Senin, 18 Agustus 2008

Duel Dua Bajingan

Fahrudin Nasrulloh
http://www.suaramerdeka.com/

Di tebing jurang Wuluh di bukit Kumbang, onggokan mayat-mayat berserakan di mana-mana. Gubuk-gubuk padepokan lantak terbakar. Amis darah meruap, menjelma bebayang hantu ditelan asap dan menyarang pedat ke rongga-rongga batu karang.

Roh memayat beterbangan
Diterpa cahaya purnama
Yang lahir dan yang mati
Tinggal kisah di sekotak peti
Jadi kenangan esok hari

Malam terus merayapi rasa kelam. Tapi kobaran api kian menerbangkan lelatu kematian. Membubung tinggi. Hitam pekat berliuk-liuk. Bergulung-gulung bagai ribuan naga sanca yang berlesatan menerobos angkasa. Di atas purnama bersaput warna kuning jingga, kejahatan malam itu bak geriap ajal yang membelit bayangan pandangan mata durja.

Ia mendengus beringas. Tatapannya sangar. Mengoceh ngalor-ngidul. Congornya memuncratkan ludah banger. Baunya bisa semaputkan orang. Ia berjubah hitam. Bertubuh gempal. Tegap gagah, tampan. Tapi rautnya penuh parut bekas bacokan. Mengerikan dan angker. Omongannya ngawur. Mbelgedes! Mbelgedes! Semprotan itu selalu ia semburkan ketika amarahnya muntap.

Tubuhnya dekil. Bau bangkai babi. Petakilan tingkahnya. Berangasan bila melihat perempuan ayu montok. Tak malu ngocol di jalanan. Memang ia suka mengecrotkan maninya di sembarang jalan. Ia menghunus pedang bergagang naga. Matanya memancarkan kilat bersaput kejora. Melesat ia, secepat lawa, di atas selembar daun jati, menembus pepohonan. Berlayangan dari ranting ke ranting. Seperti gagak maut yang mengibaskan kepak bengis sekarat, melengkingkan kesumat, amuknya terpanggang dendam membara. Sekujur tubuhnya bergetar gemuruh angkara.

Di bukit Kumbang, kobaran api masih berjilat-jilat, lelaki itu berdiri bak arca yang bangkit dari kutukan zalimnya. Jubah hitamnya berkibar-kibar diterpa sangit malam. Ingatan yang lamur, sayup-sayup terbayang di pelupuk mripatnya simbahan darah sang guru, Ki Padas Getas. Bagai janin mimpi beraroma keji, pembumihangusan padepokan bukit Kumbang baginya betul-betul menorehkan tragedi yang memilukan. Empat puluh murid Ki Padas Getas binasa dengan cara mengerikan. Puluhan kitab warisan Syekh Karamuk musnah terbakar. Sebagian dilenyapkan ke jurang Wuluh, sebagian dirampok para pemburu kitab di bawah pimpinan bajingan Pieter Zan Boven, si Belanda pincang bermata picak.

Lelaki itu berkelebat ke udara. Tangannya mengusap-usap wajah buruknya. Sembari memekik, ia berteriak lantang ketika melihat Pieter tergopoh-gopoh bersama dua orang bersorjan coklat-hitam yang menggembol bungkusan besar.
“Mau lari ke mana kau, londo bangsat!? Hayo hadapi aku, jika kau benar-benar pembunuh bayaran Kompeni laknat itu!”

Mendengar celometan itu, Pieter hanya terkekeh-kekeh sengir menatap sumir tingkah pongah Sawungpati. Seraya meludah-ludah jijik, ia duduk berleha-leha dan bersiul-siul ngece di sebongkah karang. Mengelus-elus pistolnya bergagang emas. Sebilah keris berwarangka kuning kemerah-merahan tersengkelit di pinggangnya.

“Sawungpati, jangan cuma pamer kesaktian! Aku tak akan lari dari kematian. Akulah tuan dari segala kematian. Dan kematianmu tinggal selangkah lagi. Dan malam inilah malam terakhirmu. Ketahuilah, Ki Padas Getas dan semua muridnya sudah mati dengan peluru-peluru berajah babiku ini. Mereka pantas mampus. Ia telah bersekongkol dengan Surapati yang mempecundangi dan membunuh Kapten Francois Tack di Kartasura. Karena itu, aku dapat bayaran banyak dari Kompeni untuk membunuh semua sahabat dan antek-antek Surapati.”

“Bangsat kalian! Persetan dengan Kompeni! Juga Sri Sunan yang jadi begundal dan boneka kaum kafir itu. Kalian sebut Surapati sebagai bandit pengacau. Tapi dia sahabatku yang punya keyakinan dan jiwa ksatria, dan bagiku, dia-lah yang layak menjadi raja di tlatah Jawa, ketimbang Sri Sunan yang dungu, gampang membunuh, dan gelap kekuasaan itu. Terlebih lagi, kalianlah perampok negeri kami! Bangsat! Jiancurit! Asu kurap!!! Cuih! Bedebah! Cuih!”

“He he he, Siapa yang lebih anjing bin babi hoi, murid begajulan! Kau curi kitab Bajra Tapak Geni Ki Padas Getas. Kau cabuli putrinya, Ni Mayang Wulan, hingga ia terhina dan gantung diri. Kau tak pernah bergabung dengan laskar Surapati dalam peperangan sekalipun. Hidupmu berhura-hura. Berjudi. Sabung ayam. Merampok dan menjarahi harta juragan-juragan Cina. Main perempuan hingga zakarmu kena raja singa. Ha ha ha, kau lebih laknat dari iblis, Sawungpati! Dan sekarang, kita ini sama-sama biadab, Sawungpati! Kau tak terima juga jika sekarang aku melakukan kejahatan yang sebenarnya lebih sesat dari kejahatanmu!”

Dua murid murtad Ki Padas Getas itu gencar saling berserapah dan lempar tuduhan. Pieter, si jangkung merit beraut mayat, bertulang bak jrangkong. Dengusan napasnya bagai memletikkan rambut pasir api yang kuasa membangkitkan mimpi buruk bagi siapa pun yang terjebak menatap kesangaran wajahnya. Ketangkasannya bertarung sabung memang setara dengan Sawungpati yang telah menguasai kitab Bajra Tapak Geni. Namun pelor-pelor pistolnya yang berajah gaib itulah, yang banyak membikin gentar musuh. Bahkan Kompeni juga orang-orang Mataram pun menggigil menghadapinya.

“Pieter, kenapa kau tega membunuh guru kita?”
“Ia pantas mati. Bukan perkara aku dibayar oleh Kapten Eygel untuk membinasakannya. Tapi aku yakin, jika tak kubunuh si bongkeng bau tanah itu, dia pasti nanti kau bunuh juga dan kau rampas pula kitab saktinya. Dan ternyata benar dugaanku.”

“Tapi mengapa pula kau lenyapkan semua kitab Syekh Karamuk?”
“Aku sudah mempelajarinya semua. Termasuk kitab babon Segara Ireng Kalimatul Arsy wal Maut. Aku yakin, tak seorang pun pewarisnya yang khatam mengamalkannya. Kecuali aku. Aku. Akulah pewaris tunggal semua ilmu guru yang kelak menjadi jawara di tlatah ini yang tiada tandingnya.”
“Sontoloyo, celeng demit asu begejil!! Terbakarlah leluhur bejatmu di alam baka, bangsat!”

“Hei, lancang benar kau sebut-sebut roh leluhurku di Den Haag yang telah beristirahat dengan tenang. Memang, aku sudah telanjur jadi iblis. Aku bukan pengabdi Kompeni, bukan budak siapa pun. Akulah tuan dari kebejatanku sendiri, dari segala kejahatan dunia. Sudahlah! Jangan banyak bacot! Hayo kita bertarung!!!” Ciaaatttttt!!!

Ciaw, ciow, cah cih cuh
Mata elang sambar menyambar
Bayangan getih bersintakan
Digulat dendam, silir menyilir
Yahoi, jurus-jurus beradu
Menetak nadi, gemetar pepati
Ciaw, ciow, cah cih cuh

Pieter berkelebat. Menghambur ke arah Sawungpati. Sementara, dua pengikutnya, jawara bule peranakan; Gajul van Deer dan Bajul van Keir telah bersiap-sigap menyerang dari sisi kanan dan kiri.

“Hoi, kalian menyingkirlah! Ini urusanku dengan Sawungpati. Jangan ikut campur!!!”
“Kami berdua juga ingin menguji kesaktian Sawungpati, Tuan!” pekik Bajul van Keir.
“Benar, Tuan, aku juga sudah gatal ingin meremukkan kepala si durjana ini!” sambung Gajul van Deer.
“Jamput! Dasar kroco-kroco tak tahu diri. Kalian bukan tandingannya. Jangan membantah perintahku! Atau kubunuh kalian sekarang!?”

Seketika keduanya ciut nyali dan nyengir seperti disawuri tai anjing. Mereka mundur barang lima tombak. Bersungut-sungut gentar campur grundel sambil mondar-mandir mengayun-ayunkan pedang dan kapak mereka.

Bagi Gajul dan Bajul, mereka hanya sekali menyaksikan pertarungan dua pendekar urakan itu. Inilah persabungan kedua mereka setelah, lima tahun sebelumnya, Pieter sempat dicocor mripat kirinya dengan jurus Tapak Carang Goyang oleh Sawungpati hingga picak, dan kemiren kaki kanannya tertetak pedangnya hingga dingklang. Tapi Sawungpati juga terluka cukup memedihkan. Karena sabetan keris Wotyamadipati milik Pieter, hampir sekujur wajahnya penuh carut luka. Mengerikan. Menyayat pandangan.

Dalam sekejap keduanya sudah bertarung sengit. Berlompatan di udara. Menukik. Menghunus. Saling sambar menyambar dengan jurus masing-masing. Hunjaman demi hunjaman keris Pieter menyodok ke wajah Sawungpati. Sabetan pedang Sawungpati juga berkali-kali menjurus ke dada Pieter, namun ia tangkas berkelit lincah.

Sesekali keduanya berkelebatan dari bongkahan karang satu ke bongkahan karang lain. Jika tak hati-hati, mereka bisa terpeleset terjerumus ke jurang Wuluh. Tapi mereka bukan pendekar kacangan yang ceroboh seperti dua cecunguk Pieter tadi yang keberanian dan ketangguhannya terbilang ecek-ecek.

Hiaattt!.... Ciahhhh!....
Ciaaatttt!.... Heahhh!....
Gema suara mereka melengking menggelegar hebat. Denting keris dengan pedang memekakkan telinga. Percikannya bak tebaran timah panas berpletikan ke mana-mana. Menggiriskan bulu kuduk. Memaksa mata tertapuk berkejap sebab kilaunya memerihkan tatapan. Membunarkan jarak pandang. Memusingkan kepala bagi siapa saja yang jika berani coba-coba membuka kedipan mata.

Tiba-tiba Sawungpati mundur tiga langkah. Menata kuda-kuda. Membuka jurus-jurus dari kitab Bajra Tapak Geni. Kaki kirinya dilipat dan ditapakkan di dengkul kanannya. Matanya terpejam. Dua telapak tangannya saling dirapatkan dan diacungkan ke langit. Mulutnya komat-kamit merapalkan mantra:

aji bajra tapak geni
segara langit segara bumi
lipat pati latu getih
biqudratillahi mautika
rajiun wa laknatun
Pieter tidak tinggal diam. Lima pelor berajah babi telah siap dibidikkan. Namun ia juga berjaga-jaga dengan mendaraskan mantra dari kitab Segara Ireng Kalimatul Arsy wal Maut:

aji geni ireng segara areng
sipat Gusti sipat langgeng
sipat menus sipat pati
matia sajroning dzat Gusti
la ilaha illallahu Muhammadar rasulullah
Serentak keduanya saling menerjang. Kibasan, pukulan, dan tetakan sama-sama mereka lancarkan.

Pieter mulai keteter. Dengan susah payah ia berkelit dan menangkis pukulan dan tendangan Sawungpati. Sawungpati terus merangsek. Jurus kelima Bajra Tapak Geni ia tukikkan ke ulu hati Pieter. Sial. Pieter tak sempat menghindar. Kecepatan pukulan itu melebihi desisan napasnya yang mulai ngos-ngosan. Ia terjengkang tiga langkah ke belakang. Sambil memegangi ulu hatinya, Pieter menghirup setarikan napas.

“Ha, ha, ha, bagaimana rasanya Bajra Tapak Geni-ku, Pieter? Jantungmu bisa-bisa ambrol dan gosong!!! Ha, ha, ha!!!

Pieter tak meladeni ocehan itu. Sekilat lepas ia tembakkan pistolnya. Sawungpati tergeregap menghindar. Berjumpalitan bagai kutu loncat. Empat tembakan dapat ia tepiskan. Tapi satu peluru menyarang di perutnya. Darah mulai menetes. Ia merintih-rintih, cengar-cengir kesakitan. Wajahnya yang bercarut luka kini memerah. Racun pelor rajah babi dengan sendirinya merasuk ke seluruh aliran darah dan membuat si terluka makin garang dan lepas kendali bagai celeng alas sinting mengamuk menyerang musuhnya.

Sementara Pieter mulai terhuyung-huyung dan berjalan terdingklang-dingklang sembari memegangi ulu hatinya dengan tangan kirinya. Tangan kanannya masih kuasa menodongkan pistol kosong itu ke jidat Sawungpati. Ia tahu tak ada waktu lagi mengisi peluru, lantas membuang pistol.

Pieter segera mencabut keris Wotyamadipati. Keringat dingin menderas meleleri sekujur tubuhnya. Ia semakin gemetar merasakan keampuhan pukulan Bajra Tapak Geni. Sawungpati juga mencabut pedangnya. Tapi pedang ini bukan pedang pusaka. Kendati pedang ini pernah membikin picak dan pincang si Pieter. Itu pun karena gabungan jurus pedang dengan dengan ajian Bajra Tapak Geni.

Keduanya saling berhadapan dalam jarak dua tombak. Tampaknya inilah pertarungan hidup-mati mereka. Lalu keduanya saling menyerang.

Crasss…. Jlepp….
Akhkhkh…. Eighghrrhghrrr….
Tebasan pedang Sawungpati membuntungkan tangan kiri Pieter. Mata Pieter mengerjap-ngerjap. Menatap dengan nanar ke purnama yang mengisut tenggelam dijemput fajar. Pieter limbung. Gontai. Lalu tersungkur tepat di kaki Sawungpati.

Sedangkan Sawungpati, lebih tragis lagi, keris Wotyamadipati menancap di lehernya hingga tembus ke tengkuk. Darahnya muncrat membasahi sekujur tubuhnya. Namun ia tetap berdiri tegap dengan mata mendelik-delik. Nyalang mripatnya seolah hendak menghirup cahaya fajar yang mulai menyingsing. Mulutnya ingin memekikkan sesuatu. Tapi tak kuasa. Lalu ia rubuh tersimpuh. Meregang nyawa. Suaranya mengorok-orok sesenggrokan. Seperti kelejatan jerit sapi disembelih. Sejenak kemudian, kepalanya tertunduk. Dan darahnya yang menghitam kental itu masih saja merembes dari lehernya.

Dengan cekatan Gajul dan Bajul menyingkirkan Pieter dari posisi Sawungpati. Pieter barangkali hanya pingsan sebab kehabisan darah. Tapi pukulan Sawungpati itu juga teramat mematikan. Akhirnya, dengan membopong Pieter beserta barang jarahan lainnya, keduanya cepat-cepat meninggalkan bukit Kumbang itu.

Padepokan Lembah Pring, Jombang, 2006-2008

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi