Senin, 29 September 2008

Menulis Puisi Itu Sangat Mahal

Koran Tempo, 27 Januari 2008

Acep Zamzam Noor pantas berbahagia. Penyair kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, ini dinobatkan sebagai peraih Khatulistiwa Literary Award 2007 untuk kategori puisi pada 18 Januari lalu. Acep meraih penghargaan itu melalui buku kumpulan puisi Menjadi Penyair Lagi (2007).

Ini penghargaan kedua dalam karier kepenyairan lelaki yang bulan depan berusia 48 tahun ini. Pada 2005 penyair yang tumbuh di lingkungan pesantren di kota kelahirannya ini menerima South East Asian Write Award dari Kerajaan Thailand.

Kemenangan di Khatulistiwa Literary Award membuat kantongnya kian tebal. Ia berhak atas hadiah uang Rp 100 juta. "Lumayan, uang ini menjadi honor setelah 20 tahun menjadi penyair," ucapnya di atas panggung ketika menerima penghargaan itu di Atrium Plaza Senayan, Jakarta.

Acep adalah salah satu penyair Indonesia yang bertahan cukup lama mencurahkan dedikasinya pada perpuisian Indonesia. Menulis puisi sejak sekolah menengah pertama, hingga saat ini ia telah menerbitkan delapan buku kumpulan puisi, antara lain Tamparlah Mukaku (1982), Aku Kini Doa (1986), dan Jalan Menuju Rumahmu (2004).

Banyak karyanya yang dijadikan kajian oleh kalangan akademisi sastra di Tanah Air. Lulusan Jurusan Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung ini pernah mendapat beasiswa untuk kuliah di Universitas Italiana, Italia, selama dua tahun.

Sepulang dari Italia, suami Euis Nurhayati dan ayah empat anak ini memilih tinggal di Tasikmalaya. "Dengan saya tinggal di daerah, saya bisa hidup apa adanya, sederhana, sehingga masih bisa bertahan menulis puisi hingga sekarang," ujarnya. Selain menulis puisi, ia melukis. Acep aktif berpameran, antara lain di Bandung, Yogyakarta, Bali, Jakarta, Filipina, Singapura, Malaysia, dan Belanda.

Selasa lalu, Acep menerima wartawan Tempo, Erwin Dariyanto, dan fotografer Santirta untuk sebuah wawancara di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Berikut ini petikannya.

Apa arti penghargaan Khatulistiwa Literary Award ini bagi Anda?

Sebenarnya, penghargaan semacam ini bagi penyair bukanlah target. Bagi penyair, menulis puisi itu bukanlah penghargaan semacam ini yang terpikirkan. Tapi Khatulistiwa ini, menurut saya, juga penting bagi dunia kepenyairan di Indonesia. Bagi saya, ini hanya sebagai proses. Saya menulis puisi sudah 20 tahunan. Beberapa penghargaan yang saya terima menggambarkan bahwa saya bekerja dan orang memperhatikan.

Anda sudah puas dengan mendapat penghargaan ini?

Saya belum puas. Saya mungkin hanya bisa mengucapkan terima kasih. Kerja saya selama ini dihargai. Tapi kerja saya akan berjalan terus. Saya tetap berproses tanpa atau dengan penghargaan sekalipun.

Apa Anda merasa sudah pantas mendapat penghargaan ini?

Kalau soal itu, orang lain yang menilai.

Beberapa kalangan menilai proses seleksi dan penjurian Khatulistiwa Literary Award tidak fair, bagaimana menurut Anda?

Ini begini, saya juga kurang tahu prosesnya seperti apa. Saya memang mendengar bahwa penjurian di KLA ini lain dari penjurian-penjurian yang lain. Bahwa ini tidak ada diskusi, tapi tiap juri memberikan angka atau apa, tapi ini juga melibatkan banyak sekali juri. Saya tidak tahu ini fair atau tidak. Tapi katanya ini proses penjurian yang lain. Alasan mereka, kalau lewat diskusi, akan ada yang dominan, sementara ini kan tidak ada, semua sama. Cuma, menurut saya, ini adalah sebuah versi KLA ini, ya, seperti ini.

Dengan sistem penjurian seperti itu, apakah penjurian Khatulistiwa Literary Award sudah ideal?

Mungkin kalau ideal belum. Sistem seperti ini, menurut saya, masih bisa dilakukan, tapi dengan kualitas juri yang semuanya mengerti puisi. Sistem seperti ini, menurut saya, bisa menjadi alternatif, dengan catatan jurinya yang benar-benar paham tentang sastra.

Apakah para juri Khatulistiwa Literary Award saat ini belum memahami sastra?

Jadi ini kan ada tiga tahapan. Saya kurang tahu siapa saja jurinya pada tahap pertama dan kedua. Tapi kayaknya ini jurinya dari berbagai kalangan, tidak khusus yang berlatar belakang sastra, ada filosofnya, ada juga sosiolognya. Juri di tahap terakhir ini agak komplet, ada akademisi, ada penyair, ada ahli puisi, ada redaktur koran. Cuma, apakah reputasi mereka pas atau tidak, itu juga mungkin dikaji lagi.

Penjurian yang ideal itu seperti apa?

Saya rasa, cara seperti itu ideal kalau orang-orangnya benar-benar mantap dan paham benar soal puisi.

Buku puisi Menjadi Penyair Lagi memiliki tren romantis. Apa keistimewaan puisi-puisi Anda dalam buku itu?

Jadi memang buku ini adalah kumpulan puisi liris dengan tema romantis. Di sini sebenarnya saya lebih menekankan masalah-masalah bahasa, bahasa dengan ungkapan yang sederhana, tapi juga mungkin bersih dan bening. Itu yang ingin saya tampilkan dari buku ini. Ini berbeda dengan kumpulan-kumpulan puisi saya sebelumnya. Isinya lebih ke puisi-puisi yang temanya sederhana, isinya juga sederhana, tapi saya ingin menghadirkan puisi dalam kesederhanaan itu.

Yang menjadi unggulan dalam buku itu puisi apa?

Saya kurang tahu. Akhirnya juga selera pembaca yang berbicara. Selera pembaca kan berbeda-beda. Ada beberapa memang yang saya sukai secara pribadi, yang kemudian saya jadikan judul buku itu, "Menjadi Penyair Lagi".

Kenapa memilih judul "Menjadi Penyair Lagi"?

Itu secara subyektif, karena saya menyukai sajak itu, dan itu saya kira mewakili keseluruhan dari puisi-puisi itu.

Bagaimana proses kreatif Anda membuat puisi?

Jadi itu (proses kreatif Menjadi Penyair Lagi) sebenarnya (berdasarkan) pengalaman teman-teman, hasil pengamatan sosial saya. Banyak sekali wanita muda yang ingin menjadi artis, penyanyi, dan semacam itu. Saya terilhami oleh mereka, anak-anak muda yang ingin menjadi artis.

Proses (kreatif) secara keseluruhan, pertama, saya menyukai jalan-jalan. Dalam satu bulan, setengah bulan lebih saya gunakan untuk jalan-jalan, entah ada acara entah tidak. Itu bagian dari proses kreatif saya. Saya sangat menikmati semua itu: bagaimana perjalanan saya di kereta, bus, saya melihat sekeliling saya. Juga ketika saya memasuki sebuah kota, apakah kota itu sudah lama saya kenal atau belum. Itu juga menjadi masukan-masukan bagi diri saya dan tersimpan dalam memori saya. Nah, hal-hal itu menjadi inspirasi bagi saya.

Tempat favorit yang menjadi sumber inspirasi Anda?

Nah, kalau kota, itu Yogya. Dan saya mencari pasar tradisional, terutama pasar di Bali. Saya pernah ke sebuah pasar di Bali, yaitu Pasar Kumbasari, dan membuat sebuah puisi berjudul "Kumbasari". Dan puisi itu sering dijadikan puisi wajib dalam lomba-lomba baca puisi di sana. Ini juga salah satu yang saya kunjungi. Saya tidak secara sengaja mencari puisi dengan mengunjungi pasar-pasar itu. Tapi sekadar jalan-jalan menikmati suasana, mengalir begitu saja. Tapi itu menjadi bahan bagi saya.

Jadi semua tempat bisa menjadi sumber inspirasi?

Saya sering mengatakan kepada teman-teman di komunitas bahwa pekerjaan seorang penyair itu sangat berat. Waktunya 24 jam, tidak dibatasi jam kerja dan libur nasional, libur kejepit, atau libur apa pun. Jadi ritmenya harus tetap terjaga selama 24 jam. Lalu menulis puisi itu sangat mahal biayanya. Saya bisa katakan bagaimana mahalnya biaya perjalanan, bagaimana biaya duduk di kafe memesan cappuccino atau bir. Ini tidak sebanding dengan honor yang diberikan majalah. Tapi ketika orang menulis puisi, honor dan hal-hal lainnya bukan menjadi yang utama.

Kepuasan apa yang Anda dapat dari menulis puisi?

Nah, ini kepuasan yang sulit dijelaskan. Ada kenikmatan-kenikmatan tertentu yang mungkin juga hanya bisa dicapai oleh orang dengan hobi tertentu. Misalnya, orang bisa membeli bunga dengan harga ratusan juta sekadar untuk kenikmatan. Mungkin seperti itu juga saya mendapat kenikmatan dari menulis puisi. Ada kenikmatan batin ketika puisi selesai ditulis. Semacam orgasme begitu, agak sulit dijelaskan bagaimana kepuasan seorang penyair.

Puisi-puisi Anda sebelumnya mengusung tema religius, apakah ini karena Anda pernah tinggal di pesantren?

Ya, mungkin itu juga ada pengaruh. Tapi mungkin saja ketika orang memulai menulis puisi, dia akan mengalami perjalanan sendiri, perjalanan spiritual. Saya kira itu hal yang wajar. Sebuah fase dari setiap penyair akan mencapai tema-tema khusus, misalnya religius, dan itu saya lakukan sudah cukup lama, sekitar 1980. Saya menulis tema-tema religius dengan metafora persoalan-persoalan alam. Tapi di situ mulai masuk persoalan-persoalan sosial dan persoalan yang agak erotis juga masuk dalam buku saya.

Hanya sedikit penyair yang mempertahankan kepenyairannya. Apa yang membuat Anda bertahan sebagai penyair?

Ini hal yang sangat wajar saja. Orang, ketika mahasiswa, senang menulis puisi, kemudian setelah lulus, tidak lagi menulis puisi adalah hal yang sangat normal, dan itu akan terjadi pada setiap orang. Tapi yang bertahan itu yang luar biasa. Karena begini, mungkin mereka, menurut saya, salah niat. Ketika kepenyairan dianggap profesi, menurut saya, itu salah, paling bertahan selama lima tahun saja. Kalau kepenyairan dianggap sebagai profesi, berarti dia harus hidup dari puisi. Ini sesuatu yang tidak mungkin di Indonesia. Saya bisa bertahan karena tidak menganggap penyair ini sebagai profesi saya. Saya menganggap ini sebagai kesenangan saja, semacam hobi. Justru karena saya menganggapnya sebagai hobi, saya bisa bertahan lama. Dan hobi bukan hal yang main-main. Bisa juga serius tanpa perhitungan untung-rugi.

Apakah dengan menulis puisi ini, bisa memenuhi kebutuhan hidup?

Itu tidak mungkin. Saya pikir, tidak ada buku yang diterbitkan kemudian memberikan penghasilan bagi penyairnya. Itu tidak mungkin. Itu selalu rugi. Dari honor di koran, itu sangat kecil. Tidak mungkin bisa untuk hidup.

Dari menulis buku, berapa royalti yang Anda terima?

Nyaris tidak ada. Itu mungkin umumnya buku sastra yang bestseller.

Lalu bagaimana Anda bisa hidup?

Saya mungkin hidup dari keajaiban, ya. Selesai kuliah, saya nikah. Waktu itu saya sempat hidup dari menjual lukisan. Kemudian saya ke luar negeri selama dua tahun. Pulang dari sana tiba-tiba saya memutuskan tinggal di daerah. Ini juga mengagetkan teman-teman. Karena tinggal di daerah tidak menguntungkan bagi kelangsungan karier kepenyairan. Tapi, dengan tinggal di daerah, mungkin saya lebih tenang dalam menulis puisi. Pertama, mungkin kalau saya di kota, saya punya pekerjaan dan punya majikan, dan itu bagi saya adalah musuh dalam penulisan buku. Dengan mempunyai pekerjaan tetap, jadwal tetap itu akan mengganggu proses kreatif. Begitu juga dengan punya majikan.
Dengan saya tinggal di daerah, saya bisa hidup apa adanya, sederhana, sehingga masih bisa bertahan menulis puisi hingga sekarang.

Mengapa peminat puisi lebih sedikit ketimbang peminat prosa?

Ini tidak aneh. Jenis-jenis kesenian tertentu yang dianggap serius pasti mempunyai minat yang terbatas.

Apakah melalui puisi Anda bisa menyalurkan aspirasi politik Anda?

Ya, kebetulan karena saya di daerah, ternyata aspirasi politik saya sangat efektif disampaikan melalui puisi. Misalnya, protes-protes saya mengenai kebijakan pemerintahan daerah di DPRD. Kebetulan saya di daerah sering diundang ke berbagai forum entah untuk membaca puisi entah sekadar berbicara, sehingga saya mempunyai kesempatan luas untuk menyampaikan aspirasi saya.

Bagaimana pandangan Anda mengenai masyarakat puisi Indonesia?

Jadi saya tidak terlalu pesimistis, ya, masyarakat puisi Indonesia itu mempunyai masyarakat sendiri. Dibanding negara lain di dunia, di Indonesia ini lebih semarak. Lomba-lomba baca puisi yang diadakan di daerah selalu diikuti minimal 300 peserta. Itu juga salah satu yang menandakan bahwa puisi punya salah satu kesemarakan sendiri.

Bagaimana pendidikan puisi di sekolah?

Nah, itu salah satunya lewat lomba-lomba. Semakin sering saja mengadakan lomba-lomba. Dan ini yang menyelenggarakan adalah komunitas, bukan pemerintah.

Kenapa bukan pemerintah yang turun tangan? Apa masalahnya?

Nah, itu selalu begitu. Sebenarnya pemerintah punya program. Namun, selalu saja tidak sukses karena pemerintah tidak serius menggarapnya, tapi malas bekerja sama dengan komunitas.

Bagaimana peran pemerintah dalam memajukan puisi?

Sangat kecil perannya karena hanya memberi waktu dua jam untuk pelajaran bahasa Indonesia, bukan sastra, lo. Hanya ada beberapa menit untuk sastra ini. Ini sangat kurang. Idealnya, harus dipisahkan antara pelajaran bahasa Indonesia dan sastra Indonesia.

Bagaimana pelajaran sastra di negara lain?

Bisa jadi lebih bagus karena di Malaysia itu, tingkat SMA saja sudah bikin skripsi kecil yang membahas karya sastra, dan kebanyakan yang dibahas karya sastra Indonesia.

Apa yang harus dibenahi dalam pengajaran sastra di Indonesia?

Pertama, kurikulum. Ada memang beberapa sekolah yang guru-gurunya punya kesenangan pada sastra atau mempunyai hubungan dengan komunitas-komunitas, dia bikin kegiatan di luar kegiatan sekolah, ekstrakurikuler. Tapi kan tidak semua sekolah seperti itu.

Mengapa di Indonesia sangat sedikit kalangan bisnis yang menyukai puisi?

Nah, itulah, di Indonesia ini spesialisasi itu ketat sekali. Seorang dokter itu menjadi aneh ketika menyukai lukisan atau puisi. Padahal semestinya kesenian itu bisa memberikan pencerahan bagi semua kalangan.

Karya puisi yang paling berkesan bagi Anda?

Salah satunya yang judulnya "Cipasung", karena banyak orang yang menyukai puisi itu, dan itu puisi saya yang paling berhasil, dan berbicara tentang saya waktu kecil.

Apakah keluarga juga mendukung kegiatan Anda?

Saya hidup di kalangan pesantren. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan sastra, kecuali ibu saya. Mereka tidak mendukung dan tidak melarang.

BIODATA
Nama: Acep Zamzam Noor
Lahir: Tasikmalaya, 28 Februari 1960
Istri: Euis Nurhayati
Anak: 1. Rebana Adawiyah 2. Imana Tahira 3. Diwan Masnawi 4. Abraham Kindi
Pendidikan:
# Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung
# Universitas Italiana, Italia (1991-1993)

Pekerjaan:
# Penyair, Pengelola Sanggar Sastra Tasik

Penghargaan:
# South East Asian Write Award dari Kerajaan Thailand (2005)
# Khatulistiwa Literary Award 2007

Buku Kumpulan Puisi:
# Tamparlah Mukaku (1982), Aku Kini Doa (1986), Kasidah Sunyi (1989), Di Luar Kata (1996), Dari Kota Hujan (1996), Di Atas Umbria (1999), Jalan Menuju Rumahmu (2004), dan Menjadi Penyair Lagi (2007)

Sabtu, 27 September 2008

PENOLAKAN SAUT SITUMORANG ATAS KHATULISTIWA LITERARY AWARD

During times of universal deceit,
telling the truth becomes a revolutionary act

-George Orwell

Menanggapi beredarnya Long-list Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2008 yang memasukkan buku saya "otobiografi" ([sic] Yogyakarta, November 2007) sebagai salah satu 10 besar kategori Puisi, dengan ini saya nyatakan menolak pengikutsertaan buku saya tersebut. Adapun alasan saya adalah sebagai berikut :

Sejak awal saya menganggap keberadaan KLA tidak layak dan tidak representatif bagi kesusasteraan Indonesia karena dasar dan sistem penilaian karya tidak pernah jelas, inkonsisten, improvisasi, dan tidak profesional.

Beberapa cacat fatal dapat disebutkan:

a. Panitia maupun juri melanggar aturan yang mereka buat sendiri. Contoh: Menangnya buku puisi Goenawan Mohamad, "Sajak-sajak Lengkap", pada KLA perdana, merupakan pelanggaran terang-terangan atas aturan yang sudah diumumkan panitia sebelumnya bahwa karya kompilasi (yang sudah pernah diterbitkan terdahulu) tidak bisa diikutkan dalam penilaian, dan buku yang diterbitkan oleh Metafor Publishing (milik bos KLA, Richard Oh) juga tidak akan diikutkan dalam penilaian. Kenyataannya, "Sajak-sajak Lengkap" Goenawan Mohamad yang merupakan gabungan puisi lama dan baru dan diterbitkan Metafor Publishing pula, terpilih sebagai pemenang!

Hal ini terulang pada KLA 2005 dimana buku puisi Iman Budhi Santoso, "Matahari-matahari Kecil", yang berisi 100 puisi pilihan yang merupakan "trademark" karya kompilasi penerbit Grasindo, masuk dalam 5 besar penilaian!

Dan hal ini terjadi lagi pada buku puisi saya, "otobiografi" ([sic] Yogyakarta, November 2007). Buku ini jelas-jelas berisi puisi lengkap saya yang sebagian pernah terbit dalam "saut kecil bicara dengan tuhan" (Bentang Budaya, 2003) dan "catatan subversif" (BukuBaik, 2004)!

b. Panitia dan juri tidak profesional, bekerja asal-asalan dan ngawur. Contoh: Dalam KLA 2005, buku puisi penyair cilik, Abdurahman Faiz (saya lupa judulnya) semula muncul dalam daftar 10 besar, tapi setelah adanya sejumlah protes dan kritik, tiba-tiba nama Abdurahman Faiz dihapus begitu saja, dan segera diganti nama dan buku lain. Terlepas dari protes atau kritik yang ada, layakkah sebuah karya yang sudah dinilai juri kemudian diumumkan kepada publik, lantas ditarik begitu saja tanpa pertanggungjawaban juri dan penjelasan panitia secara publik?!

c. Kriteria buku yang dinilai tidak jelas: apakah buku yang ditulis secara perorangan atau antologi-bersama? KLA 2008 ini, misalnya, memasukkan sebuah antologi-puisi-bersama di posisi 10 besar!

d. Konsep KLA rancu dan amburadul: apakah berupa anugrah (award) atau lomba? Jika penghargaan, mengapa panitia dan juri tidak proaktif mencari buku untuk dinilai, tapi malah secara pasif menunggu penerbit/penulis mengirimkan bukunya kepada panitia, lengkap dengan batas waktu sebagaimana lazimnya syarat sebuah lomba? Padahal, sejauhmana pengumuman KLA dapat diakses para penulis/penerbit yang bertebaran di seluruh Indonesia? Alhasil, hanya mereka yang mengirim yang akan dinilai, yang tidak mengirim akan luput.

Nah, anehnya, buku "otobiografi" TIDAK pernah dikirimkan oleh Penerbit maupun oleh saya sebagai penulisnya kepada Panitia KLA (sebagaimana yang mereka syaratkan) tapi kok bisa muncul di 10 besar?!

e. Kerja penjurian hanyalah upaya untuk membuat legitimasi bahwa Panitia KLA sudah melakukan mekanisme penilaian yang benar, padahal dasar penilaian dan proses penjurian lebih tepat disebut sebagai sebuah skandal! Contoh: Tidak ada pertemuan antar-juri, bahkan di antara mereka tidak saling tahu, serta tidak ada pertanggungjawaban apapun dari juri bagi karya yang terpilih/pemenang!

Contoh lain, seorang calon juri di Yogyakarta mengundurkan diri karena sistem penilaian yang diterapkan Panitia KLA sangat tidak masuk akal. Ia dihubungi sekitar tanggal 25 Agustus 2008 oleh Panitia KLA di Jakarta, yang memintanya menjadi Juri Tahap I dengan honorarium 1 juta rupiah. Anehnya, daftar buku yang akan dinilai sudah ditentukan oleh panitia (mungkin berdasarkan buku yang dikirim penulis/penerbit?), padahal posisi yang ditawarkan adalah Juri Tahap I yang dalam konteks penilaian lebih tinggi posisinya ketimbang panitia. Lha, kok panitia yang menentukan lebih dulu? Gawatnya, hasil penilaian harus sudah sampai dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Logikanya, seorang juri tentu mesti baca buku yang dinilainya. Namun dengan waktu yang mepet dan honor 1 juta rupiah, mungkinkah seorang juri dapat membaca atau membeli buku-buku yang hendak dinilainya? Jikapun diasumsikan ada juri yang menyempal, misal mengusulkan buku yang tidak ada dalam daftar,
bukankah suara usulannya itu akan bersifat ”minoritas” belaka, sebab juri lain bisa saja tak mengetahui buku tersebut? Apalagi penilaian berupa tabulasi, penjumlahan angka dari dewan juri, sebagaimana sistem ”Idol” di televisi. Pada akhirnya, itu semua hanyalah semacam fait accompli sebab skenario sebenarnya sudah disiapkan dan juri hanyalah alat legitimasi!

Tak sampai sebulan sejak tanggal 25 Agustus 2008 kita semua tahu Long-list KLA 2008 dikeluarkan, berarti para juri telah sanggup merampungkan tugas membaca dan menilai buku-buku sastra di Indonesia yang terbit kurun waktu satu tahun! Hebat!

Di tengah dekadensi kondisi Sastra Kontemporer Indonesia lantaran merajalelanya para petualang/dilettante sastra dengan politik uangnya, perkoncoan, manipulasi isu-isu kesusasteraan Indonesia atau isu bangsa secara umum di luar negeri atau kepada sponsor baik asing maupun domestik, yang kemudian dilegitimasi dengan ”niat suci demi Sastra” padahal tidak sama sekali –– sebagaimana dengan jelas diperlihatkan pada cara kerja Panitia KLA seperti yang saya elaborasikan di atas, atas bobroknya sistem, moral dan pertanggungjawaban Panitia KLA, sponsor dan juri-jurinya itu, maka dengan ini saya MELARANG KERAS KARYA SAYA "otobiografi" ([sic] Yogyakarta, November 2007) DIIKUTSERTAKAN DALAM KHATULISTIWA LITERARY AWARD!

Kepada kawan-kawan sastrawan Indonesia, marilah kita pikirkan bersama kondisi Sastra kita yang sudah rusak oleh hadiah-hadiah sastra yang tidak jelas maksud-tujuannya seperti KLA dan oleh peristiwa-peristiwa sastra semacam Teater Utan Kayu International Literary Biennale dan Ubud Writers and Readers Festival. Apakah absennya sebuah tradisi Kritik Sastra yang baik dan benar lantas harus membuat Sastrawan Indonesia menjadi tidak kritis! Jangan cuma karena uang dan ambisi untuk ”go international” kita jadi lupa daratan!

Yogyakarta, 20 September 2008

Tertanda,
SAUT SITUMORANG

Ikut mendukung:
Penerbit [sic] Yogyakarta

dari email PUstaka puJAngga

Jumat, 26 September 2008

Batu Domino yang Beradu

Jawa Pos, 3 Juli 2005
Marhalim Zaini

Lebih baik jadi kuli di negeri sendiri.
Setelah segalanya seperti menyusut ke dalam gelap, dan menghadirkan bintik-bintik cahaya lampu, serupa ratusan bintang yang terapung di sepanjang pelabuhan, di sinilah surga mereka. Di mana lagi, selain kedai kopi tempat mereka kembali, tempat (seolah) mereka menemukan sebuah keluarga. Surga dapat dibangun di mana saja, dan dihuni oleh siapa saja, pikir mereka. Keluarga adalah surga. Keduanya ada saat kita membuatnya ada. Dan mereka selalu merasa menemukan keduanya. Tak ada yang benar-benar merasa kehilangan, saat batu-batu domino mulai beradu. Kehilangan adalah cerita lain, yang sengaja diasingkan. Ia tak boleh hadir, saat kesulitan-kesulitan hidup bagai mendesak dalam setiap detik waktu yang berjalan setiap hari. Mereka kuli. Kesadaran sebagai kuli harus ditanamkan dalam-dalam, supaya tak berkesempatan perasaan-perasaan busuk singgah, dan menggoda mereka untuk melakukan hal-hal yang buruk. Seorang kuli, bukan seorang pencuri. Ini harus diyakini. Meski terkadang banyak mata yang memosisikannya tak terlalu jauh berbeda. Tapi mereka tak ingin mengerti. Sebab tak cukup waktu untuk memahami dan mengerti tentang status, tentang kedudukan. Mereka merasa sebutan kuli sudah cukup memberi kepercayaan diri bagi mereka, dan itu lebih baik daripada seorang gelandangan atau pengangguran.

Lalu apa yang membuat status kuli menjadi tidak baik? Tidak ada. Ini negeri kuli. Di setiap sudut kota, di kampung-kampung, di manapun, kuli jadi penghuni. Tidak percaya? Ribuan kuli di negeri jiran, adalah akibat dari kemelimpahan kuli di negeri ini. Dan mereka, yang malam ini duduk membanting batu-batu domino di atas meja kedai kopi, tidak memilih jadi kuli di negeri orang. “Lebih baik jadi kuli di negeri sendiri,” umpat mereka, saat seorang kawan membawa oleh-oleh berupa bekas sebatan rotan yang menggaris di punggungnya. Mereka seolah tak hirau pada sejumlah kawan lain yang dengan semangat membara bersusah payah untuk bisa ikut menjadi kuli di negeri orang. Mereka hanya mencibir, “kalian tak malu jadi kuli di negeri orang?” Dan mereka pasti akan menutup telinga saat kawan-kawannya menjawab, “tak ada bedanya jadi kuli di negeri sendiri.”

Dan malam, selalu jatuh tepat di pundak sungai ini, seperti seorang tua berjubah hitam, menyungkup kedinginan. Dan mereka, satu-satu datang, seperti bersepakat untuk bertemu, berkumpul di kedai kopi. Inilah saat pesta domino digelar. Membanting angka-angka keberuntungan. Teh telor, kopi ginseng, hemaviton, ekstrajoss, bir bintang, topi miring, ciu, kti, dan segala jenis minuman beralkohol adalah hidangan sebagai taruhan ringan. Dan percakapan adalah lintasan-lintasan pikiran yang tak jernih. Tak ada peristiwa yang selesai diperbincangkan dari mulut yang bau tuak. Mereka mengucapkan pukimak, pantek, tai, asu, dan sejenisnya, sebagai patahan-patahan emosi yang tak serius. Omong kosong, kebuntuan, ledakan, cemeeh, semua tak terencanakan. Yang tak terbiasa, dan datang dengan kejernihan yang normal, hanya akan mengotori telinga dan pulang dengan wajah yang memucat, dan segera menyadari bahwa ia asing dan terlihat aneh di lingkungan mereka. Dan percakapan yang tak selesai, acapkali harus diakhiri dengan perkelahian. Inilah egoisme yang sering muncul dalam kehendak untuk menang yang tak terkontrol. Gigi patah, muka lebam, lengan koyak, kepala bocor, hidung meler, adalah hal yang tak terhindarkan. Polisi ada, tapi menganggapnya biasa. Ia menjadi tradisi. Tidak akan pernah ada yang kalah, sebab setiap mereka merasa telah menang. Dan selesai. Malam berikutnya, adalah surga, adalah keluarga. Mereka kembali, seperti batu-batu domino yang tak bosan untuk beradu…

Mungkin hidup yang dulu telah membuang mereka. Kini mereka sedang berada dalam pilihan hidup yang harus terlihat wajar sebagai sebuah keputusan yang tak salah. Mereka sengaja membuang jauh ingatan lampau seperti seseorang yang membuang sauh ke dasar laut. Orang tua, kakak, adik, abang, saudara-mara, adalah wajah-wajah yang tak seharusnya hidup dalam ingatan mereka saat ini. Sebab kehadiran wajah-wajah itu hanya akan membuat kebebasan terkekang, dan hanya kembali menegaskan perasaan akan kehilangan dan kekalahan. Ini memuakkan. Sama memuakkannya dengan wajah kampung-kampung tempat kelahiran mereka. Kampung yang membuat penghuninya merasa terbuang, merasa tak diperhitungkan. Dan anak-anak yang terlahir dari sana, adalah anak-anak yang menderita ketakutan akan masa depan. Anak-anak yang setiap subuh, bertelanjang dada, bermain congkak di bawah asuhan beruk-beruk di hutan karet. Anak-anak yang gemar memanjat batang kelapa, melebihi tupai. Anak-anak yang tahan berendam dalam lumpur gambut di akar-akar bakau berburu ketam atau siput. Anak-anak yang tiba-tiba telah tumbuh menjadi seseorang yang telah siap dipekerjakan untuk menjadi kuli, menjadi anak buah tongkang berlayar gelap ke negeri orang. Dan yang memuakkan inilah, yang kini harus ditanggungkan. Maka tertawalah. Seperti seseorang yang baru saja menemukan dirinya sedang mencapai puncak kebahagiaan. Dan malam, adalah rumah tempat mereka melepas tawa, sebebas-bebasnya. Sebebas batu-batu domino yang beradu…

Dan tak ada satu malam pun yang luput. Hari-hari kehilangan nama-nama. Di tepian sungai, kedai kopi seperti mereguk malam demi malam, dan membiarkannya berlalu. Dan mereka, adalah orang-orang yang juga dengan sengaja membiarkan segalanya berlalu. Hidup seorang kuli, adalah hidup yang terbatas. Mereka tak terlalu berkeinginan untuk merespon sesuatu yang sedang bergerak di luar mereka. Bbm, korupsi, asap hutan, demonstrasi, amuk massa, tawuran antar suku, penculikan, pembunuhan, kemiskinan, dan segala macamnya sudah terlampau akrab dalam telinga mereka. Dan kini tak ada urusan, selain menghitung keberuntungan dari angka-angka di batu-batu domino. Urusan di luar diri mereka adalah urusan di dunia lain. Mencampurinya, hanya akan membuat mereka tak bisa bebas berpikir tentang bagaimana memenangkan taruhan saat bermain domino. Dan tentu, tak bisa membuat mereka bebas tertawa.

Tapi, apakah segala urusan memang benar-benar berada di luar diri mereka?
Seperti halnya yang terjadi pada malam ini. Seorang perempuan muda dengan perut yang membuncit, tiba-tiba datang tergesa-gesa dan memukulkan botol bir di kepala seorang kuli. Tak ada kalimat yang pantas, selain maki-hamun yang keluar berdenging dari mulut perempuan itu. Semua kuli di kedai kopi, tentu terpaksa berhenti tertawa. Sebuah urusan telah datang, dan masuk ke dunia mereka. Salah seorang kuli kini telah bocor kepalanya. Dan apa yang harus dilakukan oleh yang lain untuk urusan pribadi semacam ini? Sementara perempuan itu terus meracau meminta pertanggungjawaban, sambil entah berapa botol airmata pula yang tumpah berserakan di lantai kedai kopi. Seorang kuli yang bocor kepalanya, tentu timbul rasa malu, rasa kesenangannya terganggu, rasa kelelakiannya, egoismenya, yang bercampur dan beradu. Lelaki itu lalu mengayunkan baku tinjunya yang sebesar balok kayu mahang ke wajah perempuan hamil itu. Dan ia pergi, seperti seorang koboi yang baru saja melepaskan sebutir peluru dari pistolnya. Perempuan itu, terkapar. Sebuah urusan telah membuat kedai kopi ini mulai menjadi neraka. Keluarga adalah neraka?

Malam berikutnya, seorang lelaki separuh baya, berbadan besar, tidak berkumis, datang membawa setumpuk kertas bon dan membantingnya di tengah salah satu meja di kedai kopi. Ada apa? Pastilah hutang. Ini urusan yang tak seharusnya datang saat malam belum lengkap memberikan kebebasannya. Seorang kuli yang merasa berhutang, seperti tak mampu menyembunyikan wajahnya dari yang lain. Dan tentu saja ini cukup menegangkan. Sementara di meja yang lain, batu masih terus beradu, tapi tanpa suara lengking tawa. Lelaki berbadan besar itu, menghardik, melemparkan telunjuk ratusan kali tepat ke wajah seorang kuli. Lelaki mana yang tak naik darah saat dipojokkan di tengah banyak orang. Tapi ia memang telah berhutang. Dan hutang itu, memang telah berkeliling pinggang. Dan rasanya butuh kekurangajaran yang lebih untuk bisa membalas hardikan lelaki berbadan besar ini. Tapi mulutnya kian terkunci. Tak ada kalimat yang mampu membentenginya dari semburan lelaki berbadan besar ini, selain sebuah tusukan pisau kecil di perutnya yang bucit itu. Dan darah kembali tumpah. Kuli berhutang itu, bergegas pergi, seperti seseorang yang sedang terlambat untuk sebuah janji. Kedai kopi ini, mulai ditumpuki sejumlah urusan.

Siapa yang menyangka, jika malam berikutnya, seorang lelaki yang juga berbadan besar dan berambut cepak, datang bergegas dengan seorang anak lelaki berumur sepuluh tahun. Malam ini kedai kopi kembali ricuh. Lelaki cepak itu langsung berteriak, “Mana kuli yang telah merampas uangmu, mana dia, mana!” Lelaki kecil berumur sepuluh tahun langsung menunjuk seorang kuli yang duduk merokok di sudut kedai. Tidak ada basa-basi, sebuah tendangan telak mengenai dada lelaki kuli itu. Dan karena melihat lawan sudah tampak terkapar, lelaki cepak pergi dengan menggeret tangan lelaki kecil, pergi seperti seorang pahlawan yang baru saja menunjukkan kehebatannya. Tapi siapa yang menyangka, jika keesokan siangnya, telah ditemukan seorang mayat anak lelaki berumur sepuluh tahun tersangkut di tiang pelabuhan. Dan kematian, telah mengakibatkan kedai kopi ini berurusan dengan banyak hal. Para kuli, kini harus mulai mengatakan bahwa mereka memang tak bisa terlepas dari segala macam urusan.

Sesuatu yang tak terduga pasti terjadi setelahnya. Tengoklah, puluhan orang berbondong-bondong dengan sebilah parang di tangan mereka. Orang-orang ini menjelma sebagai makhluk-makhluk yang beringas, menabuh genderang perang. Dan beruntunglah, jika para kuli masih sempat memperpanjang nyawa mereka dengan berlari ke segala arah, melepaskan diri dari serangan segala urusan di luar diri mereka, yang rupanya kini tanpa disadari telah menjarah dan merangsek ke dalam tubuh mereka. Orang-orang merasa tak puas, karena tak seorang kuli pun yang berhasil mereka cincang, dan membawa serpihan dagingnya pada anak-anak mereka di rumah sambil mengatakan, “Ini kan, orangnya yang telah mengganggu hidup kalian?” Ketidakpuasan itu harus dituntaskan dengan sesuatu yang lain. “Bakar! Bakar kedai kopi terkutuk ini!”

Siapakah yang paling merasa kehilangan?
Malam di tepian sungai ini, hanya sunyi yang jongkok di atas pepuing kedai kopi. Ia seperti seseorang yang jongkok menekur diri, sambil bergumam, “Tidak lebih baik menjadi kuli di negeri sendiri…”***

Pekanbaru, 2005

Kamis, 25 September 2008

INTRIK PENYAIR DAN KARYANYA

(Ini hasil perasaan saja, andai saya seorang penyair. Dan jika benar istilah perasaan itu, awal daripada ilmu pengetahuan).
Nurel Javissyarqi*

Apa yang kalian impikan pada tinggi kepenyairan? (Goethe).
Puisi ialah masa-masa mati. Terhenti atas kekakuan dirinya yang telah terselubung kelenturan. Ia tidak bisa bergerak terlampau jauh, ketika “kata-kata” sudah mewakili kehadirannya. Maka penciptaan puisi, sejenis latihan bunuh diri berkali-kali.

Siapa yang mati di sana? Penciptanya, dipermalukan kejujurannya. Meski berselimutkan kerahasiaan, tetaplah ada keinginan untuk diketahui, difahami. Mungkin ini sisi lain kebinalan puisi sebelum mati, sedurung di kubur dalam keranda kata-kata.

Saya tidak hendak menghakimi. Ini realitas keindahan terbatas di muka bumi, sebuah musim bunga terhilangkan lewat gugurnya dedaunan atas musim berubah. Matahari yang kita nikmati, menciptakan hayalan, yang keinginannya terus bertambah dari dorongan naluri, dari kedalaman maksud jiwa.

Tapi siapa yang sanggup memetik kecantikan langitan? Mereguk kemolekan dasar imaji, demi ditampilkan ke muka kesadaran? Apalagi melewati nalar-nalar umum puisi? Hanya terbatas orang dan menjadi bunga bagkai, jikalau konstruksi yang mengitari teknik tidak sampai membuai, jika benar-benar ilham tampak murni.

Maka keindahan, mau tidak mau kudu rela terpenggal di tengah jalan. Jika tidak ingin langut tanpa tragedi. Ada saatnya kayungyung menemui juntrung, masa-masa persetubuhan jiwa ke dalam kebakuaan tertentu. Yang ada sisi-sisi menggorok, kalau berharap lebih nikmat, terus berkurang dari keinginan bertambah. Sebab kesadaran dalam puisi sangatlah terbatas, taklah mungkin melalui pandang sambillalu.

Puisi tidak jauh lahirnya mitos, demi kemunculan aliran filsafat. Dan kejiwaan para penemu, menyuplai faham-faham psikologi. Di sini, puisi tentu berbeda jauh pengertian dari ayat-ayat suci yang dibawa malaikat Jibril kepada para nabi dari Yang Asih. Namun ada saja yang menyebut semacam wahyu, padahal bisa pula dari beberapa angan terdahulu, yang belum sampai ke puncak keyakinan.

Atau puisi terlahir dari sela-sela kenangan silam dan kini menemui muara. Jika telah tertancap sebilah pedang pena. Garis-garis pada kertas bermuatan renungan. Yang tampak di permukaan, kadang berserak tanpa harmoni yang jelas. Ini sama pengertiannya tidak memahami situasi diri, di sekitar nasib yang terus melayarkan sampan usia kemenjadian.

Keindahan puncak, di mana keuniversalan dunia mengakui. Mereka terperangah kecantikan pucuk Himalaya, ketampanan Candi Borobudur, atau kesejukan lembah bunga. Keindahan itu masuk dalam bayang-bayang ingatan atau terekam. Lalu kata-kata penceritaannya menjadi rumusan, sebagai logika daripada paras keelokan tersebut.

Demikian ngeri rasa tercengang, pun peperangan serta bencana alam. Membekas dalam diri sebagai timbangan menilai langgam-langgam hayat, dari getaran rasa yang termiliki. Oleh sebab itu, para penyair merawat perasaannya. Guna sampai pada getaran puncak daripada keindahan.

Ada penyair yang mengumpulkan puing-puing nama benda. Ada pula yang melukis deretan peristiwa lama, atau jangkauan hayal ke muka. Pun bunyi-bunyian alam, deburan ombak, jeritan, tangis, suara serangga. Kesatuan itu terkumpul, dan masuk terekam dalam ingatan. Para insan menimbang suara-suara itu dengan rasa, kata-kata dengan rasa, hitungan dengan perasaan. Sebelum dunia logika menawarkan dirinya, sebagai jembatan utama suatu karya.

Penilaian itu, takdir yang terus mengikuti jaman, bersama kerepotannya. Juga suasana kekosongan, termasuk jalan menuju penilaian lain. Seperangkat kebertemuan menjelma takdir lain atas pandangan tertentu, yang merasuk bergetar pada jiwa-jiwa penyaksi.

Puisi, sering luput dari tangkapan jika mengambilnya tidak dengan kesamaan. Peneriman, persetujuan, pun penolakan, mampu memberi jawaban. Tentunya atas ketepatan masa yang dituliskan takdir pertemuan, seperti kalimat “Manusia berhendak, tuhan yang menentukan.” Begitulah yang terjadi atas terkumpulnya kata-kata.

Berangkat dari endapan masa-masa yang tidak terkira atas terjadinya. Meski hal lain sangat mendukung, sebagaimana rindu, cemburu atau kasih damai pada lubuk sanubari. Ada saatnya ketergebuhan itu berhenti oleh lelah yang belum waktunya tiba. Atas jegalan masa-masa yang tidak mendukung kehadirannya sebagai hasil kerja. Dan keikhlasan melahirkan kembali, serupa gelombang laut ke pantai. Penerimaan karang atas buih busa yang menggenangkan masa menenggelamkan kesaksian. Juga serasa surut dan susut penilaian tubuh alamiah, saat-saat lelah istirah.

Puisi ialah himpunan kata-kata yang sangat berbeda jauh kalau menilik sisi tercetuskan gagasan. Jikalau ditimbang melewati masa pelaksanaannya. Ada endapan lama, mimpi lampau yang mengunduh tepat-waktu, serupa harapan yang tersampaikan. Kangen terjawab kelahiran tanpa operasi, atau rindu bertemu realitas cakrawala. Langit biru, awan menyisir, jalan-jalan dilalui, sungguh menapak.

Adapun penggarapan puisi yang berolah lama, sebab ketat daya saringnya. Meski tidak bisa dihakimi, tercetus lama belum tentu baik, atau sebaliknya. Sebab kerja yang sungguh, belum tentu diterima dengan kesungguhan. Terkadang keisengan di mata jiwa lain, malah menimbulkan takdir sesungguhnya. Inilah salahsatu problem, yang senantiasa mengintrik jiwa.

Semua perkumpulan ragu dan sungguh, terjawab sudah kesetiaan pelaku. Merawat cita-cita, sejak kanak sampai tidur tidak enak, tidak tersangka kantuk memberat. Ketenangan terjaga, kelebihan kehati-hatian, diet mencerna timbangan, bisa memberi solusi, tidak terjungkal jika ada saat-saat tidak nyaman. Duduk menyendiri atau kebersamaan ganjil. Dan keakraban mendesak maju, menghadirkan waktu ketaktepatan menjadi kejelasan. Lantas isyarat segera terungkap, atas kerja serius menyungguhi ruh.

Ben Okri pernah berkata; “Dunia tempat si penyair hidup tidak harus selalu puitis. Di tangannya, dunia ini sungguh menantang. Hanya dengan semangat penciptaan dan pencarianlah, dunia yang keras terubah menjadi nyanyian dan metafor baru.” Yang nantinya akan menghasilkan apa yang dikatakan, Paul Eluerd; “Seorang penyair adalah orang yang mampu mengilhami lebih banyak daripada orang yang diilhaminya.”

Maka sepatutnya sering mendengungkan rasa bersyukur, menghirup denyutan semesta, ingatan serta masa lalu, dalam genggaman kuasa-Nya. Fikiran bisa mempatenkan prodak, namun hatilah yang menentukan langgeng atau lepas sasaran. Olehnya, seorang penyair dituntut mencintai hal-hal yang tidak mengenak. Jikalau berharap perolehan lebih, sebab bukan di sekitar saja yang berguna.

Ternyata, yang selama ini tidak terkirakan, esok meminta jatah direnungkan dan lebih. Ini dinamakan jalan-jalan kepastian yang tidak terpetik jauh dibenak. Suatu rana yang dikembangkan kalbu-kalbu pencipta situasi di dalam kondisi kejiwaannya. Di tempat lain, Oktavio Paz berujar; “Pengaruh tersebut juga merupakan sebuah penciptaan, bukannya imitasi, melainkan okulasi yang menghasilkan sebuah tanaman baru, lebih kuat dan majemuk dibanding induk aslinya.”

Tetapi bukan berarti saya menganjurkan memejamkan mata, dalam menentukan jalan-jalan itu akan sampai atau mentok pada dataran ketakmampuan. Melewati jalan kedua bisa merasakan, memejamkan mata, dan memandang realitas berkesungguhan kerja. Dengan keduanya, malam dan siang, senja dan fajar selalu mengembang dalam jiwa. Kita rawat kestabilan kondisi, hawa saat-saat datangnya sembuh. Tidak berlebih atau sehat yang melenakan unsur-unsur lain.

Tao Teh Ching pernah berucap; “Karena tidak memiliki kehendak pribadi, maka ia bisa menyempurnakan pribadinya.” Namun bukan berarti lantas takut terjebak kedirian, lalu melemparkan kalimat puisi seperti melesatkan panah tanpa sasaran. Kondisilah yang mengharuskan Arjuna maju ke medan tempur. Dari kumpulan masa keharusan, bukan menunggu diterjemahkan sebagai situasi.

Setelah membaca perjalanan, terketahui bagaimana sampai di sini atau belum, kita tahu jawabannya. Itulah keseimbangan pandang yang selalu menjaga diri, agar tidak dalam kegilaan atau konstruksi yang merecoki kefahaman lembut puisi. Maka, merawat kasih sayang berimbang, bukanlah menyulitkan, jika melatih keinginan serta keadaan diri. Kesulitannya terasa, jika memasuki rayuan di jalan-jalan lena, atau keterlaluan culas memandang sebelah mata. Namun tentunya menyadari, kanan dan kiri bukanlah jalan sesungguhnya, tetapi pinggiran yang bisa mempelesetkan ke jurang.

Ketika terjatuh, sulit memulai kembali. Maka rawatlah kesetiaan, agar bertemu keseimbangan tanpa cemburu berlebih. Dan kepercayaan atau pun perubahan, atas genggaman-Nya, penilaian-penilaian terus berputar pada poros-Nya. Ia penggenggam ingatan manusia, pencuri harta kelupaan, atas keterbatasan kefahaman menerka, di dalam menyinaui hayat.

Rasa bersyukur menghantarkan kepada pembaca, bagi tercinta merindu temuan. Pun kuasa pemahaman ada pada pembaca. Runtut atau bejatnya kalimat atas konstruksi sulaman, kemenjadian yang jadi-jadian, pun yang kelewat serius. Tetaplah yang memenangkan permainan, pemahaman membaca dinding-dinding kata dari tampakan tubuh puisi.

Apalagi susunan yang dimasukkan perlambang, perlu digali lebih, bercangkul berbeda dengan kebaikan pemahaman. Tidak luput dari polarisasi yang dibangun penulis, atau pembaca perlu mengundang nalar penulis, demi diperbandingkan sejauh mana kerangka yang terbangun itu atas realitas sejarahnya.

Saya tidak banyak menerangkan makna yang terkandung dalam bidang kalimat. Dengan itu, kefahaman bisa meliar, memperoleh dari sekadar penggalan pengertian. Apa yang terhidang bukanlah rambu-rambu. Dari pembacalah aturan dimulai, sedang yang tertawarkan, sekadar cerminan kemungkinan lain. Andai ada kesamaan yang muncul, tentu kegelisahannya serupa meresapi keberadaan hayat. Menjadi pejalan kaki sunyi bukan membaca kalimat, tetapi meresapinya tanpa suara. Yang masuk ke telinga bathin, unsur lain yang terterka, semisal hendak mempersunting nyanyian bathin sendiri.

Ruang berbicara kepada saya dan waktu menyediakan nafas-nafas kata dalam setiap perjamuan. Saya tidak hendak menyapa panjang lebar. Kita bisa dimana tempat dengan keseiramaan, jika menjangkau penerimaan sebagai getaran rasa. Dan rindu pertemuan sinyal itu, kefahaman yang runtut di kuncup setia, cungkup keabadian atau nilai universal jiwa-jiwa. Harapannya, apa yang terhaturkan dapat menembusi pemahaman, meski tidak dalam satu lingkaran meja. Walau kadar penciumannya berbeda, pun kecenderungan lidah tidak serupa. Namun masih ada keyakinan, kesamaan itu tentunya ada, seperti iman akan hari depan yang lebih gemilang.

Di saat-saat memahami, terketahui sisi-sisi kosong segera terisi. Lembar-lembar ketebalan lelapisan pengalaman, bukan dari membaca saja, melewati ingatan kenangan, perjuangan menempuh hayat bertambah makna. Pandangan bukanlah semata kudu digurui, sebelum kepada maksudnya. Atau mengandaikan gugusan pengertian akan sampai kepadanya, kostruksi itu seluruhnya milik pembaca.

Bisa dibilang, ini sekadar pemancing jawab bagi pendapat. Sebab masing-masing memiliki, meski orang lain seolah mengerti lebih. Kecerdasan pencipta, tidak berarti mengerti psikologi pembaca secara keseluruhan, tetapi sekadar pengantar ada sisi-sisi kesamaan yang kudu dipertajam. Atau dihindari untuk pengolahan lebih mantab dengan kepribadian mandiri, sebagai bentuk-bentuk puisi yang kuat.

Wilayah penyair itu kata, seperti kita memandangi warna dunia. Tanpa membawa rentetan pengalaman, seolah yang terbaca itu sia-sia. Olehnya, sambungan pengalaman dari sesama ialah suatu usaha kebertemuan muara. Walau sudut pandangnya berlainan, meski mata air serta alirannya ke tempat yang tidak sama. Yang kita miliki hanyalah milik kita, meski telah ditulis mereka. Tetapi kita tidak akan memiliki apa-apa, jikalau tidak mendapatkan gesekan sesama. Sebab keraguan, kecemasan, juga keyakinan, merupakan tahap yang harus menemui kejelasan hakiki.

Cahaya terang itu tidak akan diketemukan, kalau sekadar membaca diri sendiri. Bagaimana pun cerdasnya seseorang, ia bergantung yang lain. Pun khusyuknya merenungkan makna hayati, toh perlu angin sapaan, yang tampil sebagai sarana dialog, yang nantinya membuahkan berkah. Atau nilai tambah yang berupa harapan kemerdekaan, menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.

Usia suatu karya itu kemurahan kefahaman, kesehatannya menjadi melodi dan gairah. Sedangkan nada-nada naik-turunnya mengikuti gerakan takdir nyawa-nyawa pertemuan. Maka pantaslah puisi itu pecahan waktu yang pernah terlaksana. Juga bisa berasal dari pecahan masalah, yang menghadirkan kemangfaatan hayat di dalam penghayatan.

Apa yang terkupas di atas, bukan menyeluruh menyoal puisi dan penyairnya. Saya menggunakan beragam kacamata, agar masuk ke segenap keilmuan yang lain. Olehnya, terimalah kekenesannya sebagai bumbu, agar yang terhidang di benak, semakin sampai kekentalannya. Sebab buah permainan, bukan berapakali bertanding. Tetapi berapa baik mencetak gol cantik, meski sangat sederhana, atau primitif sekalipun. Maka kedatangannya, menyisir seberapa jauh lekukan fenomena, agar lebih terangsang dari sekadar wacana.

Perlu juga memecahkan tanggul-tanggul realita, demi menemukan relitas baru, sebab penampakan itu belum tentu sampai. Sebab kehakikian itu pada kompenen rasa yang terasai, seperti menemukan pahit atau manisnya. Camus sempat menuliskan, bahwa; “Semakin besar seorang seniman memberontak melawan realitas dunia, semakin besar bobot realitas untuk mengimbangi pemberontakan itu. Namun bobot itu tidak pernah dapat melumpuhkan kebutuhan soliter seniman.”

Yang selalu dahaga waktu, tidak puas baju kebesaran, jiwanya dituntut curiga kepada pakaian gembel yang menarik belas kasihan. Maka kesepakatan tercapai, bisa menerima segala hal dengan kesatuan tujuan. Sebagai pembaca, demi memperoleh wawasan lebih, serta rasan-rasan diri, agar yang masuk dan keluar, selalu pada bingkai kemungkinan. Yakni alat timbangan hidup, karena ramainya pembeli di pasar kebudayaan, daripada sastra pada lintasan keilmuan lain.

Puisi, dalam bentuknya yang baku, telah mengangkangi dunia hingga berabad-abad, sampai kita seolah tak berani keluar dari sarangnya, meski telah banyak mengeluarkan teknik baru, strategi anyar. Tetapi ketakutan tidak dianggap puisi khususnya, masih hadir di benak para penyair. Ini perbudakan sungguh ganas, lagi memalukan. Betapa jauhnya penyair lari dari dirinya, bayang-bayang itu tetap ia bawa. Sungguh menggelitik, apalagi terjadi pada titik kulminasi peradaban sekarang. Padahal bayang-bayang itu seharusnya sudah tidak tampak.

Saya membongkar identitas tersebut, agar tahu sejauh mana anatomi puisi dari tubuh penyair. Lebih jauh Albert Camus, meyakinkan; “Jika seni berkeras untuk menjadi suatu kemewahan, ia juga akan menjadi suatu kebohongan.” Kemewahan, tidak jauh dari tatanan; modernitas, primitif, posmo, motif ukiran, batik, pahat dan sejenisnya. Seharusnya, hasil cipta yang dimotori kata-kata, lebih jauh keluar dari pakem tersebut. Jika tidak ingin terperangkap dalam lingkaran yang disebut dinamai.

Namun mungkinkah kereta api bisa berjalan di luar relnya? Di sisi lain, tragedi itu perlu, pengorbanan wajib, dan bencana alam itu ada. Ini yang dinamakan kereta api yang keluar dari relnya. Kejadian ini seperti keberangkatan tukang bikin kue. Yang berani menginovasi prodaknya dengan tidak takut kalau-kalau tidak disebut kue. Inilah yang menghadirkan karya tandingan, bukan sekadar mengikut sejarah.

Maka persiapan perlu, ancang-ancang harus, kuda-kuda diadakan sebelum menempelkan tapal di kaki kuda. Dan keberanian mencipta, dari kilatan cahaya inspirasi itu akan terasa lebih, tidak sekadar kedalaman bahasa. Kita sering dan sudah lama dikelabuhi bentuk-bentuk baru, yang senyatanya itu-itu saja. Keseluruhan tulisan ini mungkin salahsatu jawaban, bahwa Kitab Para Malaikat sejatinya bukan “puisi.” Karena ada yang mengatakan itu puisi, barulah sebagai jawaban di masa sekarang. Padahal di sana, telah terjadi tragedi matinya suatu “puisi.”

Sekali lagi, “bunuh diri itu perlu,” kalau ingin mengetahui sejauh mana keberanian dinilai bobrok, atau tidak berguna di depan publik setelah kematian. Saat itu tidak ada pembela sama sekali, kalau bukan kedirian karya tersebut yang mandiri tanpa pamrih. Tidakkah keperawanan jiwa lebih dicari? Dan bukankah karya-karya yang seronok, yang mudah dikunyah, tidak lagi mengundang “penasaran?”

Karya sastra memungkinkan menggali kerahasian dirinya, untuk selalu mereka mencari, kedalaman murni mataair hayati. Sebab itu, pandangan subyek kita senantiasa hadir, kalau eksis di mana saja. “Kamu bisa tidak menyukai saya, tetapi pengaruhku takkan terbantah,” itulah perumpamaan sikap Nietzsche. Kesadaran itu sejenis anak yang kecil bermain. Apakah orang tua percaya? ia mendapati begitu banyak temuan? Ketika anak muda bekerja. Apa orang tua yakin seratus persen, bahwa ia bakal sukses besar? Ketika orang gagal membanting tulang. Apakah mereka percaya, bahwa ia lebih sukses daripada pemerhati yang sesaat?

Buah kemenangan tidak luput dari jerih payah keyakinan serta kesungguhan bekerja, meski ruang-waktunya mereka bantah. Sudah cukup cemooh sebagai penggerak yang menghadirnya seolah tiba-tiba. Namun tidakkah ketika insan menempa kesangsian dirinya dengan berulang, akan menemukan keniscayaan? Kebulatan seluruh antara ragu dan kenyataan. Keadaannya bersatu, dalam integritas dirinya sebagai tempaan -kematangan.

Saat nalar dan perasaan bertambah, menciptakan formula keseimbangan jiwa. Maka pemungkiran, pengundatan dan kesangsian terhilangkan bunyinya. Terhadap itu semua, penjelajahan kedirian menjadi kilatan-kilatan kesadaran. Yang menampar setiap muka, memecut sapi pongah untuk menggaru sawah, menyuburkan tanah dengan langkah-langkah. Inilah jalan yang bernama kemakmuran jiwa.

Pada prolog; Faust-nya Goethe, ada larikan berbunyi begini; “Hati yang teguh menjadi tampak jauh, dan apa yang hilang bagiku menjadi nyata.” Kalau memaknai dua potong kalimat itu, seakan tidak bertemu dalam satu bidang yang sama menuju kesepakatan berjumpa. Tetapi, jika menelisik ke dalam inti tubuh permasalahannya.

Apa yang terhidang, “hati yang teguh menjadi nampak jauh.” Ialah bukan keputusasaan yang terus dihentikan langkahnya. Namun usaha sejauh-jauhnya mendekati realitas kerja demi mendapati temuan, yang mulanya tiada manfaat keculi lelah. Ini semacam kunjungan kasih kepada tercinta. Dan apa yang tersampaikan di tengah jalan, merupakan perolehan yang berharga, untuk waktu serta tempat yang berbeda.

Ketika “apa yang hilang bagiku menjadi nyata,” merupakan bulir-bulir intan, tambang emas kenangan yang hadir dalam kebakuan bentuk membatu, menstupa. Sebab bagaimana pun awalnya pengalaman dari keraguan, diakhirnya tentu kepastian. Bertemunya manfaat di saat-saat tepat, atas tabungan memori silam, bacaan yang lalu atau peyelidikan masa lampau.

Lalu hadirlah capaian Plato dalam bukunya yang bertitel Republik; “Genggamlah kebenaran sebagai satu kesatuan, dan dalam cara yang benar, maka engkau tidak akan menemui kesulitan memahami berbagai ucapan sebelumnya, dan semuanya tidak lagi tampak aneh bagimu.”

Dari sini, kita dikehendaki melahap hidangan itu bukan menurut ukuran kelembekan lambung masing-masing. Tetapi bagaimana berbagi dengan yang lain, agar bisa merasakan bersama, meski kadar resapannya berbeda, setidaknya gula tetap manis. Untuk sampai tahap ini, harus sadar kata-kata Machiavelli, bahwa; “Kemampuan insan dikenalikan lewat dua cara, pertama kemampuan memilih lokasi untuk membangun kota, kedua ialah kemampuan mengorganisasikan hukum.”

Kalau tubuh ibarat negara, maka kemampuan memilih lokasi untuk membangun kota, kemampuan menyelidiki hal-hal yang kita sanggup mengangkatnya. Sehingga apa yang tampil bukan suatu hasil kegagapan, namun telah terpendam sejak lama dalam keakraban kerja. Jikalau tampil dalam suatu karya, kilatan itu tersampaikan bukan potret semata, tetapi gambaran dari ahli tukang foto yang professional, yang menyentuh ketajaman detail. Ini dibawah kendali daripada kemampuan mengorganisasikan hukum.

Hukum disini, aturan-aturan di dalam diri yang tersepakati sebagai kacamata standar terhadap suatu karya. Sehingga tanggup jawab itu ada, dan perlu adanya lelatihan keras, sampai hasilnya melewati persyaratan secara ketat. Tidak asal seruduk aman lantas bablas, maka pertimbangan estetik, etika, nada suara, nafas kata, gaya bahasa atau tampilan bentuk muka. Serta yang teridam menjadi kebenaran yang tampil dengan pertimbangan paripurna. Tidak menggencet sisi-sisi lain atau melakukan pembunuhan terhadap gagasan kecil, meski itu seolah-olah perlu.

Apa yang tersampaikan di atas, seperti tarian dramitisasi pemikiran menyoal judul, tetapi bukan sewarna permainan dadu yang dilakukan Kurawa dan Puntadewa. Yang demi hak milik negara atau di sini gagasan, dan demi kecantikannya Dewi Drupadi. Menuju penaklukan kerajaan Amarta, masuk wilayah Astina. Tetapi, “bila cinta dan penalaran saling berpelukan, akan terciptalah sebuah dunia baru,” Iqbal.

Ini yang terharapkan, bukan berasal dari emosional sesaat ego, namun perasaan yang berkendara kesadaran, kepada ruang yang dibangun. Temuan dunia baru, tidak berdasarkan agresi, integrasi atas ancaman. Tetapi kesadaran membangun kebaikan bersama. Bukan meninggikan identitas kepenyairan dengan mengesampingkan yang lain.

Pada puncaknya, pemaknaan dihasilkan renung kemanusiaan. Yang terus berjalin demi pemahaman lebih bening, bukan gelembung air yang pecah kala tersentuh. Ibaratkan karya terbaik itu pandangan elang laut, yang sanggup menembus gerakan ikan dari jarak cukup jauh. Buah intuisi, daya sugesti yang telah terlatih.

Atau gerak penciptaan itu dari kumpulan getaran, sinyal yang menyambung kabel saat hendak mencipta dari beberapa kemungkinan lalu. Selihai menangkap bola, setelah mengamati ke mana titik sasaran, seperti ungkapan Nietzsche, “Perasaan mula-mula tidak memiliki obyek yang didefinisikan dengan jelas. Obyek itu dibentuk belakangan. Atmosfir suasana hati musikal tertentu mendahului, dan ide puitis datang sesudahnya.”

Mungkin itulah insting penjaga gawang jaman. Tentunya tidak mau kecolongan, lalai merekam sedapatnya, saat terjadi perasaan bertemu. Sebab itu, pengulangan bukanlah sesuatu yang muspro, jika memiliki tekanan titik temu yang dimaksud. Bukan sekadar perpanjangan tangan atau rantai kapal yang nganggur tidak terpakai oleh usang.

Maka jadilah pemain yang tidak bosan-bosannya berlatih, meski belum tahu kapan bertanding. Sudahkah permainan dimulai? Ini demi menjaga daya gairah. Tidak semuanya berasal dari gerakan luar, tetapi membongkar kesatuan diri untuk menjadi momentum yang diterjemah. Sebagai pelaku yang tidak terbatas masa-masa, usia juga bidang kajian.

Cobalah simak apa yang dikatakan Sartre, saat mengantari bukunya Franth Fanon; “Selagi dia menunggu kemenangan nyata, atau bahkan tidak mengharapkan sama sekali, dia meletihkan musuh-musuhnya sampai mereka muak terhadapnya.” Perasaan muak itu muka lain dari kebosaan, putusasa, kepengecutan, juga hal-hal yang menandakan lemahnya mental. Yang bukan dihasilkan dari gairah murni memperbaikan kualitas diri.

Tapi tampakan manisan semata, gagah-gagahan di podium, bursa karya agar dibilang mentereng. Sungguh ini lepas satu-persatu, tidak terasa dilucuti, terbius daya rayu tepuk tanda. Sedangkan bermain tanpa beban itu, anak kecil yang lupa kalau punggungnya tersengat matahari, saat layang-layangnya merasai grafitasi, serta hembusan bayu nurani. Bocah itu penuh daya pikat, tanpa meninggalkan fikiran-fikiran nakal.
-----

13 Maret 2006, Senin Wage.
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.

Minggu, 21 September 2008

SUAP

dijumput dari Jawa Pos, 21 Sep 2008
Putu Wijaya

Seorang tamu datang ke rumah saya. Tanpa mengenalkan diri, dia menyatakan keinginannya untuk menyuap. Dia minta agar di dalam lomba lukis internasional, peserta yang mewakili daerahnya, dimenangkan.

''Seniman yang mewakili kawasan kami itu sangat berbakat,'' katanya memuji, ''keluarganya turun-temurun adalah pelukis kebanggaan wilayah kami. Kakeknya dulu pelukis kerajaan yang melukis semua anggota keluarga raja. Sekarang dia bekerja sebagai opas di kantor gubernuran, tetapi pekerjaan utamanya melukis. Kalau dia menang, seluruh dunia akan menolehkan matanya ke tempat kami yang sedang mengalami musibah kelaparan dan kemiskinan, karena pusat lebih sibuk mengurus soal-soal politik daripada soal-soal kesejahteraan. Dua juta orang yang terancam kebutaan, TBC, mati muda, akan terselamatkan. Saya harap Anda sebagai manusia yang masih memiliki rasa belas kasihan kepada sesama, memahami amanat ini. Ini adalah perjuangan hak azasi yang suci.''

Saya langsung pasang kuda-kuda.

''Maaf, tidak bisa. Tidak mungkin sama sekali. Juri tidak akan menjatuhkan pilihan berdasarkan kemanusiaan, tetapi berdasarkan apakah sebuah karya seni itu bagus atau tidak.''

''Tapi, bukankah karya yang bagus itu adalah karya yang membela kemanusiaan dan bermanfaat bagi manusia?''

''Betul. Tapi, meskipun membela kemanusiaan, kalau tidak dipersembahkan dengan bagus atau ada yang lebih bagus, di dalam sebuah kompetisi yang adil, yang kurang bagus tetap tidak akan bisa menang.''

Orang yang mau menyuap itu tersenyum.
''Bapak mengatakan itu, sebab kami tidak menjanjikan apa-apa?''
''Sama sekali tidak!''
''Ya!''

Lalu dia mengulurkan sebuah cek kosong yang sudah ditandatangani. Saya langsung merasa tertantang dan terhina. Tetapi entah kenapa saya diam saja. Kilatan cek itu membuat darah saya beku.

''Kalau wakil kami menang, Bapak boleh menuliskan angka berapa pun di atas cek kontan ini dan langsung menguangkannya kapan saja di bank yang terpercaya ini.''

Saya bergetar. Itu sebuah tawaran yang membuat syok.

''Kalau ragu-ragu silakan menelepon ke bank bersangkutan, tanyakan apakah ada dana di belakang rekening ini, kalau Anda masih was-was. Kami mengerti kalau Anda tidak percaya kepada kami. Zaman sekarang memang banyak penipuan bank.''

Saya memang tidak percaya. Tapi saya tidak ingin memperlihatkannya.

''Anda tidak percaya kepada kami?''
''Bukan begitu.''
''Jadi bagaimana? Apa Anda lebih suka kami datang dengan uang tunai? Boleh. Begitu? Berapa yang Anda mau?''
Saya tak menjawab.
''Satu miliar? Dua miliar? Lima miliar?''
Saya terkejut. Bangsat. Dia seperti sudah menebak pikiran saya.
''Kita transparan saja.''
Saya gelagapan. Apalagi kemudian dia mengeluarkan sebuah amplop. Nampak besar dan padat.
''Kami tidak siap dengan uang tunai sebanyak itu. Tapi kebetulan kami membawa sejumlah uang kecil yang akan kami pakai sebagai uang muka pembelian mobil. Silakan ambil ini sebagai tanda jadi, untuk menunjukkan bahwa kami serius memperjuangkan kemanusiaan.''

Dia mengulurkan uang itu. Kalau pada waktu itu ada wartawan yang menjepret, saya sudah pasti akan diseret oleh KPK, lalu diberi seragam koruptor. Saya tak berani bergerak, walaupun perasaan ingin tahu saya menggebu-gebu, berapa kira-kira uang di dalam amplop itu.

''Silakan.''
Tiba-tiba saya batuk. Itu reaksi yang paling gampang kalau sedang kebingungan. Tetapi batuk saya yang tak sengaja itu sudah berarti lain pada tamu itu. Dia merasa itu sebagai semacam penolakan. Dia merogoh lagi tasnya, lalu mengeluarkan sebuah amplop yang lain.

''Maaf, bukan saya tidak menghargai Anda, tapi kami memang tidak biasa membawa uang tunai. Kalau ini kurang, sore ini juga kami akan datang lagi. Asal saya mendapat satu tanda tangan saja sebagai bukti untuk saya laporkan. Atau Anda lebih suka menelepon, saya hubungkan sekarang.''

Cepat sekali dia mengeluarkan HP dan menekan nomor-nomor sebelum saya sempat mencegah.

''Hallo, hallo ......''
Saya memberi isyarat untuk menolak. Tapi orang itu terlalu sibuk, mungkin sengaja tidak mau memberi saya kesempatan. Waktu itu anak saya yang baru berusia 4 tahun berlari dari dalam. Dia memeluk saya. Saya cepat menangkapnya. Tapi, sebelum tertangkap, anak itu mengubah tujuannya. Dia mengelak dan kemudian mengambil kedua amplop yang menggeletak di atas meja.

''Ade, jangan...!''
Tapi amplop itu sudah dilarikan keluar.
''Adeee, jangan!''

Saya bangkit lalu mengejar anak saya yang ngibrit ke halaman membawa umpan sogokan itu. Merasa dikejar, anak saya berlari menyelamatkan diri.

''Ade, jangan...!''
Anak saya terus kabur melewati rumah tetangga. Para tetangga ketawa melihat saya kejar-kejaran dengan anak. Mereka mungkin menyangka itu permainan biasa.
''Ade jangan, itu punya Oom!''

Terlambat. Anak saya melemparkan kedua amplop itu ke dalam kolam. Kedua-duanya. Ketika saya tangkap, dia diam saja. Matanya melotot menentang mata saya. Seakan-akan dia marah, karena bapaknya sudah mengkhianati hati nurani. Padahal saya sama sekali tidak bermaksud menerima suapan itu. Saya hanya memerlukan waktu dalam menolak. Saya kan belum berpengalaman disuap. Apalagi menolak suap. Itu memerlukan keberanian mental. Baik menerima maupun menolaknya.

Kedua amplop itu langsung tenggelam. Sudah jelas sekali bagaimana beratnya. Perasaan saya rontok. Dengan menghilangkan akal sehat saya lepaskan anak saya, lalu terjun ke kolam. Dengan kalap saya gapai-gapai. Tapi kedua amplop itu tak terjamah.

Para tetangga muncul dan bertanya-tanya. Heran melihat saya yang biasa jijik pada kolam yang sering dipakai tempat buang hajat besar itu, sekarang justru menjadi tempat saya berenang. Bukan hanya berenang, saya juga menyelam untuk menggapai-gapai. Tidak peduli ada bangkai ayam dan kotoran manusia, amplop itu harus ditemukan.

Dengan berapi-api saya terus mencari. Kalau kedua amplop itu lenyap, berarti saya sudah makan suap. Hampir setengah jam saya menggapai-gapai menyelusuri setiap lekuk dasar kolam. Tak seorang pun yang menolong. Semua hanya memperhatikan kelakuan saya. Saya juga tidak bisa menjelaskan: bahaya. Hari gini, siapa yang tidak perlu uang?

Ketika istri saya muncul dan berteriak memanggil baru saya berhenti.
''Bang! Tamunya mau pulang!''

Cemas, gemas, dan kecewa saya keluar dari kolam. Badan saya penuh lumpur. Di kepala saya ada tahi. Orang-orang melihat kepada saya dengan jijiiiiiiiik bercampur geli. Istri saya bengong. Tapi saya tidak peduli. Anak saya hanya ketawa melihat bapaknya begitu konyol.

''Eling Dik, eling,'' kata seorang tetangga tua menyangka saya kemasukan setan.
''Abang kenapa sih?'' tanya istri saya galak dan penuh malu.

Saya tidak berani menjawab terus-terang. Kalau saya katakan anak saya melemparkan dua amplop uang, semuanya akan terjun seperti saya tadi untuk mencari. Ya kalau dikembalikan. Kalau tidak? Mereka yang akan kaya dan saya yang masuk penjara.

Untuk menghindarkan kemalangan yang lain, saya hanya menggeleng.

Diinjak pikiran kacau saya pulang. Tapi tamu itu sudah kabur. Tak ada bekasnya sama sekali. Seakan-akan ia memang tidak pernah datang. Sampai sekarang pun ia tidak pernah muncul lagi.

Saya termenung. Apa pun yang saya lakukan sekarang, saya sudah basah. Tak menolak dengan tegas, berarti saya sudah menerima. Ketidakmampuan saya untuk tidak segera menolak karena kurang pengalaman, tak akan dipercaya. Siapa yang akan peduli. Masyarakat sedang senang-senangnya melihat pemakan suap digebuk. Kalau bisa mereka mau langsung ditembak mati tanpa diadili lagi.

Dan, kenapa saya terlalu lama bego. Melongo adalah pertanda bahwa saya diam-diam punya keinginan menerima. Aduh, malunya. Tapi coba, siapa yang tidak ingin ketimpa rezeki nomplok. Orang kecil memang selalu tidak beruntung. Sedekah ikhlas pun sering difitnah sebagai suap. Seakan-akan orang kecil memang paling tidak mampu melawan nasibnya. Sementara pada orang gedean sudah jelas sogokan masih diposisikan semacam tanda kasih.

''Sudah, jangan kayak orang bego, cepetan mandi dulu, bau!'' bentak istri saya.

Saya terpaksa cepat-cepat masuk ke kamar mandi. Setelah telanjang dan mengguyur badan, baru saya sadari betapa kotor dan busuknya saya. Berkali-kali saya keramas dan membarut tubuh dengan sabun, tapi bau kotoran itu seperti sudah masuk ke dalam daging.

''Cepat mandinya, bungkusannya sudah ketemu!'' teriak istri saya sambil menggedor pintu.
Darah saya tersirap. Hanya dengan menyelempangkan handuk menutupi aurat, saya keluar.
''Mana?''

Seorang anak tetangga, teman main anak saya mengacungkan kedua amplop itu. Badannya kuyup penuh kotoran. Rupanya dia nekat terjun meneruskan misi saya yang gagal karena dia tidak rela Ade saya strap.

''Terima kasih!'' kata saya menyambut kedua amplop itu, sambil kemudian memberikan uang untuk persen.
''Lima puluh ribu?'' teriak istri saya memprotes.
Lalu ia mengganti uang itu dan menggantikannya dengan tiga lembar uang ribuan.
''Masak ngasih anak lima puluh ribu, yang bener aja!''
''Tapi ....''
''Ah sudah! Tidak mendidik!''

Saya tidak berdebat lagi, karena anak itu sudah cukup senang dengan tiga ribu. Lalu ia melonjak dan berlari keluar seperti kapal terbang, langsung ke warung. Pasti membeli makanan chiki-chiki sampah yang membuat usus bolong.

Kedua amplop uang itu saya bawa ke kamar mandi. Dengan hati-hati saya bersihkan tanah dan kotorannya. Untung amplopnya kuat terbuat dari semacam kertas plastik, jadi tahan air. Uang tidak akan turun harganya hanya karena belepotan kotoran.

''Apa itu?'' sodok istri saya ingin tahu.

Saya cepat-cepat menghindar sambil menyembunyikan amplop itu dalam handuk. Kalau dia tahu itu uang, ide-ide busuknya akan muncul. Kalau itu dibiarkan berkembang, akhirnya saya akan masuk penjara. Saya tidak percaya bahwa hanya wanita yang lemah pada uang. Laki-laki sama saja. Tetapi saya kenal betul dengan ibu si Ade. Dia sudah terlalu capek hidup di kampung kumuh. Sudah lama dia menginginkan masa depan yang lebih baik terutama setelah Ade lahir, yang belum mampu bahkan mungkin tak akan bisa saya berikan. Baginya pasti tidak ada masalah suaminya masuk penjara, asal masa depan anaknya cerah.

Saya naik ke atap rumah untuk menjemur amplop itu supaya benar-benar kering. Saya tunggu di sana dengan menahan panas matahari, takut kalau ada tangan jahil mengambilnya. Keputusan sudah diambil, saya tidak akan menerimanya. Saya akan mengembalikan, kalau orang itu datang lagi. Dia pasti sengaja pergi untuk menjebloskan saya terpaksa menerima. Tidak, saya tidak pernah mimpi akan menjadi pelaku suap.

Tapi sepuluh hari berlalu. Orang itu tidak muncul-muncul juga. Lomba pun memasuki saat penentuan. Melalui perdebatan yang sangat sengit, akhirnya dicapai kata sepakat. Dengan sangat mengejutkan pemenangnya adalah calon yang dimintakan dukungan oleh penyuap daerah itu.

Terus-terang saya termasuk yang ikut memberikan suara pada kemenangan tersebut. Bukan karena suap. Jagoan daerah itu memang berhak mendapatkannya. Bahkan juara kedua, apalagi ketiga, masih jauh di bawahnya. Kemenangan itu dinilai wajar oleh semua orang. Diterima baik oleh masyarakat. Sama sekali tidak ada suara-suara kontra.

Satu bulan berlalu. Lomba itu sudah menjadi lampau. Saya pun memperoleh jarak yang cukup untuk menyiapkan perasaan menghadapi kedua amplop itu. Meski sudah saya sembunyikan dengan begitu rapi, tapi kalau lagi sepi, kadang-kadang amplop itu saya bawa ke tempat sunyi di depan rumah dan menimang-timangnya. Rasanya aneh, kunci untuk mengubah masa depan ada di tangan, tapi saya cukup hanya memandanginya. Kemiskinan terasa tidak begitu menggasak lagi, di dekat senjata yang bisa membalikkan semuanya setiap saat. Mau tak mau saya terpaksa mengakui, betapa dahsyatnya arti uang. Suka tidak suka ternyata harus diakui memang uang mampu menenteramkan. Namun saya sudah bersikap menolak.

Sayang sekali roda kehidupan yang membenam saya di bawah terus, akhirnya mulai menang. Memasuki bulan kedua, ketika pemilik amplop itu tidak muncul-muncul juga, pikiran saya bergeser. Suap adalah dorongan yang membuat kita terpaksa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani dan merugikan orang banyak. Saya tidak melakukan itu. Orang juga tidak memprotes keputusan yang diambil juri. Apa perlu saya cek, adakah semua juri juga sudah disodori amplop seperti saya? Saya kira itu berlebihan. Keputusan kami yang diterima baik adalah bukti bahwa kemenangan itu tepat. Orang tidak berhak menuduh saya atau kami disuap hanya karena kebetulan kemenangannya sama dengan yang dikehendaki penyuap itu. Maksud saya orang yang mencoba menyuap itu.

Pada bulan ketiga, saya capek menunggu. Lelah juga dipermainkan oleh ketegangan. Kenapa saya mesti menolak nasib baik yang sudah di tangan. Istri saya sudah tidak mau lagi tidur dengan saya. Anak saya kontet karena gizinya kurang. Utang di warung sudah tak terbayar sehingga lewat saja sudah rasa dihimpit oleh hina dan malu.

Akhirnya, setelah berdoa berkali-kali dan meminta ampun kepada Tuhan, saya memutuskan nekat. Apa boleh buat biarlah saya masuk penjara kalau saya memang terbukti nanti makan suap. Tapi, sedikitnya saya sudah sudah bisa membahagiakan keluarga dengan memperbaiki rumah dan membeli motor seperti tetangga saya. Kenapa orang lain boleh bahagia dan saya hanya kelelap kemiskinan karena membela kesucian. Jauh lebih baik makan suap meskipun dihukum daripada dihukum karena kena suap tanpa sempat tanpa selembat pun menikmati manis suapnya.

''Baiklah, hari ini kita memasuki sesuatu yang baru,'' kata saya pada anak-istri malam itu sambil menunjukkan kedua amplop uang itu. ''Aku sudah mengambil keputusan bahwa ini adalah hak kita, karena sudah 3 bulan 10 hari pemiliknya tidak kembali. Bukan salah kita. Masak hanya tetangga yang berhak betulin rumah dan beli motor, kita sendiri makan tahi sampai mati. Ini!''

Saya terimakan kedua amplop itu ke tangan istri saya. Istri saya diam saja. Anak saya nampak menahan diri. Dia tidak berani menyambar lagi seperti dulu.

''Ayo, dibuka saja!''
Istri saya tiba-tiba menunduk dan menangis.
''Lho kok malah nangis.''
''Abang jangan salah sangka begitu.''
''Salah sangka bagaimana?''
''Jangan menyangka yang tidak-tidak.''
''Yang tidak-tidak apa?''

''Aku tidak capek karena kita miskin, tapi karena aku sakit. Aku juga sudah mulai tua sekarang, Bang. Aku diam karena tidak mau memberati perasaan Abang. Bukan apa-apa. Aku tidak mau Abang memaksa diri menerima suap hanya untuk menyenangkan hatiku. Jangan. Aku masih kuat menderita kok. Masih banyak orang lain yang lebih jelek nasibnya dari kita.''

Dia berdiri dan meletakkan kedua amplop itu di depan saya.
''Jangan memaksakan sesuatu yang tidak baik, nanti tidak akan pernah baik.''

Dia menggayut tangan Ade, lalu membawanya ke dapur. Anak saya menurut tapi dia melirik kepada saya lalu menatap ke kedua amplop itu. Kemudian diam-diam menunjuk dengan telunjuknya.

Saya menghela napas dalam. Disikapi oleh istri seperti itu, kenekatan saya justru bertambah. Memang anak dan istri saya tidak usah ikut bertanggung jawab. Biar saya sendiri nanti yang masuk neraka, asal mereka tidak. Dari jendela saya lihat perbaikan rumah tetangga menjadi dua lantai sudah hampir rampung. Suara motornya kedengaran nyaring melengking menusuk malam, membuat saya panas.

Tiba-tiba terpikir sesuatu. Kenapa anak saya tadi menunjuk ke amplop. Apa maksudnya? Apa itu sebuah peringatan? Saya menatap amplop yang menjadi bersih karena sering saya belai itu. Tiba-tiba saya terperanjat. Di satu sisinya ternyata ada belahan. Dari situ nampak terbayang isinya.

Tangan saya gemetar. Saya sambar amplop itu dan intip isinya. Kemudian dengan bernafsu, barang yang sempat saya berhalakan itu saya kupas. Darah saya seperti muncrat keluar semua ketika menemukan di dalamnya bukan uang tetapi hanya tumpukan kertas-kertas putih.

Dengan kalap saya terkam bungkusan kedua dan preteli. Sama saja. Isinya juga hanya kertas. Di situ mata saya mulai gelap. Ini pasti perbuatan tetangga jahanam itu. Dia temukan amplop itu, lalu gantikan isinya, baru dia suruh anaknya supaya menyerahkan kepada saya. Bangsat. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia bisa meningkatduakan rumahnya dan membeli motor? Saya S2, dia SMP saja tidak tamat.

Dengan gelap jelalatan karena geram saya keluar rumah. Jelas sekali sekarang. Mungkin ketika anak saya lari-lari berkejar-kejaran dengan Ade, kedua amplop itu sudah direbut oleh tetangga. Setelah tahu isinya, mereka langsung ganti. Dan ketika saya mencebur ke dalam kolam mereka punya kesempatan untuk memeriksa isinya dan menggantinya. Itu kejahatan. Manusia sekarang sudah rusak moralnya karena uang. Tidak ada lagi perasaan persaudaraan, menjarah, merampok uang orang lain sudah jadi semacam kiat dan keberanian.

Dengan kalap saya sambar batu-batu. Tak peduli apa kata orang, lalu saya lempari rumah tetangga bajingan itu. Kaca-kaca pintu yang baru dipasang saya hancurkan. Motornya juga saya hajar.

''Bangsat! Aku yang disuap! Aku yang dijebloskan ke bui dan neraka, kamu yang enak-enak menikmati! Bajingan!''

Hampir saja rumah barunya saya bakar, kalau saja para tetangga tidak keburu menyerbu dan kemudian menghajar saya habis-habisan. Mata saya bengkak, tak mampu melihat apa-apa. Hanya telinga saya masih bisa menangkap isak tangis istri dan jerit histeris anak saya. ***

Jakarta 12 Septemner 08

Sabtu, 20 September 2008

Sajak-Sajak Mashuri

LINGKAR

Di lingkar pinggulmu, masa lalu tersimpan dan jemu; Ia tak lebih sebentang padang yang simpan jejak matahari
Bertahun, juga gurun yang tak rikuh oleh peluk embun; Jika waktu dan jam berlesatan pada malam; mimpi tenggelam; Jahanammu bangkit serupa adonan timah, dituang ke ceruk nampan ---bekukan remang ke tiang gantungan
Kerna di pinggulmu, serdadu ‘lah tumpas; Batu-batu terhela ke tebing cadas
: tempat segala yang berumah menepis igauan-igauan musim
Tubuh waktumu pun melepas baju hangat kutukan; Lalu berlari menembus gelap, dengan tarian-tarian liar
Dzakar yang dibakar di tungku farji, dan selalu ditimpuk angin kini, yang bergoyang, bergoyang
Di sepanjang tanah tandusmu yang risau oleh pukau hujan…

Surabaya, 2008



LAND OF ID

gunung-gunung mengapung di mataku
kawah, renjana
biru, tak bertua
segalanya meruang ke retina
lalu lapuk bersama dunia
dunia atas-bawah, dunia tengah
kesementaraan 'lah terbanting ke denah
tak beranting ---keabadian menjadi risalah
menjadi
abadi, seperti lukisan-lukisan langit
yang terus bergerak, tak terakit
ke jejak
pada puncak yang semayup sampai ke mata
pada gerak yang teraup tak indera
pada jejak yang kabur
kukubur hasrat seperti kukubur kiblat
penantianku, sesaat
waktuku sesat
jam tak hadir di hari, ketika hari
lari, melampau abad-abad
: sunyi
khayalanku mengalir
bersama sungai
sungai yang berhulu takdir, tak berair
mimpiku pun sangsai
serupa pantai
pantai jauh, berdegup bersama riuh-hidup
menghidupi sepi
di ujung tak tergapai
warna pun menipu, seperti usia
ada yang merasuk kalbu, seperti rasa
sia-sia

Surabaya, 2007



LUKA BATIN

kau bercermin di luka batin, lalu kau tanting diri
perih
tapi kenapa kau undang aku, agar datang seiring perang
dalam rintih lambang
yang berserak, bergetih

Surabaya, 2007

REVOLUSI SUNYI SANG PENYAIR; IQBAL

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=70


Ah, betapa gembira mereka yang hendak memuja apiku!
Tapi aku tak menghendaki telinga zaman sekarang
Akulah suara penyair dari dunia masa depan
Karena zamanku tak pernah memahami maksudku (Iqbal, Rahasia Pribadi).

Di sana, saya melihat betapa malang seorang penyair yang seolah gagal menyuarakan hati nuraninya, dalam kancah usianya mereguk masa melahirkan karya-karya. Sejenis keputusasaan yang menyimpan harapan, entah mimpi bolong atau bergelayutnya awan yang enggan menurunkan hujan. Kala kehidupan membutuhkan seteguk tirta pengusir dahaga di tengah kembaranya.

Tampak jelas penyair itu takkan bisa merangkai kata-kata, memuntahkan isi jiwanya ke dalam lelembaran karya, selain setelah menyetubuhi pengalaman hayatnya. Kesendirianya bukan kedahagaan tanpa guna, serupa pengharapan yang ngambang. Namun sungguh perjuangan itu melahirkannya, meski nampak tidak seberapa, ketika dirinya masih menghirup udara -nyawa.

Sang penyair menuangkan kata-kata, melewati pertimbangan daya simpan, demi masa-masa mendatang –terpenting, sebab takkan sampai hatam waktu memaknai hasratnya. Karena itulah kegagalan masa hidup, kesunyian di saat menjalani kesehariannya, bukanlah tanpa alasan tidak bermakna paripurna. Tetapi ini jalan yang harus ditempuh, kalau menginginkan keabadian kisah hayatnya dikenang sepanjang masa, sejauh kalimah-kalimahnya menyungguhi keyakinan juang.

Sedang yang datang hendak mengenyamnya, mengunyah usianya demi deretan kalimah nilai-nilai kelestarian yang dibangunnya. Seakan embun selalu menghiasi mata fajar, begitu dalam kalbu insan, saat-saat meneguk nuansa nilai yang dihadirkan penyair di setiap malam-malamnya, yang penuh permenungan.

Pada jamannya, melihat sosok penyair laiknya gelandangan tanpa kerjaan, selintas tiada manfaat dirinya, apalagi bagi umat. Namun tidakkah makna jatuh di akhir kalimah, pucuk peristiwa. Dan perasaan itu menghidupkan kalimatnya, hadir lebih nyata, manakala sudah tidak terbebani jasad fana.

Seorang penyair laksana prajurit yang selalu melatih ketangkasan bathin, ketika waktu memanggilnya, ia hadir dengan penuh kesiapaan, mengejawantah jiwanya serupa kalimah tunggal, yang menggerahkan dirinya demi selalu dibahas dikemudian. Ini manfaat, lebih dari sebuah realitas kerja, sebab sudah menjelma energi pergerakan. Ketika kalimah-kalimah yang diutarakan penyair berlesatan, datanglah ruh penunggu kalimah itu seperti bara menyimpan api, sekali tiup menyalakan percik perjuangan.

Siapa yang mampu memahami maksudnya? Sang penyair itu mengutarakan yang terpendam di kala masih bernafas dalam usia ruang-waktu yang sedang dikenyam. Hasratnya sungguh bertubi-tubi melesat tanpa bayangan. Tidakkah kita sadar, mata panah tidak memiliki telinga, tetapi yang mendesing di teling. Matanya melesat ke masa depan, yakni sasaran yang dituju. Dan jarak tempuh yang terlaksana itu dari himpunan nafas-nafas yang disetiai, dirawat melewati nalar merasai. Sehingga dalam lipatan gerak merupakan kesadaran murni, ini lebih jauh dari parade kesadaran, laksana lecutan kilat menghujam, secepat cahaya menembus rambatan udara penciptaan.

Hanya dalam dada penyair
Keindahan dan selubung tabir akan terbuka
(Iqbal, Pesan Bagi Para sastrawan Islam).

Sentakan hebat dari keindahan, berasal dari kelembutan perasaan yang membuka tabir, menyembulkan segala rahasia hayat ke permukaan yang mengagumkan. Kekaguman terbagi dua; yang membawa mati sebuah hasrat sebab tersedot atas apa yang dikagumi. Dan kedua; kekaguman yang semakin meningkatkan suatu kerja, memaknai dengan perasaan wah, yang hadir dengan sendiri sebagaimana kebenaran tanpa suara. Dan saya menempatkan keindahan itu hadir dari sebuah kesunyian pribadi, seperti sapaan dari seorang yang belum kita kenal akrab, dimana tenggang-rasa menempati posisinya sebagi kerahasiaan rasa.

Lewat kelembutan perasaan inilah tabir mulai terbuka, menerobor melewati sela-sela jeruji penjara kesunyian penyair. Iqbal pun berkata dalam lembaran lain, “Gairah penciptaan dia curi dari ruhmu.” Di sini, ia menempati nilai-nilai kehidupannya, semisal makna mendatang. Wajah yang disapa kali ini menemui raut yang sama di lain tempat-waktu perjamuan.

Namun tidakkah perwakilan dari karakter itu lahan di mana penyair mengambil gairah. Bebuah penelitian dari kedekatan yang mengundang ribuan tanya kesunyian. Dan kecurigaan yang tampak itu suatu waktu berbalik menjadi keyakinan, ketika masa-masa ditinggalkan. Sebab manusia takkan mampu berdiam diri tanpa angin sapaan. Maka meski kecurigaan hadir, rindu tetap timbul, kala benar-benar dalam kedamaian, yakni berkah waktu melewati periodenya. Ini kehawatiran yang menghadirkan rindu sebab perasaan ingin diperturutkan. Padahal makna rindu dan hawatir masih remang akan cahaya kepastian, letak masa meminta jatah dimaknai sebagai tempat bekerja.

Kendati selalu terinjak, rumput tak pernah punah
Dan berkali diusapnya kantuk maut dari mata
(Iqbal, Pengingkaran Terhadap Pribadi).

Meskipun bagaimana, ketidakpedulian mereka terhadap kesunyian, rumput tetap hidup dan mereka tak bisa membedakan makna rumput yang berdiri tegak dengan yang ambruk sebab langkah sepatu. Yang jelas kita dapat memetiknya, ia terus hidup takkan punah meski banjir ketidak percayaan atau kemarau penguasa menghabiskan, di suatu waktu tentu berbalik penuh dengan kesegaran jiwa merdeka. Sungguh rerumputan menyungguhi hidupnya, telah siap tidak berdaya mengayomi manusia, namun hewan-gembawa sangat membutuhkannya.

Inilah kekayaan jiwa terambil lewat membungkukkan dirinya, demi mengunyah kesunyian dan makhluk penjaga kantuk atau rerumputan sunyi itu senantiasa tegak di malam segar. Dan angin membisikkan kidungan permai pada telinga wengi, sedangkan manusia takkan mendengarkan nyanyian itu, selain yang mampu membuka tabir seperti merunduknya rerumputan menghadiahkan embun. Embun yang hadir di mata kantuk adalah penjaga kalbu yang tiada wasangka lepas dari kesadaran daun-daun, sampai lidah mentari menghisapnya kembali.

*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karenggeneng, Lamongan, JaTim.

Jumat, 19 September 2008

Parafrase Kesedihan

A Qorib Hidayatullah

Beragam dongeng atau pun cerita kesedihan yang dipendarkan dalam gerak avonturus hidup ini. Kisah kesedihan dalam hidup layak ditali-temalikan agar proses hidup tidak sombong. Manusia butuh hidup bijak di tengah arus dangkal pemaknaan hidup hedonis. Semisal trah Bohemian di negeri Paman Sam, karena telah teken konsistensi berhidupkan sedih, mereka memarkir dirinya tinggal di pedalaman di negara adidaya (sub-urban) itu. Mereka enggan hidup nyaman dengan kesibukan permanennya yang melulu menghamba pada rotasi mesin berdaya konsumerisme. Mereka membaktikan hidup di desa-desa kumuh dengan tetap menggawangi idealisme berkatologisasi pengetahuan, yaitu memilih hidup keranjingan membaca.

Berbeda dari itu, kisah tokoh Lintang dalam novel Laskar Pelangi di mana Andrea Hirata sebagai arsiteknya, malah mempraktikkan kesengsaran akut demi sebuah arung pendidikan. Lintang bersama sembilan kawannya yang menamakan dirinya dengan sebutan Laskar Pelangi itu pergi ke sekolah berbekal jalan kaki yang jauhnya 80 Km pulang-pergi. Selain itu, Laskar Pelangi harus melintasi sungai yang ada buayanya saat pergi dan pulang dari sekolahnya.

Kisah Lintang serta Laskar Pelangi adalah wujud kesungguhan dalam hidup kendati sedih dijadikan jaminannya. Laskar Pelangi memahami betul pentingnya mengenyam pendidikan meski kesengsaran sedari awal ditelan, semata-mata untuk meledakkan kesuksesannya. Al-hasil, novel bikinan Andrea itu sukses di pasaran disebabkan telah apik menenun kisah berdaya romantik, mampu memantik kucuran air mata pembaca.

Tumpukan-tumpukan kisah menyedihkan dari novel Laskar Pelangi berhasil memprovokasi pembaca agar memiliki ruang reflektif dalam hidup. Hidup sedih maupun sengsara hampir mendekati dan membawa hidup pada amuk/ancaman pesimisme. Kerapkali orang saat dirundung pesimisme, yang semula mengamalkan parafrase hidup sedih, akan alami keputusasaan. Putus asa adalah proses hidup alamiah yang lazim semua orang mengalaminya. Putus asa, “Keberhasilan yang tertunda” tutur pepatah.

Dominique Lappierre, penggubah novel spektakuler publik dunia, The City of Joy, lewat kisah hidup kaum paria mampu menyita keprihatinan pembaca. Kaum paria yang berdomisili di Anand Nagar, tak hanya kisah imajinatif yang hanya berhasil di helat fiksi. Namun, kaum paria telah menyentak hati pembaca tergerak untuk membantu orang-orang yang dirundung kesedihan di bumi Anand Nagar. Dominique Lappierre pernah menerima emas beberapa gram dari pasutri yang berekonomikan mapan, “Silahkan emas ini berikan pada para penghuni di Anand Nagar,” begitu bunyi pesan penyerahan oleh pasutri itu.

Begitulah makna pilihan jalan hidup dari kaum Bohemian, Lintang, dan kaum Paria yang telah menceburkan hidupnya dalam kesedihan. Riwayat hidup sedih oleh mereka sengaja dilakukan untuk merajut hidup bijak-bijaksana. Mereka seakan merasa sumpek hidup di tengah-tengah masyarakat yang melulu merayakan pesta absurd dalam hidup; hedonis, glamour, dan berpahamkan konsumeris.

Sajak Mashuri

Demi Waktu

1

Petir mengalir di bibirku, lalu kulafal satu-satu
kupanggil ibu; tanah-tanah rekah yang rindukan rindu
hujan di seberang yang menggigil
dengan tangis temaram, gerimis memeram
kukecup ketiadaan dan waktu
patah, bersitahan di udara
jarum jam yang berhenti
di ujung lidah
di atas kandil-kandil padam
dan kuyup wajah sang kala
dibasuh liur dan ludah
menghuni lahat, semakin purba
kusebut waktu, waktuku



2

di awal sura, ketika terakota masih mentah, merah
dan tanah masih tertinggal di muara
ada purwa yang dingin
mengalir dari garba
beranak sungai, mengalir pantai
kekalkan cinta pada nestapa
: dunia
lalu tinggalkan liang senggama
dengan keperihan pendosa
dan rumah terbangun dari senyap
pipih lengan menopang pilar
hitam
kekokohan bangkit dari malam
dan kokok ayam jantan membuktikan
fajar
masih menyesalkan sebuah kepulangan
dan pagi tergelar dengan hambar
lihat, sebuah kota terbangun dari kediaman
dan tangis
tertahan



3

seruling gembala turun ke rerumput
menjemput
bunyi
suara gelombang terdengar sunyi
angin berpaling ke lubang
bercakap
dalam bahasa gelap
lalu bunyi menyemburkan ludah
serupa darah
di tengah padang
seorang berjubah menari
katanya, pagi telah memberinya bayi
dan rumpun rumput ranggas akan ihlas
melepas nafas
memberi tangan pada jemari
menari



4

dalam hujan bulan juni, aku bangkit dari ketiadaan
waktu berputar dalam porosnya
aku bertanya pada secuil kisah
: adalah puisi bakal abadi
dan senyum Aida, dengan tangan-tangan memabukkan
membimbingku pada altar
katanya, rasakan kecupku
dan kau akan tahu, ada kata terbebas dari kelenjarmu
dan menepi dalam sumsumku
ada mimpi di rambutmu
dan mengental di rambutku
kuingat dari matanya
hanya hitam
hitam



5

almari, kendi, cecandi, stupa, arca
sepiring nasi, segelas air, meja berserakan
dan sebuah jam tangan
terlipat sapu tangan
aku membaca
dengan tafsir kupu-kupu
sebuah ulat yang merambat, kepompong kosong
dan sebuah samadi tak selesai
lalu waktu berhenti
aku terus mengejarnya dalam koordinat
keparat
berlepasan
mengandaikan dunia berputar, berputar, berputar
kutahu, ada yang diam
dalam diri, yang bergelombang, centang perenang
dan menabrak karang
lalu menghakimi kekekalan sebagai asal
dan memuja anal
dengan kepala terpenggal
lihat, aku telah bunuh diri
aku telah bergerak menuju mati
dalam pelarian yang diciptakan hujan pagi ini



6

desember
salju turun
seorang tua menanting ranting
dibakarnya
asapnya
ciptakan bayang-bayang
ibu
aku berlari dengan kemeja putih
putih getih
dan kuinginkan ada yang pergi
ketika putih menjelma
kafan
berlayar
dalam waktu
menembus
kelengangan
raih
getih pertama
dalam pertarungan
ingatan
purba
menyelinap
menusuk
paksa
gelap
merasuk
kutanting kesucian
di tiang gantungan
dan waktu
menjelma batu
di pelupukku
wal ‘ashri!
kutahu, ada yang pergi
bersampan
dengan nampan
kembang, ketika bau kamboja dan dupa
bersetubuh
rapuh
merapal ajal dengan kesakitan
shaktiku!



7

petir mengalir ke tanganku
kesadaranku beterbangan di pepohon trembesi
dahan-dahannya coklat
mengingatkanku pada wajah coklat
keramat
lalu kubisikkan bisikan-bisikan bergemuruh
ada yang luruh
menjelma gambar-gambar, kebaya berbunga
surjan dan terompah dan peta negeri antah berantah
kusematkan keris di pinggangnya
“Tidakkah kau lihat aku, tidakkah kau lihat aku yang telah
menguasai kekuasaanmu, tidakkah kau lihat bagaimana aku telah
merajah telapakku
tidakkah kau lihat aku, dengan rajah-rajah waktu menyembur
mulutku
tidakkah kau lihat aku menggenggam rajah kalacakra
dan siap mengguncang waktu, dunia, ibu”
pohon trembesi rebah
hantu menangis darah, lalu segumpal tuah merayap
di cakrawala
sebuah surga terjelma dari kehancuran
dan kuhancurkan lengan-lengan, dahan-dahan, pokok kayu
aku bangun rumah
rumah waktu
dengan pigora-pigora, foto-foto keluarga
aku terpancang di sudut dinding, memandangnya
dengan pandang semesta
ketika dunia geser oleh kata-kata



8

burung-burung agung hinggap di ladang
ladang ditanami pohon bergetah
burung-burung agung telah terbang
terbang ditelan silam yang kalah



9

waktu berhenti
dengan pertaruhan tak henti
aku pulang
dengan kesakitan
di sudut bibir
petir menuliskan alamatnya di pintu
: kau telah kafir!
di sebuah ruang
kutenggelamkan pengetahuanku

Surabaya, 2003

Sajak-Sajak Mashuri

IQRA’

Laut dengan debur asinnya, dan garam
bukan tempat logam untuk berbekam
seribu pemusnahan akan pecah
seperti kulit dikoyak tombak
lalu luka memeta, memerihkan sengketa
dalam diri, seperti nuh tentang anaknya
lalu perahu berlabuh
dengan rasa sesal

tapi aku berpegang pada kepastian
seperti kematian yang mengutukku
untuk selalu menanti
dan penyesalan, hanya bayang-bayang
layar, dengan warna kusam
sebab nubuat telah kubaca dari gurat
telapak tangan, pasir hitam
dan temali di pantai

dan laut dengan wajah pendulumnya
akan terus berombak
mengaji takdir, dari rangakaian buih
ronce-ronce kengangaan
dan jarak
untuk saling menepi

lalu kusundalkan kehendakku
menyebut nama-nama
seperti seorang lelaki di sebuah gua
memasang jaring laba-laba
sebagai amsal
bahwa dalam kosong, dan tampak kosong
masih juga berjiwa

mungkin logam, harus memilih
sebuah ritus yang tahu diri,
apakah hanya loyang, besi atau emas
lalu melebur dalam ketaksaan;
ketaksadaran
yang dihamparkan lazuardi

dan nuh, juga diriku
tidak pernah menyesalkan sebuah nujum
sebab segalanya telah terjadi
dan kelak yang abadi

Surabaya, 2002



SIMPONI PASTORAL

–Gus Yus

di bawah pinus, musim dingin telah merekahkan luka
lalu kita menuangkan anggur
dari pundi-pundi, yang pernah kita simpan
di bawah altar
dengan tikar, sajadah dan lantai marmar

kemudian kebisuan itu pun membuncah
suara-suara nyanyian, paduan suara
memaku tembok-tembok tua
berdentang di antara genta
dan jubah-jubah bergesek dengan paku
mencipta musik
dan karpet pun terkapar dan boyak

mungkin di atas kubah, ketika kita sudah menenggak
ratusan cawan
kita melihat kepala melayang
laksana partitur yang beterbangan
mengeja sajak, nada-nada langit
dan irama-irama udara yang bertebaran di angkasa

seorang sufi, dengan tongkat bambu
dan terompah terumbu mengibarkan bendera putih
ia tidak menyerah, tapi mengisyaratkan perlambang, bahwa dunia
dunia yang tercipta dari nyanyian, suara-suara alam
dari jiwa berjiwa
adalah baka

lalu kita menuntunnya ke ladang
mempertemukan dengan sebuah nasib
ketika sebuah tubuh terpaku, kuyu
dan sajak bermatram muram
dan berdarah dan luka

tapi anggur yang mulai menggerogoti kerongkongan kita
mencipta lorong yang lain
semacam labirin, dengan sekerat daging, hawa panas
dan gemerenggeng unggas
siapa yang harus kita pastikan sebagai pusat
dalam pusaran sekeras ini
sebab ombak-ombak nada demikian mengguncang
dan sampan, dari batang gelugu
terpaku dan tenggelam

bilakah musim berganti, mengekalkan perubahan
di rambut
dan memuja maut
sebagai puncak pelayaran

kita hanya melihat sayap-sayap burung
seperti kosong
kosong

Surabaya, 2002



TAJALIYAH RUH

sebuah sungai, dengan anak-anaknya, telah mengirimkan riak
ke tubuhku
lalu bulatan-bulatan yang memusat di pusar, serupa bola mata ikan,
sisik-sisik, dan gambar-gambar permukaan
yang ditimpa batu, satu, satu
bak rintik hujan di kolam
hadir di keningku

mungkin langit, dengan kabut, dan rahim hujannya
telah mengirimkan matahari
seperti isyarat, seperti laknat, atau sebuah kepastian
untuk memilih
bahwa segala yang berjiwa, seperti tubuhku
akan tengkurap
mendaftar seribu lumut, di tepian, lalu menguarkan alir
dari hijau yang keramat, dalam buaian sang kala

seperti musim gugur, daun-daun berbantun
dalam kerontang, dan sebuah cuaca mengirimkan kutuknya
dengan rasa angkuh
lalu kuda-kuda dengan temali, cambuk dan kereta
berkendara di kaki bukit
dengan roda-roda
dengan perputaran dari satu titik ke titik

tapi sungai tetap menjadi sungai
meski dalam dingin yang gigil dan beku
meski dalam kering dan layu
sebab mata air
dengan linang ruh, yang tertahan di puncak-puncak tuak
dengan selaksa cahya
akan abadi
menjadi gemintang dan abadi
dalam ingatan, lalu

ketika rumpun-rumpun bambu tumbuh di keningku
dan dahan-dahannya merimbun
mungkin sebuah jembatan tiada lagi khayalan
dan tangga yang tersaji, dari benih, semacam angan
dan tunas
akan lunas dalam segala iklim

segalanya menjadi sungai, dengan kilau cahaya
dan menerangi jiwa
dan ruhku berkendara dengan kuda putih
yang tercipta dari pemberkatan dan pemberkatan
dari tarian dan tarian
dan nyanyianku adalah nyanyian bumi
dengan seribu doa
dan mengoyak langit

Surabaya, 2002



SANG ALIF

–RMP Sosrokartono
berdiri di gigir ombak
dengan tongkat alif, membaca gelombang
dengan gelombang dan sajak
sebab dalam diri, sepi
menjelma patung-patung es, dingin
sukma telah membaca sukma
dan menyaksikan labirin
tanpa membuka mata

tapi dengan mata terbuka
menghapus
jejak sementara
seperti sais yang telah mengenal kuda
kereta, roda-roda
dan suara cambuknya

Surabaya, 2002



POHON DOA

di musim semi
pepohon sakura mengirimkan bidadari
tarian-tariannya bergerai bersama bunga, bersama mentari yang sepi
tapi masih juga terasa dingin, ketika seorang perawan
memungutnya, dan menyelipkannya
di antara untaian jemari
di antara rambut-rambutnya

tapi segalanya seperti tak bernama
ketika uap kematian menjadi bermahkota
dan mengundang dencing pedang
untuk bersekutu dengan leher-leher peziarah
di kuil-kuil tua, semacam ingatan
menyemai restorasi
lalu pohon-pohon seperti sajak singkat: doa
seperti haiku
di bawah matahari yang terbit dini
dan lanskap semi, hanya lukisan tentang peniadaan diri

dan setiap reranting
bertuliskan rajah-rajah pemberkatan
bahwa kematian atas nama sang surya
adalah nirvana
sebuah sintal untuk mengantarkan nampan
penuh bunga
di gigir laut
dengan ombak-ombak, lenguh maut
dan keniscayaan pada sebuah cahaya: pembaharuan

lalu para perawan menyerahkan kesuciannya
sebagai tumbal
bebunga terbiar menggenangi kolam
hingga ia menjadi amis, dengan darah, dengan tangis
dan dinding-dinding mengelupas
seperti sebuah isyarat kenangan
yang harus ditumpas
dan mengurung kerinduan pada muasal
perang dengan sapu tangan dan kuas.

alam seperti memberikan satu jawaban
tentang arti pengorbanan
dan pohon-pohon akan terus tumbuh
dengan tunas-tunas baru
sebuah kelahiran kembali
reinkarnasi
dan merubah arah angin
merubah dingin, kebekuan
dan menciptakan lazuardi
dari birahi
membiarkan teratai
mengusung dzakar dan farji
dalam perjamuan kudus dan diberkati

lalu pohon-pohon doa akan tumbuh
seperti puisi

Surabaya, 2002

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi