Sabtu, 13 September 2008

SENYAP TENGAH HARI

KRT. Suryanto Sastroatmodjo

Ini kali aku mencoba bertanya tentang Hidup – bukan pada seorang filsuf, bukan pula pada seorang arifin. Aku mencoba bertanya justru kepada diri sendiri. Orang boleh menyangsikan hal ini sebagai suatu kemustahilan. Ya, bolehlah diperkirakan padanya, bahwa angan-angan toh boleh juga dikembangkan. Diterbangkan ke angkasa raya.

Senyap tengah hari. Aku cuma dengar suara tenggeret dan garengpung mendusin, mengerang, menguak, dan kemudian menggelegak. Sementara itu, suara kinjeng-tangis atau capung yang memilukan hati, seperti mencoba untuk pasrah, sementara dia tak mungkin sepolos itu dalam menyerahkan tubuh dan jiwanya.

Senyap itu menggerutu. Senyap itu menggerendeng. Senyap itu untar-gemuntang di dalam jiwaku. Tepatnya, di pedalaman dusun batin yang paling jauh. Sehingga, tatkala Bapak Mertuaku datang pada tengah hari, tepat pukul 13.30 WIB, aku seperti terdorong dari kursi goyang, dan terlompat menyongsongnya. Hal itu sudah terlatih sejak sebelum dia menjadi mertuaku. Jauh sebelumnya. Tuan tahu, Pak Sosrojoyo adalah seorang guru SMA di kota ini, dan tujuh tahun ini pensiun. Aku salah seorang dari alumnus sekolah itu. Wajar aku menyayangnya, justru karena dia guru dari darah dan daging. Guru paling sederhana yang pernah kukenal. Kemeja yang ia kenakan cuma kuning-muda dengan kotak-kotak kecil, dan sudah kulihat jahit jelumatan pada bahu dan dekat ketiaknya. Ia merokok pakai pipa dari tulang ikan longker, sejenis mujair besar yang hanya terdapat di Laut Jawa sisi barat laut, kawasan kota kecil tempat saya dibesarkan. Lantas sepatu sandal coklat yang agak tua. Ia pakai dasi lebar hitam, dan itu wajar, karena dialah Kepala Sekolah di situ. Disebut sederhana, karena selain mengepalai sebuah sekolah, Pak Sosrojoyo – yang biasa dipanggil dengan nama Pak Cos itu! – juga mengajar kelas tiga, tepatnya dalam Analitika.

“Ooh, Pak Cos agak terlambat ini!” dengusku sebagai sambutan ketika lelaki tua berambut putih memplak itu datang, langsung dari beranda depan menuju ke kamar baca, yang letaknya berseberangan dengan kamar pribadiku. “Hari sudah tengah hari kini. Janjinya kemarin, Pak Cos akan datang dan bersama-sama daku bersepeda gembira berkeliling kampung selama 5 putaran, sampai keringat kuyup.”

Oya, pembaca, aku pun memanggilnya Pak Cos, kendatipun aku menantunya. Istriku, Niken Lukiani, juga menyebut ayahnya dengan sebutan populer itu. Istriku adalah putri ketiga, yang justru paling disayang!
Ia ketawa. Giginya sudah ompong, dan tinggal tiga gigi deretan bawah, dan dua buah gigi pada deretan atas. “Begini, Sur. Pak Cos tengah bikin kandang ayam di belakang rumah. Kukerjakan sehabis shalat Subuh hingga jam 09.00 pagi. Habis itu, aku mandi dan makan ketan-urap, dan mereguk kopi susu. Nah, lantas baca koran di pendapa. Habis itu mengantarkan ibumu ke pasar. Lha, baru setelah jam 12.00 siang, teringat ada janji denganmu. Maafkan Pak Cos ini, ya, Gus.”
Ia ketawa lagi. Selalu dirinya menyebut “Pak Cos”, bila merasa khilaf kepada siapa pun, termasuk kepada anak dan menantu. Dan aku menyahut, “Nggak apa-apa, Pak. Maksudku, kalau Pak Cos bersedia, kita bisa rutin bersepeda gembira tiap pagi. Lumayan buat gerak badan sehat, ketimbang bangun kesiangan.”

“Idemu bagus, Gus Sur. Bagus sekali. Cuma, bagaimana aku bisa menepati janji, itu soalnya. Olahraga selalu menuntut disiplin tinggi.”
“Maksudku, bukan memaksa bapak. Tapi, buat sekadar penyegaran tubuh. Sekalian, akan kuajak mencicipi jajanan Pasar pagi di Kemlayan, yang sudah buka sejak dini hari, dekat perempatan Nguter ke timur. Eh, Pak Cos kan senang banget makan serabi kocor, ya.”
“Ha ha ha ha, Gus Sur! Itu kegemaran sejak muda. Yah, baiklah, kita coba mulai esok pagi.” Ia berjanji seraya mengelap keringat di jidat, dengan handuk kecil yang dikalungkan ke leher. Pak Cos pakai piyama dari tetoron berwarna krem, dan sarungnya berwarna biru-muda yang sudah agak luntur.

Aku berdehem, seraya bangkit dari kursi. Ah, nggak begitu yakin, mertuaku bisa melaksanakan janji. Contoh sederhana saja: lihatlah, dia mengacak-acak koleksi buku-buku di ruang tengah; Ensiklopedi Indonesia. “Zaman saya muda, langka sekali tulisan ini. Biasanya pun ditulis oleh orang Barat. Wilker Prins Ensiklopedi ataupun Ensiklopedi Americana. Ini, malah…ditulis oleh sejumlah ilmuan muda Indonesia…” dan Pak Cos terus membuka halaman demi halaman, memperhatikan gambar-gambar. Ketika aku mendangir bibir krokot dalam pot kecil di sudut belakang rumah, Pak Cos juga masih duduk menekuni buku tebal itu. Eh, biasanya, sesudah menarik suatu judul buku, terus diambilnya, dan ngeloyor pergi. Mertuaku penggemar buku non-fiksi, terutama teori-teori filsafat; toh, dia tak bisa menampik bacaan roman. Buktinya, seluruh khazanah novel di almari bukuku sudah dijamahnya. Sebagian besar…nggak dikembalikan ke tempatnya, alias hilang – ketlingsut. Karena tahu akan kebiasaan yang kurang baik itu, aku sedikit menggerutu – dalam hati, tentunya – setiap Pak Cos berada di situ.

“Gus, Gus,” terdengar suara Pak Cos, pada ujung tengah hari, setelah pembantuku meladenkan kopi susu segelas besar ke meja di dekatnya. “Bilanglah pada Arif, bahwa Eyang Kakung akan mengajaknya jalan-jalan ke Balekambang, sabtu siang besok.”
Aku meletakkan cetok dangiran, dan menoleh ke arahnya. “Mana mungkin, Pak Cos? Arif sekarang sering latihan kepramukaan pada tengah hari. Kalau nggak, latihan tari dan nyanyi.”
“Wong hanya satu dua jam, Gus Sur! Lagipula, aku ingin membelikannya dolanan bocah.”
Aku menggaruk-garuk tengkuk. “Pak, Arif sekarang sudah gede. Kan sudah kelas enam Sekolah Dasar. Dia nggak suka bermain bedil-bedilan. Waktu-waktunya tersita buat belajar, Pak.”
Giliran mertuaku bersuara keras, “Gus, kau salah tampa. Maksudku, biarlah Arif akrab dengan Eyang Kakung dan Eyang Putri-nya. Masak, sejak dulu, dia “jauh” dari kami berdua. Padahal, sudah lumrah bahwa seorang cucu dekat dengan kakeknya.”

Nah, aku mesti hindari pertentangan semacam ini. Pada dasarnya, aku enggan berdebat, terlebih-lebih untuk soal-soal remeh yang hanya membikin kemasgulan berkepanjangan. Maka, saya mengambil ember, dan menyirami pot-pot bunga di teras. Matahari sore merekahkan sinar kuningnya yang lembut, memercikkan warna ceria. Kenapa Pak Cos malah mengungkapkan soal si Arif. Tengah hari tadi, dia berangkat bersepeda dengan teman sekelas, ke perpustakaan, belajar berkelompok. Tiada hari tanpa kesibukan di sekolah, atau kancah pendidikan. Sejak kelas 5 SD, rasanya dia semakin “jauh” dari kami: ayah dan ibunya. Mana mungkin aku sanggup berpikir, bahwa Arif juga “jauh” dari si kakek?

Pak Cos berdiri, seraya mengempit buku tebal itu. Tepat dugaanku. Dia pasti akan membawa pulang buku ini. Terbatuk-batuk sebentar, dia menghapus bibir dengan handuk kecil yang melilit leher. “Pikirkanlah, Gus. Tiga cucu kami terdahulu semuanya perempuan. Baru si Arif ini yang lelaki. Wajar, bukan, kalau kami dambakan, agar dia lebih dekat ke pihak kami. Eyang Putrinya malah berpesan, setiap Sabtu petang, biarlah Arif tinggal di rumah kami, sampai hari Minggu.”
Aku temungkul. Sulit menjawab usulan ini. Selesai menyiram kembang, aku tinggalkan mertuaku di teras samping. Apa yang dia omongkan, tak begitu kudengar lagi. Aku sudah mengambil handuk untuk mandi, waktu kulihat Pak Cos ke ruang tengah, dan menyetel radio transistor kecil yang terletak di atas buffet. Lantas, terdengar irama lembut keroncong dari sebuah radio swasta niaga, dinyanyikan oleh seorang biduanita tak terkenal. Terdengar suara mertuaku, “Sungguh, Gus, kau bakal merasakan kelak, kalau sudah punya cucu. Selain kepingin mengemong mereka, mendekat…” entah apa kalimat itu selanjutnya, aku nggak dengar.

Di kamar mandi, sambil menyiramkan air ke tubuh, aku teringat Pak Cos, lima belasan tahun lewat. Aku pernah jadi muridnya. Satu hal yang sering kuingat, aku dipanggil waktu istirahat siang, untuk disuruh itu-itu. Misalnya, mencatat buku-buku baru yang diterima dari seorang penerbit untuk perpustakaan sekolah, atau membersihkan papan tulis. Sesuatu yang menunjukkan adanya atensi dari pihaknya terhadap diriku, anak janda miskin ini.

Yang agak aneh, bahwa suatu ketika, aku disuruhnya menjual kalung emas ke Toko mas “Mutia Murni” di kulon pasar kota. Wanti-wanti pesannya, seraya membungkus benda berharga itu dalam sapu tangan kecil hijau. “Ati-ati, Gus. Jangan bilang kepada siapa pun. Nanti sore saja uangnya kauberikan padaku, lewat Mbak Martini.” Aku manggut-manggut. Sorenya, aku pergi pada Mbak Martini, kepala Tata Usaha sekolah kami, yang menerima uang tersebut seraya berbisik, “Dik Sur, kau jangan bilang pada siapa pun, bahwa aku terima uang dari Pak Cos.”
“Memangnya kenapa?” aku balik bertanya. Mata Mbak Martini bersinar-sinar, tetapi tak menjawab. Dia hanya mengambil sehelai uang ribuan dan memasukkannya ke sakuku.

Di rumah, aku nggak bisa tidur. Ada apa gerangan, antara Pak Cos dan Mbak Martini yang masih gadis dan cantik itu? Teka-teki itu terus kusimpan dalam hati, sampai beberapa tahun kemudian, tatkala aku pacaran dengan Niken Lukiani. Hampir setahun kami berhubungan, sampai kepada kebiasaan yang hampir sama: jalan-jalan di Bintara, pusat kota kami, dekat komplek pertokoan dan gedung bioskop besar. Tak diduga sebelumnya, ada sedikit keresahan pada Dik Niken. Ini kentara sewaktu aku menatap matanya.”Ada sesuatu yang mengganjal?’ tanyaku. Dik Niken tersenyum. Senyum hambar. Lalu kami bergandengan, menyeberang jalan. Menuju Pusat Es Krim dan Soto Madura “Lembayung”. Kami duduk dan pesan makanan-minuman. Kembali kulihat kegundahan pada matanya. “Terangkan, Dik, padaku. Siapa tahu, aku dapat memberikan jalan keluar,” saranku.

Sayang, Niken bukan gadis yang doyan berterusterang. Dia hanya menekurkan wajah. Beberapa potong kalimat sempat meluncur “Oooh, sayang, ayahku kurang jujur, Mas. Ibuku purik, pulang kepada Eyang, selama sebulan ini…aku…”
“Apa faktor penyebabnya, Dik?”
“Biasa, soal perempuan. Diam-diam, Ayah punya bakat pemikat wanita. Aku malu, Mas.”
“Dengan siapa beliau berhubungan intim?” Niken memandangku. Aku menatapnya, tajam. Dia temungkul. Jemarinya kuremas hangat, “Jangan malu menceritakan hal itu, Dik. Biar tuntas, Niken.”
Agak pelan dia bilang, “Mbak Martini, Mas.”
Nah, terjawablah teka-teki beberapa tahun silam. Rupanya Pak Cos punya love affair dengan Kepala Tata Usaha yang cantik dan muda itu. Untung, peristiwa itu hanya berlangsung singkat, beberapa bulan saja. Kemudian Mbak Martini dipindahkan ke kota lain, dalam jabatan lain.

Para pembaca tidak usah heran, kenapa peristiwa ini kukenang, di saat mandi siang tadi. Lha wong hal itu pulalah yang membuat Dik Niken makin dekat dan rapat denganku. Bahkan, seperti sukar dipisahkan lagi. Sebelum kami berdua lulus perguruan tinggi, tak sabar lagi kuutarakan maksudku pada Pak Cos. Semula dia agak keberatan, mengingat statusku masih pengangguran saat itu. Hanya lantaran kelihaian diplomasi Dik Niken, benteng pertahanan itu berhasil kami tembus. Situasi yang alot menegangkan akhirnya dapat kami tanggulangi. Agaknya perlu kuceritakan: hampir dua tahun, aku “numpang” di rumah mertua, sampai studiku rampung. Untung Pak Cos belum pensiun, sehingga secara ekonomis tidak berkeberatan dengan tambahan satu anggota keluarga ini. Lagi pula, dia sedikit sungkan padaku, lantaran kisah cintanya dengan Mbak Martini yang nyaris menggonjang-ganjingkan rumah tangganya tercium olehku, dan aku secara diam-diam menciptakan “nilai’ tertentu dalam hati, sebagai sesama lelaki!

Tok! Tok! Tok! Pintu kamar mandiku diketuk dari luar. “Siapa, ya?” teriakku tak kalah keras. “Pak, Eyang Kakung kondur, Pak! Beliau berpesan, besok pagi-pagi siap bersepeda gembira!”
“Eh, Rif, Arif! Kau ikut ke rumah Eyang?”
“Iya, Pak. Mau lihat ayam kalkun yang baru saja dibelinya dari pasar. Pak, aku pergi, Pak!”
Biarlah Arif sesekali kepingin manja pada Eyang Kakung-nya. Asal tidak keterlaluan dimanja. Aku perlu memberi kelonggaran pada anak lanang yang kini sudah tampak gede, dan lebih tampan ketimbang bapaknya.

Oya pembaca budiman, sejak tadi belum kuceritakan, di mana istriku, Niken Lukiani berada. “Kan dia tidak menemani bapaknya tengah hari tadi, di rumah ini tentu saja. Lha wong dia di rumah sakit, kandungannya sudah sembilan bulan lebih, menjelang persalinan. Ha ha ha, aku sebenarnya tengah menyambut kelahiran anakku yang kedua. Sore ini, aku akan membezoek Niken Lukiani, putri Pak Cos yang “nyentrik” itu.

*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi