulai tertib. Kegigihan pengarang memperjuangkan sub estetika demi kepentingan cerita, rupanya mendapat perimbangan juga dengan masuknya persoalan logika dan etika. Tuntutan realistik dan moralistik dalam cerpen tetap menjadi perhatian. Jelaslah kehadiran Suci, ibu Ali dan Ali dalam cerpen itu tidak dipaksakan, melainkan utuh sebagai tokoh (antara mengasihi dan dikasihi) dalam lingkungan sosialnya.
Pada cerpen Humairah (berangka tahun 2011) unsur kemanusiaan justru mengalahkan ancaman keselamatan diri. Memang, terkadang profesi menantang sikap dan keberanian seseorang. Tokoh ‘aku’dalam cerpen itu telah membuktikannya. Dia berani ada di tengah-tengah konflik senjata (Israel-Palestina), beri perlindungan sekaligus membawa pulang Ummu Hanie ke Indonesia, menikahinya, lahirlah Humairah (kini berusia 4 tahun) dan dia berani kembali ke pergolakan Palestina-Israel dalan tugas yang sama.
Harus diakui, kelihatan dalam cerpen Humairah ini, kekuatan itu semakin lama semakin meningkat. Termasuk ide penceritaan pun semakin meluas dan malah amat spesifik.Bayangkan, di tengah-tengah gejolak perang, antara hidup (membunuh) dan mati (dibunuh), tokoh aku sebagai reporter tidak hanya melakukan tugas meliput berita, tapi dapat menyempatkan diri untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Pengarang menghendaki, kemanusiaan itu merupakan panggilan hati nurani.
Terlepas dari relung kemanusiaan, ada hal yang menjadi perhatian saya. Pertama, ketika Humairah tertidur, ayahnya masuk ke kamar. Setelah bangun, terjadi dialog. Kata Humairah:”Ayah, Ira sudah pandai menulis…” Seakan Ira baru saja bertemu ayahnya dan memberitahukan kepandaiannya. Padahal mereka bertemu sejak 4 tahun lalu. Kedua, pada dialog-dialog berikutnya, kelihatan Ira (Humairah) seperti orang dewasa kecil. Dialog orang dewasa yang cerdas dan komitmen. Padahal Ira baru berusia 4 tahun.
Kesimpulan saya, satu, buku Kemameleda, merupakan saksi sejarah/saksi perjuangan WWA sebagai cerpenis masa depan Indonesia. Dua, banyak cerpen tentang cinta manusia, di samping masalah keluarga dan lingkungan sosial. Semuanya menjurus pada kegagalan cinta, kematian, kemiskinan dan kemanusiaan. Tiga, tiap cerpen memiliki kekuatan (plot, narasi pelaku, bahasa) dan kelemahan (detil, pemasungan tokoh, pemakaian kata). Kekuatan estetika harus diimbangi unsur logika, etika, hukum, agama, dan sebagainya. Empat, saya bangga kalau WWA punya antologi. Apalagi kalau isinya bermutu. Saya suka baca cerpen Lara, Ketika Fajar Beringsut Malu dan Humairah.
__________15 Apr 2012
*) Mihar Harahap, Kritikus Sastra dan Dekan FKIP-UISU Medan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
1 komentar:
siiiiiippp...
Posting Komentar